Terungkap, Pembangkangan di Militer Israel: IDF Mainkan Taktik ‘Tanah untuk Darah’ di Gaza
TRIBUNNEWS.COM – Laporan media Israel, Ynet, pada Minggu (23/3/2025) mengungkapkan sejumlah hal di balik keputusan rezim Israel saat ini di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk kembali berperang di Gaza.
Laporan mengindikasikan, kalau keputusan operasi militer baru pasukan Israel (IDF) di Gaza tidak mendapat dukungan secara luas dari publik Israel.
Keputusan agresi baru ini, tulis Ynet, bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan yang berbahaya di dalam Israel, terutama karena adanya pembangkangan dari IDF sendiri atas operasi baru di Gaza ini.
“Peperangan di Gaza kembali terjadi dengan latar belakang perpecahan masyarakat yang berbahaya dan tidak adanya konsensus nasional setelah serangan 7 Oktober. Keputusan agresi baru ini diiringi sejumlah sinyalemen perpecahan yaitu , tanda-tanda pembangkangan dalam IDF, promosi rancangan undang-undang pengecualian untuk orang Yahudi ultra-Ortodoks, upaya perombakan peradilan, dan protes yang terus meningkat terhadap pemerintah masih terus berlanjut. Di dalam Staf Umum IDF yang baru dibentuk, tujuan sebenarnya dari kampanye baru tersebut tetap tidak jelas, meskipun biaya yang harus dikeluarkan sangat besar,” tulis ulasan pembuka di Ynet.
Ulasan itu menyertakan dua ‘petunjuk halus’ mengenai potensi perpecahan di negara Israel atas rencana agresi IDF di Gaza melalui pernyataan spontan Menteri Pertahanan Israel Katz dan Brigadir Jenderal (purnawirawan) Erez Wiener, yang hingga baru-baru ini menjabat sebagai kepala divisi ofensif di Komando Selatan IDF.
Disebutkan dalam ualsan, tanpa koordinasi sebelumnya, kedua pria itu mengungkapkan apa yang tampaknya menjadi awal dari agresi baru IDF di Gaza.
“Kalau tak mau disebut agresi baru, manuver IDF setidaknya bisa disebut sebagai operasi militer-politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam manuver darat selama berbulan-bulan, yang berakhir pada bulan Agustus tahun lalu dengan operasi darat terakhir IDF di Rafah,” kata ulasan tersebut.
Sementara bibit perpecahan terus berkembang, Kepala Staf IDF Eyal Zamir tetap diam saat gelombang tekanan yang meningkat mengancam akan menelan militer, kata laporan Ynet.
PIMPIN IDF – Mayor Jenderal (Purn) Eyal Zamir mengambil alih sebagai panglima baru tentara Israel pada hari Rabu (5/3/2025). Dia menggantikan Herzi Halevi , yang memimpin militer selama perang genosida di Jalur Gaza. (Anews/Tangkap Layar)
Dokumen Rahasia di Tempat Parkir
Tulisan media Israel itu kemudian mengulas ‘petunjuk halus’ pertama terkait bibit perpecahan di negara Israel.
Tulisan menggambarkan Brigadir Jenderal (purnawirawan) Erez Wiener mengungkap isi dokumen rahasia yang menyiratkan tujuan agresi IDF ke Gaza kali ini adalah untuk mencaplok dan menduduki Gaza.
Rencana ini terindikasi dalam unggahan Wiener di media sosial.
“Dalam sebuah posting Facebook, Wiener menyampaikan versinya tentang insiden dokumen rahasia — sebuah kasus yang diungkap oleh Ynet dan Yedioth Ahronoth — di mana materi sensitif disalahtempatkan di tempat parkir (di kota) Ramat Gan. Eyal Zamir dan kepala baru Komando Selatan, Mayjen Yaniv Assor, mengetahui insiden tersebut melalui media dan langsung memecat Wiener,” kata laporan tersebut.
Pemecatan Wiener disertai sejumlah alasan, menurut tulisan itu.
“Di samping tuduhannya yang tidak biasa terhadap sesama perwira IDF—yang ia tuduh berusaha “menyabotase” dirinya karena mereka menentang “sikap ofensifnya”—Wiener mengisyaratkan rencana masa depan IDF (mencaplok dan menduduki) di Gaza,” ulas Ynet.
“Saya sedih karena setelah satu setengah tahun ‘mendorong kereta ke atas bukit’, tepat saat kita mencapai titik di mana pertempuran akan berbelok ke kanan (yang seharusnya terjadi setahun yang lalu), saya tidak akan lagi berada di belakang kemudi,” tulis Wiener, mengisyaratkan perkembangan rencana IDF yang akan dilakukan (menduduki Gaza).
Ia juga mengkritik “kesempatan, tekanan, dan pertimbangan yang hilang yang membentuk jalur peperangan yang dipilih” (mencaplok Gaza).
Wiener bukanlah perwira senior biasa di Komando Selatan.
Selama 500 hari perang, termasuk minggu terakhir masa tugasnya, ia bertanggung jawab untuk merencanakan manuver ofensif IDF di Gaza, mengawasi pelaksanaan taktis dan implikasi strategis jangka panjang.
Ia tidak membantah tuduhan komunikasi tidak sah dengan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich selama perang.
Smotrich telah berulang kali menganjurkan pembentukan pemerintahan militer Israel di Gaza untuk menggantikan kendali Hamas atas penduduk sipil.
Pimpinan IDF sebelumnya, Herzi Halevi, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menentang rencana tersebut karena biayanya yang tinggi — ribuan tentara Israel akan dibutuhkan untuk mengelola Jalur Gaza, yang akan membuat mereka menghadapi risiko yang signifikan, kehilangan nyawa atau cacat, saat mengelola kehidupan sehari-hari penduduk setempat.
“Sebaliknya, mereka merekomendasikan pembentukan otoritas Palestina alternatif untuk memerintah dua juta penduduk Gaza. Entitas ini, meskipun sebagian berafiliasi dengan Otoritas Palestina, akan membutuhkan dukungan Amerika, pengawasan Mesir, dan pendanaan dari negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab,” kata ulasan tersebut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Smotrich menolak pendekatan ini, dengan berpegang teguh pada strategi lama mereka untuk memecah belah Hamas dan Otoritas Palestina guna mencegah terbentuknya negara Palestina.
“Kebijakan ini tetap terlihat dalam tindakan pemerintah, karena Hamas tetap menguasai Gaza setelah satu setengah tahun perang meskipun Israel telah mengerahkan banyak upaya militer dan finansial,” kata laporan tersebut.
Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri cadangan melakukan patroli di wilayah Gaza Utara yang tampak rata tanah. Meski sudah beroperasi berbulan-bulan, IDF belum mampu membongkar kemampuan tempur Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas yang menjalankan taktik gerilya hit and run. (khaberni/HO)
Taktik Tanah untuk Darah
Indikasi kedua pembangakan atas rencana agresi IDF di Gaza datang dari Menteri Pertahanan Katz.
Katz mengumumkan kalau ia telah memerintahkan IDF untuk merebut wilayah tambahan di Gaza sambil mengevakuasi penduduk setempat dan memperluas zona keamanan di sekitar komunitas perbatasan Israel.
“Selama Hamas terus menolak membebaskan para sandera, Hamas akan kehilangan lebih banyak tanah, yang akan dianeksasi ke Israel,” kata Katz.
Pernyataan Katz, yang disetujui oleh Netanyahu, merupakan perubahan kebijakan yang dramatis.
Pernyataan itu menunjukkan kalau kemajuan teritorial IDF baru-baru ini di Gaza tidak semata-mata ditujukan untuk memerangi Hamas, tetapi juga untuk merebut tanah guna ditukar dengan sandera—atau, jika Hamas terus menolak perundingan, untuk mencaplok wilayah tersebut ke Israel secara permanen.
“Dengan kata lain: tanah untuk darah,” tulis ulasan tersebut menggambarkan kalau pertukaran dengan Hamas berpotensi berubah dengan variabel sandera Israel ditukar pembebasan wilayah yang dicaplok Israel.
Israel sejauh ini menghindari mengisyaratkan kemungkinan pemukiman kembali di Gaza untuk mempertahankan legitimasi internasional atas agresi militernya yang berkepanjangan.
Legitimasi ini semakin terancam karena surat perintah penangkapan internasional terhadap Netanyahu dan Gallant, embargo senjata Eropa, dan potensi tindakan hukum terhadap personel IDF di luar negeri.
Saat ini, operasi teritorial IDF difokuskan pada pendudukan dan penguasaan wilayah terbatas di Gaza tanpa terlibat dalam pertempuran besar.
Ini termasuk mengamankan posisi di dekat bekas koridor Netzarim—tempat pasukan IDF mundur dua bulan lalu tetapi kini telah kembali—serta beberapa bagian garis pantai Beit Lahia dan lingkungan Shabura di Rafah.
Di wilayah-wilayah ini, tidak ada pertempuran, ledakan, atau korban jiwa baru-baru ini. Hamas tampaknya menghemat sumber dayanya, menahan diri dari pembalasan yang signifikan sambil mempertahankan para pejuang dan persenjataannya di tengah penduduk sipil Gaza.
PASUKAN DIVISI CADANGAN – Para personel pasukan cadangan dari Batalion Beeri militer Israel (IDF). Jelang invasi berikutnya IDF ke Gaza, partisipasi wajib militer di kalangan warga pemukim Israel makin rendah. (kredit foto: tangkap layar JPost/Courtesy Yoaz Hendel)
Lebih Kejam dari Rencana Jenderal
Rencana baru IDF (untuk menduduki Gaza) kemungkinan melibatkan pendekatan yang lebih luas daripada “Rencana Jenderal” sebelumnya.
Pendekatan yang lebih kejam ini sebagaimana dibuktikan oleh serangan baru-baru ini ke Jabaliya oleh Divisi ke-162 IDF sebelum gencatan senjata.
“Operasi itu melibatkan evakuasi paksa warga sipil dari wilayah yang luas dan pencegahan kepulangan mereka — sebuah taktik yang sekarang dapat ditiru dalam skala yang lebih besar,” tulis ulasan Ynet.
Sementara itu, IDF belum memberikan penjelasan publik mengenai operasi baru ke Gaza tersebut.
Juru bicara militer Brigadir Jenderal Daniel Hagari belum berbicara kepada media untuk mengklarifikasi tujuan operasi tersebut selain pernyataan samar tentang “meningkatkan tekanan pada Hamas,” yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan runtuh sementara puluhan sandera Israel masih ditawan.
“Karena dukungan publik yang luas terhadap potensi serangan darat IDF ke Gaza — yang diperkirakan akan mengakibatkan ratusan korban dan ribuan orang terluka — terus terkikis, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin dalam,” tulis bagian penutup ulasan Ynet.
Kontroversi atas undang-undang penghindaran wajib militer, bersamaan dengan upaya untuk memecat Direktur Shin Bet Ronen Bar dan Jaksa Agung Gali Baharav-Miara, telah semakin memperlebar ketidakpercayaan publik Israel terhadap pemerintahannya.
“Dalam suasana yang menegangkan ini, kebungkaman Kepala Staf IDF yang baru, Letnan Jenderal Eyal Zamir, semakin terlihat,” tulis Ynet.
“Satu-satunya tindakan pembangkangan yang dilakukan Zamir dalam beberapa hari terakhir adalah menunjukkan dukungan publik kepada rekannya yang tengah berjuang, Ronen Bar. Dalam sebuah langkah yang secara luas ditafsirkan sebagai simbolis, IDF merilis dua foto ke media yang memperlihatkan Zamir dan Bar bersama-sama mengawasi pertempuran baru di Israel selatan,” kata tulisan tersebut.
(oln/Ynet/*)