Tiga Alasan Israel Tak Mau Tarik Mundur Pasukan dari Lebanon: Terowongan Hizbullah Susah Dihancurkan
TRIBUNNEWS.COM – Wilayah selatan Lebanon masih menyaksikan ketegangan bersenjata, meski gencatan senjata berlaku antara Israel dan gerakan Hizbullah.
Khaberni melansir, perkiraan bahkan menunjukkan kalau tentara Israel (IDF) potensial akan tetap berada di wilayah tersebut selama beberapa bulan lagi sebelum dapat melakukan penarikan penuh.
Laporan tersebut menjelaskan beberapa alasan yang didalilkan Israel sebagai faktor penting yang mempengaruhi jalannya agresi militer, menurut laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Israel berbahasa Ibrani Yedioth Ahronoth.
Surat kabar tersebut mengindikasikan kalau alasan pertama Pasukan IDF adalah proses penghancuran kemampuan Hizbullah, terutama yang terkait dengan terowongan dan lokasi rudal di Lebanon selatan, memerlukan waktu tambahan.
Tentara Israel telah melakukan operasi ofensif ekstensif terhadap sasaran-sasaran ini, namun memerlukan waktu untuk memastikan penghancuran semua kemampuan militer yang merupakan ancaman terhadap keamanan Israel.
“Meskipun terdapat upaya yang intensif dari IDF, masih terdapat titik-titik resistensi yang sulit dijangkau sepenuhnya,” kata laporan tersebut.
Laporan menambahkan, alasan kedua adalah tentara Lebanon dinilai tidak cukup siap untuk memikul tanggung jawab di wilayah dimana tentara Israel menarik diri.
Meskipun beberapa unit Militer Lebanon telah dikerahkan, mereka kekurangan kemampuan manusia dan material yang diperlukan untuk melaksanakan misi secara efisien.
“Diperlukan waktu untuk memperkuat kemampuan tentara Lebanon, yang menghambat penarikan segera oleh Israel,” kata laporan itu.
Surat kabar itu menambahkan, faktor ketiga adalah tentara Israel saat ini sedang berupaya membangun garis pertahanan baru di perbatasan antara Israel dan Lebanon.
Buffer zone ini disebut bertujuan untuk melindungi pemukiman Israel di wilayah yang berbatasan dengan perbatasan.
“Bidang ini mencakup pembangunan situs militer dan pemasangan sistem pertahanan canggih, yang memerlukan waktu sebelum proyek tersebut selesai sepenuhnya,” kata laporan itu.
Dalam konteks situasi saat ini, surat kabar tersebut mengatakan bahwa Israel berharap pemilihan presiden Lebanon mendatang akan berkontribusi pada peningkatan stabilitas di Lebanon.
“Fokusnya adalah pada pemilihan presiden yang diperkirakan akan diadakan pada bulan Januari, dengan beberapa pihak internasional, seperti Amerika Serikat dan Perancis, mendorong stabilitas internal di Lebanon untuk mendukung implementasi perjanjian militer dan politik,” kata ulasan tersebut
Mengingat faktor-faktor ini, kecil kemungkinannya IDF akan menarik diri dari Lebanon selatan selama dua bulan ke depan.
“Namun jika pembangunan garis pertahanan baru selesai dan stabilitas tercipta di Lebanon, tentara Israel mungkin dapat mundur secara bertahap dan aman,” begitu kesimpulan laporan media Israel.
Situasi di Kiryat Shmona di Israel Utara (wilayah Palestina yang diduduki) saat diserang kelompok perlawanan Lebanon, Hizbullah. (khaberni/tangkap layar)
Iming-imingi Uang ke Pemukim Utara
Fase berikutnya dari rencana Israel adalah memulangkan pemukim Yahudi ke wilayah pendudukan utara mereka.
Para pemukim di Israel utara yang mengungsi karena serangan Hizbullah akan diminta kembali ke rumah masing-masing.
Sejak perang di Jalur Gaza meletus tanggal 7 Oktober 2024, Hizbullah mulai rajin menyerang Israel utara sebagai bentuk dukungan kepada warga Palestina di Gaza yang diinvasi Israel.
Adapun saat ini Israel dan Hizbullah sedang memberlakukan gencatan senjata selama 60 hari.
Surat kabar Israel Hayom pada hari Selasa, (31/12/2024), menyebut pemerintah Israel telah mengungkapkan rencana untuk mengembalikan para pemukim itu.
Mereka akan mulai dikembalikan ke rumah masing-masing apa akhir Februari 2025 ketika gencatan itu berakhir dan jika situasi keamanan memungkinkan.
Dikutip dari The Cradle, saat ini ada sekitar 60.000 pemukim Israel yang mengungsi dari pemukiman di dekat perbatasan Israel-Lebanon. Mereka lari menyelamatkan diri dari serangan roket, rudal, dan drone Hizbullah.
Asap membumbung di Kota Safed, Israel Utara, setelah kota itu dibombardir Hizbullah. (Khaberni/HO)
Meski sudah ada pengumuman gencatan senjata lima minggu lalu, media Israel menyebut baru seperempat pemukim yang kembali ke Israel utara.
Jumlah yang kembali ke pemukiman dekat pagar perbatasan lebih sedikit lagi. Adapun di pemukiman Metula baru ada 20 pemukim yang kembali.
Karena hanya sedikit yang ingin kembali, pemerintah Israel memutuskan memberikan bantuan bagi pemukim yang bersedia balik.
Pertama, setiap keluarga akan menerima 15.000 shekel atau sekitar Rp66 juta sebagai kompensasi atas kerusakan rumah mereka akibat perang.
Kedua, setiap orang dewasa akan menerima Rp66 juta, lalu setiap anak akan menerima Rp35,6 juta.
Sejak perang meletus, keluarga pengungsi mendapat bantuan akomodasi tinggal di hotel-hotel.
Keluarga yang anak-anaknya berada di sekolah dan enggan kembali ke rumah hingga tahun ajaran rampung akan terus menerima bantuan tempat tinggal.
Adapun keluarga yang tinggal di tiga pemukiman dekat perbatasan, yakni Metula, Manara, dan Avivim, akan tetap tinggal di luar area itu hingga infrastruktur diperbaiki dan layanan setempat dipulihkan.
Di sisi lain, kemungkinan berlanjutnya pertempuran antara Israel dan Hizbullah sesudah gencatan senjata membuat para pemukim enggan bergegas kembali ke rumah.
“Mereka tidak berbicara kepada kami. Kami bahkan tidak tahun apa sedang terjadi,” kata salah satu pemukim.
Ribuan bangunan dihancurkan Hizbullah
Pada bulan November 2023 surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan ada lebih dari 9.000 bangunan dan 7.000 kendaraan di Israel utara yang rusak atau dihancurkan Hizbullah.
“Hampir tidak ada bangunan yang tidak memerlukan renovasi atau penghancuran dan pembangunan kembali,” kata media itu.
“Sekitar 140 juta shekel telah dibayarkan untuk kompensasi atas kerusakan.”
Di samping itu, media tersebut juga mengatakan ada banyak korban luka di utara yang belum dilaporkan karena korban sedang dievakuasi atau karena korban berada di area yang tidak bisa dimasuki.
Kiryat Shmona, Manara, Shtula, Zarit, Nahariya, dan Shlomi menjadi kota dan pemukiman yang terdampak paling parah. Sebagian besar kerusakan terjadi pada bangunan tempat tinggal.
Yedioth Ahronoth menyebut kerusakan di Israel utara tidak terdokumentasi dengan baik dan “diselimuti kabut tebal”.
Wali Kota Kiryat Shmona, Avichai Stern, menyebut kerusakan di daerahnya bahkan sampai “tidak terbayangkan”.
Dia menyebut setiap rumah di Kiryat Shmona memerlukan renovasi yang menelan waktu hingga berbulan-bulan. Bangunan masyarakat juga rusak. Renovasi sekolah memerlukan waktu sekitar 4 bulan.
Sementara itu, Moshe Davidovitz yang menjadi Ketua Forum Pemukiman di Jalur Konflik mengatakan pemerintah Israel tak punya bayangan tentang seberapa besar kerusakan di sana.
“Negara Israel tak punya ide tentarang seberapa besar kerusakannya dan apa yang yang harus diselesaikan dan dilakukan setelah perang,” kata Davidovitz.