Tuntutan 17+8 dan Tantangan Legitimasi Perwakilan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota DPR/ MPR RI 1997-2002. Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI 2019-2024, Staf Khusus Menko Kesra RI 2009-2014, Staf Khusus Ketua DPR RI 2004-2009, Ketua Bidang Sosial PA Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Wakil Ketua Balitbang Partai Golkar.
GERAKAN
yang populer disebut 17+8 Tuntutan Rakyat muncul sebagai upaya menyatukan gejolak sosial yang membara sejak gelombang demonstrasi awal tahun 2025—dari protes ekonomi berlabel Indonesia Gelap hingga penolakan atas revisi UU TNI dan reaksi keras terhadap tindakan kepolisian.
Dokumen tuntutan ini dirumuskan oleh sejumlah figur publik dan aktivis melalui kanal media sosial pada akhir Agustus 2025, sebagai rangkuman 25 tuntutan: 17 tuntutan jangka pendek yang harus dipenuhi dalam satu minggu dan delapan tuntutan struktur jangka panjang yang harus direalisasikan dalam setahun.
Formulasi dan penyebarannya sangat bergantung pada jaringan daring dan figur-figur populer yang menjadi juru bicara moral gerakan.
Isi tuntutan menumpuk pada beberapa klaim pokok: pembekuan dan pembatalan kenaikan tunjangan anggota DPR, pembatalan fasilitas perumahan, penyelidikan independen atas kasus-kasus kekerasan polisi terhadap demonstran, penarikan anggota TNI dari ranah penegakan hukum sipil, jaminan perlindungan hak buruh dan langkah darurat menahan pemutusan hubungan kerja massal, serta audit besar-besaran terhadap DPR dan partai politik.
Dokumen itu memberi tenggat waktu yang tegas—misalnya, penyelesaian 17 tuntutan dalam jangka seminggu (dengan batas waktu awal disebut 5 September 2025) dan penyelesaian delapan tuntutan jangka panjang pada 31 Agustus 2026—yang sedari semula dimaksudkan memberi tekanan politik dan naratif kepada institusi negara.
Mengapa tuntutan ini muncul sekarang? Kombinasi beberapa faktor struktur dan pemicu: ketidakpuasan luas atas biaya hidup yang meningkat, kemarahan publik terhadap parlemen yang tampak menaikkan remunerasi dan fasilitas di saat banyak warga mengalami kesulitan ekonomi, serta rasa sakit kolektif atas praktik represif aparat terhadap aksi protes—sebuah momentum yang diperparah oleh polemik revisi UU TNI yang dipersepsikan mengembalikan peran militer ke ranah sipil.
Tekanan ini bukan semata emosi spontan: ia berakar pada klaim legitimasi—bahwa perwakilan rakyat telah kehilangan sentuhan dengan kesejahteraan publik.
Respons DPR cepat dan bersifat mitigatif: pada 5 September, pimpinan DPR mengumumkan paket keputusan yang menjawab beberapa tuntutan populer—termasuk penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR terhitung 31 Agustus 2025.
Selain itu, moratorium kunjungan kerja luar negeri kecuali undangan kenegaraan, serta rencana evaluasi pemangkasan tunjangan dan fasilitas lain.
Keputusan ini menunjukkan DPR bereaksi pada tekanan publik yang mampu menggeser agenda institusional dalam tempo singkat.
Namun, keputusan-keputusan tersebut bersifat administratif dan temporer; banyak poin substantif yang menjadi inti tuntutan—misalnya, pembentukan komisi penyelidikan independen yang benar-benar bebas dan reformasi struktural DPR—masih memerlukan proses hukum dan politik yang jauh lebih panjang.
Secara yuridis, tuntutan rakyat ini menuntut DPR untuk menepati prinsip dasar konstitusional: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Pernyataan ini bukan sekadar retorika; ia menegaskan bahwa legitimasi lembaga perwakilan bergantung pada kemampuan institusi itu merespons aspirasi rakyat, bukan menjauh atau menutup diri di balik prosedur birokratis.
Namun, praktik menjalankan kedaulatan rakyat di era pasca-amandemen juga dibatasi oleh kerangka hukum yang mengatur hak keuangan dan administratif anggota DPR—seperti ketentuan dalam Undang-Undang MD3 (UU No. 17/2014 dan perubahannya) yang memberi dasar bagi hak-hak finansial anggota parlemen, sekaligus membuka ruang bagi pimpinan DPR untuk mengatur rincian tunjangan melalui keputusan internal.
Dengan kata lain, DPR secara formal memiliki ruang hukum untuk memangkas fasilitas yang kontroversial. Namun, reformasi struktural jangka panjang (audit independen, revisi aturan pemilihan dan pengawasan internal) menuntut perubahan kebijakan yang lebih mendalam dan konsensus politik.
Dari perspektif teori politik, tuntutan 17+8 merefleksikan dua konsep pusat kedaulatan: hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban wakilnya (
reprentative accountability
) dan gagasan kedaulatan populer sebagai sumber legitimasi pemerintahan.
Dua karya klasik yang relevan sebagai bingkai analitis adalah John Locke,
Two Treatises of Government
(1689), yang menegaskan legitimasi pemerintahan berdasar persetujuan rakyat dan hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban.
Lalu Jean-Jacques Rousseau,
The Social Contract
(1762), yang menekankan konsep
general will
—bahwa hukum dan kebijakan yang sah adalah yang mencerminkan kepentingan umum, bukan kepentingan oligarki.
Merujuk tradisi pemikiran ini membantu memahami tuntutan 17+8 bukan sekadar keluh kesah material, tetapi tuntutan normatif: agar kebijakan dan struktur kelembagaan kembali mewujudkan kedaulatan rakyat.
Namun, urgensi dan kelayakan tuntutan harus ditimbang secara realistis. Di satu sisi, tuntutan yang meminta tindakan administratif cepat—pembekuan tunjangan, moratorium kunjungan kerja, pembebasan tahanan demonstran yang jelas-jelas ditahan secara sewenang—memiliki rasionalitas politik yang kuat dan dapat diwujudkan segera melalui keputusan pimpinan DPR atau eksekutif.
Tindakan semacam itu menurunkan tekanan publik dan meningkatkan kredibilitas responsif lembaga.
Di sisi lain, tuntutan struktural seperti pembersihan total DPR, audit independen yang komprehensif, pembatasan peran militer, dan reformasi partai politik butuh waktu, kepakaran, dan proses legislatif serta kemungkinan amandemen hukum yang tidak cepat.
Perubahan politik semacam itu membutuhkan koalisi legislatif, konsistensi administratif, dan—yang paling sulit—keinginan elite politik untuk menanggung biaya politik jangka pendek.
Ada pula risiko strategis: jika tuntutan disampaikan sebagai ultimatum tanpa saluran perundingan yang kredibel, momentum publik bisa berbalik menjadi eskalasi konflik—apabila pihak berwenang merespons dengan retorik kejahatan atau labelisasi, tindakan represi atau kriminalisasi aktivis dapat memperdalam polarisasi.
Realisme politik menuntut taktik yang menggabungkan tekanan publik dengan tuntutan institusional yang terukur—misalnya menuntut pembentukan komisi investigasi independen yang komposisinya disepakati bersama (akademisi, lembaga HAM, organisasi sipil), atau audit yang disupervisi lembaga negara yang memiliki legitimasi teknis dan hukum.
Berhasilnya langkah-langkah semacam ini akan menuntut transparansi proses, akses publik ke temuan, dan jaminan tindak lanjut hukum.
Kesimpulan dari berbagai analisa ini adalah bahwa 17+8 bukan sekadar daftar tuntutan sosial-media; ia adalah pulsa legitimasi demokrasi.
Tuntutan itu urgen—karena menyentuh dua ranah yang rawan: distribusi kesejahteraan dan integritas institusi perwakilan.
Namun, tingkat keberhasilannya akan bergantung pada kemampuan aktor politik (eksekutif dan legislatif) untuk mengubah respons simbolik menjadi reformasi substantif, serta kemampuan gerakan rakyat menyalurkan tekanan ke dalam format-format kelembagaan yang dapat diproses oleh negara hukum.
Pilihan praktis yang paling rasional kini adalah: DPR memenuhi tuntutan administratif segera untuk meredam eskalasi, sembari membuka pintu negosiasi teknis atas tuntutan struktural—dengan parameter hukum yang jelas, pengawasan publik, dan mekanisme akuntabilitas yang dapat diukur.
Jika tidak, maka gelombang ketidakpuasan ini berpotensi menjadi kronis—mencederai, bukan memperkuat, kedaulatan rakyat yang diklaimnya untuk diperjuangkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tuntutan 17+8 dan Tantangan Legitimasi Perwakilan Nasional 10 September 2025
/data/photo/2025/09/07/68bd88a8c6769.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)