Jakarta –
Persidangan kasus korupsi pengelolaan timah terus bergulir, pada persidangan kemarin telah terungkap dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mengutip detikNews, Auditor Investigasi BPKP, Suaedi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, menjelaskan proses perhitungan kerugian negara Rp 300 triliun tersebut.
Suaedi mengatakan, penyimpangan (fraud) yang ditemukan dalam kasus ini adalah soal perizinan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). BPKP juga menyoroti soal reklamasi usai penambangan dilakukan.
Pertimbangan lainnya dalam perhitungan kerugian keuangan negara itu adalah pada eksplorasi dan produksi. Dia menyoroti bagaimana peran smelter swasta, proses pembelian dan pengelolaan bijih timah hingga tahap reklamasi.
Suaedi mengatakan PT Timah saat itu tak melakukan penambangan, melainkan melakukan pembelian bijih timah. Kemudian, adanya kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal.
“Ini sudut pandang seorang auditor, Yang Mulia, bahwa penerbitan izin usaha pertambangan (IUP), RKAB, dan rencana reklamasi merupakan titik kritis awal. Kemudian PT Timah pada saat itu diketahui tidak melakukan penambangan, melainkan melakukan pembelian bijih timah, kemudian ada kerja sama sewa smelter dengan swasta dan pada saat itu disampaikan juga terdapat kerusakan lingkungan yang terjadi. Ini beberapa poin yang kami dapat dari penyidik pada saat ekspose,” kata Suaedi.
Dia mengatakan kerugian sekitar Rp 29 triliun diperoleh dari penyimpangan dalam kontrak sewa smelter, dan pembelian bijih timah. Dia mengatakan bijih timah itu berasal dari penambang ilegal yang menambang di wilayah IUP PT Timah.
Kerugian selanjutnya sebesar Rp 271 triliun berasal dari akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sehingga, menurut Suaedi, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
“Jadi, penyimpangan yang kami temukan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pembayaran kerja sama sewa peralatan processing perlogaman dengan sewa smelter swasta tidak sesuai ketentuan. Kemudian mitra pertambangan dan PT Timah tidak melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan. Jadi unsur kerugian yang kami masukkan sebagai kerugian keuangan negara itu ada tiga hal, yang pertama adalah sewa smelter swasta, kedua adalah pembelian bijih timahnya, kemudian adanya kerusakan lingkungan yang terjadi. Jadi dari jumlah poin satu, dua, tiga ini bisa kami sampaikan totalnya kerugian adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ujar Suaedi.
Namun, keterangan Suaedi ditanggapi Penasihat hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih. Menurutnya, kesaksian Auditor BPKP, Suaedi melanggar SOP BPKP sendiri.
Ia menjelaskan, Berdasarkan Peraturan Kepala Deputi BPKP Bidang Investigasi Nomor 2 tahun 2024 pada bagian B mengharuskan auditor BPKP menganalisis dan mengevaluasi seluruh bukti yang dikumpulkan, termasuk mengkaji dan membandingkan semua bukti yang relevan dengan mengutamakan hakikat daripada bentuk (substance over form).
“Jika ada melibatkan ahli yang kompeten, dalam hal ini termasuk ahli lingkungan Prof Dr Bambang Hero, maka auditor BPKP harus memastikan bahwa ahli melakukan pemeriksaan fisik terhadap teknis pekerjaan,” ujar Junaedi Saibih, Rabu (13/11/2024).
Dalam hal menggunakan ahli untuk melakukan penugasan audit perhitungan kerugian keuangan negara (audit PKKN), maka BPKP melalui penyidik harus melakukan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga ahli untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan salah tafsir informasi dari tenaga ahli.
Namun faktanya, lanjut Junaedi, ahli BPKP dalam persidangan menyatakan bahwa ahli tidak mengetahui dasar perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan oleh Bambang Hero, lantaran hanya mengadopsi saja. Junaedi mencatat, sikap itu berkonsekuensi logis bila ahli BPKP tidak pernah menjalankan prosedur atau SOP yang sudah ditetapkan.
“Yang diharuskan dalam pedoman internal audit PKKN yaitu melakukan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga ahli untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan salah tafsir hasil pekerjaan atau atau informasi dari tenaga ahli,” paparnya.
Junaedi pun meragukan laporan hasil audit PKKN yang dilakukan auditor BPKP.
“Apakah laporan hasil audit PKKN ini masih dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dan terjamin kesahihannya?” ucap dia.
Tak hanya itu, tim audit BPKP juga disebut hanya melakukan kunjungan ke lapangan, tapi tidak melaksanakan verifikasi.
Perlu diketahui, auditor investigasi BPKP Suaedi hadir dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah sebagai saksi ahli, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
Hanya saja, analisa dan dokumen yang dipaparkan tidak mampu menjawab pertanyaan Majelis Hakim. Junaedi Saibih mengatakan, saksi yang dihadirkan JPU tidak kredibel lantaran jawabannya tidak sesuai dengan konteks pertanyaan Hakim.
Adapun, Hakim mempertanyakan letak kerugian negara yang disebabkan oleh dugaan korupsi pengelolaan timah.
“Jadi dari hasil sidang hari ini, saksi yang dihadirkan JPU tidak kredibel. Karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan konteks pertanyaan Hakim tentang dimana letak kerugian negara,” tutur dia.
(rrd/rir)