Mahkamah Agung AS tampak condong untuk mempertahankan undang-undang yang akan memaksa penjualan atau melarang aplikasi video pendek populer, TikTok, pada 19 Januari 2025. Para hakim fokus pada kekhawatiran keamanan nasional terkait China yang memicu tindakan keras tersebut.
Selama kurang lebih 2,5 jam argumen, sembilan hakim mencecar pengacara yang mewakili TikTok, perusahaan induknya asal China, ByteDance, dan para pengguna aplikasi mengenai risiko pemerintah China memanfaatkan platform tersebut untuk memata-matai warga Amerika dan melakukan operasi pengaruh terselubung, sembari menyelidiki kekhawatiran kebebasan berbicara.
“Apakah kita harus mengabaikan fakta bahwa induk perusahaan pada akhirnya tunduk pada pekerjaan intelijen untuk pemerintah China?,” tanya Ketua Mahkamah Agung konservatif, John Roberts, kepada Noel Francisco, pengacara TikTok dan ByteDance.
Perusahaan dan pengguna mengajukan gugatan untuk memblokir undang-undang yang disahkan oleh Kongres dengan dukungan bipartisan yang kuat tahun lalu dan ditandatangani oleh Presiden Joe Biden.
Mereka mengajukan banding atas putusan pengadilan yang lebih rendah, menguatkan undang-undang tersebut dan menolak argumen mereka bahwa undang-undang itu melanggar amandemen pertama Konstitusi AS yang melindungi kebebasan berbicara dari pembatasan pemerintah.
Baca selengkapnya di sini