Tidak Semua Makanan Ultra Proses Itu Buruk bagi Kesehatan, Ini Penjelasan Ahli Pangan IPB

Tidak Semua Makanan Ultra Proses Itu Buruk bagi Kesehatan, Ini Penjelasan Ahli Pangan IPB

JAKARTA – Selama ini, makanan ultra proses sering mendapat stigma negatif sebagai penyebab masalah kesehatan, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit metabolik lainnya.

Padahal, tidak semua makanan yang masuk kategori ini layak dicap buruk. Banyak produk ultra proses yang justru berperan penting dalam peningkatan gizi, ketahanan pangan, bahkan kemudahan distribusi nutrisi di masyarakat modern.

Prof. Purwiyatno Hariyadi, Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam acara Temu Ilmiah Nasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) 2025 yang berlangsung di Jakarta mengatakan, pelabelan negatif secara menyeluruh terhadap pangan ultra proses bisa menyesatkan dan perlu ditinjau kembali.

“Seringkali makanan ultra proses dianggap tidak sehat, padahal sebenarnya tidak bisa disamaratakan. Ada produk ultra proses yang bernilai gizi tinggi dan bermanfaat, tergantung pada formulasi dan komposisinya,” jelas Prof. Purwiyatno.

Mengacu pada sistem klasifikasi NOVA yang dikembangkan oleh peneliti dari Universitas São Paulo, Brasil, makanan ultra proses didefinisikan sebagai produk olahan yang mengandung bahan-bahan industri seperti pemanis buatan, perisa sintetis, pengemulsi, pewarna, dan bahan tambahan lain yang tidak umum ditemukan dalam dapur rumah tangga. Beberapa contoh umumnya meliputi soda, biskuit, makanan beku, sereal manis, dan camilan kemasan.

Makanan tersebut memang sering kali dilengkapi kandungan gula, garam, pengental, perasa hingga pewarna yang membuatnya semakin tampak menarik untuk dicicipi. Alasan inilah yang membuat imej dari makanan ultra proses memiliki kandungan nutrisi rendah hingga dicap buruk bagi kesehatan. 

Faktanya, kata Prof. Purwiyatno, tak semua makanan ultra proses memiliki nilai gizi yang buruk dan penilaian klasifikasi NOVA tersebut masih memiliki kelemahan karena terlalu menyamaratakan kategori bahan baku makanan. 

Hal ini dapat dilihat dari produk pangan seperti daging nabati yang banyak dikonsumsi vegetarian dan vegan. Makanan tersebut masuk ke dalam kategori ultra proses, meski pun kandungan nutrisinya cukup lengkap dan bisa menjadi sumber protein nabati yang baik.

“Kita perlu meninjau ulang sistem NOVA agar tidak membingungkan masyarakat. Misalnya daging alternatif ini, padahal dari sisi gizi, dampak lingkungan itu banyak nilai positifnya, tapi itu dimasukkan dalam kelompok makanan ultra proses tapi sehingga kondisinya disalahpahami sebagai makanan tidak sehat, padahal jelas-jelas lebih bermanfaat,” ujar Prof. Purwiyatno.

Selain itu bisa dilihat juga dari produk seperti protein bar, susu protein dan lain sebagainya. Sebagian besar makanan seperti itu diproses sedemikian rupa. Tapi apakah kandungan whey, kasein, dan beberapa nutrisi yang didapat dari proses pengolahan tertentu juga dapat dinilai buruk? 

Ia menekankan, alih-alih hanya melihat metode pengolahannya, masyarakat sebaiknya lebih fokus pada kualitas nutrisi dari makanan yang dikonsumsi. Masyarakat juga perlu lebih teliti sebelum membeli dan mengonsumsi makanan, terutama dalam kemasan. 

Salah satu contoh paling sederhana adalah ketika melihat makanan dengan kadar gula, garam dan lemak trans yang tinggi. Ketiga bahan ini tentu saja memberi dampak buruk bagi kesehatan yang sudah semestinya dibatasi. 

“Makanan ultra proses saat ini pun sudah menjadi bagian yang penting dari pangan di era masa kini. Kalau tidak diproses, kita tidak bisa menikmati apa yang bisa kita makan saat ini. Saya rasa ini adalah bagian dari inovasi dari industri pangan,” pungkasnya.