Probolinggo (beritajatim.com) – Warga Pulau Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, masih memegang teguh tradisi spiritual jelang keberangkatan ibadah haji. Tradisi yang dikenal dengan sebutan Nyareh Bektoh ini menjadi simbol kuat kearifan lokal yang mengiringi perjalanan menuju Tanah Suci.
Nyareh Bektoh secara harfiah berarti meminta petunjuk tentang waktu terbaik untuk memulai perjalanan haji. Dalam pelaksanaannya, para calon jamaah haji (CJH) meminta waktu keberangkatan yang dianggap membawa berkah kepada para tokoh agama atau kiai. Waktu yang dipilih melalui tradisi ini diyakini akan memberikan kelancaran dan keselamatan selama menjalani ibadah di tanah suci.
Sebanyak 14 CJH asal Gili Ketapang telah diberangkatkan menuju Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo. Suasana pelepasan berlangsung khidmat dan penuh suka cita. Kapal-kapal nelayan yang mengantar para jamaah dihias sedemikian rupa sebagai lambang kebahagiaan dan doa restu dari masyarakat.
Abdurrahman Wahid (28), salah satu CJH, mengaku berangkat bersama ibunya sesuai waktu yang disarankan oleh kiai. “Kami percaya bahwa memulai perjalanan dengan waktu yang tepat membawa berkah dan kelancaran selama ibadah,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan rasa syukurnya karena akhirnya bisa menunaikan ibadah haji setelah menanti selama 13 tahun. “Rasanya haru dan penuh syukur, apalagi bisa berangkat bersama ibu saya,” tambahnya.
Ungkapan serupa juga disampaikan oleh Taufik Hidayat (45), yang berangkat haji bersama istri dan anaknya. “Ini bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga spiritual. Tradisi ‘Nyareh Bektoh’ menjadi awal penting dari perjalanan suci ini,” katanya.
Sebelum menuju Asrama Haji Sukolilo Surabaya, seluruh CJH dari Kabupaten Probolinggo terlebih dahulu berkumpul di miniatur Ka’bah yang berada di Desa Curahsawo, Kecamatan Gending. Lokasi ini dijadikan titik awal simbolis pelepasan para jamaah.
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Kabupaten Probolinggo, Ahmad Zaini, menyampaikan bahwa tahun ini terdapat 894 CJH asal Probolinggo yang terbagi ke dalam tiga kelompok terbang (kloter). “Mereka terbagi dalam tiga kloter dengan jadwal masuk asrama berbeda, tergantung zona pemberangkatan,” ujarnya.
Ia juga memberikan apresiasi terhadap pelestarian tradisi lokal di Gili Ketapang. “Tradisi seperti ini memperkuat nuansa religius dan kebersamaan, sehingga memberikan semangat spiritual lebih bagi para jamaah,” tutup Zaini. [ada/suf]
