Topik: Long Covid

  • Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

    Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

    Jakarta, Beritasatu.com –  Derita pasien long Covid semakin nyata, tetapi banyak dari mereka merasa diabaikan dan tidak dipercaya oleh tenaga medis. Sebuah studi terbaru yang melibatkan wawancara mendalam dengan 14 penderita long Covid menemukan bahwa pasien menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan atas kondisi mereka. Beberapa bahkan menolak dukungan psikologis karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai bukti bahwa penyakit mereka tidak nyata.

    “Kami menemukan bahwa para peserta hidup dalam ketidakpastian yang terus-menerus dan berjuang mencari pengobatan. Banyak yang merasa tidak didengarkan, kehilangan kepercayaan pada dokter, lingkungan sosial, bahkan tubuh mereka sendiri,” ujar Saara Petker, psikolog klinis sekaligus salah satu penulis studi ini dikutip IFL Science, Jumat (28/3/2025). 

    Petker bersama Profesor Jane Ogden dari University of Surrey mewawancarai 14 orang dewasa di Inggris yang mengalami long Covid. Para peserta tidak diwajibkan memiliki diagnosis resmi dan dapat melaporkan sendiri gejalanya. Long Covid didefinisikan sebagai gejala Covid-19 yang bertahan lebih dari empat minggu setelah infeksi awal.

    Di awal pandemi, long Covid pertama kali dikenali melalui laporan individu yang merasa tidak kunjung pulih meski hanya mengalami gejala ringan. Gejalanya beragam, mulai dari kelelahan ekstrem, kabut otak, sesak napas, hingga pusing. Hingga kini, penelitian telah mengidentifikasi lebih dari 200 kemungkinan gejala terkait long Covid.

    Namun, meskipun long Covid kini diakui secara medis, derita pasien long Covid masih belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan. Wawancara yang dilakukan antara April 2022 hingga Maret 2023 mengungkapkan tiga pola utama dalam pengalaman pasien. 

    Pertama, banyak pasien long Covid hidup dalam ketidakpastian. Mereka  terus bertanya-tanya tentang kondisi mereka tanpa jawaban pasti.

    Kedua, kurangnya kepercayaan terhadap dokter.  Banyak pasien merasa dokter tidak mempercayai keluhan mereka. Ketiga, mereka butuh adanya pengakuan medis karena beberapa pasien berharap diagnosis yang jelas akan membuat mereka lebih dipercaya.

    Salah satu peserta mengaku diabaikan oleh layanan medis spesialis long Covid, sementara yang lain merasa bahwa perawatan yang diberikan tidak memadai. Banyak dari mereka harus berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa penyakit mereka nyata, bahkan melakukan riset sendiri, meskipun sering kali dianggap remeh oleh tenaga medis.

    Karena aspek fisik penyakit mereka sering tidak ditanggapi dengan serius, beberapa peserta enggan menerima terapi psikologis atau obat antidepresan yang ditawarkan. Mereka khawatir bahwa menerima perawatan tersebut akan semakin memperkuat anggapan bahwa penyakit mereka hanyalah gangguan mental.

    “Masalahnya bukan pada pasien yang menolak bantuan, tetapi pada kebutuhan mendalam untuk dipercaya,” kata Ogden.

    Studi ini menyimpulkan bahwa agar pasien lebih mau menerima berbagai opsi pengobatan, tenaga medis perlu lebih mendengarkan keluhan mereka. Dukungan psikologis harus diberikan sebagai tambahan dari perawatan medis, bukan sebagai pengganti.

    Derita pasien long Covid tidak hanya sebatas gejala fisik, tetapi juga perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Jika tenaga medis ingin membantu mereka dengan lebih baik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendengarkan dan memahami.
     

  • COVID-19 Bisa Bikin IQ Turun Permanen

    COVID-19 Bisa Bikin IQ Turun Permanen

    Jakarta

    Serangan COVID-19 ternyata tak hanya mengincar paru-paru, tetapi juga mengintai otak kita. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal kedokteran bergengsi, New England Journal of Medicine (NEJM), mengungkap fakta mengejutkan: infeksi COVID-19 bisa mengakibatkan kerusakan otak jangka panjang, termasuk penurunan IQ yang signifikan.

    Dua studi dalam NEJM, seperti yang dilansir The Conversation, menguliti kemampuan kognitif seperti memori, perencanaan, dan penalaran spasial pada hampir 113.000 orang yang pernah terinfeksi COVID-19. Hasilnya?

    Mencengangkan! Para penyintas COVID-19 menunjukkan defisit yang nyata dalam memori dan kinerja tugas eksekutif – kemampuan otak untuk merencanakan dan menyelesaikan masalah.

    Yang lebih mengkhawatirkan, penurunan kognitif ini tidak pandang bulu. Mau terinfeksi di awal pandemi, saat varian Delta merebak, atau bahkan saat Omicron mendominasi, risikonya tetap sama. Ini membuktikan bahwa ancaman terhadap otak tidak berkurang seiring evolusi virus.

    Penelitian tersebut juga mengungkap fakta pahit lainnya. Mereka yang mengalami COVID-19 ringan dan sembuh pun tak luput dari ancaman. Mereka mengalami penurunan kognitif yang setara dengan penurunan IQ tiga poin! Bagi mereka yang mengalami gejala berkepanjangan, seperti sesak napas atau kelelahan terus-menerus (Long COVID), penurunannya lebih parah lagi, mencapai enam poin IQ.

    Bahkan, mereka yang dirawat di ICU karena COVID-19 menderita penurunan IQ hingga sembilan poin. Dan bagi yang terinfeksi ulang, siap-siap menghadapi penurunan IQ tambahan sebesar dua poin.

    Sebuah studi terpisah yang melibatkan lebih dari 100.000 warga Norwegia dan diterbitkan dalam NEJM juga menguatkan temuan ini. Studi tersebut menemukan bahwa fungsi memori memburuk hingga 36 bulan setelah terinfeksi SARS-CoV-2.

    Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari

    Foto: The Conversation

    Bukti-bukti ini bukan sekadar angka di atas kertas. Dampaknya sudah terasa di kehidupan nyata. Analisis terbaru dari Survei Populasi Terkini AS menunjukkan lonjakan drastis: 1 juta warga Amerika usia kerja melaporkan “kesulitan serius” dalam mengingat, berkonsentrasi, atau membuat keputusan setelah pandemi COVID-19, dibandingkan dengan 15 tahun sebelumnya. Yang lebih mengejutkan, sebagian besar adalah orang dewasa muda berusia 18-44 tahun!

    Data dari Uni Eropa pun menunjukkan tren yang serupa. Pada 2022, 15% orang di UE dilaporkan mengalami masalah memori dan konsentrasi.

    Ke depan, kita perlu mengidentifikasi siapa yang paling berisiko. Kita juga perlu memahami bagaimana tren mengkhawatirkan ini dapat mempengaruhi pencapaian pendidikan anak-anak dan orang dewasa muda, serta produktivitas ekonomi. Apakah ini akan memperburuk epidemi demensia dan Alzheimer masih belum jelas.

    Semakin banyaknya penelitian yang kini mengonfirmasi bahwa COVID-19 harus dianggap sebagai virus yang berdampak signifikan pada otak. Implikasinya sangat luas, mulai dari individu yang mengalami kesulitan kognitif hingga potensi dampaknya pada populasi dan ekonomi.

    Untuk mengungkap penyebab sebenarnya di balik gangguan kognitif ini, termasuk kabut otak, akan memerlukan upaya bersama selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, oleh para peneliti di seluruh dunia. Dan sayangnya, hampir semua orang menjadi “kelinci percobaan” dalam eksperimen global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Jadi, tetap waspada, jaga kesehatan, dan jangan sepelekan COVID-19!

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Respons China ke WHO soal Tudingan Tutupi Data Asal-usul COVID-19”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • Cerita ‘Alumni’ COVID Keluhkan Gejala Tak Kunjung Sembuh, Terinfeksi Tahun 2020

    Cerita ‘Alumni’ COVID Keluhkan Gejala Tak Kunjung Sembuh, Terinfeksi Tahun 2020

    Jakarta

    Long COVID merupakan istilah yang mengacu pada gejala jangka panjang pasien COVID-19 pasca dinyatakan sembuh. Kondisi ini ditandai dengan gejala-gejala, termasuk kelelahan, kabut otak, dan sesak napas.

    Long COVID Membuat Sulit Berjalan

    Hal ini juga dialami Chantal Britt, seorang warga Bern, Swiss. Ia tertular COVID-19 pada Maret 2020. Ia merasa long COVID sangat mengubah hidupnya.

    “Dulu saya suka bangun pagi. Sekarang, saya butuh waktu dua jam untuk bangun pagi, karena semuanya terasa sakit,” jelas mantan pelari maraton yang berusia 56 tahun itu.

    “Saya bahkan tidak berharap lagi bahwa saya akan sehat di pagi hari. Tetapi, saya masih agak heran betapa tua dan hancur perasaan saya,” sambungnya yang dikutip dari The Straits Times.

    Saat ini, Britt bekerja paruh waktu sebagai peneliti universitas tentang COVID jangka panjang dan topik lainnya. Dia kehilangan pekerjaannya di bidang komunikasi pada 2022, setelah dia meminta untuk mengurangi jam kerjanya di tengah keterbatasan kondisi.

    Dia rindu berolahraga, yang dulu seperti ‘terapi’ baginya. Namun, sekarang dirinya harus lebih merencanakan kegiatan sehari-harinya, seperti memikirkan tempat-tempat dirinya bisa duduk dan beristirahat, sewaktu-waktu lelah saat berbelanja.

    Kurangnya pemahaman dari orang-orang di sekitar juga mempersulit kondisinya.

    “Ini adalah penyakit yang tidak terlihat, yang berhubungan dengan semua stigma yang menyertainya,” kata Britt.

    “Bahkan orang-orang yang benar-benar terdampak parah, yang berada di rumah, di ruangan gelap, yang tidak dapat disentuh lagi, suara apapun akan membuat mereka jatuh sakit, meski mereka tidak tampak sakit,” lanjut dia.

    Long COVID Memicu Kelemahan Otot

    Kondisi serupa juga dialami oleh seorang guru seni berusia 33 tahun, Andrea Vanek. Wanita dari Australia itu pertama kali mengalami gangguan akibat long COVID sekitar tiga tahun yang lalu.

    Saat itu, Vanek sedang mengajar seni dan kerajinan di sekolah. Tiba-tiba, dia merasa pusing dan jantung yang berdebar-debar, sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.

    Setelah menemui sejumlah dokter, Vanek didiagnosis mengalami long COVID. Hal itu membuatnya hanya bisa menghabiskan sebagian besar harinya di ruang tamu kecil di apartemennya di Wina, sambil mengamati dunia luar lewat jendela.

    “Saya tidak bisa merencanakan apapun, karena tidak tahu berapa lama penyakit ini akan berlangsung,” tutur Vanek.

    Vanek berusaha untuk tidak memaksakan dirinya agar terhindar dari masalah kesehatan lainnya. Kelemahan otot yang parah yang dialaminya itu membuatnya kesulitan, meski hanya membuka tutup botol air.

    (sao/naf)

  • Penyebab Orang Kena Long COVID, Gejala Menetap Meski sudah Negatif

    Penyebab Orang Kena Long COVID, Gejala Menetap Meski sudah Negatif

    Jakarta

    Peneliti Brigham melakukan studi untuk mencari penyebab long COVID atau gejala COVID-19 jangka panjang pada seseorang. Untuk mengetahuinya, mereka menganalisis 1.569 sampel darah yang dikumpulkan dari 706 orang.

    Itu juga termasuk sampel dari 392 peserta National Institutes of Health-supported Researching COVID to Enhance Recovery (RECOVER) Initiative, yang sebelumnya dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

    Dengan tes yang sangat sensitif, para peneliti mencari protein utuh dan parsial dari virus SARS-CoV-2. Mereka juga menganalisis data dari gejala long COVID para peserta, menggunakan informasi grafik medis elektronik atau survei yang dikumpulkan bersamaan saat sampel darah diambil.

    Dalam laporan yang dipublikasikan dalam Clinical Microbiology and Infection, peserta yang melaporkan gejala long COVID yang mempengaruhi jantung, paru-paru, otak, dan sistem muskuloskeletal dua kali lebih mungkin memiliki protein SARS-CoV-2 di dalam darah.

    Tim peneliti mendeteksi spike protein dan komponen lain dari virus SARS-CoV-2 menggunakan Simoa, tes yang sangat sensitif untuk mendeteksi molekul tunggal. Gejala long COVID yang umum dilaporkan termasuk kelelahan, kabut otak, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan sakit kepala.

    Secara spesifik, 43 persen dari mereka yang mengalami long COVID dan mempengaruhi tiga sistem utama tubuh dinyatakan positif protein virus dalam 1 hingga 14 bulan sejak hasil tes COVID positif mereka.

    “Jika kita dapat mengidentifikasi sekelompok orang yang memiliki gejala virus persisten karena adanya reservoir virus dalam tubuh, kita mungkin dapat mengobati mereka dengan antivirus untuk meringankan gejala mereka,” kata penulis utama Zoe Swank, PhD, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Patologi di Brigham and Women’s Hospital.

    Penyebab Lain Long COVID

    Profesor Patologi di Rumah Sakit Brigham and Women’s sekaligus peneliti utama studi, David Walt, PhD, menyebut kemungkinan ada penyebab lain yang memicu terjadinya long COVID. Salah satunya kemampuan virus dalam merusak sistem imun tubuh.

    “Misalnya, kemungkinan penyebab lain dari gejala long COVID adalah virus tersebut merusak sistem imun, yang menyebabkan disfungsi imun terus berlanjut setelah sembuh,” sambungnya yang dikutip dari MedicalXpress.

    Swank, Walt, dan peneliti lain juga tengah melakukan studi lanjutan untuk mencari penyebab dari gejala long COVID ini. Mereka menganalisis sampel darah dan data gejala pada kelompok pasien yang lebih besar, termasuk kelompok orang dengan rentang usia lebih luas dan orang dengan gejala imun yang terganggu,

    “Masih banyak yang belum kita ketahui tentang bagaimana virus ini mempengaruhi orang,” beber direktur program ilmiah senior untuk Komite Pengarah Konsorsium Observasi RECOVER dan direktur Divisi Ilmu Kardiovaskular di Institut Jantung, Paru-paru, dan Darah Nasional (NHLBI), David C Goff, MD, PhD.

    “Jenis studi ini penting untuk membantu para peneliti lebih memahami mekanisme yang mendasari long COVID-19, yang akan membantu kita lebih dekat dalam mengidentifikasi target pengobatan yang tepat,” lanjut dia.

    Goff menambahkan bahwa hasil ini juga mendukung upaya berkelanjutan untuk mempelajari pengobatan antivirus.

    (sao/kna)

  • Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Jakarta

    Wachuka Gichohi (41) masih berjuang mengatasi long COVID yang diidapnya meski telah dinyatakan negatif 4 tahun lalu. Hingga saat ini dia masih mengalami kelelahan, serangan panik dan banyak gejala lainnya yang membuatnya takut mati di malam hari.

    Studi terbaru mengungkap pengalaman jutaan pasien seperti Gichohi. Mereka menunjukkan bahwa semakin lama seseorang sakit, semakin rendah peluangnya untuk pulih sepenuhnya.

    Waktu terbaik untuk pemulihan adalah enam bulan pertama setelah terkena COVID-19. Orang-orang yang gejalanya berlangsung antara enam bulan dan dua tahun cenderung tidak pulih sepenuhnya.

    Gichohi didiagnosis COVID-19 di tahun 2020. Empat tahun setelahnya, gejala yang dia alami tak hilang meski sudah dinyatakan negatif.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya “akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, seorang profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan yang diterbitkan di The Lancet dikutip dari Reuters.

    Long COVID didefinisikan sebagai gejala yang bertahan selama tiga bulan atau lebih setelah infeksi awal, melibatkan serangkaian gejala mulai dari kelelahan ekstrem hingga kabut otak, sesak napas, dan nyeri sendi.

    Gejalanya dapat berkisar dari ringan hingga sangat melumpuhkan, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang terbukti, meskipun para ilmuwan telah membuat kemajuan dalam teori tentang siapa yang berisiko dan apa yang mungkin menyebabkannya.

    Secara global, diperkirakan ada 62 juta hingga 200 juta orang yang mengalami long COVID.

    “Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.

    Ada beberapa hipotesis mengenai long COVID. Riset menunjukkan mayoritas yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” epidemiolog Dicky Budiman kepada detikcom.

    Di Indonesia sendiri, Fenomena Long COVID di Indonesia pernah diteliti oleh RSUP Persahabatan Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Gejala long COVID paling dominan antara lain:

    Kelelahan 29,41 persenBatuk 15,55 persenNyeri otot 11,7 persenSesak napas 11,2 persenSakit kepala 11 persenNyeri sendi 9 persen

    (kna/kna)

  • Daftar Gejala Long COVID yang Paling Banyak Dialami Orang Indonesia

    Daftar Gejala Long COVID yang Paling Banyak Dialami Orang Indonesia

    Jakarta

    Seseorang yang sudah dinyatakan negatif dari infeksi COVID-19 bisa mengalami gejala menetap atau gejala sisa selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Fenomena ini disebut sebagai Long COVID.

    Penelitian menunjukkan semakin lama seseorang terinfeksi virus corona, semakin rendah peluangnya untuk pulih sepenuhnya. Waktu terbaik untuk pemulihan diperkirakan enam bulan pasca terinfeksi COVID-19.

    Fenomena Long COVID di Indonesia pernah diteliti oleh RSUP Persahabatan Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Studi ini dilakukan dalam periode 9 – 28 Januari 2021.

    Dalam jurnal berjudul Clinical characteristics and quality of life of persistent symptoms of COVID-19 syndrome in Indonesia, dari 386 pasien COVID-19 yang diamati ada sekitar 66,5 responden yang mengalami Long COVID-19.

    “Prevalensi sindrom persisten COVID-19 di Indonesia cukup tinggi sehingga berdampak pada kualitas hidup penyintas COVID-19. Pneumonia menjadi faktor utama yang mempengaruhi kejadian sindrom COVID-19 persisten,” tulis studi tersebut.

    Gejala Long COVID paling dominanKelelahan 29,41 persenBatuk 15,55 persenNyeri otot 11,7 persenSesak napas 11,2 persenSakit kepala 11 persenNyeri sendi 9 persen

    (kna/kna)

  • Kelompok Ini Paling Rentan Alami Long COVID, Tetap Sakit Meski Sudah Negatif

    Kelompok Ini Paling Rentan Alami Long COVID, Tetap Sakit Meski Sudah Negatif

    Jakarta

    Mereka yang sebelumnya pernah terpapar COVID-19 dan masih mengalami gejala dalam enam bulan atau dua tahun setelahnya memiliki kemungkinan lebih rendah untuk sembuh dari ‘Long COVID’. Banyak dari masyarakat yang tidak menyadari bahwa mereka mengalami keluhan yang ‘menetap’ pasca-terpapar.

    Dikutip dari US National Institutes of Health’s National Library of Medicine (NIH/NLM dan Healio, fase Long COVID ini bisa menyebabkan munculnya gejala-gejala neurologis seperti gangguan tidur, kognitif, penciuman, sakit kepala, dan lainnya.

    Studi menyebutkan kondisi ini paling rentan terjadi pada orang dewasa usia 18 hingga 64 tahun dan wanita. Gejala ini dapat terjadi setelah kasus penyakit yang parah atau ringan.

    Bagaimana Fenomena Long COVID di RI?

    Pakar epidemiologi Dicky Budiman mengatakan kondisi ini paling rentan dialami oleh para penyintas COVID-19 yang belum melakukan vaksinasi.

    “Riset menunjukkan mayoritas itu sebagian besar dari yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi,” tutur dia kepada detikcom Jumat (22/11/20240.

    “Adapun orang-orang yang ketika pertama terinfeksi sudah pernah mendapatkan vaksinasi, jauh lebih kecil peluang mendapatkan long COVID,” lanjut dia.

    Dicky menambahkan, fenomena ini merupakan masalah masalah bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” kata Dicky.

    Bukti lain tingginya kasus long COVID berkaitan dengan peningkatan kasus alzheimer, termasuk di kelompok muda. Sejumlah riset menunjukkan keterkaitan dampak dari COVID-19 pada alzheimer.

    “Termasuk pada mereka yang baru sekali terpapar, atau berulang kali terpapar. Dalam kasus berat, bahkan berkaitan dengan kasus-kasus kardiovaskular, neurologis, yang juga meningkat,” pungkasnya.

    (dpy/suc)

  • Kelompok Ini Paling Rentan Alami Long COVID, Tetap Sakit Meski Sudah Negatif

    RI Dibayangi Fenomena Long COVID, Gejala Tak Hilang Meski Sudah Negatif

    Jakarta

    Pakar epidemiologi Dicky Budiman mewanti-wanti risiko terjadinya ‘tsunami’ long COVID, efek jangka panjang dari wabah COVID-19 selama bertahun-tahun. Banyak yang kemudian tidak menyadari mengalami keluhan ‘menahun’ alias gejala yang ‘menetap’ pasca terpapar.

    Kondisi ini disebutnya paling rentan terjadi pada penyintas COVID-19 yang belum divaksinasi.

    “Riset menunjukkan mayoritas itu sebagian besar dari yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi,” tutur dia kepada detikcom Jumat (22/11/20240.

    “Adapun orang-orang yang ketika pertama terinfeksi sudah pernah mendapatkan vaksinasi, jauh lebih kecil peluang mendapatkan long COVID,” lanjut dia.

    Dicky membenarkan hal tersebut tidak hanya terjadi di berbagai negara maju yang melaporkan pendataan kasus long COVID-19. Indonesia juga menghadapi fenomena serupa.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” kata Dicky.

    Bukti lain tingginya kasus long COVID berkaitan dengan peningkatan kasus alzheimer, termasuk di kelompok muda. Sejumlah riset menunjukkan keterkaitan dampak dari COVID-19 pada alzheimer.

    “Termasuk pada mereka yang baru sekali terpapar, atau berulang kali terpapar. Dalam kasus berat, bahkan berkaitan dengan kasus-kasus kardiovaskular, neurologis, yang juga meningkat,” pungkasnya.

    Sebelumnya diberitakan, para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat menemukan tren kasus long COVID meningkat.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan baru yang dipublikasikan di The Lancet.

    Mengacu riset tersebut, berikut gejala yang kerap dikeluhkan pengidap long COVID dan berisiko tak pulih:

    Kelelahan ekstremBrain fog atau sulit fokus pada sesuatu halSesak napasNyeri sendi

    (naf/kna)

  • Cerita ‘Alumni’ COVID Keluhkan Gejala Tak Kunjung Sembuh, Terinfeksi Tahun 2020

    Kabar Nggak Enak Buat ‘Alumni’ COVID-19, Gejala Ini Bisa Jadi Tak Akan Hilang

    Jakarta

    Seseorang yang pernah terkena COVID-19 dan masih mengalami gejala dalam enam bulan hingga dua tahun setelahnya, kemungkinan kecil ‘sembuh’ dari Long COVID. Kondisi ini dikaitkan dengan gejala yang menetap pasca terkena SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 hingga sistem imun melemah.

    Temuan baru para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat menemukan tren kasus long COVID meningkat.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan baru yang dipublikasikan di The Lancet.

    Sivan menyebut sejumlah keluhan yang masih dialami penyintas COVID-19 adalah:

    Kondisi kronis ensefalomielitis mialgik/sindrom kelelahan kronisFibromyalgia

    Seseorang bahkan perlu waspada mengalami long COVID bila gejala tidak kunjung hilang lebih dari tiga bulan.

    Umumnya keluhan berikut akan terus bertahan. Apa saja?

    Kelelahan ekstremBrain fog atau sulit fokus pada sesuatu halSesak napasNyeri sendi

    Gejalanya bisa ringan hingga sangat parah, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang bisa menunjukkan diagnosis tersebut.

    Satu studi di Inggris menunjukkan hampir sepertiga dari mereka yang melaporkan gejala pada 12 minggu, pulih setelah 12 bulan. Sementara yang lain, terutama di antara pasien dengan perawatan di rumah sakit, menunjukkan tingkat pemulihan jauh lebih rendah.

    Dalam sebuah studi Kantor Statistik Nasional Inggris, 2 juta orang melaporkan sendiri gejala COVID jangka panjang atau long COVID pada Maret lalu. Sekitar 700.000, atau 30,6 persen di antaranya mengatakan mereka pertama kali mengalami gejala setidaknya tiga tahun sebelumnya. Secara global, perkiraan yang diterima menunjukkan 65 juta hingga 200 juta orang mengalami long COVID.

    “Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.

    Amerika Serikat dan beberapa negara seperti Jerman terus mendanai riset long COVID. Namun, lebih dari dua 24 pakar, advokat pasien, dan eksekutif farmasi mengatakan kepada Reuters bahwa dana dan perhatian untuk kondisi tersebut semakin berkurang di negara-negara kaya lain, yang secara tradisional mendanai penelitian berskala besar.

    Pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, hal itu tidak pernah ada. “Perhatian telah bergeser,” kata Amitava Banerjee, seorang profesor di University College London yang memimpin uji coba besar obat-obatan yang digunakan kembali dan program rehabilitasi.

    Ia mengatakan long COVID harus dilihat sebagai kondisi kronis yang dapat diobati untuk meningkatkan kehidupan pasien daripada disembuhkan, seperti penyakit jantung atau radang sendi.

    “Sangat melumpuhkan,” demikian pengakuan Leticia Soares (39) dari Brasil, yang terinfeksi pada 2020 dan telah berjuang melawan kelelahan hebat dan nyeri kronis sejak saat itu.

    Pada hari yang baik, ia menghabiskan waktu lima jam di luar tempat tidur. Ketika ia dapat bekerja, Soares menjadi salah satu pemimpin dan peneliti di Patient-Led Research Collaborative, sebuah kelompok advokasi yang terlibat dalam tinjauan bukti COVID jangka panjang yang diterbitkan baru-baru ini di Nature.

    Soares mengatakan ia yakin pemulihan jarang terjadi lebih dari 12 bulan. Beberapa pasien mungkin mendapati gejala mereka mereda, lalu kambuh lagi, semacam remisi yang dapat disalahartikan sebagai pemulihan.

    “Ini sangat melumpuhkan dan mengisolasi. Seseorang bisa menghabiskan waktu setiap kali bertanya-tanya, ‘Apakah kondisi saya akan memburuk setelah ini?’” katanya, menggambarkan pengalamannya sendiri.

  • Update Imun, Solusi Agar Tubuh Tetap Terjaga Setelah Pandemi Covid-19

    Update Imun, Solusi Agar Tubuh Tetap Terjaga Setelah Pandemi Covid-19

    Jakarta, CNN Indonesia

    Memasuki tahun kelima penyebaran Covid-19, situasi pandemi di dunia belum benar-benar berakhir. Bahkan di sejumlah negara kembali terjadi peningkatan jumlah kasus Covid-19 dalam beberapa minggu terakhir.

    Peneliti global health security Griffith University Australia, dr. Dicky Budiman PhD menyatakan, fase akut pandemi Covid-19 memang sudah dilewati, namun saat ini manusia masih berada di fase post acute pandemi, di mana fase ini memiliki risiko tinggi yang disebut Long Covid.

    Terlebih, data WHO secara global menunjukkan, jumlah kasus baru meningkat sebesar 52 persen selama periode 28 hari pada 20 November hingga 17 Desember 2023, dengan lebih dari 850 ribu kasus baru dilaporkan.

    dr. Dicky menegaskan, kontrol harus tetap diterapkan, antara lain melalui vaksin booster yang diakui memegang peran penting.

    “Yang dihadapi dunia saat ini adalah kesakitan yang berlanjut, yang berpotensi menimbulkan Long Covid dan pada akhirnya berpotensi menurunkan kualitas kesehatan,” kata dr. Dicky saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (18/1).

    Menurut dr. Dicky, dengan proporsi penduduk Indonesia sekarang ditambah faktor-faktor lain seperti lingkungan, kebiasaan sehari-hari, hingga literasi kesehatan yang kurang, vaksinasi dan vaksin booster Covid-19 sebagai salah satu langkah update imun menjadi solusi paling tepat.

    Peneliti global health security Griffith University Australia, dr. Dicky Budiman PhD. (Foto: dok istimewa)

    Secara khusus, dr. Dicky menyoroti para lansia, anak-anak, serta penderita komorbid yang disebut kelompok paling rawan terhadap Covid-19 dan dampak panjangnya. Pasalnya, imunitas dari pemberian vaksin umumnya menurun setelah 6 bulan.

    “Kalau bicara varian JN1, dibandingkan (varian) Delta, dia mungkin lebih kuat. Kalau saja dia (JN1) datangnya Juli 2021, di mana cakupan vaksinasi belum seperti sekarang, kematian yang disebabkan bisa jauh lebih besar, lebih banyak,” papar dr. Dicky.

    Riset menunjukkan, evolusi tidak melemahkan virus itu sendiri. Justru, virus dapat jadi lebih kuat. Untuk itu, dr. Dicky menekankan pentingnya update imun dengan vaksinasi booster, khususnya terhadap kelompok rentan.

    “Terinfeksi Covid berulang kali itu tidak bagus. Tikus di laboratorium saja mati terpapar Covid berulang kali, organ dalamnya rusak. Ini yang disebut dengan long term atau collateral damage, ini yang harus diatasi,” katanya.

    Karena itu, dr. Dicky menjelaskan, vaksin booster aman bagi lansia, penderita komorbid, serta ibu hamil. Dengan cakupan vaksin mencapai 7 miliar dosis saat ini, kasus sakit pascavaksin atau yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terhitung sangat kecil.

    “Bisa di-state ya ini aman, dan yang penting, dampak buruk dari penyakit Covid itu sangat jauh lebih besar,” ujarnya.

    (Foto: Bio Farma)

    Lebih lanjut dr. Dicky menilai bahwa IndoVac dapat menjadi rekomendasi vaksin booster terbaik. Selain merupakan buatan anak bangsa, keefektifan Indovac sudah terbukti secara ilmiah, dan dipastikan sesuai bagi penduduk Indonesia.

    Diproduksi oleh Bio Farma, IndoVac resmi mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai vaksin lanjutan atau booster bagi orang di atas 18 tahun pada 2023.

    Tak hanya memenuhi syarat keamanan, kualitas, serta kemanjuran, IndoVac juga telah memperoleh ketetapan halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

    “Saya merekomendasikan yang memang cocok untuk Indonesia, ya Indovac saja. Pas untuk kita, selain karena tadi, keefektifan, keamanan, dan kehalalannya,” tutur dr. Dicky.

    Saat ini, manfaat vaksin booster IndoVac bisa diperoleh melalui fasilitas kesehatan (faskes) milik BUMN Holding Farmasi, yakni Kimia Farma Klinik Diagnostik, juga faskes BUMN lainnya, serta di faskes swasta dengan harga bervariasi.

    Di faskes Bio Farma Group, layanan vaksinasi IndoVac dipatok mulai Rp200 ribu sampai Rp250 ribu per suntikan. IndoVac juga bisa didapatkan melalui distributor Kimia Farma Trading dan Distribusi (KFTD), serta distributor resmi PT Bio Farma (Persero) lain.

    Tak sebatas vaksin booster Covid-19, dr. Dicky juga meminta agar masyarakat tetap menerapkan kebiasaan new normal dalam keseharian, termasuk memakai masker, menjauhi kerumunan, dan rajin mencuci tangan atau memakai hand sanitizer.

    “Tentu situasinya tidak sama dengan waktu puncak pandemi, tapi ancaman itu ada. Jadi prinsipnya, perilaku hidup sehat 5M itu tetap diperlukan, jangan sampai terjadi dampak-dampak lain ke depannya,” pungkas dr Dicky.

    Sebelumnya, pada awal Januari 2024 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa vaksinasi Covid-19 yang ditetapkan sebagai program imunisasi rutin tetap diberikan secara gratis terhadap dua kelompok, yakni mereka yang belum pernah menerima vaksin Covid-19 sama sekali, dan mereka yang sudah menerima minimal satu dosis vaksin.

    Pada kedua kelompok tersebut, sasaran vaksin ditujukan bagi penduduk lansia, lansia dengan komorbid, dewasa dengan komorbid, dan tenaga kesehatan. Kemudian, juga kepada ibu hamil, remaja usia 12 tahun ke atas, dan kelompok usia lain dengan kondisi memiliki gangguan sistem imun berskala sedang sampai berat.

    Sekadar informasi, hingga akhir Desember 2023, Kemenkes mencatat kasus Covid-19 varian JN.1 terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau, Kepulauan Riau, serta Kalimantan Utara.

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, meminta agar masyarakat segera melengkapi vaksin Covid-19 dan terus menerapkan protokol kesehatan yang sesuai.

    (rea/rir)

    [Gambas:Video CNN]