Topik: Long Covid

  • WHO Bicara Lagi soal Asal Usul COVID-19, Teori Kebocoran Lab Wuhan Menguat?

    WHO Bicara Lagi soal Asal Usul COVID-19, Teori Kebocoran Lab Wuhan Menguat?

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa semua kemungkinan asal usul pandemi COVID-19 masih terbuka, termasuk teori kebocoran laboratorium. Hal ini disampaikan setelah penyelidikan selama empat tahun belum juga membuahkan kesimpulan, akibat keterbatasan akses data penting.

    Dalam konferensi pers, Jumat (27/6/2025), Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menegaskan belum ada satu pun teori yang bisa dipastikan.

    “Semua hipotesis masih harus berada di atas meja, termasuk penularan dari hewan dan kebocoran laboratorium,” ujar Tedros, dikutip dari CNA.

    Sebuah laporan dari Scientific Advisory Group for the Origins of Novel Pathogens (SAGO) menyebutkan, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, penularan dari hewan ke manusia masih menjadi teori yang paling kuat. Namun, ketua SAGO Marietjie Venter menekankan bahwa asal usul virus belum bisa dipastikan tanpa data tambahan.

    “Selama belum ada informasi tambahan atau bukti baru, asal-usul SARS-CoV-2 dan bagaimana virus ini menjangkiti manusia akan tetap belum bisa disimpulkan,” katanya.

    Teori kebocoran laboratorium, lanjut Venter, juga belum bisa ditelusuri lebih jauh karena kurangnya data penting. Tedros secara terbuka menyebut kurangnya kerja sama dari pihak China, sebagai hambatan besar dalam penyelidikan ini.

    “China belum memberikan ratusan urutan genetik dari pasien awal, data detail tentang hewan di pasar Wuhan, maupun informasi soal penelitian dan keamanan laboratorium di Wuhan,” tegasnya.

    WHO juga telah meminta akses ke laporan intelijen dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang pada masa pemerintahan Donald Trump sempat mendukung teori kebocoran lab sebagai sumber pandemi.

    Tedros menyebut mengungkap asal usul COVID-19 adalah kewajiban moral untuk menghormati jutaan korban jiwa dan mencegah wabah di masa depan.

    “Virus ini terus bermutasi, mengambil nyawa, dan meninggalkan beban panjang seperti long COVID,” ujar Tedros.

    SAGO sendiri berkomitmen untuk terus mengevaluasi bukti ilmiah terbaru. Namun, laporan menyebut permintaan data ke negara lain seperti Jerman dan AS juga belum membuahkan hasil.

    Menariknya, laporan SAGO kali ini juga diwarnai dinamika internal. Satu anggota mengundurkan diri dan tiga lainnya meminta namanya dihapus dari laporan.

    (naf/up)

  • Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Jakarta

    Saya sendiri sudah lebih dari setahun tidak bisa berlama-lama melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Padahal di awal pandemi, saya bisa berjam-jam berdiri di dapur membuat roti. Tapi setelah sembuh dari COVID-19, hidup saya tidak pernah benar-benar kembali seperti semula.

    Selama dua tahun setelah sembuh, tubuh saya sulit diajak kompromi. Aktivitas fisik ringan pun bisa memicu rasa lelah yang tak biasa, pegal di sekujur badan, dan kadang nyeri pinggul. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja. Tapi tubuh saya bicara sebaliknya.

    Bukan hanya orang dewasa, anak-anak ikut terdampak. Misalnya Indra (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Ia nyaris putus sekolah setelah didiagnosis epilepsi fokal usai sembuh dari COVID-19. Sebelum itu, ia kerap mengeluh sakit kepala selama berbulan-bulan, matanya terasa ‘melayang’, dan sulit fokus belajar. Kini, muncul pula alergi yang sebelumnya tidak pernah ada. Setiap bulan, kedua orang tuanya harus merogoh kocek dalam untuk pengobatan.

    Tapi siapa yang peduli sekarang?

    Ketika Dunia Ingin Cepat ‘Move On’

    Indonesia sudah masuk era endemi. Tapi Long COVID tetap nyata. Sayangnya, topik ini nyaris lenyap dari ruang publik.

    Tak ada lagi kampanye. Tak ada edukasi di media sosial. Tak ada layanan pemulihan khusus. Bahkan, pejabat pun jarang membicarakan masalah ini.

    Padahal WHO menegaskan, Long COVID bisa menyerang siapa saja-bahkan mereka yang saat terinfeksi hanya mengalami gejala ringan.

    Gejalanya bukan sekadar batuk. Tapi bisa berupa:

    Kelelahan ekstremKebingungan mental (brain fog)Detak jantung tidak stabilDepresi dan kecemasanGangguan pernapasan atau nyeri dada,

    Dan masih banyak lagi gejala yang dirasakan penyintas COVID.

    Riset WHO memperkirakan 10-20 persen penyintas mengalami kondisi ini. Di Asia, angka itu bisa lebih tinggi karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis atau tercatat.

    Negara Diam, Warga Cuek

    Long COVID seperti tak dianggap. Pemerintah diam, masyarakat pun bosan.

    Bisa jadi ini karena kepercayaan publik yang sudah telanjur rusak. Selama pandemi, informasi terus berubah. Banyak yang akhirnya skeptis-bahkan sinis.

    Tak sedikit yang berkomentar, “Ah, ini cuma mau jual vaksin lagi,” atau, “Nakut-nakutin biar kita takut lagi.”

    Lebih buruk lagi, gejala-gejala usai terkena COVID seperti kelelahan, gangguan saraf, atau nyeri dada seringkali dianggap sebagai efek vaksin, bukan virus. Ini membuat para penyintas makin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau dialihkan ke isu lain.

    Padahal, baik vaksin maupun virus COVID-19 bisa menimbulkan efek samping. Tapi tanpa komunikasi publik yang jujur dan terbuka, kebingungan ini hanya akan memperburuk stigma dan memecah solidaritas.

    Hidup dengan gejala yang tak diakui

    Yang paling menderita adalah penyintas. Mereka dipaksa terlihat sembuh, padahal belum.

    Ketika memeriksakan diri, diagnosis yang ditegakkan sering kali hanyalah psikosomatis atau gangguan lain tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani. Hasilnya nihil. Yang ada biaya membengkak, hasil tetap buram.

    Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani, namun tak ada hasil. Yang ada, habis biaya yang tak sedikit untuk mencari pengobatan. Banyak penyintas akhirnya memilih diam. Mereka berdamai sendiri dengan tubuh yang tak lagi seperti dulu.

    Tak ada ruang bicara. Tak ada empati. Hidup dalam masyarakat yang ingin cepat move on.

    Di luar, taman hiburan dan konser sudah ramai lagi. Tapi di rumah, ada yang bahkan keluar kamar pun tak sanggup.

    NEXT: Ketika dampaknya tak lagi personal

    Ketika dampaknya tak lagi personal

    Long COVID bukan hanya tentang individu yang menderita diam-diam. Dampaknya bisa jauh lebih luas.

    Beberapa pakar menduga penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID, seperti kebingungan atau gangguan konsentrasi, bisa berkontribusi terhadap meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti brain fog, kelelahan akut, atau gangguan tidur bisa memengaruhi konsentrasi saat berkendara-tanpa disadari.

    Belum lagi meningkatnya kasus kematian mendadak pada usia produktif yang banyak dilaporkan belakangan ini. Meski tak semua bisa dikaitkan langsung, Long COVID patut dicurigai sebagai salah satu faktor tersembunyi yang memperburuk kondisi kesehatan tanpa gejala jelas.

    Beberapa perusahaan asuransi bahkan mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam dua tahun terakhir. Gejala-gejala ini sejalan dengan daftar dampak Long COVID versi WHO.

    Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman terhadap keselamatan publik?

    Long COVID adalah tes solidaritas

    Ini bukan cuma soal virus. Ini soal ingatan. Soal empati. Soal apakah kita benar-benar belajar dari pandemi.

    Jika negara terus mengabaikan, dan masyarakat terus melupakan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tidak pernah sembuh.

    Saya menulis ini bukan untuk dikasihani. Tapi karena saya tahu masih banyak yang seperti saya, diam-diam menderita, tapi tak dianggap. Kami butuh didengar. Kami butuh diingat.

    Akhirnya, ini bukan lagi soal kesehatan. Ini soal solidaritas.

    Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah awal bisa dilakukan:

    Pemerintah daerah dan pusat perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan, bekerja sama dengan spesialis paru, neurologi, psikiatri, dan rehabilitasi medik. Selain itu menyediakan layanan booster vaksin untuk warga yang membutuhkan.Komunitas penyintas dan LSM bisa memperkuat peran advokasi dan pendampingan, terutama untuk kasus anak-anak dan penyintas rentan.Media massa perlu memberi ruang untuk cerita penyintas agar publik sadar bahwa penyakit ini belum selesai.Kita, sebagai individu bisa berkontribusi, misalnya dengan tetap memakai masker saat flu, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

    Long COVID bukan aib. Ini bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu, dengan empati, dan tentu saja, dengan hadirnya kebijakan.

    Catatan Redaksi: Penulis merupakan anggota Covid Survivor Indonesia (CSI) dan jurnalis lepas

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    Jakarta

    Setelah pencabutan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO pada Mei 2023, ancaman COVID-19 perlahan memang mulai terabaikan. Namun sebenarnya, virus ini belum sepenuhnya hilang. Kasus penularan tetap ada dan fluktuatif, dengan lonjakan terbaru terjadi di berbagai negara akibat varian baru NB.1.8.1, turunan dari Omicron JN.1.

    India mencatat lonjakan signifikan, dari 257 kasus aktif pada 22 Mei menjadi 3.758 kasus pada awal Juni 2025. Lonjakan serupa terjadi di West Bengal, dengan peningkatan lebih dari 20 kali lipat dalam dua minggu terakhir. Meskipun sebagian besar kasus bersifat ringan, rumah sakit di Kolkata telah menambah kapasitas isolasi untuk mengantisipasi peningkatan pasien.

    Di Australia, varian NB.1.8.1 menyebabkan peningkatan kasus, terutama di Tasmania. Otoritas kesehatan mendesak warga untuk mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 dan vaksin flu, mengingat rendahnya tingkat vaksinasi pasca status PHEIC dicabut.

    Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Singapura dan Thailand. Dalam sepekan, kedua negara tersebut mencatat lebih dari 15 ribu kasus. Bahkan, Thailand melaporkan sekitar 200 ribu infeksi COVID-19 sepanjang 2025.

    Lain halnya dengan Indonesia, imbas testing COVID-19 menurun, ‘hanya’ terlaporkan 75 kasus sejak awal 2025. Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai total kasus di lapangan bisa jauh lebih tinggi dari yang tercatat resmi.

    “Kalau naik pun nggak terdeteksi juga, nggak ada yang mau testing. Siapa sekarang yang mau testing, orang mungkin juga nggak bergejala. Testing kan nggak murah dan bukan jaman seperti COVID-19 yang tesnya bisa gratis,” jelas Pandu kepada detikcom, Senin (2/6/2025).

    Kenaikan kasus COVID-19 yang terkesan ‘tiba-tiba’ memicu beragam spekulasi, termasuk dugaan adanya propaganda terselubung. Ada yang menganggap tren tersebut seolah-olah dibuat dengan maksud dan kepentingan tertentu.

    Faktanya, meski status PHEIC atau ‘pandemi’ dalam istilah awam, dicabut, seluruh dunia belum benar-benar ‘terbebas’ dari virus COVID-19. Artinya, virus tetap bersirkulasi atau menularkan, tetapi menjadi tidak ‘ganas’ dan hanya memicu gejala ringan, atau bisa tidak bergejala sama sekali.

    Hal ini terjadi karena program vaksinasi COVID-19 yang sudah dilakukan di banyak negara. Indonesia misalnya, lebih dari 80 persen masyarakat di Tanah Air sudah menerima dua dosis vaksin COVID-19.

    Pandu juga menilai hal ini yang menjadi keuntungan Indonesia dalam menghadapi virus maupun mutasi COVID-19 belakangan. Kasus kematian bisa ditekan hingga 0 laporan, berdasarkan catatan Kemenkes RI sepanjang 2025. Pandu juga meyakini kenaikan kasus COVID-19 di banyak negara tidak perlu disikapi dengan kepanikan, termasuk mendadak berburu vaksinasi COVID-19 tambahan.

    “Kalau divaksinasi lagi nggak perlu, nggak ada evidence based vaksinasi ulang itu bisa menangani, karena imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Nanti kan jadi kontraproduktif Menkes (dituduh) jualan vaksin lagi,” beber Pandu.

    “Kita juga kan sangat beruntung sama menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal, Sinovac kan virus utuh, kalau mRNA kan cuma bagian dari virus, yang suka berubah nah itu yang mengkhawatirkan di banyak negara, kalau Indonesia sih nggak perlu khawatir,” pungkasnya.

    NEXT: COVID-19 Cuma Propaganda?

    COVID-19 Cuma Propaganda?

    Mari dilihat dari laporan kasus COVID-19 setiap tahun. Catatan Our Wold in Data menunjukkan puncak kasus COVID-19 dunia terjadi pada 21 Juni 2022 dengan hampir 4 juta kasus dalam 24 jam. Sementara puncak kematian terjadi di tahun sebelumnya yakni 21 Januari 2021, mencapai 17.049 per hari.

    Tren kasus maupun kematian karena COVID-19 berangsur menurun signifikan tetapi tidak pernah benar-benar ‘lenyap’.

    Terendah konsisten di angka 2 ribu kasus selama periode Juni 2023 hingga akhir 2024. Pemicunya tidak lain karena kondisi kekebalan imunitas tubuh dan mutasi virus yang dapat memengaruhi tingkat penularan dan efektivitas vaksin.

    Kabar baiknya, sifat virus COVID-19 belakangan sudah tidak lagi mematikan, meskipun catatan infeksi melonjak. Meski begitu, pakar epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan risiko yang bisa muncul di balik infeksi berulang.

    “Memang beruntungnya kita saat ini COVID-19 secara akut tidak menjadi masalah, ketika terinfeksi yasudah gejala-nya ringan,” beber dia kepada detikcom, Selasa (2/6).

    “Tapi ingat COVID-19 ini kalau berulang-ulang ada fase kronis lanjutan yang serius yang disebut dengan long COVID-19 yang cuma tidak bermasalah pada bagian paru-paru, tetapi ke jantung, dan organ lain,” sorot dia.

    Dihubungi terpisah, Hermawan Saputra dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mewanti-wanti kemungkinan risiko fatal tidak hilang sepenuhnya. Terutama pada mereka dengan kelompok rentan. Hal ini terlihat dari laporan Thailand yang mencatat 50-an kasus kematian dari 200 ribu infeksi COVID-19.

    “Kasus-kasus lupus, kelainan-kelainan bawaan, orang dengan hipersensitivitas, itu sangat berisiko. Artinya daya tahannya, imunitasnya tidak optimal, kedua adalah orang-orang lanjut usia dan orang-orang yang punya penyakit komorbid, istilahnya, terutama pneumonia berat karena asma, kemudian ada penyakit-penyakit diabetes, itu yang harus dilindungi lebih awal,” beber dia, kepada detikcom Senin (2/6).

    Menurutnya, pemerintah perlu melakukan skrining utamanya di pintu-pintu masuk dan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) memastikan subvarian yang dominan menyebar, meski sebagian besar karakteristik virus bersifat ringan. Hal ini tetap perlu dilakukan sebagai kewaspadaan menghadapi risiko lonjakan kasus.

    Ia tidak menampik kemungkinan beberapa orang kemudian berspekulasi dan menganggap COVID-19 sebagai teori konspirasi saat lonjakan terkesan tiba-tiba terjadi.

    “Yang perlu dipahami adalah COVID-19 itu masih ada, dia selalu ada di sekitar kita, yang membedakan saat status PHEIC dicabut, karakteristik virus maupun gejalanya saat ini relatif ringan, tidak lagi memicu gejala berat, atau kasus rawat inap, karena sudah terbentuk imunitas atau kekebalan terhadap infeksi di masyarakat, baik dari paparan maupun vaksinasi,” lanjutnya.

    NEXT: Endemik tak berarti hilang dari peredaran

    Hermawan menyebut status COVID-19 saat ini sudah menjadi endemik seperti penyakit menular lain, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Artinya, virus tetap ada tetapi dinilai tidak lagi mengkhawatirkan.

    Senada, Dicky menyebut penyangkalan akan keberadaan COVID-19 akan selalu terjadi. Terlebih, secara psikologis pandemi COVID-19 kala itu membuat banyak orang terganggu dalam segala aktivitas dan memicu kerugian serta dampak besar bagi beberapa orang secara finansial, karena mobilitas yang mendadak dibatasi. Tidak heran, kemudian muncul penyangkalan dari situasi COVID-19 belakangan.

    “Kita tidak bisa mengandalkan penyangkalan untuk kemudian meniadakan penyakit itu. Tidak akan hilang,” tegas dia.

    “Lebih bijak yang bisa dilakukan saat ini tetap menjaga perilaku hidup bersih sehat, memakai masker, mencuci tangan,” tutupnya.

    Saksikan Live DetikSore:

  • Studi Bawa Kabar Tak Enak Buat ‘Alumni’ COVID, Disebut Bisa Kena Penyakit Kronis Ini

    Studi Bawa Kabar Tak Enak Buat ‘Alumni’ COVID, Disebut Bisa Kena Penyakit Kronis Ini

    Jakarta

    Menurut sebuah studi baru, mereka yang pernah terkena COVID-19 delapan kali lebih mungkin mengalami kondisi kronis ME/CFS (myalgic encephalomyelitis/chronic fatigue syndrome). Penelitian tersebut menggunakan data dari inisiatif penelitian long COVID yang dilakukan oleh US National Institutes of Health (NIH).

    “Penelitian ini menggarisbawahi urgensi bagi penyedia layanan kesehatan untuk mengenali ME/CFS pasca-COVID-19,” kata penulis pertama Dr Suzanne D. Vernon, direktur penelitian di Bateman Horne Center, dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke IFLScience.

    ME/CFS sering kali dikaitkan dengan infeksi sebelumnya. Bahkan jika seseorang hanya mengalami gejala ringan saat terinfeksi COVID-19, mereka tetap bisa mengalami gejala berkepanjangan seperti kelelahan, kabut otak, dan pusing di kemudian hari.

    Meskipun long COVID masih merupakan kondisi yang baru dipahami, ME/CFS dan konsep penyakit pasca-virus sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun, banyak pasien masih mengalami kesulitan mendapatkan diagnosis dan perawatan. Mereka juga sering menghadapi stigma, kesalahpahaman, dan informasi medis yang saling bertentangan.

    Mengingat banyaknya temuan tentang long COVID sejak pandemi dimulai hampir lima tahun lalu, para peneliti dalam studi terbaru ini ingin meneliti kemungkinan hubungan antara COVID-19 dan ME/CFS.

    Para peneliti menggunakan data dari RECOVER Initiative, proyek yang didanai oleh NIH dan dirancang sebagai studi paling komprehensif dan beragam di dunia tentang long COVID. Analisis ini melibatkan 11.785 peserta yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 dan 1.439 peserta yang belum pernah terinfeksi.

    Tim peneliti kemudian menilai berapa banyak peserta yang memenuhi kriteria diagnostik untuk ME/CFS setidaknya enam bulan setelah terinfeksi COVID-19. Namun, perlu dicatat bahwa kriteria ini bergantung pada pelaporan gejala oleh peserta sendiri, yang menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.

    ME/CFS ditemukan pada 4,5 pesen peserta yang pernah terinfeksi, dibandingkan dengan hanya 0,6 pesen peserta yang tidak terinfeksi. Selain itu, hampir 90 pesen dari mereka yang memenuhi kriteria ME/CFS juga termasuk dalam kelompok pasien long COVID dengan gejala paling parah, yang semakin memperkuat hubungan antara kedua kondisi tersebut.

    “Temuan ini memberikan bukti tambahan bahwa infeksi, termasuk yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, dapat memicu ME/CFS,” tulis Institut Nasional Gangguan Neurologis dan Stroke dalam pernyataannya tentang penelitian ini.

    Gejala yang paling sering dilaporkan oleh kelompok ini adalah malaise pasca-olahraga (kelelahan ekstrem setelah aktivitas fisik), intoleransi ortostatik (pusing saat berdiri), dan gangguan kognitif. Gejala-gejala ini juga umum dialami oleh banyak pasien long COVID.

    Para peneliti menekankan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mengapa COVID-19 dapat menyebabkan penyakit kronis pada sebagian orang serta siapa yang lebih berisiko mengalami kondisi ini.

    “Penelitian ini menegaskan pentingnya bagi tenaga medis untuk mengenali ME/CFS pasca-COVID-19. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat dapat mengubah kehidupan pasien,” kata Dr Suzanne D Vernon.

    (suc/suc)

  • Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

    Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

    Jakarta, Beritasatu.com –  Derita pasien long Covid semakin nyata, tetapi banyak dari mereka merasa diabaikan dan tidak dipercaya oleh tenaga medis. Sebuah studi terbaru yang melibatkan wawancara mendalam dengan 14 penderita long Covid menemukan bahwa pasien menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan atas kondisi mereka. Beberapa bahkan menolak dukungan psikologis karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai bukti bahwa penyakit mereka tidak nyata.

    “Kami menemukan bahwa para peserta hidup dalam ketidakpastian yang terus-menerus dan berjuang mencari pengobatan. Banyak yang merasa tidak didengarkan, kehilangan kepercayaan pada dokter, lingkungan sosial, bahkan tubuh mereka sendiri,” ujar Saara Petker, psikolog klinis sekaligus salah satu penulis studi ini dikutip IFL Science, Jumat (28/3/2025). 

    Petker bersama Profesor Jane Ogden dari University of Surrey mewawancarai 14 orang dewasa di Inggris yang mengalami long Covid. Para peserta tidak diwajibkan memiliki diagnosis resmi dan dapat melaporkan sendiri gejalanya. Long Covid didefinisikan sebagai gejala Covid-19 yang bertahan lebih dari empat minggu setelah infeksi awal.

    Di awal pandemi, long Covid pertama kali dikenali melalui laporan individu yang merasa tidak kunjung pulih meski hanya mengalami gejala ringan. Gejalanya beragam, mulai dari kelelahan ekstrem, kabut otak, sesak napas, hingga pusing. Hingga kini, penelitian telah mengidentifikasi lebih dari 200 kemungkinan gejala terkait long Covid.

    Namun, meskipun long Covid kini diakui secara medis, derita pasien long Covid masih belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan. Wawancara yang dilakukan antara April 2022 hingga Maret 2023 mengungkapkan tiga pola utama dalam pengalaman pasien. 

    Pertama, banyak pasien long Covid hidup dalam ketidakpastian. Mereka  terus bertanya-tanya tentang kondisi mereka tanpa jawaban pasti.

    Kedua, kurangnya kepercayaan terhadap dokter.  Banyak pasien merasa dokter tidak mempercayai keluhan mereka. Ketiga, mereka butuh adanya pengakuan medis karena beberapa pasien berharap diagnosis yang jelas akan membuat mereka lebih dipercaya.

    Salah satu peserta mengaku diabaikan oleh layanan medis spesialis long Covid, sementara yang lain merasa bahwa perawatan yang diberikan tidak memadai. Banyak dari mereka harus berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa penyakit mereka nyata, bahkan melakukan riset sendiri, meskipun sering kali dianggap remeh oleh tenaga medis.

    Karena aspek fisik penyakit mereka sering tidak ditanggapi dengan serius, beberapa peserta enggan menerima terapi psikologis atau obat antidepresan yang ditawarkan. Mereka khawatir bahwa menerima perawatan tersebut akan semakin memperkuat anggapan bahwa penyakit mereka hanyalah gangguan mental.

    “Masalahnya bukan pada pasien yang menolak bantuan, tetapi pada kebutuhan mendalam untuk dipercaya,” kata Ogden.

    Studi ini menyimpulkan bahwa agar pasien lebih mau menerima berbagai opsi pengobatan, tenaga medis perlu lebih mendengarkan keluhan mereka. Dukungan psikologis harus diberikan sebagai tambahan dari perawatan medis, bukan sebagai pengganti.

    Derita pasien long Covid tidak hanya sebatas gejala fisik, tetapi juga perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Jika tenaga medis ingin membantu mereka dengan lebih baik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendengarkan dan memahami.
     

  • COVID-19 Bisa Bikin IQ Turun Permanen

    COVID-19 Bisa Bikin IQ Turun Permanen

    Jakarta

    Serangan COVID-19 ternyata tak hanya mengincar paru-paru, tetapi juga mengintai otak kita. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal kedokteran bergengsi, New England Journal of Medicine (NEJM), mengungkap fakta mengejutkan: infeksi COVID-19 bisa mengakibatkan kerusakan otak jangka panjang, termasuk penurunan IQ yang signifikan.

    Dua studi dalam NEJM, seperti yang dilansir The Conversation, menguliti kemampuan kognitif seperti memori, perencanaan, dan penalaran spasial pada hampir 113.000 orang yang pernah terinfeksi COVID-19. Hasilnya?

    Mencengangkan! Para penyintas COVID-19 menunjukkan defisit yang nyata dalam memori dan kinerja tugas eksekutif – kemampuan otak untuk merencanakan dan menyelesaikan masalah.

    Yang lebih mengkhawatirkan, penurunan kognitif ini tidak pandang bulu. Mau terinfeksi di awal pandemi, saat varian Delta merebak, atau bahkan saat Omicron mendominasi, risikonya tetap sama. Ini membuktikan bahwa ancaman terhadap otak tidak berkurang seiring evolusi virus.

    Penelitian tersebut juga mengungkap fakta pahit lainnya. Mereka yang mengalami COVID-19 ringan dan sembuh pun tak luput dari ancaman. Mereka mengalami penurunan kognitif yang setara dengan penurunan IQ tiga poin! Bagi mereka yang mengalami gejala berkepanjangan, seperti sesak napas atau kelelahan terus-menerus (Long COVID), penurunannya lebih parah lagi, mencapai enam poin IQ.

    Bahkan, mereka yang dirawat di ICU karena COVID-19 menderita penurunan IQ hingga sembilan poin. Dan bagi yang terinfeksi ulang, siap-siap menghadapi penurunan IQ tambahan sebesar dua poin.

    Sebuah studi terpisah yang melibatkan lebih dari 100.000 warga Norwegia dan diterbitkan dalam NEJM juga menguatkan temuan ini. Studi tersebut menemukan bahwa fungsi memori memburuk hingga 36 bulan setelah terinfeksi SARS-CoV-2.

    Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari

    Foto: The Conversation

    Bukti-bukti ini bukan sekadar angka di atas kertas. Dampaknya sudah terasa di kehidupan nyata. Analisis terbaru dari Survei Populasi Terkini AS menunjukkan lonjakan drastis: 1 juta warga Amerika usia kerja melaporkan “kesulitan serius” dalam mengingat, berkonsentrasi, atau membuat keputusan setelah pandemi COVID-19, dibandingkan dengan 15 tahun sebelumnya. Yang lebih mengejutkan, sebagian besar adalah orang dewasa muda berusia 18-44 tahun!

    Data dari Uni Eropa pun menunjukkan tren yang serupa. Pada 2022, 15% orang di UE dilaporkan mengalami masalah memori dan konsentrasi.

    Ke depan, kita perlu mengidentifikasi siapa yang paling berisiko. Kita juga perlu memahami bagaimana tren mengkhawatirkan ini dapat mempengaruhi pencapaian pendidikan anak-anak dan orang dewasa muda, serta produktivitas ekonomi. Apakah ini akan memperburuk epidemi demensia dan Alzheimer masih belum jelas.

    Semakin banyaknya penelitian yang kini mengonfirmasi bahwa COVID-19 harus dianggap sebagai virus yang berdampak signifikan pada otak. Implikasinya sangat luas, mulai dari individu yang mengalami kesulitan kognitif hingga potensi dampaknya pada populasi dan ekonomi.

    Untuk mengungkap penyebab sebenarnya di balik gangguan kognitif ini, termasuk kabut otak, akan memerlukan upaya bersama selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, oleh para peneliti di seluruh dunia. Dan sayangnya, hampir semua orang menjadi “kelinci percobaan” dalam eksperimen global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Jadi, tetap waspada, jaga kesehatan, dan jangan sepelekan COVID-19!

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Respons China ke WHO soal Tudingan Tutupi Data Asal-usul COVID-19”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • Cerita ‘Alumni’ COVID Keluhkan Gejala Tak Kunjung Sembuh, Terinfeksi Tahun 2020

    Cerita ‘Alumni’ COVID Keluhkan Gejala Tak Kunjung Sembuh, Terinfeksi Tahun 2020

    Jakarta

    Long COVID merupakan istilah yang mengacu pada gejala jangka panjang pasien COVID-19 pasca dinyatakan sembuh. Kondisi ini ditandai dengan gejala-gejala, termasuk kelelahan, kabut otak, dan sesak napas.

    Long COVID Membuat Sulit Berjalan

    Hal ini juga dialami Chantal Britt, seorang warga Bern, Swiss. Ia tertular COVID-19 pada Maret 2020. Ia merasa long COVID sangat mengubah hidupnya.

    “Dulu saya suka bangun pagi. Sekarang, saya butuh waktu dua jam untuk bangun pagi, karena semuanya terasa sakit,” jelas mantan pelari maraton yang berusia 56 tahun itu.

    “Saya bahkan tidak berharap lagi bahwa saya akan sehat di pagi hari. Tetapi, saya masih agak heran betapa tua dan hancur perasaan saya,” sambungnya yang dikutip dari The Straits Times.

    Saat ini, Britt bekerja paruh waktu sebagai peneliti universitas tentang COVID jangka panjang dan topik lainnya. Dia kehilangan pekerjaannya di bidang komunikasi pada 2022, setelah dia meminta untuk mengurangi jam kerjanya di tengah keterbatasan kondisi.

    Dia rindu berolahraga, yang dulu seperti ‘terapi’ baginya. Namun, sekarang dirinya harus lebih merencanakan kegiatan sehari-harinya, seperti memikirkan tempat-tempat dirinya bisa duduk dan beristirahat, sewaktu-waktu lelah saat berbelanja.

    Kurangnya pemahaman dari orang-orang di sekitar juga mempersulit kondisinya.

    “Ini adalah penyakit yang tidak terlihat, yang berhubungan dengan semua stigma yang menyertainya,” kata Britt.

    “Bahkan orang-orang yang benar-benar terdampak parah, yang berada di rumah, di ruangan gelap, yang tidak dapat disentuh lagi, suara apapun akan membuat mereka jatuh sakit, meski mereka tidak tampak sakit,” lanjut dia.

    Long COVID Memicu Kelemahan Otot

    Kondisi serupa juga dialami oleh seorang guru seni berusia 33 tahun, Andrea Vanek. Wanita dari Australia itu pertama kali mengalami gangguan akibat long COVID sekitar tiga tahun yang lalu.

    Saat itu, Vanek sedang mengajar seni dan kerajinan di sekolah. Tiba-tiba, dia merasa pusing dan jantung yang berdebar-debar, sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.

    Setelah menemui sejumlah dokter, Vanek didiagnosis mengalami long COVID. Hal itu membuatnya hanya bisa menghabiskan sebagian besar harinya di ruang tamu kecil di apartemennya di Wina, sambil mengamati dunia luar lewat jendela.

    “Saya tidak bisa merencanakan apapun, karena tidak tahu berapa lama penyakit ini akan berlangsung,” tutur Vanek.

    Vanek berusaha untuk tidak memaksakan dirinya agar terhindar dari masalah kesehatan lainnya. Kelemahan otot yang parah yang dialaminya itu membuatnya kesulitan, meski hanya membuka tutup botol air.

    (sao/naf)

  • Penyebab Orang Kena Long COVID, Gejala Menetap Meski sudah Negatif

    Penyebab Orang Kena Long COVID, Gejala Menetap Meski sudah Negatif

    Jakarta

    Peneliti Brigham melakukan studi untuk mencari penyebab long COVID atau gejala COVID-19 jangka panjang pada seseorang. Untuk mengetahuinya, mereka menganalisis 1.569 sampel darah yang dikumpulkan dari 706 orang.

    Itu juga termasuk sampel dari 392 peserta National Institutes of Health-supported Researching COVID to Enhance Recovery (RECOVER) Initiative, yang sebelumnya dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

    Dengan tes yang sangat sensitif, para peneliti mencari protein utuh dan parsial dari virus SARS-CoV-2. Mereka juga menganalisis data dari gejala long COVID para peserta, menggunakan informasi grafik medis elektronik atau survei yang dikumpulkan bersamaan saat sampel darah diambil.

    Dalam laporan yang dipublikasikan dalam Clinical Microbiology and Infection, peserta yang melaporkan gejala long COVID yang mempengaruhi jantung, paru-paru, otak, dan sistem muskuloskeletal dua kali lebih mungkin memiliki protein SARS-CoV-2 di dalam darah.

    Tim peneliti mendeteksi spike protein dan komponen lain dari virus SARS-CoV-2 menggunakan Simoa, tes yang sangat sensitif untuk mendeteksi molekul tunggal. Gejala long COVID yang umum dilaporkan termasuk kelelahan, kabut otak, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan sakit kepala.

    Secara spesifik, 43 persen dari mereka yang mengalami long COVID dan mempengaruhi tiga sistem utama tubuh dinyatakan positif protein virus dalam 1 hingga 14 bulan sejak hasil tes COVID positif mereka.

    “Jika kita dapat mengidentifikasi sekelompok orang yang memiliki gejala virus persisten karena adanya reservoir virus dalam tubuh, kita mungkin dapat mengobati mereka dengan antivirus untuk meringankan gejala mereka,” kata penulis utama Zoe Swank, PhD, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Patologi di Brigham and Women’s Hospital.

    Penyebab Lain Long COVID

    Profesor Patologi di Rumah Sakit Brigham and Women’s sekaligus peneliti utama studi, David Walt, PhD, menyebut kemungkinan ada penyebab lain yang memicu terjadinya long COVID. Salah satunya kemampuan virus dalam merusak sistem imun tubuh.

    “Misalnya, kemungkinan penyebab lain dari gejala long COVID adalah virus tersebut merusak sistem imun, yang menyebabkan disfungsi imun terus berlanjut setelah sembuh,” sambungnya yang dikutip dari MedicalXpress.

    Swank, Walt, dan peneliti lain juga tengah melakukan studi lanjutan untuk mencari penyebab dari gejala long COVID ini. Mereka menganalisis sampel darah dan data gejala pada kelompok pasien yang lebih besar, termasuk kelompok orang dengan rentang usia lebih luas dan orang dengan gejala imun yang terganggu,

    “Masih banyak yang belum kita ketahui tentang bagaimana virus ini mempengaruhi orang,” beber direktur program ilmiah senior untuk Komite Pengarah Konsorsium Observasi RECOVER dan direktur Divisi Ilmu Kardiovaskular di Institut Jantung, Paru-paru, dan Darah Nasional (NHLBI), David C Goff, MD, PhD.

    “Jenis studi ini penting untuk membantu para peneliti lebih memahami mekanisme yang mendasari long COVID-19, yang akan membantu kita lebih dekat dalam mengidentifikasi target pengobatan yang tepat,” lanjut dia.

    Goff menambahkan bahwa hasil ini juga mendukung upaya berkelanjutan untuk mempelajari pengobatan antivirus.

    (sao/kna)

  • Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Jakarta

    Wachuka Gichohi (41) masih berjuang mengatasi long COVID yang diidapnya meski telah dinyatakan negatif 4 tahun lalu. Hingga saat ini dia masih mengalami kelelahan, serangan panik dan banyak gejala lainnya yang membuatnya takut mati di malam hari.

    Studi terbaru mengungkap pengalaman jutaan pasien seperti Gichohi. Mereka menunjukkan bahwa semakin lama seseorang sakit, semakin rendah peluangnya untuk pulih sepenuhnya.

    Waktu terbaik untuk pemulihan adalah enam bulan pertama setelah terkena COVID-19. Orang-orang yang gejalanya berlangsung antara enam bulan dan dua tahun cenderung tidak pulih sepenuhnya.

    Gichohi didiagnosis COVID-19 di tahun 2020. Empat tahun setelahnya, gejala yang dia alami tak hilang meski sudah dinyatakan negatif.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya “akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, seorang profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan yang diterbitkan di The Lancet dikutip dari Reuters.

    Long COVID didefinisikan sebagai gejala yang bertahan selama tiga bulan atau lebih setelah infeksi awal, melibatkan serangkaian gejala mulai dari kelelahan ekstrem hingga kabut otak, sesak napas, dan nyeri sendi.

    Gejalanya dapat berkisar dari ringan hingga sangat melumpuhkan, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang terbukti, meskipun para ilmuwan telah membuat kemajuan dalam teori tentang siapa yang berisiko dan apa yang mungkin menyebabkannya.

    Secara global, diperkirakan ada 62 juta hingga 200 juta orang yang mengalami long COVID.

    “Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.

    Ada beberapa hipotesis mengenai long COVID. Riset menunjukkan mayoritas yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” epidemiolog Dicky Budiman kepada detikcom.

    Di Indonesia sendiri, Fenomena Long COVID di Indonesia pernah diteliti oleh RSUP Persahabatan Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Gejala long COVID paling dominan antara lain:

    Kelelahan 29,41 persenBatuk 15,55 persenNyeri otot 11,7 persenSesak napas 11,2 persenSakit kepala 11 persenNyeri sendi 9 persen

    (kna/kna)

  • Daftar Gejala Long COVID yang Paling Banyak Dialami Orang Indonesia

    Daftar Gejala Long COVID yang Paling Banyak Dialami Orang Indonesia

    Jakarta

    Seseorang yang sudah dinyatakan negatif dari infeksi COVID-19 bisa mengalami gejala menetap atau gejala sisa selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Fenomena ini disebut sebagai Long COVID.

    Penelitian menunjukkan semakin lama seseorang terinfeksi virus corona, semakin rendah peluangnya untuk pulih sepenuhnya. Waktu terbaik untuk pemulihan diperkirakan enam bulan pasca terinfeksi COVID-19.

    Fenomena Long COVID di Indonesia pernah diteliti oleh RSUP Persahabatan Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Studi ini dilakukan dalam periode 9 – 28 Januari 2021.

    Dalam jurnal berjudul Clinical characteristics and quality of life of persistent symptoms of COVID-19 syndrome in Indonesia, dari 386 pasien COVID-19 yang diamati ada sekitar 66,5 responden yang mengalami Long COVID-19.

    “Prevalensi sindrom persisten COVID-19 di Indonesia cukup tinggi sehingga berdampak pada kualitas hidup penyintas COVID-19. Pneumonia menjadi faktor utama yang mempengaruhi kejadian sindrom COVID-19 persisten,” tulis studi tersebut.

    Gejala Long COVID paling dominanKelelahan 29,41 persenBatuk 15,55 persenNyeri otot 11,7 persenSesak napas 11,2 persenSakit kepala 11 persenNyeri sendi 9 persen

    (kna/kna)