Bisnis.com, GYEONGJU — Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung menyoroti makna simbolis kota Gyeongju sebagai lokasi pertemuan dan menjadi tuan rumah agenda Asia Pacific Economy Cooperation (APEC) 2025.
Dia menjelaskan bahwa tempat berlangsungnya forum, HICO Convention Center, terinspirasi dari Dewan Hwabaek pada masa Kerajaan Silla, di mana para pemimpin berdiskusi untuk mencapai keseimbangan dan harmoni.
Hal ini dia sampaikan saat resmi membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC ke-32 yang digelar di Gyeongju, Jumat (31/10/2025).
“Roh Hwabaek tidak menuntut keseragaman pikiran, tetapi mencari harmoni melalui perbedaan. Semoga di Gyeongju kota yang telah ribuan tahun menjadi simbol kemakmuran dan kebersamaan semangat kerja sama itu kembali bersinar.” ujar Lee di hadapan para pemimpin dunia yang hadir di Gyeongju Art Centre.
Lee berharap, semangat tersebut dapat menginspirasi para pemimpin ekonomi untuk melangkah bersama menuju masa depan yang berkelanjutan di bawah tema KTT tahun ini Connection, Innovation, and Prosperity for a Sustainable Future.
Menurut informasi yang dibagikan, kota bersejarah Gyeongju di Provinsi Gyeongsang Utara menjadi sorotan dunia setelah resmi ditetapkan sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2025. Keputusan ini bukan tanpa alasan Gyeongju dipilih karena nilai simboliknya sebagai kota perdamaian, dialog, dan warisan budaya yang mewakili semangat kerja sama Asia-Pasifik.
Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung, dalam pidato pembukaan APEC 2025, menjelaskan bahwa Gyeongju dipilih karena memiliki makna historis mendalam bagi bangsa Korea. Kota ini pernah menjadi ibu kota Kerajaan Silla (tahun 57 SM–935 M), salah satu kerajaan tertua di Semenanjung Korea yang dikenal karena berhasil menyatukan wilayah dan membangun peradaban yang makmur dan terbuka terhadap kebudayaan asing.
Istilah Hwabek ,yang disebut Lee, merujuk pada tradisi pertemuan dewan bangsawan pada masa Kerajaan Silla untuk mencapai mufakat melalui musyawarah, bukan paksaan.
Filosofi Hwabek inilah yang menjadi dasar pemikiran utama penyelenggaraan APEC 2025 mendorong negara-negara anggota untuk membangun konsensus bersama dalam menghadapi tantangan global.
Selain nilai sejarah, Gyeongju juga dikenal sebagai “museum tanpa dinding” karena kaya akan peninggalan budaya dan situs bersejarah yang diakui UNESCO, seperti Kompleks Makam Raja Silla, Kuil Bulguksa, dan Observatorium Cheomseongdae. Kombinasi warisan budaya dan infrastruktur modern membuat kota ini dinilai ideal untuk menjadi tuan rumah ajang diplomasi tingkat tinggi.
Suasana kota Gyeongju di Korea Selatan saat perhelatan KTT APEC 2025. JIBI/Akbar Evandio
Sejarah Singkat Kerajaan Silla
Kerajaan Silla didirikan pada tahun 57 SM oleh raja legenda Hyeokgeose di wilayah selatan-timur semenanjung Korea. Silla awalnya adalah konfederasi suku Jinhan, kemudian menjadi kerajaan yang makin terorganisir.
Pada abad ke-6 dan ke-7, Silla melakukan aliansi dengan dinasti Tang dynasty (Cina) untuk memerangi dua kerajaan kaki lainnya di Korea, yakni Baekje dan Goguryeo. Tahun 668 M, Silla berhasil menyatukan hampir seluruh semenanjung Korea di bawah “Silla Bersatu” (Unified Silla).
Setelah beberapa abad mengalami kemajuan budaya dan ekonomi, Silla akhirnya mengalami kemunduran dan runtuh pada tahun 935 M.
Sistem sosial Silla sangat dipengaruhi oleh sistem pangkat tulang (bone-rank system) di mana garis keturunan bangsawan menentukan status dan jabatan.
Agama Buddha berkembang pesat di Silla; banyak kuil dan karya seni Buddha yang menjadi warisan budaya signifikan.
Ibu kota Silla adalah kota kuno Gyeongju (dulu Seorabeol), yang kini dikenal sebagai “museum tanpa dinding” karena kekayaan situs sejarahnya.
Silla memainkan peranan penting dalam membentuk identitas budaya dan politik Korea modern seperti pengorganisasian wilayah, adopsi agama Buddha, serta seni dan arsitekturnya.
Banyak situs arkeologi, makam, kuil, dan artefak dari Silla masih dapat dikunjungi di Gyeongju dan sekitarnya, serta telah diakui sebagai warisan dunia.
