Jakarta –
Sedikitnya 56 orang tewas terinjak-injak setelah polisi menembakkan gas air mata pada pertandingan sepakbola di Guinea, bagian barat Afrika, Minggu (01/12). Jumlah pasti korban jiwa sempat menjadi perdebatan lantaran sejumlah pihak menyebut jumlah korban mencapai sekitar 100 orang.
Bagaimana kronologi kejadian di Guinea?
Tragedi pada pertandingan sepakbola di Guinea berawal dari keputusan kontroversial wasit yang memimpin laga antara Labe dan Nzerekore. Saat itu wasit mengusir dua pemain Labe dari lapangan serta memberikan tendangan penalti tim kepada tuan rumah.
Media lokal negeri itu memberitakan bahwa polisi menembakkan gas air mata setelah pendukung tim tamu, Labe, melempar batu ke arah lapangan sebagai bentuk kemarahan terhadap wasit.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Di antara tubuh-tubuh yang terbujur kaku tersebut tampak beberapa sosok seperti anak-anak.
Di rumah sakit, seorang dokter yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa “mayat-mayat berjejer sejauh mata memandang di rumah sakit”.
“Yang lainnya tergeletak di lantai di lorong. Kamar mayat sudah penuh,” tambahnya.
Bagaimana keadaan di dalam stadion saat insiden berlangsung?
Paul Sakouvogi, seorang jurnalis di Nzerekore, menggambarkan kondisi stadion kepada BBC. Menurutnya, saat insiden berlangsung, stadion “penuh sesak” dengan ribuan penonton.
“Hanya ada satu pintu keluar,” ujarnya. “Beberapa orang memanjat tembok untuk keluar dan dalam kepanikan, semua penonton menuju pintu keluar yang sangat kecil. Mereka yang tidak dapat bertahan akhirnya terkapar di lantai,” kata Sakouvogi.
Baca juga:
Sakouvogi juga mengatakan akses internet di wilayah tersebut sempat dibatasi.
Belakangan, polisi menjaga pintu masuk rumah sakit tempat para korban dirawat.
“Saya melihat enam mobil polisi diparkir di depan tiga pintu masuk rumah sakit. Mereka hanya mengizinkan staf medis untuk masuk ke rumah sakit, sementara yang lainnya diminta untuk kembali melalui jalan yang sama saat mereka datang,” papar Sakouvogi.
Penyelidikan
Dalam pernyataan publiknya, Perdana Menteri Oury Bah mengatakan penyelidikan sedang dilaksanakan untuk mencari pihak yang bertanggung jawab. Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Bah sekaligus mengucapkan belasungkawa.
Sementara itu, Bah juga menjanjikan dukungan medis dan psikologis penuh kepada korban luka.
Federasi Sepak Bola Guinea, Feguifoot, menyebut tragedi tersebut sebagai “derita mendalam”. Organisasi itu mengatakan seharusnya sepakbola ditujukan untuk “menyatukan hati dan mendekatkan pikiran”, bukannya menyebabkan “tragedi dan kesedihan”.
“Semoga arwah para korban beristirahat dengan tenang di surga,” kata Patrice Motsepe, ketua Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF).
Baca juga:
Guinea dan sejumlah negara Afrika lainnya, seperti Ethiopia, Gambia, Chad, serta Sierra Leone saat ini dilarang menyelenggarakan pertandingan sepak bola internasional oleh Konferensi Sepak bola Afrika atau CAF lantaran tempat penyelenggaraan di negara-negara tersebut tidak memenuhi standar internasional.
Akibatnya, saat Guinea bertanding dalam kualifikasi Piala Afrika baru-baru ini, negara itu menjadikan Pantai Gading sebagai tempat untuk menggelar partai kandang.
Sakouvagi menyebut stadion tempat terjadinya tragedi hari sedianya belum rampung sejak mulai dibangun puluhan tahun lalu.
Intrik politik dan tuduhan korupsi
Intrik politik juga melatari tragedi tersebut. Pertandingan hari Minggu merupakan bagian dari turnamen untuk menghormati Presiden Mamady Doumbouya, yang merebut kekuasaan melalui kudeta pada bulan September 2021.
Pihak oposisi menyebut pertandingan tersebut merupakan bagian dari kampanye pencalonan presiden berikutnya.
Sehari setelah pertandingan, kelompok oposisi Aliansi Nasional untuk Perubahan dan Demokrasi juga menuduh pihak berwenang memiliki “tanggung jawab besar atas peristiwa serius ini”.
Pemerintah Guinea belum menanggapi tuduhan ini.
Dalam beberapa bulan terakhir pengawasan ketat diterapkan pada tokoh-tokoh berpengaruh di sepak bola Guinea.
Pada bulan Juli, Aboubacar Sampil, yang merupakan presiden Feguifoot, diperiksa dalam kasus korupsi dan kekerasan dalam sepak bola.
Koleganya menuduh Sampil, yang juga memimpin dewan direksi tim lokal ASK, memfasilitasi aksi kekerasan dan mencoba memengaruhi wasit saat ASK ketinggalan 0-1 dari Milo FC.
Milo FC kemudian terpaksa meninggalkan lapangan walau pertandingan belum selesai. Namun, klub itu mengalami kesulitan meninggalkan lapangan dengan aman, menurut dokumen yang diajukan ke badan etik Feguifoot.
Hal lainnya, Sampil dituduh mengabaikan protokol keamanan. Sampil selalu membantah tudingan-tudingan kepadanya.
Lihat Video ‘Momen Mencekam Bentrokan Suporter Sepakbola di Guinea, 56 Tewas’:
(ita/ita)