Topik: TKDN

  • Daftar Kebijakan yang Bikin Indonesia Tersandera AS Usai Kenaikan Pajak 47 Persen

    Daftar Kebijakan yang Bikin Indonesia Tersandera AS Usai Kenaikan Pajak 47 Persen

    PIKIRAN RAKYAT – Amerika Serikat menaikkan tarif bea masuk terhadap produk tekstil dan garmen dari Indonesia hingga 47 persen, sebagai respons atas berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia yang dinilai menghambat kepentingan bisnis AS. Kenaikan tarif ini menjadi bentuk tekanan dagang serius yang bisa berdampak pada ekspor nasional.

    Dalam laporan resmi bertajuk “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers”, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) secara gamblang mencantumkan Indonesia sebagai negara dengan banyak hambatan perdagangan. Berikut penjabaran lengkap atas daftar kebijakan Indonesia yang dikeluhkan AS, lengkap dengan kutipan dari laporan USTR:

    1. Kebijakan Impor: Tarif dan Non-Tarif

    AS mempersoalkan tarif dan prosedur impor Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Misalnya, tarif impor untuk produk teknologi informasi, seperti peralatan switching dan routing, semestinya nol persen berdasarkan perjanjian ITA (Information Technology Agreement). Namun Indonesia diduga mengenakan bea masuk hingga 10 persen.

    “Meskipun memiliki tarif WTO sebesar nol persen untuk subpos HS 8517, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk 10 persen,” ujar USTR.

    Tak hanya itu, Indonesia juga dikenai kritik atas cukai tinggi terhadap minuman beralkohol impor, kebijakan audit pajak yang tidak transparan, serta proses restitusi pajak penghasilan yang sangat lambat. USTR mencatat bahwa proses tersebut bisa memakan waktu bertahun-tahun, menciptakan ketidakpastian dan beban bagi perusahaan asing.

    2. Hambatan Teknis Perdagangan (TBT)

    AS menuding Indonesia menggunakan hambatan teknis secara berlebihan yang tidak selalu berdasar pada prinsip ilmiah atau risiko kesehatan. Contohnya:

    Mainan anak wajib melalui uji laboratorium berulang meskipun telah lolos sertifikasi internasional. Produk susu dari AS harus diaudit langsung oleh pejabat Indonesia, termasuk biaya perjalanan, akomodasi, dan audit dokumen yang bisa mencapai lebih dari 10.000 dolar AS (Rp168 juta).

    “Biaya audit fasilitas produksi susu AS dapat melebihi US$10.000 dan memberatkan, terutama bagi usaha kecil,” ucap USTR.

    3. Sertifikasi Halal dan Labelisasi Produk

    Sertifikasi halal diwajibkan untuk produk makanan, kosmetik, hingga barang rumah tangga, termasuk dari perusahaan asing. AS menilai implementasinya belum transparan dan bisa menjadi hambatan non-tarif.

    “Indonesia memperluas cakupan kewajiban sertifikasi halal hingga ke produk rumah tangga dan kimia, meski proses sertifikasinya belum jelas dan tidak selalu berbasis risiko,” tutur laporan itu.

    4. Kebijakan Lokal Konten dan Pengadaan Pemerintah

    USTR juga mengecam kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan penggunaan komponen lokal dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam proyek pemerintah dan BUMN. Hal ini dinilai diskriminatif terhadap produk impor dari AS.

    “Indonesia menginstruksikan lembaga pemerintah dan BUMN untuk memaksimalkan penggunaan barang dan jasa lokal, membatasi partisipasi perusahaan asing,” ucap USTR.

    5. Penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

    AS menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran merek dagang dan hak cipta di Indonesia. Beberapa pasar tradisional dan e-commerce Indonesia dicap sebagai “pasar terkenal pelanggaran HKI”, termasuk Pasar Mangga Dua di Jakarta.

    “Pasar Mangga Dua di Jakarta tercantum dalam Daftar Pasar Terkenal karena pelanggaran kekayaan intelektual, bersama sejumlah platform daring di Indonesia,” kata laporan itu.

    AS juga meminta Indonesia meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelanggaran HKI.

    6. Pembatasan di Sektor Jasa

    Indonesia disebut membatasi masuknya layanan asing di berbagai sektor jasa. Beberapa pembatasan tersebut antara lain:

    Kuota film domestik minimal 60 persen di bioskop. Kepemilikan asing dibatasi di media, penyiaran, dan transportasi. Hambatan regulasi terhadap jasa keuangan, pengiriman ekspres, telekomunikasi, dan ritel asing.

    “Indonesia membatasi distribusi perangkat genggam dan smartphone melalui lisensi teknis dan regulasi TKDN, yang dianggap sebagai penghalang akses pasar,” tutur USTR.

    7. Regulasi Perdagangan Digital

    AS juga menyuarakan keberatan atas kebijakan Indonesia terkait pelaporan produk digital. Produk tak berwujud seperti perangkat lunak wajib dilaporkan ke bea cukai, meskipun tidak dikenakan tarif.

    “Kewajiban pelaporan untuk barang digital tak berwujud tetap membebani secara administratif dan menciptakan ketidakpastian,” ucap USTR.

    Selain itu, UU ITE dan aturan soal konten internet yang bisa diblokir dinilai terlalu luas dan tidak jelas, menciptakan iklim tidak aman bagi platform digital asing.

    8. Hambatan Investasi Asing

    AS mengeluhkan bahwa Indonesia masih mempertahankan beberapa larangan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), meski pemerintah mengklaim sudah menghapusnya. Beberapa sektor strategis tetap membatasi kepemilikan asing.

    “Sektor media, penyiaran, dan transportasi udara masih tunduk pada batas kepemilikan asing antara 20% hingga 49%,” kata USTR.

    9. Subsidi Ekspor dan Insentif Fiskal

    Indonesia dinilai memberikan subsidi fiskal dan insentif pajak yang sangat kuat kepada sektor-sektor tertentu, khususnya di kawasan ekonomi khusus (KEK). AS mendesak Indonesia untuk mengungkap secara terbuka seluruh program subsidi ke WTO.

    “Amerika Serikat terus mendorong Indonesia menyerahkan pemberitahuan atas semua program subsidi kepada WTO,” ujar laporan itu.

    10. Masalah Struktural dan Ketidakpastian Regulasi

    AS menilai iklim bisnis di Indonesia terganggu oleh masalah struktural seperti:

    Korupsi Proses perizinan tanah yang lambat Penegakan kontrak yang lemah Ketidakpastian hukum dan kebijakan Ketiadaan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi

    “Banyak pemangku kepentingan AS memandang korupsi dan ketidakpastian regulasi sebagai hambatan besar untuk berbisnis di Indonesia,” kata USTR.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Pembangunan Pabrik BYD di Subang Diganggu Ormas

    Pembangunan Pabrik BYD di Subang Diganggu Ormas

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengungkapkan pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat sempat diganggu organisasi masyarakat (ormas) dan aksi premanisme. Duh!

    Kabar ini didapatkan Eddy Soeparno saat memenuhi undangan Pemerintah China dalam rangkaian kunjungan di Shenzhen, China.

    Diketahui, saat ini BYD tengah membangun plant atau pabrik produksi di Indonesia yang berlokasi di Subang, Jawa Barat. Eddy tidak mengungkapkan nama ormas yang mengganggu pembangunan pabrik BYD tersebut.

    “Sempat ada permasalahan terkait premanisme, ormas yang mengganggu pembangunan sarana produksi BYD. Saya kira itu harus tegas. Pemerintah perlu tegas untuk kemudian menangani permasalahan ini,” kata Eddy dalam akun instagramnya dikutip Minggu (20/4/2025).

    BYD bangun pabrik di Subang, Jawa Barat Foto: Luthfi Anshori/detikOto

    Dia mengatakan penindakan tegas terhadap premanisme dilakukan semata-mata untuk membuat iklim investasi yang nyaman dan aman.

    “Jangan sampai kemudian investor datang ke Indonesia dan merasa kemudian tidak mendapatkan jaminan kemanan, jaminan keamanan itu adalah hal yang paling mendasar bagi investasi untuk masuk ke Indonesia,” tambah dia.

    DetikOto sudah menghubungi Head of PR & Government Relations PT BYD Motor Indonesia, Luther Panjaitan terkait kabar tersebut. Namun yang bersangkutan belum memberikan respons.

    BYD akan memulai produksi mobil listrik di fasilitas pabrik di Subang, Jawa Barat, pada awal tahun 2026. Dari sekarang, BYD juga mulai mencari pemasok lokal untuk memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

    BYD telah merencanakan investasi sebesar Rp 11,7 triliun dengan kapasitas produksi kendaraan listrik mencapai 150 ribu unit per tahun.

    Sebagai informasi, fasilitas produksi mobil listrik BYD dibangun di area Fase 2 Subang Smartpolitan, Jawa Barat. BYD akan menggunakan lahan terbesar seluas lebih dari 108 hektare.

    Mobil listrik BYD juga mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia. Terbukti dalam hal penjualan, BYD kini sudah masuk dalam jajaran 10 merek mobil terlaris dengan total penjualan wholesales (distribusi ke dealer) per Maret 2025 sebanyak 3.205 unit.

    Sejauh ini BYD telah menjual beberapa produk mobil listriknya di Indonesia, seperti Dolphin, M6, Atto 3, Seal, dan yang paling baru Sealion 7. Tidak hanya itu, BYD juga sudah membawa brand mobil premiumnya, Denza, ke Indonesia, yang memasarkan MPV mewah D9.

    Saksikan juga Sosok: Damaz, Wujudkan Mimpi Lewat Tanaman Herbal

    (riar/din)

  • Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi

    Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi

    Layar digital menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nz/aa.)

    Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 21 April 2025 – 08:53 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan bergerak konsolidasi atau mendatar (sideways) seiring pelaku pasar masih mencermati proses negosiasi tarif antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang berjalan sesuai rencana sampai saat ini.

    Perkembangan sementara proses negosiasi Indonesia dengan AS memperoleh beberapa poin penting, diantaranya meliputi rencana peningkatan impor sejumlah komoditas dari AS, seperti energi dan agrikultur, kolaborasi hilirisasi, relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hingga paket deregulasi.

    “IHSG diperkirakan masih melanjutkan fase konsolidasi dalam rentang 6.300 sampai 6.550 di pekan ini,” ujar Senior Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan di Jakarta, Senin.

    Delegasi Indonesia yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menemui United States Secretary of Commerce atau Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Minggu (20/04), untuk menyampaikan proposal negosiasi tarif. Indonesia menyampaikan penawaran konkret untuk meningkatkan pembelian dan impor Indonesia dari AS demi menyeimbangkan defisit perdagangan AS, diantaranya pembelian produk energi (crude oil, LPG, dan gasoline).

    Selain itu, juga peningkatan impor produk pertanian dari AS (soybeans, soybeans meal, dan wheat), yang memang sangat dibutuhkan dan tidak diproduksi di Indonesia. Secretary Lutnick mengapresiasi komitmen dan proposal konkret itu, dan menilai penawaran dan permintaan Indonesia sangat konkret dan saling menguntungkan bagi kedua negara.

    Kemudian, setelah pertemuan di tingkat menteri antara Delegasi Indonesia dengan pihak United States Trade Representative (USTR) yang langsung dipimpin Ambassador Jamieson Greer pada Kamis (17/04), kemarin Minggu (20/04) di tingkat teknis langsung bergerak cepat melaksanakan pertemuan teknis antara Tim Teknis Indonesia dengan Tim dari pihak USTR

    Indonesia mengharapkan dapat disepakati format, mekanisme dan jadwal negosiasi dengan target waktu 60 hari, yang mana tenggat waktu itu adalah penyelesaian pembahasan isu untuk disepakati, sehingga masih terdapat waktu 30 hari dari 90 hari penundaan (pause) untuk implementasi kesepakatan.

    Sentimen eksternal, Presiden AS Donald Trump kembali menekankan pentingnya pemangkasan suku bunga acuan kepada Ketua The Fed Jerome Powell.

    Masih terkait global, AS berencana menarik diri dari upaya perdamaian Rusia dan Ukraina apabila tidak ada perkembangan konkrit dalam beberapa hari ke depan, yang diperkirakan akan mendorong rebound harga gas alam yang sempat turun ke kisaran 3,2 persen pada pekan lalu.

    Sementara, harga minyak melanjutkan rebound pasca sanksi baru oleh AS kepada Iran. AS dikabarkan berencana menekan ekspor minyak Iran hingga nol, bersamaan dengan proses perundingan mengenai fasilitas nuklir Iran.

    Sumber : Antara

  • Boeing Tawari Prabowo Jet Tempur Canggih F-15EX, Iming-Imingi TKDN 85% – Page 3

    Boeing Tawari Prabowo Jet Tempur Canggih F-15EX, Iming-Imingi TKDN 85% – Page 3

    F-15EX merupakan jet tempur generasi 4.5 yang dikembangkan dari varian F-15E Strike Eagle. Pesawat ini memiliki sistem avionik mutakhir, kemampuan membawa senjata lebih banyak, serta dilengkapi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) AN/APG-82. Kecepatan maksimalnya bisa mencapai Mach 2.5 dan daya jangkau tempur mencapai lebih dari 2.400 km.

    F-15EX juga dirancang dengan arsitektur terbuka, sehingga memudahkan integrasi berbagai teknologi baru, termasuk rudal dan sistem peperangan elektronik.

    Tawaran Boeing ini disebut sebagai saingan langsung dari jet tempur Rafale asal Prancis, yang sebelumnya sudah resmi dibeli Indonesia sebanyak 42 unit secara bertahap mulai 2022. Dari 42 unit tersebut, 18 unit telah diteken dalam kontrak awal senilai USD 8,1 miliar (sekitar Rp125 triliun).

    Potensi Transfer Teknologi dan Dampak Ekonomi

    Jika TKDN 85% benar-benar terwujud, maka Indonesia bisa mendapatkan keuntungan besar dari sisi transfer teknologi dan penguatan industri lokal. Dalam catatan Lembaga Kajian Pertahanan dan Penerbangan (LKPP), rata-rata TKDN alutsista asing yang diimpor Indonesia masih berkisar 10-20 persen, sehingga angka 85% merupakan lonjakan besar yang belum pernah tercapai sebelumnya.

    “Boeing menawarkan model offset dan kerja sama industri yang agresif. Ini bisa jadi batu loncatan menuju kemandirian industri pertahanan nasional,” ujar analis militer Connie Rahakundini Bakrie.

    Tak hanya itu, keterlibatan sektor lokal bisa mendorong peningkatan kapasitas teknis dan SDM, termasuk di sektor maintenance, repair, and overhaul (MRO) yang selama ini masih minim pemain dalam negeri.

     

  • Menkeu SBY Sarankan RI Pakai Jurus Berani Soeharto untuk Lawan Trump

    Menkeu SBY Sarankan RI Pakai Jurus Berani Soeharto untuk Lawan Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) yang mengeluarkan tarif resiprokal membuat ketidakpastian ekonomi global. Chatib Basri yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan era Presiden SBY ikut memberi saran terkait hal ini.

    Dia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tak menyia-nyiakan momentum krisis. Pemerintah harusnya melakukan pendekatan berani seperti era Orde Baru tahun 1980-an.

    “Waktu itu pemerintah melakukan devaluasi, tahun 1986, kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong cost ekonomi. Jadi tadi betul seperti Pak SBY sampaikan, gunakan krisis ini untuk reform. Don’t waste the crisis, bad times make good policy,” ujar Chatib dalam acara diskusi The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Presiden Prabowo Subianto telah melakukan deregulasi pada beberapa kebijakan. Chatib mengapresiasi langkah ini karena disebutnya bisa menolong perekonomian Indonesia.

    Foto: Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Muhammad Chatib Basri di acara The Yudhoyono Institute, Minggu, 13/4. (Tangkapan Layar CNBC Indonesia TV)
    Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Muhammad Chatib Basri di acara The Yudhoyono Institute, Minggu, 13/4. (Tangkapan Layar CNBC Indonesia TV)

    “Dimulai dengan kuota, dengan TKDN, dengan berbagai langkah yang saya kira akan sangat menolong.” ujarnya.

    Dia juga menyoroti soal daya beli masyarakat. Menurutnya hal itu sangat pentng karena akan berdampak pada pemulihan.

    Yakni saat masyarakat membelanjakan uangnya akan membuat permintaan naik. Hal itu juga membuat dunia usaha bergerak dengan memproduksi dan menyerap tenaga kerja.

    “Dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend, maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja. Jadi di dalam hal ini fiscal policy menjadi sangat penting untuk melakukan spending,” kata Chatib.

    (npb/wur)

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Masuk Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • QRIS hingga TKDN Jadi Sorotan AS dalam Negosiasi Tarif Impor

    QRIS hingga TKDN Jadi Sorotan AS dalam Negosiasi Tarif Impor

    Jakarta, Beritasatu.com – Amerika Serikat (AS) menyoroti kebijakan payment atau sistem pembayaran domestik Indonesia seperti quick response Indonesian standard (QRIS) dan gerbang pembayaran nasional (GPN) dalam negosiasi pembahasan tarif impor AS.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah Indonesia telah menjalin koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI) untuk menanggapi permintaan pihak AS.

    “Kami sudah berdiskusi dengan OJK dan juga BI terkait payment yang diminta pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang ditayangkan kanal YouTube Perekonomian, dikutip Sabtu (19/4/2025).

    Sementara itu, terkait dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang juga menjadi sorotan pemerintah AS, Airlangga menyampaikan dalam rapat dengan Presiden Prabowo Subianto, telah diminta agar format TKDN diperbaiki menjadi incentive-based.

    “Tentu dari Amerika ada permintaan terhadap produk-produk tertentu yang secara bisnis praktis itu sifatnya bukan import-export, contohnya seperti data center,” kata Airlangga mengenai upaya negosiasi tarif impor AS.  

    Dikutip dari laman resmi Whitehouse.gov, persyaratan konten lokal di berbagai sektor menjadi salah satu alasan AS mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% kepada Indonesia. Contohnya TKDN untuk berbagai produk.

    Indonesia dan AS telah sepakat untuk melakukan negosiasi tarif impor selama 60 hari. Tujuannya untuk menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang antara kedua negara.

  • Indonesia Jadi Penyelamat Boeing di Tengah Pusaran Perang Dagang AS-China?

    Indonesia Jadi Penyelamat Boeing di Tengah Pusaran Perang Dagang AS-China?

    Bisnis.com, JAKARTA – Krisis Boeing memasuki babak baru, terutama setelah China memboikot para maskapainya membeli jet dan suku cadang keluaran manufaktur pesawat asal Amerika Serikat (AS) itu beberapa waktu lalu. 

    Sebaliknya, kabar dari Indonesia seakan jadi angin segar buat produsen pesawat terbang asal Negeri Paman Sam tersebut. 

    Berdasarkan laporan Bloomberg, Jumat (18/4/2025) malam, boikot China telah menjadi kenyataan, seiring pengembalian pesawat Boeing 737 Max dari pusat perakitan akhir Boeing di Zhoushan, China, di mana sebelumnya merupakan pesanan Xiamen Airlines. 

    Menurut data dari FlightRadar24, pesawat itu sebelumnya terbang menuju Zhoushan dari Seattle, Washington, AS via Hawai dan Guam pada bulan lalu. Kini, pesawat itu diterbangkan kembali ke Guam. 

    Sementara itu, data Aviation Flights Group menyebut masih ada dua pesawat Boeing di Zhoushan yang berstatus dalam proses pengiriman ke pelanggan, tapi turut berpotensi dikembalikan akibat dampak perang dagang AS-China.

    Menurut penyedia data penerbangan Cirium, sebelum Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif impor resiprokal, Boeing telah mengirimkan 13 pesawat 737 Max dan 3 pesawat 787 ke China selama 2025. 

    Lantas, masih ada 28 pesawat 737 Max dan satu pesawat 787 dijadwalkan untuk sisa tahun ini. 

    Namun, analisis dari RBC Capital Markets LLC yang dipimpin oleh Ken Herbert melihat bahwa gertakan Beijing bisa jadi hanya taktik negosiasi, mengingat pentingnya suku cadang Boeing untuk para maskapai pengguna eksisting di China.

    “Pembatasan impor suku cadang pesawat baru dari China sulit dipertahankan dalam jangka waktu lama, karena diperlukan untuk mendukung armada yang ada,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Sabtu (19/4/2025).

    Terlebih, pabrikan pesawat pelat merah China, Commercial Aircraft Corp of China Ltd. alias Comac, masih bergantung dengan suku cadang dari AS untuk membangun pesawatnya.

    Sumber Bloomberg menyebut Comac sebenarnya telah melakukan langkah strategis dengan menimbun mesin dan suku cadang untuk merampungkan lusinan pesawatnya pada tahun ini dari maskapai Hong Kong, Timur Tengah, dan Vietnam.  

    Bahkan, salah satu pejabat China mempertimbangkan meminta Airbus untuk memasok mesin jet baru buat Comac, atau tetap mengakses komponen pesawat asal pabrikan AS melalui negara lain yang telah menjadi bagian dari rantai pasok. 

    Sebagai contoh, pesawat C919 yang dirancang Comac memiliki kapasitas untuk 158 hingga 192 penumpang menggunakan mesin CFM International LEAP-1C, perusahaan patungan antara GE dan Safran SA dari Prancis, serta avionik dari Honeywell International Inc. dan Rockwell Collins.

    Jet yang dipatok untuk bisa bersaing dengan keluarga Airbus A320 dan Boeing 737 itu pun masih mengandalkan sistem hidrolik untuk roda pendaratannya berasal dari Parker Aerospace di AS, sementara beberapa sistem kabinnya berasal dari Eaton Corp. yang berkantor pusat di Dublin.

    C919 belum diberi lampu hijau oleh regulator keselamatan penerbangan lainnya untuk terbang di luar Tiongkok atau Hong Kong, yang berarti pesawat ini hanya digunakan oleh maskapai penerbangan Tiongkok di dalam negeri.

    Pesawat Comac yang telah mulai dikenal dunia internasional hanya ARJ21 atau C909 yang mampu mengangkut hingga 97 penumpang. TransNusa Airlines dari Indonesia dan Lao Airlines dari Laos tercatat menjadi pengguna awal pesawat ini. 

    Angin Segar dari Negosiasi Indonesia

    Sebelumnya, Boeing sempat diterpa krisis secara bertubi-tubi dari mulai isu keselamatan, dampak pandemi, mogok kerja para karyawan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. 

    Pada akhirnya, Boeing mencatatkan kerugian US$11,83 miliar atau sekitar Rp192 triliun sepanjang 2024. Kerugian ini bahkan tercatat lebih besar dari rugi tahunan era pandemi Covid-19 alias periode 2020.

    Terkini, Indonesia sedang mempertimbangkan akan memboyong alutsista asal AS sebagai salah satu langkah negosiasi menekan efek dampak tarif Presiden Donald Trump, termasuk pembelian jet tempur F-15EX besutan Boeing.

    Boeing bahkan sempat menjanjikan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hingga 85%. 

    Chief Executive Officer (CEO) Boeing untuk kawasan Asia Tenggara Penny Burtt mengatakan bahwa Boeing melihat pentingnya memperkuat rantai pasok lokal demi menciptakan ketahanan industri. 

    “Jika Indonesia memilih F-15EX, Boeing akan memenuhi 85% kebutuhan melalui produksi dan dukungan lokal. Kami memiliki tim yang kuat dan berdedikasi yang telah beberapa kali datang ke Indonesia dalam setahun terakhir untuk menjajaki peluang kemitraan dan investasi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (16/4/2025). 

    Boeing juga mendorong keterlibatan perusahaan dalam negeri untuk menjadi bagian dari ekosistem F-15EX di Indonesia, serta melihat potensi yang signifikan untuk kolaborasi dalam rantai pasokan, MRO, hingga pelatihan. 

    Terlebih, ketika Presiden Prabowo sudah memiliki kesepakatan awal pembelian 24 unit jet tempur itu pada 2023, ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI.

    Namun, komitmen ini dinilai sulit terealisasi karena biaya pembelian 24 unit F-15EX diperkirakan melebihi US$8 miliar, atau hampir setara dengan total anggaran pertahanan Indonesia periode 2024. Terlebih, Prabowo pun masih gencar melakukan program efisiensi anggaran. 

    Selain itu, dalam konteks belanja alutsista, Indonesia masih memiliki komitmen pembelian 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation SA yang notabene telah dipatok sebagai prioritas. 

  • Insentif Tak Kunjung Ketok Palu, Penjualan Motor Listrik Lesu!

    Insentif Tak Kunjung Ketok Palu, Penjualan Motor Listrik Lesu!

    Jakarta

    Pemerintah terus menggenjot adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Namun hingga awal April 2025, penjualan motor listrik justru belum menunjukkan geliat berarti.

    Menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli), penyebab utama penjualan motor listrik masih lesu ini adalah insentif yang tak kunjung diketok palu oleh pemerintah.

    “Sekarang ini penjualan sepeda motor listrik dengan berbagai skema yang ada (tahun lalu) akhirnya kembali ke skema semula, kita jual dengan kondisi yang ngga ada subsidi, tapi karena masyarakat tau bahwa tahun kemarin ada subsidi jadi banyak yang nunggu akhirnya nggak membeli dulu, nahan membeli,” kata Eko Prabowo, Ketua Asimoli dikutip dari CNBC Indonesia.

    Sepanjang kuartal I 2025, motor listrik yang terjual baru sekitar 2.000 unit. Jumlah ini jauh dari target pemerintah yang mematok angka 200 ribu unit hingga akhir tahun.

    Perlu diingat bahwa, penjualan motor listrik sempat naik drastis pada 2024 lalu. Hal tersebut dikarenakan adanya insentif potongan harga hingga Rp 7 juta untuk setiap unit yang memenuhi syarat.

    Namun memasuki 2025, program insentif tersebut belum diperpanjang secara resmi. Baik produsen maupun konsumen kini menanti kejelasan. Hingga pertengahan April ini, kebijakan baru belum juga diumumkan.

    “Kita sudah bersurat ke Kementerian terkait Kemenko Ekonomi, Menkeu, Menperin, Menteri ESDM karena yang diberi subsidi bukan hanya motor baru, tapi konversi juga. Kita usulkan tahun 2025 diteruskan yang 2024 saja karena sudah bagus sistem. Dan besaran subsidi, kalau bisa jangan dikurangi,” kata Budi.

    Motor listrik baru United. Foto: Septian Farhan Nurhuda/detik.com

    Situasi ini membuat produsen menahan pasokan dan konsumen memilih menunggu. Tanpa insentif, harga motor listrik jadi kurang menarik dibanding motor konvensional.

    Selain itu, masih ada tantangan lain seperti keterbatasan infrastruktur pengisian daya, harga baterai yang tinggi, hingga keraguan masyarakat terhadap daya tahan motor listrik.

    Aismoli juga mengaku sudah meminta waktu kepada Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), Moeldoko, untuk berdiskusi soal skema subsidi agar bisa dilanjutkan seperti tahun 2024.

    Mereka berharap ada perhatian lebih dari pemerintah terhadap industri motor listrik. Terlebih dengan suplai yang tinggi saat ini, para pelaku industri merasa sangat membutuhkan insentif agar stok tidak menumpuk.

    “Perlu percepatan supaya ngga menggantung seperti sekarang ini, sehingga masyarakat bisa langsung membeli dan kemudian industri dengan persiapan cukup banyak bisa langsung menjual karena sekarang kita overstock, jadi banyak barang motor listrik dengan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) 40% sekarang banyak numpuk, bukan hanya di industri, tapi di diler-diler,” tutup Budi.

    (mhg/riar)