Tiananmen di Pejompongan Nasional 29 Agustus 2025

Tiananmen di Pejompongan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Agustus 2025

Tiananmen di Pejompongan
Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
SEJARAH
terkadang tidak hanya berulang, tetapi menjelma dalam wajah baru yang tak kalah mengerikan.
Pada 28 Agustus 2025, di Pejompongan, Jakarta, seorang pengemudi ojek online meregang nyawa setelah dilindas kendaraan taktis polisi.
Ia bukan provokator, bukan kriminal, bahkan bukan tokoh utama dalam kerumunan. Ia hanyalah rakyat kecil yang sehari-hari menggantungkan hidup pada motor dan aplikasi daring.
Namun malam itu, tubuhnya terkapar di aspal, dilindas roda baja negara yang seharusnya melindunginya.
Mobil rantis itu tidak berhenti, tidak menoleh, tidak peduli. Ia melaju terus seakan tubuh manusia tak lebih dari kerikil di jalan.
Tragedi Pejompongan bukan sekadar insiden tragis, bukan pula kecelakaan kebetulan. Ia adalah cermin telanjang dari bagaimana negara memandang rakyatnya.
Kita boleh berpura-pura terkejut, tetapi yang jujur membaca sejarah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya.
Polisi di Indonesia, sejak masa Orde Baru hingga hari ini, terlalu sering berperilaku dengan logika yang sama: rakyat adalah ancaman.
Kita masih ingat Reformasi 1998. Mahasiswa Trisakti gugur, ratusan luka, Semanggi I dan II menelan korban jiwa. Rakyat yang bersuara ditanggapi dengan gas air mata dan peluru.
Harapannya, setelah reformasi dan pemisahan polisi dari militer, lahirlah institusi sipil yang humanis.
Dua dekade berlalu, kenyataan berkata sebaliknya. Polisi tetap menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat.
Buktinya panjang. Tahun 2019, mahasiswa dan pelajar yang menolak RUU pelemahan KPK dipukuli, ditendangi, ditangkap massal. Beberapa meninggal.
Tahun 2020, ketika rakyat menolak Omnibus Law, gas air mata kembali memenuhi jalan, pentungan berayun, ribuan orang diseret ke tahanan.
Tahun 2022, tragedi Kanjuruhan, Malang, menjadi salah satu yang terkelam: 135 suporter sepak bola tewas setelah polisi menembakkan gas air mata ke tribun penuh penonton. Tubuh-tubuh bertumpukan, anak-anak mati terinjak.
Dunia menuding, bangsa ini menangis, tetapi lagi-lagi negara bersembunyi di balik kata prosedur dan oknum.
Kini, Pejompongan. Roda baja melindas seorang tukang ojek. Gas air mata ditembakkan ke rumah susun, membuat anak-anak dan lansia sesak.
Puluhan pelajar ditangkap brutal, meski tak semua ikut aksi. Pola itu kembali berulang. Aparat tak mampu membedakan siapa demonstran, siapa rakyat sipil. Semua dianggap ancaman. Semua dianggap musuh.
Adegan itu menimbulkan gema sejarah. Dunia pernah melihat sesuatu yang serupa di Beijing, 1989. Tank-tank China melaju ke arah mahasiswa yang menuntut demokrasi.
Tubuh-tubuh muda ditindas besi. Dunia mengingat satu sosok yang berdiri menghadang tank, seorang pria kurus tanpa senjata, yang kemudian dikenal sebagai “Tank Man”. Hingga kini, Tiananmen menjadi simbol represi negara terhadap rakyatnya.
Maka, wajar jika malam Pejompongan disebut Tiananmen versi Indonesia. Bukan karena jumlah korban sama, melainkan karena logika kekuasaan yang identik.
Di Beijing, rakyat ditindas dengan tank. Di Jakarta, rakyat ditindas dengan rantis. Sama-sama kendaraan perang, sama-sama roda besi negara yang menggilas rakyat.
Ironi terbesar adalah bahwa semua ini dibiayai oleh rakyat sendiri. Gaji polisi berasal dari pajak rakyat. Rantis yang melindas tukang ojek itu dibeli dari APBN, dari keringat rakyat yang dipaksa membayar.
Termasuk pajak bensin yang dibeli tukang ojek itu sendiri, cicilan motor yang dibayarnya, potongan kecil dari setiap transaksi sehari-hari.
Dengan kata lain, korban ikut menyumbang untuk membeli kendaraan yang akhirnya merenggut nyawanya.
Ia membantu menggaji polisi yang akhirnya melindas tubuhnya. Ironi kejam: rakyat dipaksa membiayai alat penindas dirinya sendiri.
Dan jangan lupa, korban itu bukan hanya satu tubuh yang mati di jalan. Ia seorang ayah yang anaknya kini kehilangan masa depan.
Ia seorang suami yang istrinya kini kehilangan sandaran. Ia seorang anak yang orangtuanya kini kehilangan penopang hari tua.
Satu nyawa yang hancur berarti lingkaran duka yang jauh lebih luas: keluarga kehilangan harapan, masyarakat kehilangan salah satu tulang punggungnya.
Apa yang terjadi di Pejompongan bukan kecelakaan prosedural, melainkan bagian dari pola represi yang sistemik.
Kata oknum hanya dipakai untuk menghapus jejak. Kata prosedur hanya dipakai untuk membenarkan kekerasan.
Yang kita lihat sebenarnya adalah impunitas yang berlangsung puluhan tahun. Polisi bisa memukul, menembak, menendang, menggiring, bahkan melindas rakyat, dan tetap merasa aman karena sistem selalu melindungi mereka.
Pertanyaannya sederhana, tapi menyesakkan: demokrasi macam apa yang membiarkan rakyatnya mati di bawah roda besi negara.
Demokrasi macam apa yang membolehkan aparat menembak gas air mata ke rumah susun berisi anak-anak dan lansia.
Demokrasi macam apa yang membiarkan ratusan tewas di stadion tanpa ada yang bertanggung jawab. Demokrasi macam apa yang menganggap rakyat bukan pemilik kedaulatan, melainkan penghalang kekuasaan.
Jika demokrasi hanya tinggal topeng, maka yang sebenarnya kita jalani adalah otoritarianisme dengan wajah baru. Tirani yang menyebut dirinya demokrasi, tetapi bersikap seperti rezim paling represif dalam sejarah.
Tiananmen di Pejompongan adalah bukti telanjang: Indonesia tak lagi jauh dari negara-negara yang selama ini kita kutuk.
Rakyat tidak boleh diam. Karena diam berarti menyetujui. Diam berarti memberi izin pada roda baja itu untuk terus berputar.
Hari ini tukang ojek, besok mahasiswa, lusa jurnalis, dan seterusnya siapa pun bisa jadi korban.
Jika kita masih percaya pada martabat manusia, jika kita masih percaya bahwa republik ini lahir untuk melindungi segenap bangsa, maka kita harus berani berkata cukup.
Sejarah akan mencatat, pada 28 Agustus 2025, negara kembali memilih melindas rakyatnya sendiri.
Namun, sejarah juga bisa mencatat sesuatu yang lain, jika rakyat berani bangkit. Seperti
Tank Man
yang berdiri menghadang tank di Beijing, kita pun harus berani menghadang rantis dengan suara dan tubuh kita. Karena demokrasi tanpa perlindungan nyawa manusia bukanlah demokrasi, melainkan tirani. Dan tirani hanya bisa dihentikan oleh rakyat yang berani melawan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.