Topik: TKDN

  • Bertolak ke AS, Ini Strategi Indonesia Hadapi Tarif Impor Trump

    Bertolak ke AS, Ini Strategi Indonesia Hadapi Tarif Impor Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Tim lobi tingkat tinggi Indonesia bakal melawat ke Amerika Serikat (AS) untuk merespons kebijakan tarif impor 32% yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sejumlah strategi pun disiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi tarif impor Trump.

    Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, tim lobi tingkat tinggi Indonesia akan melakukan negosiasi dengan otoritas Amerika Serikat pada 16-23 April 2025. Delegasi Indonesia akan dipimpin oleh Menko Airlangga, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    Dalam pertemuan penting itu, delegasi Indonesia akan bertemu berbagai pejabat tinggi AS, termasuk perwakilan dari United States Trade Representative (USTR), Kementerian Perdagangan (Secretary of Commerce), Kementerian Luar Negeri (Secretary of State), dan Kementerian Keuangan AS (Secretary of Treasury).

    Menurut Airlangga, pemerintah sudah mempersiapkan dokumen non-paper yang cukup komprehensif untuk menghadapi tarif Trump.

    “Baik itu yang berkait dengan tarif, non-tariff measures (NTMs) atau non-tariff barriers (NTB), juga terkait dengan investasi dan secara resiprokal apa yang Indonesia minta di dalam kerja sama beyond perdagangan. Jadi trade investment dan di sektor keuangan,” kata Airlangga dalam konferensi pers, Senin (14/4/2025).

    Strategi Indonesia Hadapi Tarif Impor Trump

    Untuk menghadapi tarif impor Trump, Airlangga mengatakan tim lobi akan menyeimbangkan selisih nilai ekspor dan impor (delta) dalam neraca perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah meningkatkan impor dari AS.

    Beberapa komoditas yang didorong untuk peningkatan impor, yakni liquefied natural gas (LNG), liquefied petroleum gas (LPG), hingga kapas, dan kedelai. Namun, Airlangga tak merincikan besaran impor yang akan ditingkatkan Indonesia dari AS.

    “Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia,” ungkap Airlangga.

    Airlangga juga menyatakan bahwa Indonesia akan meningkatkan investasi di Negeri Paman Sam. RI pun siap melakukan deregulasi kebijakan non-tariff measure melalui relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi dari AS.

    Dalam negosiasi dengan AS, pemerintah juga berencana menerapkan relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk-produk tertentu dari AS.

    “Ada tarif, ada PPN, ada non-tarif. Jadi itu menjadi bagian dari negosiasi,” imbuh Airlangga.

    Airlangga menyatakan bahwa misi negosiasi Indonesia di AS bukan untuk menurunkan tarif impor terhadap produk-produk AS. Dia menilai bahwa tarif yang ditetapkan RI sudah rendah.

    Namun, langkah-langkah yang disiapkan dalam negosiasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk AS di pasar Indonesia dan menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi ketegangan dagang, termasuk menurunkan tarif impor 32% dari Trump.

    “Sebetulnya maksimum dengan Amerika kita punya tarif 5%. Jadi yang kita impor, tarifnya 5%, sehingga mereka lebih mengarah kepada non-tariff barriers. Tarif itu sudah turun banget. Jadi tarif itu sudah semua mendekati 0%,” pungkasnya terkait strategi Indonesia hadapi tarif impor Trump.

  • Daikin Industries Indonesia Raih Sertifikat TKDN – Page 3

    Daikin Industries Indonesia Raih Sertifikat TKDN – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Produsen pendingin ruangan (AC) PT Daikin Industries Indonesia (DIID) menerima Sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dari Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Bahan dan Barang Teknik (BBSPJIBBT). Sertifikat ini merupakan bentuk dukungan ke program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

    Presiden Direktur PT Daikin Industries Indonesia Boonthavee Khamhaeng menjelaskan, pencapaian nilai TKDN ini merupakan wujud nyata kontribusi Daikin dalam membangun kemandirian industri nasional.

    “Dengan pabrik yang memproduksi langsung dari bahan baku hingga produk jadi, kami memastikan sebagian besar komponen berasal dari dalam negeri. Fasilitas produksi baru ini juga menyediakan lapangan kerja baru, serta memberdayakan komunitas setempat melalui kegiatan Corporate Social Responsibility yang telah dilakukan pada awal tahun 2025,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025).

    Direktur PT Daikin Industries Indonesia Budi Mulia menambahkan, kehadiran pabrik baru Daikin di Indonesia menjadi tonggak penting dalam memperkuat industri manufaktur dalam negeri, terutama dalam sektor elektronik dan pendingin ruangan. Ia menjelaskan bahwa pabrik ini dioperasikan oleh tenaga kerja dalam negeri serta menggunakan sebagian besar komponen bahan baku lokal, sekaligus merangkul usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai bagian dari rantai pasok perusahaan.

    Dengan diraihnya sertifikasi TKDN, Daikin semakin termotivasi untuk terus meningkatkan kandungan lokal dalam setiap produk AC rumah tangga yang diproduksi di Indonesia. Ia juga berharap, dengan dukungan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan, industri dalam negeri semakin mampu memenuhi spesifikasi dan standar komponen yang dibutuhkan pasar global.

    “Harapan kami, AC Daikin made in Indonesia ini akan menjadi pilihan utama konsumen. Produk AC rumah tangga yang kami produksi hanya menggunakan refrigeran R32 yang lebih rendah emisi karbon. Konsumen juga tidak perlu khawatir dengan dukungan layanan purna jual resmi Daikin yang sudah tersebar di seluruh kota di Indonesia”, lanjut Budi Mulia.

     

  • Menkomdigi Blak-blakan Strategi Hadapi Efek Tarif Trump, Ini Bocorannya

    Menkomdigi Blak-blakan Strategi Hadapi Efek Tarif Trump, Ini Bocorannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyiapkan paket kebijakan di sektor digital sebagai alat negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) usai Presiden Donald Trump menetapkan kebijakan tarif baru.

    Paket kebijakan yang dimaksud yaitu terkait dengan relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN), data center, free flow data dan kabel bawah laut (subsea cable)

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengaku sudah melakukan komunikasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan industri digital yang bisa diberikan relaksasi.

    “Tentu kita akan lihat dulu [wacana relaksasi]. Tetap kita kaji, jadi tim kami sekarang sedang mengkaji mana (industri) yang bisa relaksasi,” kata Meutya dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia, Jumat (11/4/2025).

    Terkait dengan rencana relaksasi TKDN, dia mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan agar kebijakan TKDN dibuat lebih fleksibel.

    “Soal TKDN, pada dasarnya kita tidak menurunkan, tetapi instruksi Presiden agar TDKN fleksibel. Itu mungkin yang paling capat dilakukan saat ini,” ujarnya.

    Data Center

    Lebih lanjut, Meutya menjabarkan terkait dengan bisnis data center, pemerintah mendapatkan masukan soal revisi Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

    Meutya menuturkan para investor menginginkan adanya kelonggaran dalam aturan data center yang tertuang dalam PP tersebut. Di mana, dalam pasal 20 ayat 2 dikatakan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik wajib melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia.

    Meskipun, pada ayat 3 disebutkan PSE bisa melakukan pengolahan data di luar wilayah Indonesia, jika teknologi penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.

    Selain soal PP 71, Meutya mengatakan bahwa investor data center juga mengeluhkan masalah perizinan dan cross country data atau data lintas negara.

    “Ini bukan hanya karena permintaan dari perusahaan Amerika saja, tapi kita melihat supaya kita juga kompetitif in that area, data center yang sekarang, kita ada agak di belakang negara tetangga,” ujar Meutya.

    Kemudian, untuk relaksasi aturan di bisnis free flow data. Meutya menyebut free flow data merupakan salah satu yang akan dibawa dalam pembicaraan terkait tarif impor.

    Adapun, free flow data atau aliran data bebas dengan kepercayaan (DFFT) adalah konsep yang mendorong pertukaran data tanpa hambatan, sambil memastikan kepercayaan terhadap privasi, keamanan, dan hak kekayaan intelektual.

    Lebih lanjut, untuk relaksasi aturan bisnis kabel bawah laut (subsea cable), Meutya menuturkan bahwa rancangan ini baru masuk dan baru dikomunikasikan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

    Subsea cable adalah kabel yang dipasang di dasar laut atau perairan besar untuk menghubungkan dua daratan. Kabel ini dapat digunakan untuk menyalurkan listrik atau data.

    Di Indonesia, beberapa perusahaan yang terlibat dalam pembangunan kabel laut di Indonesia adalah PT PLN, Telkom, dan Indosat. Namun, kabel serat bawah laut kerap mengalami gangguan karena tertarik oleh rumpon alat penangkap ikan. 

    Negosiasi Lanjutan

    Meski sudah ada rencana untuk memberikan relaksasi terhadap sejumlah sektor industri digital, Meutya mengatakan bahwa usulan tersebut masih akan dikaji untuk dibawa ke negosiasi lanjutan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.

    Politikus partai Golkar ini menuturkan bahwa pada pekan depan akan kembali dilakukan negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan perwakilan Amerika Serikat untuk membahas tarif impor.

    “Karena rencananya kan mungkin 17 April ada pembicaraan lagi dengan pihak Amerika Serikat,” ungkapnya.

  • Investor Pabrik Smartphone Cs Minta Kebijakan TKDN Pertahankan

    Investor Pabrik Smartphone Cs Minta Kebijakan TKDN Pertahankan

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) meminta pemerintah untuk mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk melindungi industri yang telah berinvestasi di Tanah Air. 

    Sekretaris Jenderal AIPTI Joegianto mengatakan pihaknya melihat TKDN sebagai salah satu bentuk non-tariff measures (NTM) atau kebijakan non-tarif dalam perdagangan internasional untuk menjaga daya industri lokal. 

    “Yang diharapkan oleh pengusaha HKT [handphone, komputer, tablet] itu tetap dipertahankan, sedangkan untuk TKDN yang memang tidak diperlukan, bisa deregulasi,” kata Joegianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (13/4/2025). 

    Di satu sisi, menurut dia, TKDN menjadi salah satu tantangan bagi investor asing untuk menanamkan modal di dalam negeri. Sebab, TKDN membutuhkan biaya tambahan yang cukup besar. 

    Sementara, bagi Indonesia yang minim hambatan perdagangan, TKDN merupakan penolong bagi industri agar dapat bersaing dengan produk asing di pasar domestik. 

    AIPTI merespons rencana pemerintah yang akan membuat TKDN lebih fleksibel. Dia meyakini bahwa TKDN tidak akan dihilangkan, tapi pemerintah akan mengatur ulang kebijakan tersebut. 

    “Yang mau diungkapkan pemerintah, mungkin itu TKDN yang menjadi hurdle. Hurdle itu kayak halangan-halangan yang menyertai bisnis di Indonesia, supaya kita lebih bersaing,” tuturnya.

    Namun, dia menuturkan, TKDN telah menarik investasi asing untuk membangun fasilitas produksi dalam negeri. Di Indonesia, terdapat 2 komoditas yang memiliki nilai TKDN tinggi yaitu otomotif lebih dari 80% dan industri telematika, termasuk handphone, komputer genggam, dan komputer tablet (HKT) di kisaran 40%. 

    Apabila kebijakan TKDN dari kedua produk tersebut dilonggarkan, secara tidak langsung produk impor akan dengan mudah masuk dan meramaikan pasar domestik. Sementara, struktur biaya produksi dalam negeri dinilai masih tinggi dan belum dapat bersaing dengan produk impor yang murah. 

    Dia menerangkan, misalnya biaya Postel sekitar Rp60 juta, biaya uji Specific Absorption Rate (SAR) Rp250 juta, TKDN Rp30-50 juta. Itu merupakan biaya yang harus ditanggung diluar biaya produksi. 

    “Pertanyaannya ini HKT ini, kalau dibiarkan import utuh, ya sudah selesai, pegawainya yang perakitan handphonenya Samsung, pegawainya Vivo hilang semua, saya rasa enggak mungkin pemerintah membiarkan itu terjadi,” jelasnya. 

    Namun, dia mendukung jika pemerintah mau memberikan kemudahan dalam importasi yang sifatnya bahan baku industr. Sebab, tak dapat dipungkiri masih ada beberapa bahan dasar yang belum ada di Indonesia. 

  • CT hingga Para Ekonom Sepakat! Indonesia Butuh Reformasi Ekonomi

    CT hingga Para Ekonom Sepakat! Indonesia Butuh Reformasi Ekonomi

    Jakarta, CNBC Indonesia — Kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat peta ekonomi dunia berubah seketika. Hal ini bahkan telah memacu eskalasi perang dagang antara negara tersebut dengan China. 

    Chairman CT Corp Chairul Tanjung mengatakan kebijakan tarif tinggi Trump yang menyasar semua negara pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Jika tidak diantisipasi, maka akan berdampak signifikan yang berujung pada lesunya ekonomi dalam negeri.

    “Kalau kita tidak cepat melakukan reform, maka kita masuk dalam karakter yang namanya circle down on economy,” ujarnya dalam diskusi panel The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Menurutnya, peningkatan tarif tersebut akan langsung berdampak kepada permintaan yang menurun. Hal tersebut akan membuat harga komoditas ikut melemah, padahal ekonomi Indonesia sangat bergantung pada komoditas.

    “Kedua, pertumbuhan ekonomi turun akan berlaku juga untuk turunnya investasi. Nah, kalau investasi turun, harga komoditas turun, fiskal kena pengaruhnya. Yang akan terjadi adalah pemerintah dunia usaha akan melakukan yang namanya radical efficiency. Ini akan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, berpengaruh terhadap layoff,” tuturnya.

    Menurutnya, dampak tarif Trump akan menghantam ekonomi global sehingga terjadi pelemahan. Hal itu akan dimulai dengan permintaan global yang turun sehingga berdampak pada harga komoditas.

    “Kita lihat harga minyak sudah turun, harga timur yang paling parah turunnya, sampai 17% hanya dalam waktu satu minggu. Yang naik hanya emas. Kenapa emas naik? Karena dia adalah pengganti, currency safe haven,” tuturnya.

    Menurutnya, dengan kondisi Indonesia yang sangat bergantung pada komoditas, maka perlu dilakukan langkah strategis agar pengaruhnya tidak membuat ekonomi dalam negeri jatuh terlalu dalam.

    CT menambahkan bahwa pada saat seperti ini, pemerintah harus tepat dalam memilih kebijakan, terutama terkait efisiensi anggaran, karena jika efisiensi salah sasaran maka akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

    Dalam hal itu, CT menyatakan dukungan atas langkah pemerintah yang melakukan efisiensi anggaran, tetapi pihaknya mengatakan bahwa efisiensi dilakukan untuk kegiatan yang dinilai tidak terlalu penting.

    “Saya setuju betul dan mendukung, penghematan itu perlu, tapi yang memang tidak diperlukan, jangan yang diperlukan, dilakukan penghematan,” katanya.

    Menurutnya, semasa masih menjadi bagian dari pemerintahan era Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia mendapatkan arahan jelas dari Kepala Negara.

    “Saya waktu masih di pemerintahan era SBY, mendapat guidance, biarkan kantong pemerintah tipis, tetapi kantong rakyat tetap tebal,” ujar Chairul.

    Artinya pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat agar stabil dengan cara tidak memotong-motong kebijakan, terutama untuk melindungi para pelaku usaha lokal di dalam negeri.

    “Nah kalau dipotong-potong yang khususnya yang di dalam negeri ini itu berakibat daya belinya juga akan turun, dan kalau daya beli turun, ya, itu berpengaruh lagi kepada spiral ekonomi,” ungkap Chairul.

    Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu juga sepakat bahwa dunia, termasuk Indonesia tengah menghadapi ancaman pertumbuhan yang lebih rendah dan tidak menutup kemungkinan terjadi resesi.

    “Kita menghadapi much lower growth, maybe a recession, and certainly increase uncertainty in the economic policy as well as especially in trade policy,” ujarnya

    Dia mengatakan bahwa dalam kondisi krisis, hal terbaik yang dilakukan adalah melakukan reformasi ekonomi. “Let’s not waste a good crisis and do the reforms,” katanya.

    Mari menegaskan bahwa saat ini adalah waktu terbaik untuk melakukan reformasi ekonomi agar bisa lebih kompetitif dan efisien. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hambatan non-tarif, hingga menyederhanakan semua lisensi di Tanah Air. 

    Sementara itu, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) sekaligus mantan Menteri Keuangan RI ke-28, Chatib Basri mengatakan bahwa deregulasi menjadi komponen penting dalam melaksanakan reformasi ekonomi. Pasalnya pada dasarnya pengusaha di Indonesia tidak meminta bantuan apapun dari pemerintah, tetapi hanya ingin tidak diganggu. 

    “Jadi yang harus dilakukan adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya, maka deregulasi menjadi penting,” katanya. 

    Chatib menekankan deregulasi dapat dilakukan dengan fokus memangkas ekonomi biaya tinggi. Dengan demikian penurunan dampak dari biaya produksi akan menjadi sangat signifikan. 

    Dia memberikan contoh pada medio 1980, industri minyak dan gas mengalami pertumbuhan 20%–26% secara tahunan. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah melakukan deregulasi di sektor tersebut, sehingga memotong ongkos ekonomi. 

    Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kegundahan atas kondisi global saat ini. Dia menilai betapa kacau dunia akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

     

    (mkh/mkh)

  • Jeda 90 Hari Bisa Dimanfaatkan

    Jeda 90 Hari Bisa Dimanfaatkan

    PIKIRAN RAKYAT – Anggota Komisi XI DPR RI, Charles Meikyansah mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan negosiasi dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor.

    Charles mengatakan pemerintah bisa memanfaatkan masa penundaan tarif impor selama 90 hari yang diberikan Trump sebagai momentum strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi dagang.

    “Upaya negosiasi yang dilakukan pemerintah harus didukung. Pemerintah bisa memanfaatkan waktu jeda yang ada. Kita perlu bergerak cepat baik di jalur diplomasi maupun di dalam negeri untuk memastikan sektor industri kita tidak terdampak secara signifikan,” kata Charles, Minggu, 13 April 2025.

    Charles juga mendorong reformasi kebijakan domestik yang mendukung daya saing ekspor nasional sebagai respons dari kondisi global saat ini.

    Dia menilai penundaan tarif sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia memberikan ruang, tetapi harus direspons langkah konkret. Apalagi, dalam tensi perang dagang yang kian tinggi, Indonesia dinilai memiliki peluang besar menjadi tujuan alternatif investasi dan ekspor, terutama dari negara-negara yang diprediksi akan terdampak lebih besar seperti Vietnam, China, hingga Thailand.

    “Sektor tekstil, sepatu, garmen, dan furnitur adalah contoh industri yang punya prospek cerah di tengah dinamika global ini. Pemerintah perlu segera mempercepat kebijakan deregulasi ekspor, penyederhanaan izin usaha, serta insentif fiskal agar kita bisa menangkap peluang re-shoring dari negara lain,” ujarnya.

    Seperti diketahui, Trump menunda penerapan tarif impor jilid II yang seharusnya berlaku efektif Rabu, 9 April 2025. Periode penundaan berlaku 90 hari ke 75 negara, kecuali China. Meski menunda 3 bulan, tapi Trump tetap mengenakan tarif impor minimum, yaitu 10 persen.

    Penundaan tersebut termasuk Indonesia yang sebelumnya kena 32 persen. Vietnam yang dikenai 34 persen juga menjadi 10 persen untuk sementara. Trump beralasan penundaan selama 90 hari lantaran banyak pihak merespons berlebihan keputusannya terkait tarif dagang.

    Sementara itu, Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan Prabowo sudah meminta waktu untuk bertemu dengan Trump. Salah satu isu yang dibahas bila pertemuan Prabowo dan Trump bila nantinya terwujud adalah terkait pengenaan tarif impor bagi Indonesia.

    Dalam proses negosiasi, Charles menilai pemerintah perlu menyusun skema negosiasi yang seimbang. Salah satunya dengan mempertimbangkan peningkatan impor dari AS untuk sektor-sektor strategis seperti kedelai, LPG, serta produk pangan.

    “Jika AS ingin mengurangi defisit dagangnya, maka Indonesia bisa menawarkan peningkatan impor produk-produk tertentu, sepanjang itu tidak merugikan industri dalam negeri. Ini adalah bagian dari diplomasi timbal balik yang rasional,” tuturnya.

    Menurut Charles, satuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang selama ini dinilai menghambat masuknya investasi juga perlu direformasi.

    “Adanya momentum negosiasi dengan AS bisa menjadi pintu masuk penyempurnaan regulasi TKDN. TKDN harus ditinjau ulang agar tetap melindungi kepentingan nasional, namun tetap menarik bagi investor,” tutur legislatif dari dapil Jawa Timur IV itu.

    “Kami yakin, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo mampu melakukan negosiasi dengan baik,” ujarnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mewanti-wanti krisis ekonomi global 1930 atau yang dikenal dengan Great Depression bisa kembali terulang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, menjelaskan bahwa Great Depression terjadi karena retaliasi negara lain akibat kebijakan tarif di AS (Smoot-Hawley Tariff Act). Akibat negara lain membalas dengan menaikkan tarif atas produk AS, volume perdagangan global turun drastis sehingga memperlambat perekonomian global.

    Pada saat Great Depression 1930, lanjutnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam terutama di negara-negara maju.

    “Global trade-nya [perdagangan global] jatuh, ekspor turun. Karena ekspor turun, investasi turun. Investasi turun, GDP turun, consumption [konsumsi] turun, terjadilah Great Depression pada waktu itu,” jelas Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2025).

    Masalahnya, dia melihat pola serupa bisa terjadi dalam kasus penerapan tarif resiprokal Trump belakangan ini. Apalagi usai Trump mengumumkan kebijakan tarif tersebut, sejumlah negara melakukan retaliasi terutama China.

    Belakangan, China menaikkan tarif impor untuk barang dari AS menjadi 125%. Tarif tersebut merupakan respons Negeri Tirai Bambu setelah AS menaikkan tarif impor terhadap barang asal China menjadi 145%.

    Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu pun berharap Trump akan melunak, dengan membuka opsi negosiasi zehingga Great Depression tidak terulang. Menurutnya, jika China melihat keraguan Trump maka Xi Jinping juga akan membuka opsi negosiasi.

    “Jadi upaya untuk mengatasi retaliasi itu menjadi sangat penting,” ujarnya.

    Dampak Tarif Trump ke RI

    Lebih lanjut, Chatib menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi.

    “Jadi yang harus dilakukan adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujarnya. 

    Menurutnya, deregulasi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986. Kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • Chatib Basri Sarankan Prabowo Ikuti Taktik Orde Baru Hadapi Tarif Trump

    Chatib Basri Sarankan Prabowo Ikuti Taktik Orde Baru Hadapi Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional Chatib Basri mengusulkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto mengikuti taktik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menghadapi ancaman tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, mengatakan taktik yang pernah dilakukan pemerintah Orde Baru, yakni melakukan deregulasi ekonomi besar-besaran. 

    Dia menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam itu. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu, lanjutnya, diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi struktural. 

    “Jadi yang harus dilakukan [pemerintah] adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujar Chatib Basri dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2024).

    Menurutnya, deregulasi ekonomi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986, kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • Permudah Dunia Usaha dan Tekan Biaya Produksi

    Permudah Dunia Usaha dan Tekan Biaya Produksi

    Jakarta, Beritasatu.com – Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (2/4/2025) dinilai semakin menekan kondisi ekonomi dunia ketika banyak negara yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, termasuk Indonesia.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengatakan, untuk merespons kenaikan tarif Trump, pemerintah Indonesia perlu memberikan kemudahan serta kepastian regulasi kepada pelaku usaha melalui deregulasi.

    Langkah ini penting tidak hanya untuk menekan biaya ekspor, tetapi juga dalam rangka menurunkan biaya produksi.

    Ia menambahkan, kemungkinan inflasi di AS yang meningkat dapat menghambat penurunan suku bunga dan menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar.

    Bagi Indonesia, perang tarif tersebut dapat memberikan dampak cukup besar terhadap sektor manufaktur, terutama pada produk elektronik, makanan, alas kaki, serta industri tekstil dan turunannya.

    “Jadi perlu adanya upaya menekan dampak kenaikan tarif Trump oleh pemerintah Indonesia. Dan salah satunya menekan biaya ekspor serta memberikan kemudahan serta kepastian aturan bagi dunia usaha lewat deregulasi sehingga menekan biaya produksi,” kata Chatib dalam sebuah diskusi panel The Yudhoyono Institute (TYI) yang mengangkat tema ‘Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global’ di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah juga mendorong daya beli masyarakat melalui kebijakan fiskal yang diarahkan pada sektor-sektor dengan pengaruh besar terhadap perekonomian nasional, seperti pariwisata dan program perlindungan sosial.

    Pasar Obligasi Tetap Terkendali

    Chatib juga menuturkan, dampak kebijakan tarif Trump terhadap pasar obligasi Indonesia tergolong minim.

    Ia menjelaskan bahwa efeknya cenderung terbatas karena proporsi kepemilikan asing pada obligasi pemerintah hanya sekitar 14%, sehingga bila terjadi aksi jual oleh investor asing, dampaknya tidak besar.

    Mantan Menteri Keuangan ke-28 itu menuturkan, krisis saat ini berbeda dengan krisis global sebelumnya, termasuk yang terjadi pada tahun 2008.

    Pada masa itu, tekanan ekonomi lebih berat meskipun Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,6%, sementara tantangan yang dihadapi kini memiliki karakter yang berbeda.

    Selain dari sisi pasar obligasi, dampak terhadap ekspor juga tidak terlalu besar.

    Chatib memaparkan, kontribusi ekspor terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 22%, dengan ekspor ke AS menyumbang sekitar 10% dari angka tersebut.

    “Jadi kalau terhadap PDB, andilnya hanya 10% dari 22% atau 2,2%. Maka, meski dalam skenario terburuk pun, efek (tarif Trump) hanya 2,2 persen dari GDP,” terang dia.

    Kendati demikian, ia mengakui bahwa sektor industri yang berorientasi ekspor tetap akan terdampak oleh kebijakan tersebut.

    Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah segera melakukan deregulasi demi meminimalisasi dampak negatif pada industri-industri tersebut.

    “Jika kita bisa melakukan deregulasi dengan memotong ekonomi biaya tinggi, maka penurunan dampak dari biaya produksi bisa sangat signifikan,” kata Chatib.

    Pemerintah juga telah mengambil sejumlah langkah strategis lainnya guna merespons dampak tarif Trump, di antaranya dengan menghapus kuota impor serta melonggarkan ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Kebijakan-kebijakan ini dinilai sebagai langkah positif dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

  • Tanpa Proteksi, Industri Nasional Bisa Tumbang

    Tanpa Proteksi, Industri Nasional Bisa Tumbang

    Jakarta

    Di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, banyak negara memilih memperkuat benteng ekonominya dengan proteksi terhadap industri dalam negeri. Salah satu contohnya adalah kebijakan tarif tinggi yang diterapkan mantan Presiden AS Donald Trump untuk melindungi industri domestik dari gempuran produk impor.

    Di Indonesia, para ekonom menilai pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memberikan perlindungan serupa. Langkah ini dinilai penting tidak hanya untuk menjaga eksistensi industri nasional, tapi juga sebagai bentuk kesiapan menghadapi potensi perang harga akibat pergeseran pasar dan distribusi barang secara global.

    Ekonom dari Lembaga Riset Sigmaphi, Muhammad Nalar A Khair, menyoroti pentingnya keberpihakan pemerintah terhadap industri pipa nasional, terutama di sektor migas. Ia mengingatkan bahwa semua pihak di sektor ini wajib mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk aturan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

    “Di saat seluruh dunia melakukan proteksi terhadap industri dalam negerinya, Indonesia malah memberi karpet merah kepada industri asing. Padahal UU kita jelas menyatakan bahwa produk dengan TKDN di atas 40% harus diprioritaskan,” tegas Nalar, di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Kekhawatiran serupa juga disampaikan Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA). Ketua Umum IISIA, Ismail Mandry, mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap potensi masuknya banjir impor besi dan baja ke pasar Indonesia. Fenomena ini disebut sebagai efek domino dari kebijakan tarif AS yang mendorong negara pengekspor mengalihkan distribusi produk ke pasar lain, termasuk Indonesia.

    Nalar menegaskan, jika pelanggaran dalam tender proyek, terutama di sektor strategis seperti migas, terus dibiarkan, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan industri nasional.

    “Perang dagang ini bisa jadi momentum untuk menguji keseriusan pemerintah dalam memproteksi ekonomi nasional. Jika pelanggaran tidak ditindak, maka mustahil pengusaha mau berlomba-lomba berinvestasi di sektor industri. Jangan harap Indonesia bisa bangkit sebagai negara industri mandiri dengan nilai tambah,” tutupnya.

    (rrd/rrd)