Jakarta –
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pengembangan industri batik di tengah era digital saat ini. Salah satu upaya Kemenperin terlihat dari diterbitkannya buku berjudul ‘Batik Berkelanjutan: Rantai Pasok Industri 4.0’ yang disusun oleh tim penulis dari berbagai latar belakang.
“Tim penyusun berharap industri batik dapat bersaing di tengah era digital yang semakin kompetitif dengan pengimplementasian teknologi industri 4.0,” ungkap Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kemenperin Reni Yanita dalam keterangan tertulis, Jumat (4/10/2024).
Reni menjelaskan batik merupakan industri padat karya yang mampu menyerap hingga 200 ribu tenaga kerja. Proses produksi batik juga membutuhkan tahapan yang panjang, kompleks, dan waktu yang cukup lama.
Menurut pihaknya, batik bukan sekadar produk industri yang perlu dilestarikan dalam hal tradisi dan budaya. Namun juga perlu didorong untuk selalu adaptif terhadap kondisi pasar dan perkembangan teknologi, terutama di tengah era revolusi industri 4.0.
Oleh sebab itu, Ditjen IKMA Kemenperin mendorong industri batik agar dapat bertransformasi dengan digitalisasi secara perlahan dan berkala, sehingga tercipta efisiensi produksi.
“Kemenperin mendorong industri batik untuk bisa menerapkan ERP (Enterprises Resources Planning) yang mengintegrasikan proses bisnis perusahaan, baik dari sisi produksi, pemasaran, pembukuan berbasis sistem akuntansi, sumber daya manusia, pembelian, logistik, dan berbagai proses bisnis lainnya,” bebernya.
Dalam peluncuran dan diskusi buku ‘Batik Berkelanjutan: Rantai Pasok Industri 4.0’ yang diadakan di Mal Kota Kasablanka, Kamis (3/10), Direktur Industri Aneka dan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, dan Kerajinan Alexandra Arri Cahyani mengungkapkan buku ini diterbitkan sebagai acuan agar pelaku industri kecil menengah (IKM) di sentra IKM batik mulai dapat menerapkan ERP.
Ia merinci kajian dalam buku ini mencakup telaah tentang batik dan proses pembatikan, termasuk sejarah, filosofi, dan rantai pasok industri batik. Buku ini juga berisi penjelasan mengenai rantai pasok batik dari hulu ke hilir. Serta membedah contoh IKM batik yang berhasil mengimplementasikan proses bisnis ERP dengan baik, sehingga bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih berdaya saing.
“ERP diterapkan untuk mengintegrasikan data agar ekosistem batik lebih efisien dan efektif, dan kami percaya IKM dapat menerapkan digitalisasi ini secara bertahap,” ucap Alexandra.
Menurutnya, penerapan industri 4.0 di industri batik sangat dibutuhkan agar IKM batik dapat naik kelas. Ia mencontohkan salah satu IKM batik yang berhasil bertransformasi dengan digitalisasi adalah CV. Paradise Batik asal Yogyakarta.
“Kami menilai bahwa proses produksi Paradise Batik sudah cukup baik sehingga dapat dijadikan percontohan penerapan ERP untuk mencapai aspek produksi yang efisien dan berkualitas,” kata Alexandra.
General Manager CV. Paradise Batik, Muhammad Anwar Karim mengakui implementasi teknologi industri 4.0 adalah hal baru bagi perusahaannya. Ia mengatakan masih ada pelaku industri batik yang proses produksinya belum memenuhi aspek ramah terhadap lingkungan dan memiliki proses yang kurang efisien.
“Kami mulai perubahan dengan sadar bahwa industri yang terstandardisasi dan industri yang didukung dengan penerapan industri 4.0 adalah industri masa depan. Jadi kita (pelaku IKM) harus percaya diri, meskipun masih berskala IKM, namun kita bisa mewujudkan industri batik yang lebih baik bersama-sama,” terang Karim.
Karim mengungkapkan pihaknya berkoordinasi dengan startup yang dapat mendukung penerapan model bisnisnya dalam mengimplementasikan ERP di Paradise Batik.
“Kami sampaikan bahwa kami tidak dapat disamakan dengan pelaku industri besar, karena proses pengembangan bisnis kami perlu dilakukan secara lebih berhati-hati dan terukur. Sekarang, dengan penerapan ERP di satu smartphone, kami bisa membaca persediaan kain dan sebagainya,” paparnya.
Sementara itu, Dosen Kimia dan Tekstil Politeknik STTT Bandung, Khaerul Umam yang juga penulis buku mengungkapkan Kemenperin bersama tim akademisi berupaya mempermudah para pelaku industri batik untuk dapat mengakses kebutuhan produksi dan rantai pasok industri ini melalui bahasa yang mudah dimengerti.
“Kami mencoba menjelaskan proses dan kosakata industri batik dengan bahasa yang umum, bahasa yang tidak terkotakkan bahasa lokal daerah tertentu, agar suatu saat proses bisnis IKM batik lebih efisien dan universal,” pungkasnya.
(anl/ega)