Tiga Kunci Sukses Pembangunan Giant Sea Wall menurut Para Peneliti

Tiga Kunci Sukses Pembangunan Giant Sea Wall menurut Para Peneliti

Bisnis.com, JAKARTA — Kolaborasi menjadi kunci dalam pembangunan Jakarta Great Sea Wall (Giant Sea Wall/GSW) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Hal itu menjadi kesimpulan dari hasil penelitian Anto Prabowo, peneliti Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Insan Pembangunan Indonesia yang berkolaborasi dengan peneliti dari UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School, University of Glasgow, dalam acara The 2025 Sebelas Maret International Conference on Digital Economy (SMICDE) di Solo.

Dalam penelitian tersebut, Anto memerinci bahwa keberhasilan proyek bernilai lebih dari US$40 miliar itu sangat bergantung pada tiga hal. Pertama adalah inovasi keuangan untuk mobilisasi dana tanpa membebani negara.

Pasalnya, estimasi pembiayaan untuk proyek GSW mencapai US$40–US$42 miliar. Angka sebesar itu, tegasnya, mustahil ditanggung sepenuhnya APBN, mengingat prioritas lain pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur nasional.

Menurutnya, inovasi keuangan seperti Green Sukuk, Asset Value Protection, dan ABS menjadikan proyek ini bankable sekaligus inklusif.

“Solusinya adalah pembiayaan campuran (blended finance), memadukan dana publik, swasta, dan investor global melalui instrumen keuangan inovatif,” jelas Anto dalam rilis yang diterima Bisnis, Kamis (4/9/2025).

Kedua, kolaborasi lintas sektor dengan tata kelola yang transparan. Musababnya, para peneliti juga menegaskan bahwa GSW adalah proyek multidimensi yang hanya bisa berhasil dengan tata kelola kolaboratif. 

“Tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan regulator, investor tidak akan masuk.”

Adapun, hal ketiga yang menjaga asa keberhasilan pembangunan GSW adalah safeguards sosial-ekologis yang memastikan pembangunan berkeadilan.

Anto menjelaskan bahwa selain risiko fiskal dan investor, mega-proyek ini juga dihadapkan pada risiko lingkungan berupa potensi kerusakan ekosistem laut dan hilangnya biodiversitas serta risiko sosial. Risiko terakhir ini terkait dengan upaya merelokasi komunitas pesisir dengan memastikan kompensasi yang memadai guna menghindari konflik.

Oleh karena itu, jelasnya, safeguards sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral, bukan pelengkap. Relokasi berbasis hak, kompensasi yang adil, serta rehabilitasi mangrove wajib dijalankan secara transparan dan akuntabel.

“Transparansi, tata kelola ESG, dan safeguards sosial-lingkungan adalah syarat mutlak agar proyek ini tidak hanya besar, tetapi juga adil,” jelas Anto.

Seperti diketahui, GWS menjadi megaproyek infrastruktur yang diluncurkan Pemerintah RI dan bukan sekadar tembok raksasa untuk menahan laut, melainkan strategi adaptasi terpadu yang menyatukan rekayasa teknik, pemulihan ekologi, inovasi pembiayaan, serta transformasi sosial-ekonomi.

Sebab, Jakarta menghadapi kondisi unik yang disebut double exposure. Dari bawah, tanah Jakarta turun 10–25 cm per tahun akibat ekstraksi air tanah. Dari atas, kenaikan permukaan laut global memperburuk risiko banjir.

Jika dibiarkan, sebagian besar Jakarta Utara dapat tenggelam pada 2050. Kerugian ekonomi dari banjir rob saat ini sudah menembus US$300 juta per tahun dan berpotensi meningkat dua kali lipat dalam dua dekade. 

“Mengingat Jakarta menyumbang 17% PDB nasional, stabilitas ekonomi Indonesia sangat terikat pada keberhasilan melindungi kota ini,” jelas Anto.

Untuk itu, GSW dirancang sebagai sistem adaptasi pesisir terpadu, mencakup tanggul laut lepas pantai dan daratan untuk menahan banjir rob dan intrusi air laut; reservoir air tawar demi ketahanan pasokan air bersih; peningkatan drainase kota untuk mengurangi banjir dalam; ruang biru publik dan rehabilitasi mangrove sebagai solusi ekologi; serta zona ekonomi baru, perumahan, dan kawasan bisnis melalui reklamasi yang terkendali.

“Dengan desain ini, GSW tidak hanya benteng pertahanan, tetapi juga motor transformasi perkotaan—mengubah kawasan pesisir yang rentan menjadi ruang hidup yang produktif, modern, dan berkelanjutan.”