Timeline Orang Lain jadi Sumber Cemas: Gen Z dan LinkedIn Anxiety

Timeline Orang Lain jadi Sumber Cemas: Gen Z dan LinkedIn Anxiety

Timeline Orang Lain jadi Sumber Cemas: Gen Z dan LinkedIn Anxiety
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com-
Sadar gak, sejak beberapa tahun kebelakang platform LinkedIn semakin ramai dan aktif?
Banyak pengguna dari berbagai generasi yang menggunakan platform ini untuk berbagai tujuan, seperti
posting
pencapaian, cari
networking
, atau sekedar
job hunting
.
Tapi di sisi lain, ada loh yang justru merasa takut, cemas,
insecure
, dan
running out of time
.
Muncul term baru yang disebut ‘
LinkedIn
Anxiety’, bagaimana suatu platform yang seharusnya membantu, tapi justru membuat penggunanya kena mental! Bagaimana
Gen Z
melihat fenomena ini?
Tiga orang Gen Z punya definisi dan pengalaman berbeda terkait fenomena ini, mulai dari ketakutan bersaing dengan ribuan orang untuk 1 pekerjaan, merasakan pressure dari pencapaian orang lain, hingga enggan buka LinkedIn selama setahun!
“LinkedIn
anxiety
itu nyata, dimana aku merasa takut, khawatir akan sesuatu yang gak pasti. Kita menggantungkan harapan dan peruntungan melalui aplikasi untuk dapat kerjaan, begitu pula dengan orang lain, padahal posisi yg kita tuju itu cuma untuk 1 orang,” ujar Syasa (22 tahun)
“Ketakutan saat membuka LinkedIn, mungkin untuk beberapa orang itu nyata. Gue pribadi lebih ke ter-
pressure
karena melihat pencapaian orang lain,” kata Zahra (25).
“LinkedIn
anxiety
menurut aku lebih ke perasaan takut tertinggal dari pencapaian orang. Gimana ya, kayak membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. BTW ini real yaa, aku ngerasain sendiri, apalagi waktu aku
gap year
ituu, aku trauma nggak mau buka LinkedIn setahun lebih, sampe aku
uninstall
HAHAHA,” ucap Suci (21).
Tak jarang, Suci merasa minder ketika melihat pencapaian orang-orang sebayanya yang dipamerkan di LinkedIn.
“Ketika temenku udah bisa magang di 2-3
company
, bahkan ada yang jadi karyawan tetap di KAP. Terakhir ngerasain sih 2 minggu yg lalu, karena baru buka LinkedIn, pas lihat notif dan kepoin akunnya, pada keren-keren semua, also mereka aktif organisasi juga, sedangkan nasib aku keterbalikan dari mereka huhu,” ujar Suci.
“Aku juga jadi gak pernah aktif di akun (Instagram) pertama ku, karena tiap kali aku buka, aku selalu merasa
down
, tertekan sama pencapaian mereka. Dan ini ngaruh hingga ke
real life
, aku jadi kurang
up to date
sama kabar mereka,” kata dia.
Pengalaman unik juga dibagikan oleh Syasa. Niat awal ingin membangun koneksi, tapi kok rasanya jadi seperti Bumble?
“Duh ini kaya masalah personal sebenernya, cuma LinkedIn tuh kaya Bumble dalam bentuk professional aku rasa. Orang random tuh kadang DM dengan dalih pengen berkoneksi tapi ya sebenernya ada tujuan lain dari cara dia bawa topik,” kata Syasa.
“Iya kak, takut bangeeet. Aku sekarang jadi selektif nerima orang buat koneksi. Aku kira mereka itu HR tapi kok kaya enggak profesional gituu huhuhu. Ngobrolnya juga random gitu deh kak, takut,” ujar dia.
Merasa hilang arah dan FOMO, bikin sebagian gen Z bingung untuk cerita ke siapa. Ke teman? Permasalahannya sama. Ke psikolog? Dompet kosong. ChatGPT jadi jawaban.
“Kalo lagi
anxious
sama masa depan, biasanya menenangkan diri dulu kemudian konsultasi ke ChatGPT, selain itu biasanya mencari inspirasi untuk
self developmen
t,” kata Zahra.
Zahra menuturkan, Chat GPT jadi teman curhatnya untuk dapat masukan terkait pekerjaannya.
“Gue suka kebingungan dengan masa depan gue, apalagi selama gue bekerja itu kerjaannya beda-beda, dan kadang gue merasa butuh masukan dan bantuan dari apa yang telah gue lakukan.” kata Zahra.
(Curhat ke ChatGPT) lumayan bisa ngebantu gue untuk mengurai semua kebingungan gue akan masa depan sih dan kalo gue ada ide untuk melakukan sesuatu gue jadi tau harus gimana dan ngapain,” ujar dia lagi.
Melalui artikel ini, perasaan khawatir dan takut ketinggalan kalian itu valid, bahkan sebagian besar Gen Z merasakan hal yang sama. Tapi harus diingat bahwa
we have our own timeline
jadi tetap semangat dan terus mencoba ya!
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.