Topik: TKDN

  • Tarif Trump Ancam RI, DPR Desak Pemerintah Perkuat Industri Lokal!

    Tarif Trump Ancam RI, DPR Desak Pemerintah Perkuat Industri Lokal!

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah harus memperkuat industri lokal sebagai respons terhadap kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada Rabu (2/4/2025) lalu.

    Diketahui, Indonesia terkena tarif timbal balik AS sebesar 32%. Besaran tarif itu terkait dengan defisit perdagangan AS ke RI yang menurut data mencapai US$ 14,34 miliar pada tahun 2024.

    “Sebaiknya pemerintah fokus dengan kondisi dalam negeri, penguatan industri kita, sebab sekarang semua negara akan mencari pasar besar untuk ekspor produk mereka dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama. Itu concern kita,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty kepada wartawan, Sabtu (5/4/2025).

    “Industri kita akan semakin tertekan dan taruhannya tenaga kerja,” tambahnya.

    Evita menilai bahwa memperkuat industri dalam negeri bisa dilakukan dengan terus mendorong peningkatan daya saing produk lokal, salah satunya lewat pemberian insentif bagi sektor industri yang terdampak kebijakan tarif.

    Menurutnya, langkah ini penting agar industri yang terkena imbas tarif Trump tetap mampu bersaing.

    Evita menuturkan, penting untuk meningkatkan kualitas produk ekspor dan mendorong hilirisasi industri guna menghasilkan ekspor bernilai tambah tinggi.

    Ia juga menekankan perlunya konsistensi dalam mengembangkan substitusi impor agar ketergantungan terhadap bahan baku atau barang impor dapat dikurangi.

    Lebih lanjut, Evita turut menyoroti pentingnya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai mampu memperkuat industri nasional, meningkatkan daya saing, serta membuka peluang terciptanya lapangan kerja.

    Di samping itu, ia menekankan perlunya langkah cepat dan strategis dari pemerintah, seperti melakukan negosiasi dan diplomasi perdagangan dengan AS guna mencari solusi terbaik, termasuk kemungkinan perundingan ulang tarif.

    “Kita meminta komunikasi terus dilakukan dengan pemerintah AS di berbagai tingkatan, melakukan negosiasi langsung dan menyiapkan langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh pemerintah AS,” tegasnya.

    Ia menekankan bahwa kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) memiliki peran penting dalam memperkuat industri nasional.

    Dengan mendorong penggunaan komponen lokal, TKDN diyakini dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri serta membuka lebih banyak peluang kerja bagi masyarakat.

    Ia menegaskan, penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas tujuan ekspor ke negara-negara lain, seperti Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika.

    Ia juga menekankan perlunya percepatan perjanjian dagang dengan negara mitra guna membuka peluang ekspor baru.

    Saat ini, produk ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada pasar AS, terutama untuk komoditas seperti elektronik, pakaian, alas kaki dan hasil perikanan.

    Selain AS, China dan India juga menjadi pasar utama. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ketiganya menyumbang 42,94% dari total ekspor nonmigas Indonesia pada 2024.

    Evita menekankan bahwa meskipun hubungan dagang Indonesia dengan China dan India relatif baik, langkah diversifikasi pasar tetap diperlukan.

    Anggota DPR dari fraksi PDIP itu menegaskan pentingnya mencari pasar ekspor baru sebagai upaya antisipasi agar Indonesia tetap aman jika terjadi gangguan seperti dampak dari kebijakan tarif Trump terhadap produk ekspor.

  • Dampak Kebijakan Trump, Ekspor Peralatan Listrik RI ke AS akan Tertekan, Pasar Domestik Terancam – Halaman all

    Dampak Kebijakan Trump, Ekspor Peralatan Listrik RI ke AS akan Tertekan, Pasar Domestik Terancam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekspor peralatan listrik dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) berpotensi tertekan imbas kebijakan tarif impor timbal balik atau ‘Reciprocal Tarrifs’ dari Amerika Serikat (AS) ke Indonesia.

    Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif timbal balik, yaitu bea masuk tambahan sebesar 10 persen yang akan berlaku mulai 5 April 2025.

    Kemudian, ada tarif tambahan spesifik per negara yang akan berlaku mulai 9 April 2025. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen.

    Ketua Umum Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI) Yohanes P. Widjaja meminta pemerintah untuk segera bernegosiasi dengan AS terkait tarif impor produk kelistrikan.

    Penerapan tarif impor oleh AS beberapa hari lalu dinilai akan berdampak negatif terhadap potensi ekspor bagi produk kelistrikan dari Indonesia.

    Menurut Yohanes, beberapa tahun terakhir Indonesia mendapat kesempatan ekspor ke AS serta beberapa negara lainnya untuk produk peralatan listrik.

    Produk itu antara lain Transformator Tenaga, Transformator Distribusi, Panel Listrik Tegangan Menengah, Panel Listrik Tegangan Rendah, dan Meter Listrik (kWh Meter).

    “Produk peralatan listrik dari Indonesia secara kualitas sudah mampu untuk bersaing di pasar International dan kami membutuhkan kehadiran pemerintah untuk mempertahankan industri lokal,” kata Yohanes dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).

    Dampak Negatif Lain   

    Dampak negatif lainnya, kata Yohanes, adalah potensi pasar Indonesia dibanjiri produk dari negara yang juga terkena tarif impor dari Amerika Serikat.

    Produk-produk itu ditengarai masuk ke Indonesia dengan cara dumping.

    Yohanes memandang hal itu dapat membawa dampak yang luar biasa besar di dalam negeri seperti yang dialami produk tekstil.

    Industri lokal disebut dapat tumbang dan Indonesia akhirnya kehilangan kesempatan menjadi negera manufaktur.

    Saat ini kondisinya adalah produk-produk dari Asia Tenggara, China, dan India dikenakan bea masuk 0 persen. 

    Sementara itu, negara-negara tersebut sudah mampu untuk menghasilkan produk peralatan listrik mereka sendiri.

    Mereka juga tidak mengandalkan bahan baku impor. Contohnya China, mereka sudah memiliki bahan baku yang melimpah, sehingga kecepatan dan daya saing mereka lebih unggul.

    Dengan mereka terkena tarif impor terbaru AS, Indonesia berpotensi menjadi tujuan mereka karena memiliki pasar yang besar.

    Jika kelak produk impor dari negara-negara tersebut tidak dibendung, lama kelamaan dapat membuat goyah produsen dalam negeri untuk beralih menjadi importir atau bahkan seluruhnya.

    Bila produsen dalam negeri akhirnya pada beralih menjadi importir, itu dapat mengakibatkan meningkatnya pengangguran.

    “APPI berharap pemerintah untuk mulai memikirkan dan merumuskan bagaimana untuk mengendalikan perdagangan di sektor swasta agar industri kelistrikan dalam negeri dapat tetap hidup,” ujar Yohanes.

    Kebijakan TKDN Dipertahankan

    Yohanes meminta agar kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespon kebijakan kenaikan BMI (Bea Masuk Impor) AS.

    Kebijakan TKDN dinilai terbukti ampuh meningkatkan permintaan produk manufaktur
    dalam negeri terutama dari belanja pemerintah.

    “Kebijakan TKDN juga telah memberi jaminan kepastian investasi dan juga menarik investasi baru ke Indonesia,” ucap Yohanes.

    Ia mengatakan, banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh pemerintah karena kebijakan TKDN ini.

    Pelonggaran kebijakan TKDN disebut malah akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia.

    Penerapan TKDN untuk proyek proyek yang bersumber dana APBN yang saat ini diterapkan oleh pemerintah dinilai sudah tepat guna melindungi produsen dalam negeri.

    “Hal tersebut juga diberlakukan di negera-negara lain di dunia,” kata Yohanes.

    Apabila Kebijakan TKDN RI dianggap sebagai salah satu penyebab terbitnya kebijakan BMI AS ini, Yohanes menyebut perlu adanya pembicaraan secara bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat.

    Pembicaraan perlu meliputi produk apa
    yang diinginkan oleh Amerika Serikat untuk tidak dikenakan kebijakan TKDN ini.

    Yohanes pun mendorong agar Pemerintah Indonesia merespon perang tarif dengan tarif
    juga.

    “Jangan isu perang tarif digeser pada isu NTM (Non Tariff Measure) atau NTB (Non Tariff Barrier). Kalau perlu, pemerintah Indonesia beri tarif masuk nol persen pada produk manufaktur kelistrikan AS,” ujarnya.

  • Tarif Impor Trump 32% Ancam Ekonomi Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan?

    Tarif Impor Trump 32% Ancam Ekonomi Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan?

    Jakarta: Indonesia menghadapi tantangan besar setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menerapkan kebijakan tarif impor sebesar 32 persen. 
     
    Keputusan ini bukan sekadar kebijakan perdagangan biasa, melainkan pukulan telak yang bisa mengguncang industri dalam negeri. 
     
    Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rachmat Gobel menegaskan pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia sebelum terlambat.

    “Hanya ada satu kalimat, mari kita jaga dan kita selamatkan Indonesia dari bahaya di depan mata kita,” ujar Gobel dalam keterangan tertulis dikutip Jumat, 4 April 2025.
     

    Gelombang PHK mengancam, rupiah terus melemah
    Kondisi industri dalam negeri sebenarnya sudah mengalami masa sulit jauh sebelum kebijakan ini diberlakukan. Deindustrialisasi perlahan menggerus sektor manufaktur, membuat banyak pabrik tutup dan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). 
    Kini, dengan tarif impor yang semakin tinggi, peluang ekspor produk Indonesia ke pasar Amerika Serikat semakin menyempit.
     
    “Dengan demikian, pengangguran bisa semakin meningkat. Pada sisi lain juga ada kecenderung nilai rupiah terus melemah terhadap sejumlah mata uang asing,” ungkap dia. 
     

    Gobel menyebutkan bahwa dampaknya bisa sangat luas. Jika ekspor Indonesia ke AS menurun drastis, maka banyak sektor industri yang akan kehilangan pasar, produksi akan melambat, dan pada akhirnya angka pengangguran pun meningkat. 
     
    Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terus menunjukkan tren melemah. Semua ini berpotensi menjadi kombinasi yang mematikan bagi perekonomian nasional.
    Saran untuk pemerintah hadapi tarif Trump
    Dia pun memberikan sejumlah saran menghadapi kebijakan Trump tersebut. Pertama, berikan kemudahan dan deregulasi perizinan bagi yang akan berinvestasi di Indonesia. Kedua, berikan insentif pajak dan tarif bagi dunia usaha. 
     
    Ketiga, jaga pintu-pintu masuk Indonesia dari barang selundupan. Keempat, melarang secara permanen impor tekstil dan produk tekstil bermotif kain tradisional Indonesia seperti batik, tenun, maupun sulam. 
     
    Kelima, melarang secara permanen impor pakaian bekas. Keenam, pemerintah membantu mencarikan pasar ekspor baru bagi industri Indonesia.
     

    Ketujuh, pemerintah harus melakukan perundingan dengan pemerintah Amerika Serikat untuk menurunkan tarif. Kedelapan, lindungi dan jaga pasar dalam negeri dari serbuan produk impor.
     
    Pada sisi lain, kata dia, kebijakan Trump tersebut akan membuat semua negara berlomba-lomba memberikan insentif bagi eksportir untuk mencari pasar baru, salah satunya Indonesia. Legislator asal Gorontalo itu menegaskan hal itu harus dicegah.
     
    “Barang-barang dari Tiongkok  dan Vietnam bisa banjir ke Indonesia. Ini yang harus dicegah. Kita harus melindungi pasar dalam negeri dari serbuan impor, salah satunya melalui penegakan aturan TKDN,” tutur dia. 
    Penguatan kondisi sosial
    Gobel mengingatkan pemerintah tentang pentingnya menjaga kondisi sosial. Penguatan solidaritas dan kepedulian sosial harus dilakukan. 
     
    “Mari kita sama-sama menjaga Indonesia. Jadikan momen ini sebagai kebangkitan. Tantangan dan ancaman kita ubah menjadi peluang untuk membangun spirit kebersamaan, cinta Tanah Air, dan perilaku bersih dari korupsi dan nepotisme,” ujar Dia.
     
    Sebelumnya, Presiden Trump mengenakan tarif baru ke sejumlah negara yang memiliki surplus ekspor ke Amerika Serikat dengan mengenakan  tarif hingga 32 persen. 
     
    Hal itu pasti berdampak besar bagi ekonomi Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat disebut Trump memberikan surplus bagi Indonesia, pada 2024 sebesar USD18 miliar.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Indonesia Hadapi Tarif Trump, Begini 4 Tuntutan Pengusaha Tekstil

    Indonesia Hadapi Tarif Trump, Begini 4 Tuntutan Pengusaha Tekstil

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang digulirkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mulai mengundang kekhawatiran industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Dua asosiasi besar di sektor ini, yakni Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), menyampaikan empat tuntutan kepada pemerintah demi melindungi industri dalam negeri dari dampak kebijakan tersebut.

    Menurut pernyataan resmi kedua asosiasi, kebijakan tarif dari AS ini akan mengubah peta perdagangan TPT dunia secara signifikan. Negara-negara produsen seperti China, India, Vietnam, Bangladesh, Myanmar, dan Kamboja diperkirakan akan mencari pasar baru, dan Indonesia berisiko besar menjadi target banjir produk impor murah.

    Oleh karenanya, API dan APSyFI meminta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor. Selain itu, mereka juga meminta agar kebijakan Persetujuan Teknis dalam pengaturan impor tetap diberlakukan, termasuk kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

    “Ekspor ke AS tidak ada kaitannya dengan aturan impor dan TKDN yang saat ini berlaku. Jadi jangan sampai ada pengenduran aturan dalam negeri hanya karena tekanan dari luar,” tegas mereka dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (4/4/2025).

    Mereka juga menyoroti pentingnya pemerintah merespons perang tarif dengan kebijakan tarif serupa, bukan dengan bergeser ke isu non-tarif seperti Non-Tariff Measures (NTM) atau Non-Tariff Barriers (NTB). Di sisi lain, menjaga keberlangsungan industri padat karya juga menjadi sorotan.

    “Mempertahankan industri tekstil padat karya ini penting untuk penyerapan tenaga kerja dan menjaga daya beli masyarakat,” tulisnya.

    Gunakan Kapas AS, Bukan Produk Jadinya

    Sementara itu, API dan APSyFI menilai peluang tetap terbuka bagi Indonesia untuk mengekspor ke AS dengan tarif rendah, asal memenuhi syarat menggunakan setidaknya 20% bahan baku dari AS. Karena AS tidak memproduksi benang atau kain, API dan APSyFI menyarankan agar industri tekstil dalam negeri menggunakan kapas asal AS, yang bisa dipadukan dengan serat polyester dan rayon produksi lokal.

    “Ini akan memperkuat industri TPT dari hulu ke hilir dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk jadi impor,” jelas mereka.

    Kendati demikian, data menunjukkan, dalam kondisi normal, industri TPT Indonesia membeli kapas dari AS senilai US$ 600 juta. Namun ironisnya, Indonesia justru mengimpor benang, kain, dan pakaian jadi dari China hingga mencapai US$ 6,5 miliar per tahun.

    “Impor dari China ini telah membunuh industri tekstil dalam negeri. Akibatnya, tingkat pemanfaatan mesin produksi kita hanya 45%,” ungkap mereka.

    Untuk industri pemintalan saja, dari total kapasitas 12 juta mata pintal, hanya 4 juta yang digunakan saat ini. Karena itu, mereka mendorong adanya negosiasi dagang yang lebih adil dengan AS.

    “Kami berharap pemerintah mendorong kerja sama dagang agar kita bisa mengimpor lebih banyak kapas dari AS sebagai trade-off, bukan justru membanjiri pasar dengan produk jadi yang mematikan industri lokal,” tambahnya.

    Tertibkan SKA, Hentikan Transshipment

    Tuntutan terakhir dari API dan APSyFI menyasar pada tata kelola ekspor-impor yang dinilai masih lemah, khususnya terkait penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Selama tiga tahun terakhir, diduga terjadi praktik transshipment, yakni produk asal China diekspor ke AS dengan SKA Indonesia.

    “Contohnya, lonjakan ekspor benang tekstur filament polyester dari Indonesia ke AS yang tidak wajar. Ini dilakukan oleh trader, bukan produsen. Tapi imbasnya, semua produsen Indonesia kena Bea Masuk Anti Dumping dari AS,” tegas mereka.

    Untuk itu, mereka meminta pemerintah menertibkan penerbitan SKA agar hanya berlaku untuk barang-barang yang benar-benar diproduksi di Indonesia.

    “SKA tidak boleh dipakai untuk melegalkan transshipment. Ini merugikan industri kita sendiri,” pungkasnya.

    (hsy/hsy)

  • Ada Kebijakan Tarif Baru Trump, Pemerintah Diminta Fokus Penguatan Industri Dalam Negeri – Halaman all

    Ada Kebijakan Tarif Baru Trump, Pemerintah Diminta Fokus Penguatan Industri Dalam Negeri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat dan strategis untuk meminimalisir dampak negatif tarif impor baru Amerika Serikat (AS), bahkan menjadikan momentum ini peluang bagi memperkuat sektor industri dalam negeri.

    “Saran kami sebaiknya pemerintah fokus dengan kondisi dalam negeri, penguatan industri kita, sebab sekarang semua negara akan mencari pasar besar untuk ekspor produk mereka dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama, ini yang menjadi concern kita,  industri kita akan makin tertekan, dan taruhannya tenaga kerja,” kata Evita. Jumat (4/4/2025).

    Hal itu disampaikan politisi PDI Perjuangan ini menanggapi kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Donald Trump. Indonesia terkena tarif timbal balik sebesar 32 persen. Besaran tarif itu terkait dengan defisit perdagangan AS ke RI yang menurut data mencapai 14,34 miliar dolar AS pada tahun 2024. 

    Menurut Evita, penguatan industri dalam negeri dapat dilakukan dengan konsisten meningkatkan daya saing produk lokal dengan memberikan insentif bagi industri yang terkena dampak tarif agar tetap kompetitif, meningkatkan kualitas produk ekspor, dan hilirisasi industri agar ekspor bernilai tambah tinggi. Kemudian konsisten mengembangkan substitusi impor agar ketergantungan terhadap bahan baku atau barang impor berkurang. 

    Termasuk dalam hal ini adalah mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang menjadi salah satu perisai industri yang bisa mendorong industri dalam negeri lebih kuat dan kompetitif, meningkatkan daya saing industri dalam negeri, dan membuka peluang untuk menciptakan lapangan kerja.

    Disamping itu, Evita  meminta pemerintah mengambil langkah cepat dan strategis diantaranya adalah melakukan negosiasi dan diplomasi perdagangan dengan AS untuk mencari solusi terbaik seperti perundingan ulang tarif. 

    “Kita meminta komunikasi terus dilakukan dengan pemerintah AS di berbagai tingkatan melakukan negosiasi langsung, dan menyiapkan langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh pemerintah AS,” katanya.

    Indonesia juga disarankan menggunakan forum internasional seperti WTO dan ASEAN untuk menekan AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tarifnya, serta berkoordinasi dengan negara-negara yang terkena dampak tarif untuk membentuk strategi bersama dan mendorong perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara yang lebih terbuka terhadap produk Indonesia.

    “Kita juga perlu untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas ekspor ke negara lain seperti Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika. Begitupun dengan upaya mempercepat perjanjian dagang dengan negara mitra untuk membuka peluang ekspor baru,” ucapnya.

    Diakui, produk ekspor Indonesia selama ini sangat mengandalkan pasar AS untuk produk mesin dan perlengkapan elektronik, pakaian dan aksesorisnya, alas kaki, palm oil, karet dan barang dari karet, perabotan, ikan dan udang, olahan daging dan ikan dan lainnya. Selain AS, dua negara lain yaitu China dan India juga menjadi pasar utama ekspor nonmigas Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada tahun 2024 tiga negara itu berkontribusi sebesar 42,94 persen dari total ekspor nonmigas nasional.

    “Dengan China dan India kita tampaknya cukup baik, tapi kita perlu mencari pasar baru dan membuka peluang ekspor baru sehingga ketika terjadi masalah produk ekspor kita tetap aman,” ujar Evita lagi.

  • Ada Kebijakan Tarif Impor Baru, Ini Cara Pengusaha RI Jaga Ekspor Tekstil ke AS Tetap Lancar – Halaman all

    Ada Kebijakan Tarif Impor Baru, Ini Cara Pengusaha RI Jaga Ekspor Tekstil ke AS Tetap Lancar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkap cara agar ekspor tekstil dari Indonesia bisa tetap lancar meski ada hambatan berupa kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat (AS).

    Presiden AS Donald Trump baru saja memberlakukan kebijakan tarif impor timbal balik atau ‘Reciprocal Tariffs’ terhadap Indonesia sebesar 32 persen. Kebijakan ini akan berlaku mulai 9 April 2025.

    Namun, Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa ekspor tekstil ke AS tetap bisa berjalan dengan tarif yang lebih rendah, asalkan pengusaha Indonesia memanfaatkan ketentuan tertentu.

    “Mereka punya peraturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Jadi kalau kita menggunakan minimal 20 persen local content-nya dari bahan baku yang kita ekspor, itu akan mendapatkan pemotongan tarif,” katanya dalam konferensi pers daring, Jumat (4/4/2025).

    Ia lalu mengungkap Indonesia pernah mengimpor kapas dari AS hingga mencapai 300 juta dolar AS, tetapi kini telah berkurang menjadi 140 juta dolar AS

    Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya produksi pakaian jadi dalam negeri, akibat pasar yang dibanjiri produk pakaian jadi impor.

    “Kita sudah terlalu banyak impor kain dan pasar kita dibanjirin oleh kain dan benang dari negara lain, termasuk impor pakaian jadi,” ujar Redma.

    Ia memandang kebijakan tarif impor AS ini bisa menjadi peluang untuk membangkitkan kembali industri tekstil dalam negeri.

    Caranya, Indonesia perlu terlebih dahulu meningkatkan kembali impor kapas dari AS atau dengan kata lain mengembalikan angkanya seperti dulu.

    Lalu, kapas yang diimpor itu perlu diolah di Indonesia, bisa dipintal, ditenun, atau dirajut di dalam negeri, kemudian dijadikan produk pakaian jadi.

    “Kita pasti akan dapat memenuhi peraturan 20 persen itu karena kan bahan baku itu kan sekitar 60 persen. Jadi itu kita sudah pasti dapat pengurangan biaya masuk dari Amerika Serikat,” ujarnya.

    Langkah ini, menurut Redma, akan memberikan keuntungan ganda bagi Indoensia.

    Selain mendapatkan pengurangan tarif dari AS karena mengimpor lebih banyak bahan baku, utilisasi industri pembuatan pakaian jadi dalam negeri juga akan meningkat.

    “Jadi ini kita bisa sekali kayuh, langsung dapat banyak sebetulnya, kalau kita mau serius untuk menyikapi hal ini,” ucap Redma. 

  • Ada Kebijakan Tarif Baru Trump, Pemerintah Diminta Fokus Penguatan Industri Dalam Negeri – Halaman all

    Pasca Kebijakan Tarif Baru Trump, Wakil Ketua Komisi VII Minta Fokus Penguatan Industri Dalam Negeri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Dr Evita Nursanty mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat dan strategis untuk meminimalisir dampak negatif tarif impor baru Amerika Serikat (AS), bahkan menjadikan momentum ini peluang bagi memperkuat sektor industri dalam negeri.

    “Saran kami sebaiknya pemerintah fokus dengan kondisi dalam negeri, penguatan industri kita, sebab sekarang semua negara akan mencari pasar besar untuk ekspor produk mereka dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama, ini yang menjadi concern kita, industri kita akan makin tertekan dan taruhannya tenaga kerja,” kata Evita, Jumat (4/4/2025). 

    Hal itu disampaikan politisi PDI Perjuangan ini menanggapi kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Donald Trump kemarin. 

    Indonesia terkena tarif timbal balik sebesar 32 persen.

    Besaran tarif itu terkait dengan defisit perdagangan AS ke RI yang menurut data mencapai US$14,34 miliar pada tahun 2024. 

    Menurut Evita, penguatan industri dalam negeri dapat dilakukan dengan konsisten meningkatkan daya saing produk lokal dengan memberikan insentif bagi industri yang terkena dampak tarif agar tetap kompetitif, meningkatkan kualitas produk ekspor, dan hilirisasi industri agar ekspor bernilai tambah tinggi. 

    Kemudian konsisten mengembangkan substitusi impor agar ketergantungan terhadap bahan baku atau barang impor berkurang. 

    Termasuk dalam hal ini adalah mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang menjadi salah satu perisai industri yang bisa mendorong industri dalam negeri lebih kuat dan kompetitif, meningkatkan daya saing industri dalam negeri, dan membuka peluang untuk menciptakan lapangan kerja.

    Disamping itu, Evita meminta pemerintah mengambil langkah cepat dan strategis diantaranya adalah melakukan negosiasi dan diplomasi perdagangan dengan AS untuk mencari solusi terbaik seperti perundingan ulang tarif. 

    “Kita meminta komunikasi terus dilakukan dengan pemerintah AS di berbagai tingkatan melakukan negosiasi langsung, dan menyiapkan langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh pemerintah AS,” katanya.

    Indonesia juga disarankan menggunakan forum internasional seperti WTO dan ASEAN untuk menekan AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tarifnya, serta berkoordinasi dengan negara-negara yang terkena dampak tarif untuk membentuk strategi bersama dan mendorong perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara yang lebih terbuka terhadap produk Indonesia.

    “Kita juga perlu untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas ekspor ke negara lain seperti Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika. Begitupun dengan upaya mempercepat perjanjian dagang dengan negara mitra untuk membuka peluang ekspor baru,” ujarnya.

    Diakui, produk ekspor Indonesia selama ini sangat mengandalkan pasar AS untuk produk mesin dan perlengkapan elektronik, pakaian dan aksesorisnya, alas kaki, palm oil, karet dan barang dari karet, perabotan, ikan dan udang, olahan daging dan ikan dan lainnya.

    Selain AS, dua negara lain yaitu China dan India juga menjadi pasar utama ekspor nonmigas Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada tahun 2024 tiga negara itu berkontribusi sebesar 42,94 persen dari total ekspor nonmigas nasional.

    “Dengan China dan India kita tampaknya cukup baik, tapi kita perlu mencari pasar baru dan membuka peluang ekspor baru sehingga ketika terjadi masalah produk ekspor kita tetap aman,” ujar Evita lagi.

     

     

  • Pengusaha Tekstil: Impor Kapas AS Jadi Kunci Negosiasi Pangkas Tarif Trump – Page 3

    Pengusaha Tekstil: Impor Kapas AS Jadi Kunci Negosiasi Pangkas Tarif Trump – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kelompok pengusaha yang bergelut di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan solusi pemakaian lebih banyak kapas impor Amerika Serikat. Sebagai senjata untuk bernegosiasi mengurangi pengenaan tarif impor resiprokal Presiden AS, Donald Trump kepada produk Indonesia sebesar 32 persen.

    Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswata mengatakan, kabinet Donald Trump menerapkan aturan tingkat pemakaian dalam negeri (TKDN) minimal 20 persen konten bahan baku kepada negara importir, agar bisa mendapat pemotongan tarif.

    “Mengingat AS tidak bisa menyediakan benang dan kain, maka dalam hal ini Indonesia harus lebih banyak menggunakan kapas AS yang dapat dikombinasikan dengan serat polyester dan rayon yang dipintal dan ditenun/dirajut di dalam negeri,” ujarnya dalam sesi konferensi pers virtual, Jumat (4/4/2025).

    Langkah tersebut dinilai tidak hanya bisa memotong pengenaan tarif impor Trump, tapi juga memperbaiki kinerja industri TPT nasional secara keseluruhan dari hulu sampai hilir. Sekaligus menekan laju importasi barang jadi.

    “Kalau kita bisa normalkan lagi linkage industri dari hulu ke hilir, ini bukan ancaman, tapi jadi peluang. Cara menormalkannya lagi, dengan menggunakan kapas Amerika Serikat lebih banyak,” kata Redma.

    “Di satu sisi kita impor kapas dari Amerika, mereka tidak bisa suplai benang dan kain. Jadi utilisasi di pemintalan akan naik, di tenun, rajut, semua akan naik. Jadi kita bisa sekali kayuh bisa dapat banyak, kalau kita serius sikapi ini,” tegasnya.

    Kurangi Impor China

    Lebih lanjut, ia memaparkan, industri TPT Indonesia dalam keadaan normal mengkonsumsi sekitar USD 600 juta kapas dari AS.

    Di sisi lain, Indonesia justru mengimpor benang, kain dan garment senilai USD 6,5 miliar dari China, yang diklaim malah mematikan industri TPT dalam negeri karena bersaing dengan tidak sehat. Mengakibatkan utilisasi mesin produksinya hanya sekitar 45 persen.

    “Khusus untuk industri pemintalan, dengan kapasitas 12 juta mata pintal terpasang, saat ini hanya digunakan 4 juta mata pintal. Karena itu kami mendorong pemerintah melakukan negosiasi resiprokal dengan AS, agar kita bisa mengimpor lebih banyak kapas sebagai trade off sekaligus mendorong impor produk-produk AS yang tidak dapat kita produksi,” pintanya.

     

  • Tarif Impor Trump Bikin Geger, Industri Keramik RI Bisa Bertahan? – Page 3

    Tarif Impor Trump Bikin Geger, Industri Keramik RI Bisa Bertahan? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengatakan sertifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan program 3 juta rumah, bisa melindungi pasar keramik domestik imbas pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia.

    Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menyatakan dengan program dan kebijakan sertifikasi tersebut akan secara langsung membuat permintaan keramik dalam negeri terjaga dari dampak kebijakan tarif AS.

    “Melalui sertifikasi TKDN yang telah terbukti efektif membantu penyerapan produk dalam negeri bagi industri keramik nasional. Selain itu Asaki mendesak Pemerintah Prabowo segera menjalankan program 3 juta rumah yang akan memberikan banyak multiplier effect bagi industri-industri bahan bangunan,” katanya dikutip dari Antara, Jumat (4/4/2025).

    Ia mengharapkan pemerintah konsisten mendorong penerapan alokasi belanja kementerian/lembaga melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), serta meminta program 3 juta rumah dijalankan, karena turut memacu sektor ubin keramik, sanitary ware, dan genteng keramik.

    Lebih lanjut, Edy mengatakan pihaknya mengharapkan atensi pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap industri domestik, mengingat adanya potensi pengalihan ekspor produk-produk negara lain yang tidak bisa tembus ke pasar AS setelah penerapan tarif resiprokal.

    Ia menyampaikan bahwa Asaki mengkhawatirkan adanya banjir produk keramik dari India, mengingat negara tersebut selama ini menjadi eksportir keramik terbesar di AS setelah keramik dari China dikenakan tarif antidumping 200-400 persen.

    “Untuk itu Asaki akan mempersiapkan segera pengajuan antidumping untuk keramik dari India yang naik signifikan dari tahun ke tahun sebesar ratusan persen,” ujarnya.

     

  • Tarif Trump Ancam Industri Nasional, RI Berpotensi Dibanjiri Barang Impor – Halaman all

    Tarif Trump Ancam Industri Nasional, RI Berpotensi Dibanjiri Barang Impor – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif impor baru bertajuk Reciprocal Tariffs atau dijuluki Tarif Trump, menjadi pukulan keras bagi sejumlah negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.

    Nantinya, produk utama ekspor Indonesia mencakup sektor-sektor unggulan seperti elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, udang, dan produk-produk perikanan laut, bakal terdampak dari kebijakan tersebut.

    Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), Edi Rivai mengatakan, dalam menghadapi situasi ini, INAPLAS menekankan pentingnya perlindungan pasar domestik untuk menjaga daya saing industri Indonesia, terutama di sektor kimia dan petrokimia yang merupakan industri strategis bagi sektor industri lainnya.

    “Dengan posisi Indonesia yang memiliki pasar besar dan daya beli yang relatif kuat, negara ini berpotensi menjadi tujuan ekspor bagi banyak negara yang terkena dampak kebijakan tarif AS. Hal ini dapat menyebabkan banjir barang impor yang dapat merugikan industri dalam negeri, mengancam keberlangsungan dan daya saing sektor-sektor strategis seperti kimia dan petrokimia,” ujar Edi dalam keterangannya, Jumat (4/4/2025).

    Ia menyebut, banjir produk impor bukan sekadar isu perdagangan biasa, melainkan ancaman langsung terhadap kelangsungan manufaktur nasional. Tanpa kebijakan proteksi yang memadai, industri nasional bisa tergulung barang impor murah yang membanjiri pasar.

    INAPLAS juga menegaskan, pemerintah harus segera mengantisipasi dengan kebijakan perlindungan pasar yang tegas. Salah satunya adalah dengan mempercepat proses penyelidikan anti-dumping dan safeguard oleh Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) dan Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). 

    “Dengan langkah cepat dan responsif, Indonesia dapat mencegah kerugian lebih jauh di sektor industri nasional atas pasar alternatif oleh negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina ke Indonesia sebagai dampak kebijakan tariff Presiden Trump,” ujar Edi.

    Selain itu, INAPLAS juga menekankan pentingnya mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 

    “Kebijakan TKDN harus dipertahankan sebagai fondasi utama kemandirian industri nasional. Bagi sektor kimia dan petrokimia, penerapan TKDN bukan hanya soal keberpihakan, tapi juga strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor, memperkuat penggunaan bahan baku lokal, dan membangun ekosistem industri yang berkelanjutan yang sekaligus dapat menyerap tenaga kerja di Indonesia,” ujar Edi.

    Pemerintah juga didorong mengembalikan 12 pos tarif HS Code 39 yang sebelumnya telah dihapus sebelumnya dalam kebijakan pengendalian barang import Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023

    ”Kami mendorong pemerintah untuk segera mengembalikan 12 pos tarif HS Code 39 seperti pada Permendag No. 36 Tahun 2023 yang dihapus melalui Permendag 8 Tahun 2024 . Kode-kode harmonisasi tarif ini berkaitan erat dengan bahan baku plastik dan sangat strategis bagi keberlangsungan industri dalam negeri,” paparnya.

    “Penghapusannya membuka keran impor produk substitusi yang melemahkan industri lokal. Dengan pemulihan HS Code ini, kami yakin daya saing industri plastik nasional dapat tetap terjaga di tengah gempuran produk asing,” tambah Edi.

    INAPLAS pun mengusulkan agar pemerintah mempertahankan tarif impor dari Amerika Serikat.  Sebab, barang-barang dari AS kini tidak dapat bersaing secara harga dengan produk dalam negeri yang cenderung lebih efisien. 

    Dengan tetap menerapkan tarif terhadap produk AS, Indonesia tidak hanya menunjukkan sikap resiprokal terhadap kebijakan Trump, tetapi juga memperkuat perlindungan terhadap pasar domestik yang belum pulih, serta kepastian pasar dalam upaya memperkuat iklim investasi hilirisasi sektor petrokimia pemenuhan kebutuhan domerstik dalam negeri.

    “Surplus kita tidak terlalu besar, komoditi paling banyak elektrik dan tekstil, sehingga kita tidak perlu gegabah turunkan tariff dengan tetap mempertahan tarif MFN bahan baku plastik. Sehingga kita tetap mempertahankan ketahanan industri pasar domestik dan menjaga iklim investasi sektor hilirisasi petrokimia yang tengah dibangun,” ujar Edi.

    Kekhawatiran serupa juga datang dari Wakil Ketua DPR  Sufmi Dasco Ahmad. Ia menegaskan bahwa AS adalah mitra dagang yang penting. 

    “Amerika Serikat adalah mitra dagang penting untuk Indonesia. Kita harus melaksanakan diplomasi perdagangan dengan baik,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

    Dasco memperingatkan agar Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan barang-barang dari negara-negara lain yang tidak bisa masuk ke pasar Amerika. 

    Menurutnya, jika hal ini tidak diantisipasi, maka proses hilirisasi yang tengah dibangun pemerintah bisa terancam gagal. 

    “Ini sangat berbahaya untuk produk industri Indonesia dan bisa menggagalkan proses hilirisasi kita. Kita musti jaga bersama kepentingan nasional ini bersama antara pemerintah, swasta, eksekutif, legislatif, dan penegak hukum,” tegas Dasco.

    Diketahui, Donald Trump memberlakukan tarif dasar 10 persen untuk semua produk impor ke Amerika Serikat serta bea masuk yang lebih tinggi untuk belasan mitra dagang terbesar negara tersebut. 

    Vietnam terkena tarif timbal balik resiprokal tertinggi 46 persen, sementara Indonesia terkena tarif 32 persen.