Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • Mengenal Metode Hisab dan Rukiyatul Hisab dalam Menentukan 1 Ramadan

    Mengenal Metode Hisab dan Rukiyatul Hisab dalam Menentukan 1 Ramadan

    JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memutuskan puasa Ramadan 1446 Hijriah di Indonesia dimulai pada Sabtu (1/3/2025), meski hilal tidak terlihat di mayoritas wilayah Indonesia pada Sidang Isbat, Jumat (28/2) petang.

    “Diputuskan malam ini dalam sidang bahwa 1 Ramadan ditetapkan besok, insya Allah, tanggal 1 Maret 2025,” ujar Nasaruddin Umar dalam konferensi pers usai sidang isbat.

    “Mohon maaf kami terlambat. Harus menunggu bagian paling barat dari Indonesia, Aceh.”

    Umat Muslim di Indonesia memang harus menunggu lebih lama untuk mengetahui hari pertama Ramdan tahun ini. Cuaca mendung di beberapa wilayah di Indonesia menjadi kendala utama yang menyebabkan hilal tidak bisa terpantau secara langsung.

    Menteri Agama Nasaruddin Umar bersama Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi`i, Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang, Ketua MUI Abdullah Jaidi, dan Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad menyampaikan hasil sidang isbat di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat (28/2/2025). (ANTARA/Asprilla Dwi Adha/tom)

    Sementara itu Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, sejak 11 Februari 2025 telah menetapkan bahwa 1 Ramadan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025. Hal ini dipaparkan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Sayuti.

    Muhammadiyah juga mengumumkan Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1446 Hijriah pada 31 Maret 2025.

    Dilakukan Sejak 1950-an

    Sidang Isbat memiliki sejarah yang signifikan dalam kehidupan keagamaan dan sosial di Indonesia. Sidang ini diselenggarakan untuk menetapkan awal bulan dalem kalender Hijriah, terutama yang berkaitan dengan ibadah penting umat Islam seperti Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.

    Sidang Isbat bertujuan memberikan kepastian hukum dan keagamaan kepada masyarakat serta mengurangi perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan. Perlu ada kerja sama antara pemerintah dan ulama untuk menciptakan kesatuan dan integrase di tengah masyarakat.

    Seperti sidang Isbat tahun ini yang dilakukan secara tertutup, dihadiri pewakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), DPR, dan Mahkamah Agung (MA).

    Agenda sidang mencakup pemaparan posisi hilal berdasarkan perhitungan astronomi dan verifikasi hasil pengamatan hilal dari berbagai lokasi pantauan di seluruh Indonesia.

    Sidang Isbat sendiri sudah dilakukan sejak era 1950-an, meski di beberapa sumber menyebut pertama kali pelaksanaannya pada 1962. Untuk menentukan awal Ramadan, sidang Isbat biasanya dilakukan pada 29 Syaban.

    Umat Islam melaksanakan shalat tarawih pertama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (28/2/2025). (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/tom)

    Mengutip laman Kementerian Agama, sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan.

    Sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan. Sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan.

    “Inilah yang menjadi nilai lebih bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat,” tegas Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib.

    Perbedaan Metode Dua Ormas 

    Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sering berbeda dalam menetapkan awal bulan Hijriyah, terutama Ramadan, Syawal, Zulhijah.

    Peneliti dari Kementerian Agama RI, Suhanah, menjelaskan penyebab perbedaan penetapan awal Ramadhan dapat ditinjau dari aspek metodenya. Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan) dalam penentuan 1 Ramadan, sementara NU menggunakan metode rukyat (mengamati hilal secara langsung).

    “Kedua kelompok ini sulit disatukan karena mempunyai alasan fikih masing-masing yang berbeda satu sama lainnya. Bagi masyarakat yang ada di wilayah Kota Semarang, perbedaan tersebut banyak menimbulkan keresahan bagi kalangan masyarakat awam,” katanya dikutip dari Jurnal Harmoni.

    Mengutip laman MUI, hisab secara bahasa berarti menghitung. Seperti namanya, penentuan awal bulan menggunakan metode hisab mengandalkan hitungan falak atau ilmu astronomi.

    Hasil dari perhitungan ini nantinya akan digunakan untuk memastikan wujud dari hilal. Dengan kata lain, penetapan awal bulan dengan metode hisab tidak perlu dilakukan dengan melihat hilal secara langsung, melainkan cukup menggunakan perhitungan sistematis.

    Alasan Muhammadiyah menggunakan metode ini karena salah satunya mengacu pada Surah Ar-Rahman ayat 5 yang artinya “matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”.

    Sementara itu, hilal untuk menentukan awal bulan baru meliputi lengkungan bulan sabit paling tipis yang ada pada ketinggian rendah. Posisi hilal berada di atas ufuk barat setelah matahari terbenam dan harus bisa diamati.

    Dalam mengamati hilal menggunakan metode rukyat, ada tiga cara yang dapat dilakukan yaitu mengamati dengan mata telanjang, bantuan alat optik atau teleskop, hingga alat optik termutakhir yang terhubung dengan sensor atau kamera.

    Metode rukyat untuk menetapkan awal bulan tercermin dalam sabda Rasululllah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

    Meski seringkali terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan melalui metode hisab dan rukyat, MUI menegaskan tidak ada yang salah dari dua metode tersebut karena keduanya berasal dari ijtihad para ulama.

    Selain itu, MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa tersebut mewajibkan warga negara Indonesia menaati ketetapan pemerintah ketika terjadi perbedaan pendapat soal awal Ramadan.

    Ramadan 1446 H Berbeda dengan Negara Tetangga

    Dalam konferensi pers setelah sidang isbat, Menag Nasaruddin Umar mengatakan hilal akhirnya ditemukan di provinsi paling barat di Aceh. Itu setelah kondisi objektif hilal dari Indonesia bagian timur, tengah, sampai bagian barat, di ekor pulau Jawa tidak dimungkinkan untuk menyaksikan hilal.

    “Ternyata ditemukan hilal di provinsi paling barat di Aceh, sudah disumpah juga oleh hakim, dengan demikian 2 orang yang menyaksikan hilal itu, ditambah dengan pengukuhan, oleh hakim agama setempat,” jelas Nassaruddin.

    Untuk Ramadan 1446 H, baik Indonesia maupun Arab Saudi memulai puasa di tanggal yang sama, yaitu 1 Maret 2025. Namun demikian, sebelumnya dalam penentuan awal Ramadan atau Idulfitri di Indonesia seringkali berbeda dengan di Arab Saudi. Contohnya pada Ramadan tahun lalu, ketika pemerintah Arab Saudi menetapkan puasa pertama jatuh pada Senin, 11 Maret 2024, sedangkan pemerintah Indonesia melalui menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Selasa, 12 Maret.

    Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menuturkan, perbedaan penentuan tersebut bukan disebabkan oleh kriteria yang berbeda, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan keputusan antara pemerintah kedua negara.

    “Prinsipnya semakin ke barat, negara-negara yang lebih barat itu lebih bisa melihat posisi bulan yang lebih tinggi dan jarak bulan yang lebih jauh dari posisi matahari,” kata Thomas dikutip dari Antara, Selasa (25/2/2025).

    Siswa TK menjadi peserta Pawai Tarhib menyambut Ramadhan di Kota Palangka Raya, Selasa (21/3/2023). (ANTARA/Rendhik Andika)

    Secara teori, kata Thomas, wilayah barat berpotensi melihat hilal lebih besar dibandingkan dengan wilayah timur.

    “Jadi sebenarnya wajar ketika di Arab Saudi itu sudah terlihat hilal, padahal di Indonesia belum (terlihat), itu wajar,” ujarnya.

    Untuk tahun ini, baik Indonesia maupun Arab Saudi menetapkan 1 Maret 2025 sebagai 1 Ramadan 1446 Hijriah. Tetapi, awal puasa Ramadan di Indonesia berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam yang jatuh pada Minggu, 2 Maret.

    Perbedaan tanggal awal puasa antara Indonesia dan negara-negara tetangga karena di tiga negara tersebut tidak terlihat hilal, serta tidak terpenuhinya kriteria rukyat (pengamatan hilal) yang berpedoman pada Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Dalam MABIMS, dijelaskan kriteria hilal minimum ialah berada di ketinggian tiga derajat dan elongasi 6,4 derajat.

  • Sahur hingga Ngabuburit dalam Perspektif Islam

    Sahur hingga Ngabuburit dalam Perspektif Islam

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan bagi umat Islam. Pada bulan ini, ibadah  puasa diwajibkan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt serta sarana meningkatkan ketakwaan (QS Al-Baqarah:183). “Wahai orang-orang yang beriman,  diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu  agar kamu bertakwa.” 

    Salah satu aspek penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang memiliki keutamaan khusus, seperti sahur dan  ngabuburit. Kedua waktu ini tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga mengandung  hikmah dan keberkahan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. 

    Sahur dan ngabuburit tidak hanya memiliki dimensi ibadah dalam Islam, juga telah  berkembang menjadi tradisi budaya populer di berbagai negara muslim, terutama di Indonesia. Sahur yang awalnya merupakan anjuran agama untuk mempersiapkan fisik dan spiritual  sebelum berpuasa, kini menjadi bagian dari kebiasaan sosial yang penuh dengan keberagaman, mulai dari sahur on the road, acara sahur bersama, hingga berbagai program televisi yang  menemani umat muslim menjelang subuh.

    Dalam praktiknya, puasa umat Islam memiliki  karakteristik yang membedakannya dari puasa umat-umat sebelumnya, termasuk ahli kitab  (Yahudi dan Nasrani). Salah satu aspek yang menjadi pembeda adalah anjuran untuk makan  sahur sebelum terbit fajar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

    عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

    Dari Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perbedaan  antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR Muslim nomor 1.096) 

    Hadis ini menegaskan bahwa sahur bukan sekadar kebiasaan sebelum berpuasa, tetapi juga  merupakan sunah yang menjadi ciri khas ibadah puasa dalam Islam. Dengan adanya anjuran sahur, umat Islam tidak hanya mengikuti sunah Nabi SAW. juga membedakan diri dalam cara beribadah dibandingkan dengan umat sebelumnya.

    Hal ini menunjukkan Islam adalah  agama yang memiliki aturan dan tata cara ibadah yang khas serta penuh keberkahan bagi  pemeluknya. Sahur tidak hanya memberikan kekuatan fisik untuk menjalani puasa, juga  memiliki keberkahan.

    عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً رواه البخاري (1923)، ومسلم (1095)

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah SAW bersabda,”Makan  sahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” (HR Bukhari nomor 1923 dan  Muslim nomor 1095). Hadis ini merupakan salah satu bentuk anjuran Rasulullah SAW kepada umatnya agar selalu melaksanakan sahur sebelum berpuasa. Rasulullah SAW tidak hanya memberikan perintah  untuk sahur, juga menekankan dalam sahur terdapat keberkahan. 

    Selain itu, waktu sahur termasuk dalam sepertiga malam terakhir yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa  dan memohon ampunan kepada Allah Swt.

    وَبِالۡاَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُوۡنَ‏ ١٨

    wa bil-as-ḫâri hum yastaghfirûn

    Artinya: “dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat: 18) 

    Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan sifat orang-orang bertakwa yang senantiasa memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur (sepertiga malam  terakhir sebelum subuh). Orang-orang saleh yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang  menghidupkan malam dengan ibadah, seperti salat tahajud, berzikir, dan membaca Al-Qur’an,  serta pada akhir malam mereka beristigfar (memohon ampunan kepada Allah Swt).

    Ibnu Katsir menafsirkan bahwa istigfar mereka bukan hanya karena dosa-dosa besar, juga sebagai  bentuk ketundukan dan rendah hati kepada Allah. Mereka juga mengakui kelemahan diri, meskipun telah  banyak beribadah. Ibnu Katsir juga menyebutkan istigfar pada waktu sahur adalah kebiasaan para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat lain  dalam Al-Qur’an. 

    Selain itu, Allah menyebutkan istigfar pada waktu sahur sebagai ciri khas  penghuni surga dalam beberapa ayat lain, seperti dalam QS Ali ‘Imran: 17. “Dan orang-orang  yang memohon ampunan di waktu sahur.” 

    Dalam Tafsir al-Misbah (Quraish Shihab) disebutkan ayat ini menekankan bahwa istigfar bukan sekadar ucapan lisan, tetapi merupakan bentuk kesadaran spiritual akan  keterbatasan manusia dan kebutuhan akan rahmat Allah. Waktu ashar (menjelang subuh) disebut secara khusus karena merupakan waktu yang penuh keberkahan. Saat itu suasana  tenang dan mustajab untuk memohon ampunan. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa orang-orang saleh tidak hanya beribadah pada malam hari, juga menutupnya dengan  istigfar sebagai bentuk ketawadukan dan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. 

    Demikian pula dengan ngabuburit. Meskipun Islam tidak secara khusus menyebut istilah ngabuburit, tetapi prinsip memanfaatkan waktu dengan hal-hal baik telah banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadis. Semula, ngabuburit hanya merujuk pada waktu menunggu berbuka. Kini, ngabuburit telah menjadi fenomena budaya yang diisi dengan berbagai aktivitas, seperti berburu takjil,  berkumpul dengan keluarga dan teman, hingga menghadiri kajian keagamaan. 

    وَٱلْعَصْرِ ١

    wal-‘ashr

    Demi masa.

    إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢

    innal-insâna lafî khusr

    Sungguh, manusia berada dalam kerugian,

    إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣

    illalladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti wa tawâshau bil-ḫaqqi wa tawâshau bish-shabr

    kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

    Ayat ini menunjukkan bahwa waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan dengan hal yang  bermanfaat, seperti kajian keagamaan, berbagi makanan untuk berbuka, atau kegiatan sosial  yang positif selama ngabuburit. Dalam hadis, Rasulullah SAW juga menyebutkan keutamaan  menunggu waktu berbuka dengan ibadah. 

    لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ 

    “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan  kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR Bukhari nomor 1904, Muslim nomor 1151) 

    Berburu takjil dan berbagi makanan saat ngabuburit telah menjadi bagian dari budaya Ramadan yang tidak hanya bernilai sosial, juga memiliki makna ibadah dalam Islam. Tradisi ini mencerminkan semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama, terutama  bagi mereka yang membutuhkan. Islam sangat menganjurkan berbagi makanan, sebagaimana firman Allah Swt QS Al-Insan Ayat 8-9:

    وَيُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسۡكِيۡنًا وَّيَتِيۡمًا وَّاَسِيۡرًا‏ ٨

    wa yuth‘imûnath-tha‘âma ‘alâ ḫubbihî miskînaw wa yatîmaw wa asîrâ

    Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.

    اِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِـوَجۡهِ اللّٰهِ لَا نُرِيۡدُ مِنۡكُمۡ جَزَآءً وَّلَا شُكُوۡرًا‏ ٩

    innamâ nuth‘imukum liwaj-hillâhi lâ nurîdu mingkum jazâ’aw wa lâ syukûrâ
    (Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.

    Berbagi takjil sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa siapa yang  memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala  seperti orang yang berpuasa tersebut. 

     مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    “Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia  mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang  yang berpuasa sedikit pun.” (HR Tirmidzi nomor 807, Ibnu Majah nomor 1746) 

    Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan yang memberikan berbagai peluang bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak amal ibadah. Dua waktu istimewa dalam bulan ini, yaitu sahur dan ngabuburit, tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga  telah berkembang menjadi bagian dari budaya populer di masyarakat.

    Meskipun telah  bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer, sahur dan ngabuburit tetap memiliki  makna spiritual yang dapat dimaksimalkan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara aspek budaya dan nilai-nilai ibadah agar dua waktu istimewa ini tetap  menjadi sarana meningkatkan ketakwaan selama Ramadan.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Di Depan Ribuan Jamaah Tarawih Istiqlal, Menag: Puasa Tanpa Niat Itu Diet – Page 3

    Di Depan Ribuan Jamaah Tarawih Istiqlal, Menag: Puasa Tanpa Niat Itu Diet – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menekankan semua amal ibadah yang dijalankan harus disertai dengan niat, termasuk puasa dan salat. Dia menyebut berpuasa tanpa niat berarti diet dan salat tanpa niat adalah olahraga.

    “Izinkan saya menyampaikan, mumpung masih awal Ramadan. Segala amal ibadah itu harus disertai niat. Kalau puasa tanpa niat itu diet, kalau salat tanpa niat itu olah raga,” kata Nasaruddin saat menjadi penceramah pada malam pertama Salat Tarawih Ramadan 1446 H di Masjid Istiqlal, dikutip dari siaran pers, Sabtu (1/3/2025).

    “Inti dari setiap ibadah itu adalah niat. Kalau kita lupa berniat, ini persoalan dalam ibadah kita,” sambungnya.

    Dia mengingatkan ribuan jamaah salat Tarawih di Masjid Istiqlal dan seluruh umat muslim yang melaksanakan puasa untuk memperbaiki niatnya dengan baik. Dalam pendekatan Fiqh, setiap ibadah itu tetap diminta untuk berniat.

    “Konsep niat berpuasa menurut Imam Syafi’I, niat berpuasa dilakukan pada malam harinya, jangan biasakan pas sahur, itu sudah pagi. Setiap malam kita harus berniat berpuasa. Tolong ingatkan keluarganya, jadi lah muballigh dan guru dirumah masing-masing,” jelasnya.

    Disisi lain, Imam Besar Masjid Istiqlal itu mengajak umat Islam untuk membuat kejutan-kejutan di awal Ramadan. Salah satunya, dengan mengaji atau khataman Alquran.

    “Dan yang memiliki rencana-rencana monumental niatkan dan mulailah pada bulan Ramadan. Seperti peletakan batu pertama sebuah bangunan, atau menulis buku, dan lainnya,” jelas Nasaruddin.

    Dia menuturkan hal besar yang direncanakan, baik aspek bisnis, sosial, kebudayaan, dan lainnya agar mengawalinya pada bulan suci Ramadan. Nasaruddi menyebut sejarah membuktikan bahwa kejadian-kejadian yang monumental itu adalah apa yang ditanamkan pada Ramadan.

    “Banyak peristiwa penting dalam agama Islam terjadi pada bulan Ramadan. Seperti malam ketika diturunkannya Al-Qur’an/malam nuzul Al-Qur’an. Peristiwa ini memiliki makna yang sangat penting. Selain Al-Qur’an itu diturunkan, juga sekaligus menjadikan Muhammad Saw menjadi Nabi dan juga sekaligus sebagai Rasul,” tutur Nasaruddin Umar.

  • Takjil dan Kesatuan Bangsa, dari Resistensi Kultural hingga Wujud

    Takjil dan Kesatuan Bangsa, dari Resistensi Kultural hingga Wujud

    Takjil, yang semula hanya dipahami sebagai sekadar hidangan ringan untuk berbuka puasa pada bulan Ramadan, ternyata menyimpan narasi mendalam tentang perjalanan kebangsaan Indonesia. Tradisi berbagi makanan ini tidak sekadar ritual kuliner, melainkan sebuah metafora sosial yang menggambarkan kompleksitas hubungan antarmanusia dalam bingkai keberagaman. Ia menjadi saksi bisu perjalanan panjang toleransi, mulai dari masa-masa kelam kolonial hingga era digital kontemporer.

    Setiap sajian takjil memiliki cerita tersendiri tentang resiliensi masyarakat Indonesia dalam mempertahankan kohesi sosial di tengah beragam tantangan. Di balik kemasan sederhana makanan berbuka ini, tersimpan kekuatan transformatif yang mampu menembus batas-batas primordial—baik suku, agama, ras, maupun antarkelompok sosial. Fenomena war takjil yang kini marak di media sosial adalah bukti nyata bagaimana tradisi kuno ini terus beradaptasi, menghadirkan ruang dialogis yang inklusif dan humanis.

    Artikel ini akan menelusuri metamorfosis takjil sebagai praktik sosial, mengungkap bagaimana sebuah tradisi sederhana mampu menjadi instrumen perekat kebangsaan. Melalui perspektif sejarah, antropologi, dan sosiologi, kita akan melihat bagaimana takjil tidak sekadar tentang makanan, melainkan tentang bagaimana sebuah bangsa yang majemuk terus menegosiasikan identitasnya melalui praktik berbagi yang bermakna. 

    Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa toleransi bukanlah konsep abstrak, melainkan sesuatu yang dapat dirasakan, dibagi, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

    Akar Sejarah Takjil dalam Konteks Sosial

    Secara etimologis, kata “takjil” berasal dari bahasa Arab “at-tajliyah” yang bermakna pemberian atau hidangan ringan untuk berbuka puasa. Praktik ini memiliki sejarah panjang yang jauh melampaui sekadar ritual makan, ia adalah representasi mendalam dari praktik sosial kemanusiaan yang telah berkembang selama berabad-abad. 

    Pada masa awal Islam, Rasulullah Muhammad SAW telah mencontohkan tradisi berbuka dengan kurma atau air, yang kemudian menjadi inspirasi bagi perkembangan konsep takjil di berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara.

    Di Indonesia, praktik takjil tidak dapat dilepaskan dari konteks multikulturalisme yang menjadi karakteristik utama masyarakat Nusantara. Pada masa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, tradisi berbagi makanan telah menjadi instrumen penting dalam menjaga kohesi sosial. Praktik “sego kucing” di Keraton Yogyakarta misalnya, menunjukkan bagaimana makanan tidak sekadar dimaknai sebagai kebutuhan fisik, melainkan juga sebagai medium komunikasi sosial yang melampaui batas-batas status, etnis, dan agama.

    Transformasi sosial takjil terus berlangsung sepanjang sejarah. Pada periode kolonial, praktik berbagi makanan ini menjadi bentuk resistensi kultural, di mana ruang-ruang berbagi makanan di masjid, pesantren, dan komunitas menjadi titik berkumpul untuk membangun solidaritas menghadapi penindasan. 

    Pasca kemerdekaan, takjil semakin diperkaya dengan nuansa kebangsaan, di mana praktik berbagi tidak sekadar menunjukkan kepatuhan ritual keagamaan, melainkan juga menegaskan komitmen terhadap semangat persatuan dan kebersamaan.

    Masa Kolonial: Takjil sebagai Resistensi Kultural

    Periode kolonial merupakan masa paling kritis dalam transformasi makna sosial-kultural takjil di Nusantara. Di tengah tekanan sistematis penjajah yang bertujuan memutus solidaritas masyarakat pribumi, praktik berbagi makanan berbuka puasa muncul sebagai benteng pertahanan kultural yang tak ternilai. Masjid-masjid, pesantren, dan ruang-ruang komunal menjadi basis utama perlawanan tidak langsung melalui tradisi berbagi yang inklusif.

    Dalam konteks sosial-politik kolonial, takjil lebih dari sekadar hidangan ringan—ia adalah instrumen strategis untuk memelihara kohesi sosial dan semangat perlawanan. Para pemimpin agama dan tokoh masyarakat menggunakan momen berbuka puasa sebagai ruang dialog tersembunyi, membangun jaringan solidaritas yang sulit terpantau oleh aparatus kolonial.

    Praktik berbagi makanan ini menciptakan ikatan emosional antar warga yang melampaui batas-batas suku, kelas sosial, dan kedudukan, menghasilkan kekuatan komunal yang sistematis namun tak kasat mata.

    Dokumentasi sejarah menunjukkan bagaimana tradisi takjil menjadi medium transformasi kesadaran kolektif. Di daerah-daerah seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, praktik berbagi makanan selama Ramadan tidak sekadar ritual keagamaan, melainkan menjadi momen strategis untuk mendiskusikan perlawanan, menyebarkan semangat kebangsaan, dan mempersiapkan gerakan kemerdekaan. 

    Para pejuang kemerdekaan seperti kiai Ahmad Dahlan, Sukarno, dan Mohammad Hatta kerap memanfaatkan momentum berbuka puasa untuk membangun kesadaran nasional, membuktikan bahwa takjil adalah senjata kultural yang ampuh melawan hegemoni kolonial.

    Fenomena War Takjil: Toleransi di Era Digital

    Di era digital, fenomena war takjil muncul sebagai evolusi kontemporer dari tradisi berbagi yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Istilah “war takjil” yang mulai populer pada dekade terakhir merujuk pada gerakan sosial berbagi makanan berbuka puasa secara masif melalui platform media sosial, yang mentransformasi praktik tradisional menjadi Gerakan solidaritas berskala yang lebih luas dan dinamis.

    Teknologi media sosial telah mengubah paradigma berbagi takjil dari sekadar praktik lokal menjadi gerakan sosial yang terkoneksi secara digital. Platform seperti Instagram, Twitter (saat ini bernama X), dan Facebook menjadi ruang kolaborasi di mana komunitas-komunitas berbeda dapat saling terhubung, merencanakan, dan mengeksekusi kegiatan pembagian makanan. Fenomena ini tidak sekadar tentang berbagi makanan, melainkan menciptakan ekosistem digital kemanusiaan yang melampaui batas-batas geografis, etnis, dan agama.

    Menariknya, war takjil di era digital memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari praktik berbagi tradisional. Gerakan ini didorong oleh generasi muda yang aktif di media sosial, dengan motivasi yang kompleks—mulai dari kepedulian sosial, ekspresi spiritualitas, hingga keinginan untuk menciptakan ruang dialogis antarkelompok. Berbagai komunitas, dari mahasiswa, profesional, hingga influencer, berlomba-lomba menggelar war takjil, menciptakan semacam “kompetisi kebaikan” yang memberikan dampak positif bagi masyarakat.

    Perjalanan panjang takjil dalam sejarah Indonesia membuktikan bahwa praktik sederhana berbagi makanan jauh melampaui sekadar ritual kuliner. Ia adalah narasi berkelanjutan tentang ketangguhan bangsa dalam mempertahankan solidaritas di tengah beragam tantangan sejarah. Dari masa kolonial hingga era digital kontemporer, takjil telah menjadi saksi bisu transformasi sosial, sekaligus instrumen penting dalam menjaga keutuhan masyarakat multikultur Indonesia.

    Metamorfosis takjil menghadirkan potret autentik tentang bagaimana toleransi dirawat dan diwariskan antar generasi. Setiap sajian makanan ringan berbuka puasa adalah metafora resolusi konflik, ruang dialog yang tak terucapkan, dan komitmen terhadap semangat kemanusiaan. Di tengah kompleksitas tantangan sosial-politik kontemporer, tradisi ini terus membuktikan diri sebagai kekuatan transformatif yang mampu menembus batas-batas primordial—etnis, agama, kelas sosial, dan ideologi.

    Ke depan, warisan takjil bukan sekadar tentang melestarikan tradisi, melainkan komitmen aktif untuk terus membangun narasi kebangsaan yang inklusif dan humanis. Generasi muda dipanggil untuk tidak sekadar meneruskan praktik, tetapi mengkreasikan ulang makna toleransi dalam konteks dinamika sosial yang semakin kompleks. Takjil adalah pengingat konstan bahwa dalam keberagaman, berbagi bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan untuk mempertahankan keutuhan bangsa.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Berpuasalah Sampai Abadi dalam Takwa!

    Berpuasalah Sampai Abadi dalam Takwa!

    Seluruh sisi perintah Tuhan memiliki aspek lahiriah yang kita laksanakan dengan gerakan badan dan aspek batiniah yang kita laksanakan dengan jiwa. Aspek lahiriah dapat disaksikan dengan mata, aspek batiniah disaksikan oleh mereka yang melaksanakan bersama Tuhan.

    Perbedaan manusia dan binatang tidak terletak dari gerak tubuhnya. Binatang mungkin saja melaksanakan salat dengan gerakan sempurna bila dilatih, tapi salatnya tidak diberi pahala. Perbedaannya terletak di dalam jiwa. Kita juga dapat bergerak tapi tidak mendapatkan pahala. Begitu juga puasa, lapar tidak menjadi jaminan diterimanya puasa. Puasa dapat menjadi sia-sia jika hanya melaksanakan sisi lahiriah puasa. Karena itu, marilah kita abadi dalam takwa melalui puasa yang juga memenuhi aspek batiniah puasa.

    Bila puasa adalah persoalan perut maka takwa sebagai tujuan puasa tidak akan tercapai. Sudah sering kita dengar setiap ceramah tarawih, la’allakum tattaqūn, supaya kalian bertakwa. Bukannya takwa yang diperoleh, melainkan hanya lapar dan haus setelah puasa. Ditambah lagi, di hari lebaran, lapar selama tiga puluh hari dibalas dengan makan rendang sepuasnya.

    Imam Ghazali dalam Iḥyā ‘Ulūmuddin membagi orang yang berpuasa menjadi puasa orang awam, puasanya orang khusus, dan puasanya orang paling khusus. Perbedaannya ada pada hal-hal yang ditahan. Jika awam hanya menahan hal-hal yang membatalkan dalam fikih, orang khusus dan setelahnya menahan organ-organ tertentu dan akhlak yang buruk.

    Sebenarnya, semua umat muslim bukan orang awam. Mereka sudah termasuk orang-orang yang paling khusus. Semangat Al-Qur’an menjadikan muslim untuk bertakwa untuk semuanya. Tidak ada yang khusus (khaṣṣ) atau paling khusus (khaṣṣ al-khawaṣṣ). Karena itu, saatnya meredefinisi ulang puasa untuk semua umat muslim pada arti paling khususnya, tidak hanya menjalankan kewajiban fiqhiyyat, sehingga puasa bukan hanya soal menahan lapar.

    Puasa juga bukan soal menjalankan kewajiban Ramadan. Berpuasa berarti mengambil kesempatan untuk abadi dalam takwa. Kenapa puasa hanya diwajibkan ketika Ramadan? Bulan ini memang punya keistimewaan. Saat itu Al-Qur’an diturunkan, ada malam yang yang lebih baik dari seribu bulan, sampai pahala dilipatgandakan. Tetapi, paradigma ibadah sebaiknya tidak berhenti sebagai pelaksanaan kewajiban.

    Paradigma kewajiban membuat seseorang khawatir ketika meninggalkannya dan lega setelah melaksanakannya. Meskipun syarat-syarat fikihnya terlaksanakan, dengan paradigma kewajiban bisa saja hal-hal batiniah tertinggal. Khawatirnya, paradigma kewajiban semakin lama dapat mengubah ‘tujuan’ ibadah dari Tuhan menuju kewajiban. Karena itu, kita perlu mengubah paradigma kita terhadap puasa menjadi paradigma alat. 

    Inti puasa adalah pengosongan menurut Ibn ‘Arabi dalam Futūḥāt al-Makkiyyah. Puasa dan ibadah-ibadah lainnya hanya alat yang mesti dijalankan dengan baik, secara lahiriah maupun batiniah. Berpuasa berarti menjaga kecenderungan-kecenderungan jiwa agar mencerminkan karakter ketuhanan. Ramadan menjadi momen yang paling memengaruhi proses pengosongan jiwa sehingga takwa (kemampuan menjaga diri) dapat bertahan lama setelah sebulan berpuasa.

    Mencapai Tuhan bukan dengan imajinasi atau cara-cara yang dapat dilihat dengan mata. Nabi memerintahkan kita untuk takhalluq bi akhlāqillah, berakhlaklah dengan akhlak Tuhan. Dalam tradisi tasawuf, berakhlak dengan akhlak Tuhan artinya menjadikan jiwa kita seperti cermin bagi Tuhan. Jiwa kita seperti cermin yang dapat terkena debu dan kotoran sehingga memantulkan gambaran yang tidak jelas. Dengan puasa, kita berusaha menggosok-gosok cermin itu sampai mengilap sehingga tidak jelas perbedaan antara cermin dan gambar yang dipantulkannya.

    Jalaluddin Rumi pernah menceritakan sayembara lukisan yang diperintahkan seorang Raja. Raja itu ingin gambar alam yang paling indah. Peserta pertama mengambil kanvas kemudian melukis dengan hati-hati dan teliti. Gambarannya sangat indah. 

    Peserta kedua tidak mengambil kanvas. Ia justru menaruh cermin lalu menggosok cermin itu selama beberapa jam. Ia meletakkan cermin itu menghadap ke gunung. Hingga akhirnya setelah penilaian, peserta kedua mendapatkan juara. Itu analogi bagi orang yang hanya memahami Tuhan melalui pikiran dengan orang yang mendidik jiwa dan melakukan tazkiyatun nafs.

    Jangan sampai kita membatalkan batin puasa! Syarat-syarat puasa yang ada pada lahiriah puasa, juga ada pada batin puasa. Saya mendengar cerita seorang ulama kharismatik bertanya kepada pemuda, “Apakah kalian berpuasa?” Pemuda itu kemudian mengiyakan. Ulama itu bertanya, “Puasa semuanya?” Pemuda itu tertegun mendengarnya, karena ia sudah membatalkan puasanya dengan membicarakan aib temannya. Puasa lahirnya sah, tetapi puasa batinnya batal.

    Bagaimana kita mencapai takwa? Kata ini cukup abstrak di dengar. Lazim diketahui takwa merupakan keterjagaan dari seluruh larangan syariat dan pelaksanaan seluruh perintah Tuhan. Lebih dari itu, keterjagaan dalam takwa adalah kondisi di mana dengan telinga hamba, Tuhan mendengar; dengan tangannya, Tuhan memegang; dengan kakinya, Tuhan berjalan. Kondisi itu disebutkan dalam hadis Qudsi di Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kondisi itu bisa diperoleh dengan melaksanakan hal-hal yang dicintai Allah sehingga mendapatkan kecintaan-Nya.

    Puasa adalah perisai sebagaimana hadis yang masyhur. Ia menjaga. Tapi, tidak cukup hanya puasa, hal lain yang semestinya ada bersama seseorang ialah melaksanakan karena cinta. Musa pernah berdialog dengan Tuhan dalam kitab Jāmi’ al-Akhbār.

    وَ أَوْحَى اَللَّهُ تَعَالَى إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ هَلْ عَمِلْتَ لِي عَمَلاً قَطُّ قَالَ إِلَهِي صَلَّيْتُ لَكَ وَ صُمْتُ وَ تَصَدَّقْتُ وَ ذَكَرْتُ لَكَ فَقَالَ إِنَّ اَلصَّلاَةَ لَكَ بُرْهَانٌ وَ اَلصَّوْمَ جُنَّةٌ وَ اَلصَّدَقَةَ ظِلٌّ وَ اَلذِّكْرَ نُورٌ فَأَيَّ عَمَلٍ عَمِلْتَ لِي فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ هُوَ لَكَ فَقَالَ يَا مُوسَى هَلْ وَالَيْتَ لِي وَلِيّاً وَ هَلْ عَادَيْتَ لِي عَدُوّاً قَطُّ فَعَلِمَ مُوسَى أَنَّ أَحَبَّ اَلْأَعْمَالِ اَلْحُبُّ فِي اَللَّهِ وَ اَلْبُغْضُ فِي اَللَّهِ 

    Dan Allah ta’ala mewahyukan kepada Musa as: “Apakah engkau pernah melakukan suatu amalan untuk-Ku?” Musa menjawab: “Wahai Tuhanku, aku telah salat untuk-Mu, berpuasa, bersedekah, dan berzikir kepada-Mu.” Allah berfirman: “Sesungguhnya salat adalah bukti bagimu, puasa adalah perisai, sedekah adalah naungan, dan zikir adalah cahaya. Lalu amalan apa yang telah engkau lakukan untuk-Ku?” Maka Musa as berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang murni untuk-Mu.” Allah berfirman: “Wahai Musa, pernahkah engkau mencintai seseorang karena-Ku dan membenci seseorang karena-Ku?” Maka Musa pun mengetahui bahwa amalan yang paling dicintai adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

    Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

    Jakarta, Beritasatu.com – Bagi umat Islam, mengajak ke jalan kebaikan hukumnya adalah farḍu kifayah (kewajiban yang dibebankan kepada semua umat Islam, namun jika sudah ada satu yang menjalankan, maka sudah dianggap cukup). Hal ini bisa kita lihat dalam perintah Allah:

    وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ​ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏ ١٠٤

    Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali ‘Imran [3]: 104).

    Menurut pandangan al-Maturidi, penggalan ayat waltakun minkum memiliki dua kemungkinan pemahaman. Pertama, berupa redaksi khabar secara hakikat meskipun secara dzahir berupa perintah. Kedua, berupa perintah secara dzahir dan hakikat. Kedua bentuk redaksi tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda.

    Jika berupa khabar secara hakikat, maka maknanya bahwa berdakwah hukumnya adalah farḍu kifayah. Namun, jika redaksi tersebut berupa perintah secara dzahir dan hakikat, maka konsekuensinya dakwah menjadi farḍ ‘ain, atau setiap umat wajib menjalankan perintah untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.

    Sementara itu, al-Zamakhsyari lebih cenderung memaknai perintah tersebut sebagai farḍu kifayah, yang berarti bahwa umat Islam, baik secara individu maupun perwakilan, diperintahkan untuk mengajak kebaikan.

    Meskipun Islam pada dasarnya memerintahkan umatnya untuk menyeru kepada kebaikan dan jalan Allah, namun Islam tidak serta-merta menyuruh memusnahkan orang-orang yang berbuat salah tanpa memberikan kesempatan untuk bertaubat. Namun, dalam pelaksanaannya, umat Islam memiliki sikap yang berbeda-beda.

    Sebagian kelompok menggunakan cara yang longgar dan moderat, sementara yang lain cenderung keras dan brutal. Hal ini tentu menjadi sorotan dunia, sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang brutal dan identik dengan kekerasan.

    Salah satu metode dakwah yang menarik untuk dipelajari guna menghilangkan pandangan negatif tersebut adalah metode dakwah Nabi Musa kepada Firaun. Dalam Al-Qur’an, metode dakwah Nabi Musa digambarkan sebagai berikut:

    اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

    Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (QS. Thaha [20]: 43).

    فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

    Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Thaha [20]: 44).

    Ayat di atas secara eksplisit memerintahkan Musa dan Harun untuk pergi menemui Firaun guna menyadarkannya, karena ia telah melewati batas dengan mengaku sebagai Tuhan serta melakukan berbagai kezaliman seperti pembunuhan sewenang-wenang. Allah sebenarnya bisa saja langsung menghancurkan Firaun dengan badai atau bencana lainnya, tetapi Allah memilih untuk mengutus Nabi Musa dan Harun agar memperingatkan Firaun terlebih dahulu.

    Bahkan, dalam perintah-Nya, Allah menggunakan redaksi اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ, yang menunjukkan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk menemui Firaun secara langsung dan tertutup tanpa melibatkan kaumnya.

    Al-Qafal, sebagaimana dikutip oleh Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa salah satu makna dari اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ adalah perintah untuk menemui Fir’aun secara pribadi. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika mengingatkan kesalahan seseorang, sebaiknya dilakukan secara pribadi dan tidak diumbar di tempat umum.

    Sebab, jika kesalahan seseorang dibuka di depan umum, justru akan semakin sulit baginya untuk menerima kebenaran. Ini merupakan adab yang harus dijaga dalam mengingatkan orang lain, karena kesalahan bukan untuk dipertontonkan atau mempermalukan.

    Dalam ayat berikutnya, Allah berfirman:

    فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

    Artinya: Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas” (QS. Thaha [20]: 45).

    Ayat ini memerintahkan Musa dan Harun untuk berdiskusi dengan Firaun dengan ucapan yang lembut. Al-Māturīdī dalam tafsirnya berpendapat bahwa alasan Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata lembut adalah karena ucapan yang lembut lebih mudah diterima oleh hati dibandingkan dengan ucapan yang kasar, terutama ketika berbicara kepada seorang penguasa.

    Sejalan dengan itu, Al-Samarqandī juga menjelaskan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk berdakwah dengan penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan, sebab ucapan yang lembut lebih efektif dalam menyentuh hati seseorang dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

    Metode dakwah seperti ini tidak hanya berlaku untuk pemimpin, tetapi juga dalam konteks yang lebih umum. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

    ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

    Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125).

    Al-Māwardi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ adalah agama Islam. Sedangkan بِالْحِكْمَةِ memiliki dua arti, yaitu Al-Qur’an (menurut Al-Kalabī) dan kenabian. Sementara وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ dapat bermakna Al-Qur’an dalam kelembutan ucapan serta dalam perintah dan larangan.

    Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah dakwah Nabi Musa dan Harun kepada Firaun bahwa dalam berdakwah, kita harus menjaga perasaan objek dakwah, tidak menyalahkannya di depan umum, serta berbicara dengan ucapan yang lembut. Sebab, pendekatan yang lembut lebih menyentuh hati dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Islam dan Budaya: Menyambut Bulan Ramadan dengan Tradisi Meugang dan Megengan

    Islam dan Budaya: Menyambut Bulan Ramadan dengan Tradisi Meugang dan Megengan

    Ramadan bukan hanya tentang aspek fisik, tetapi juga merupakan kesempatan untuk membersihkan hati, memperdalam spiritualitas, dan mempererat hubungan sosial. Dalam momen yang penuh ampunan ini, umat Islam berusaha meraih pahala sebanyak-banyaknya dan menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya. 

    Hal ini tertuang pada Q.S.al-Baqarah [2]:183.

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

    Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S.al-Baqarah:183).

    Menurut Abdullah bin Mas’ud, apabila suatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai hingga akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini mengandung perihal yang penting atau larangan yang berat. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadan merupakan suatu hal yang wajib.

    Bahkan Nabi SAW memiliki cara tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan memperbanyak puasa sunah di bulan Syakban. Salah satu riwayat yang masyhur diceritakan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Nabi SAW mengisi bulan Syakban dengan memperbanyak berpuasa.

    .ْمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
    . َ أَخْرَجَه ُ الْبُخَارِي ُّ وَمُسْلِم

    Tidaklah aku melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadan dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Syakban. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

    Hadis di atas setidaknya memunculkan nilai-nilai yang baik dalam menyambut bulan suci Ramadan. Uniknya terdapat tradisi tersendiri di kalangan masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan mengakulturasikannya pada budaya. Tradisi meugang di Aceh dan megengan di Jawa adalah dua contoh ritual budaya yang mendalam dan sangat dihargai oleh masyarakat setempat, terutama dalam konteks menyambut bulan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. 

    Kedua tradisi ini menggabungkan dimensi sosial, budaya, dan keagamaan yang saling berkaitan, menciptakan sebuah kesempatan untuk mempererat hubungan sosial, menunjukkan rasa syukur, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk menjalani ibadah puasa.

    Tradisi Meugang di Aceh

    Meugang merupakan tradisi yang dilaksanakan pada tiga waktu utama, menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Pada hari-hari tersebut, masyarakat Aceh melakukan pemotongan hewan seperti sapi atau kambing yang dibeli secara kolektif. Setelah penyembelihan dilakukan sesuai dengan prosedur syar’i, daging hewan tersebut dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. 

    Pembagian daging ini memiliki makna simbolis berupa rasa kebersamaan dan berbagi, terutama kepada mereka yang kurang mampu, yang menjadikan meugang sebagai bentuk solidaritas sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh.

    Terdapat empat model yang dipraktikkan masyarakat Aceh dalam menyediakan daging untuk meugang. Pertama, acara meuripee, di mana masyarakat mengumpulkan uang untuk membeli hewan sembelihan yang kemudian dibagikan sesuai kontribusi peserta. Kedua, membeli daging pada agen yang akan menyembelih hewan pada hari meugang, dengan daging dibagikan dalam bentuk tumpok (campuran daging, tulang, dan kulit). 

    Ketiga, membeli daging di pasar, di mana pedagang daging menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, dan berbagai kalangan membelinya sesuai status sosial mereka. Keempat, beberapa masyarakat memilih menyembelih ayam atau bebek yang dipelihara sendiri, biasanya oleh mereka yang kurang mampu, sebagai alternatif untuk merayakan meugang.

    Tradisi Megengan di Jawa

    Sama halnya dengan meugang, tradisi megengan dilakukan beberapa hari sebelum Ramadan, biasanya melalui acara makan besar bersama keluarga besar atau tetangga, dengan hidangan khas seperti nasi, lauk-pauk, dan hidangan tradisional lainnya. Selain makan bersama, tradisi ini juga mencakup kegiatan bersih-bersih rumah dan desa, serta menghias rumah dengan ornamen khas. 

    Dimensi sosial dari megengan terletak pada kebersamaan yang tercipta antara anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Acara makan bersama menjadi ajang untuk mempererat hubungan sosial antar individu dan memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas.  Selain itu, megengan juga melibatkan pembagian makanan kepada tetangga atau mereka yang kurang mampu, menunjukkan solidaritas sosial yang kuat di kalangan masyarakat Jawa.

    Secara keagamaan, megengan memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur dan kesiapan untuk menjalankan ibadah puasa. Makanan yang disajikan dalam acara megengan tidak hanya berfungsi sebagai hidangan fisik, tetapi juga sebagai simbol persiapan batin untuk menahan nafsu dan menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran. 

    Dalam banyak kasus, acara megengan juga disertai dengan doa bersama sebagai bentuk harapan agar bulan Ramadan dapat dijalani dengan baik dan penuh berkah.

    Kesamaan antara Meugang dan Megengan

    Titik temu meugang dan megengan terletak pada dimensi sosial dan keagamaan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh dan Jawa. Kedua tradisi ini berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial antar individu dalam komunitas, sambil menunjukkan rasa syukur dan berbagi kebahagiaan. Keduanya juga mengandung makna spiritual yang mendalam, yang mengingatkan umat Islam akan pentingnya berpuasa dan menahan diri. 

    Baik meugang maupun megengan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan ketaatan kepada Allah Swt, serta mempersiapkan umat Islam untuk menjalani ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan pengendalian diri. Selain itu, kedua tradisi ini juga memberikan dampak positif pada sector ekonomi, dengan mendorong perputaran ekonomi lokal, terutama bagi pedagang dan peternak.

    Dengan demikian, baik meugang maupun megengan tidak hanya berfungsi sebagai tradisi budaya, tetapi juga sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang mengajarkan kebersamaan, rasa syukur, dan persiapan spiritual dalam menjalankan ibadah puasa. 

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Isu Politik Terkini: Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati hingga Penutupan Retret Kepala Daerah

    Isu Politik Terkini: Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati hingga Penutupan Retret Kepala Daerah

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik terkini menjadi perbincangan hangat para pembaca. Rencana pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menarik perhatian para pembaca Beritasatu.com.

    Isu politik lainnya, yakni terkait Presiden Prabowo Subianto yang mengingatkan kepala daerah untuk menjaga kekayaan alam, mayoritas publik yang puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, wisata Ramadan di Indonesia, hingga terobosan dalam waktu lebih dari 100 hari kerja Prabowo-Gibran.

    Isu politik terkini Beritasatu.com.

    1. Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Puan: Insyaallah Secepatnya

    Ketua DPR Puan Maharani mengungkapkan pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri akan segara terlaksana. Hal tersebut disampaikan Puan Maharani seusai menghadiri retret kepala daerah di Kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat, (28/2/2025).

    Puan menjelaskan, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri turut diundang untuk menghadiri Parade Senja, tetapi berhalangan hadir. Meski demikian, Megawati menyampaikan pesan kepada Prabowo Subianto dan kepala daerah yang hadir.

    Rencana pertemuan Prabowo dan Megawati Soekarnoputri sebenarnya sudah mengemuka sejak akhir tahun lalu, tetapi sampai saat ini belum terwujud.

    2. Tutup Retret Kepala Daerah, Prabowo Ingatkan Jaga Kekayaan Alam

    Presiden Prabowo Subianto resmi menutup rangkaian retret kepala daerah yang berlangsung selama delapan hari di Kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat, (28/2/2025).

    Sebelum menutup rangkaian acara tersebut, Prabowo menyampaikan arahannya terkait Asta Cita kepada ratusan kepala daerah dan wakilnya yang hadir. Hal itu dikemukakan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya.

    Acara penutupan retret sendiri berlangsung secara tertutup. Dalam arahannya, ungkap Bima, Prabowo mengingatkan kepala daerah untuk menjaga kekayaan alam serta mengelola potensi daerah dengan sebaik-baiknya, agar hasilnya bisa dinikmati masyarakat.

    3. Survei LPI: Mayoritas Publik Puas dengan Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Selain berita terkait rencana pertemuan Prabowo-Megawati, berita politik lainnya yang menarik perhatian, yakni hasil survei terbaru Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menunjukkan mayoritas publik puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

    Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepuasan publik berada di angka 66,5% dengan perincian responden yang sangat puas sebanyak 28,75% dan yang puas sebanyak 37,75%. Dari hasil survei tersebut, alasan publik sangat puas atau puas dengan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah karena pemberantasan korupsi berjalan dengan tingkat kepuasan 29,85%.

    4. Nasaruddin Umar: Wisata Ramadan Paling Indah Ada di Indonesia

    Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Menteri Agama Nasaruddin Umar mengeklaim, wisata Ramadan yang paling indah ada di Indonesia. Menurutnya, suasana Ramadan di Tanah Air begitu tentram, aman, dan istimewa, berbeda dengan negara lain yang sering kali menghadapi konflik.

    Selain keamanan, Nasaruddin Umar juga menyoroti bagaimana suasana Ramadan di Indonesia sangat identik dengan sikap saling menghargai antarumat beragama. Ia mencontohkan bagaimana masyarakat di ruang publik menunjukkan kepedulian terhadap bulan suci ini.

    5. 100 Hari Prabowo-Gibran: Terobosan Bermunculan, Soliditas Teruji

    Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membuat banyak terobosan dalam waktu lebih dari 100 hari kerja. Menurut Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna salah satu kunci utamanya adalah soliditas Prabowo dan Gibran dalam menjalankan pemerintahan.

    Dia menyebutkan sejumlah terobosan pemerintahan Prabowo-Gibran selama ini, mulai dari pemberlakuan PPN 12% hanya barang mewah, penghapusan utang petani, nelayan dan UMKM, pelaksanaan program makan bergizi gratis, implementasi cek kesehatan gratis, kebijakan efisien anggaran, pelibatan UMKM daerah mengelola tambang, pembentukan Danantara, retret para menteri dan kepala daerah, dan peluncuran bank emas pertama di Indonesia.

    Lebih lanjut, Sutisna juga mengingatkan situasi pemerintahan saat ini berada dalam kondisi dunia yang tidak pasti dan tidak baik-baik saja. Karena itu, kita membutuhkan soliditas dan persatuan.

    Demikian isu politik terkini Beritasatu.com, di antaranya rencana pertemuan Prabowo dan Megawati.

  • Menag Nasaruddin Umar Sebut Efisiensi Anggaran Tidak Ganggu Aktivitas Ibadah di Masjid Istiqlal

    Menag Nasaruddin Umar Sebut Efisiensi Anggaran Tidak Ganggu Aktivitas Ibadah di Masjid Istiqlal

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Agama Nasaruddin Umar angkat bicara perihal isu efisiensi anggaran pemerintah terhadap operasional Masjid Istiqlal. Masjid milik negara tersebut dipastikan Nasaruddin tidak akan terpengaruh efisiensi anggaran terutama selama bulan suci Ramadan 1446 Hijriah.

    Menag menyampaikan hal tersebut saat jumpa pers ‘Ramadan di Istiqlal’ di Pintu VIP Al-Malik Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (28/2/2025) siang.

    “Tidak, insyaallah tidak terpengaruh (dampak efisiensi anggaran terhadap kegiatan Ramadan di Istiqlal,” kata Nasaruddin, Jumat (28/2/2025).

    Meski adanya efisiensi anggaran pemerintah melalui instruksi Presiden Nomor I Tahun 2025, Nasaruddin mengatakan masjid seharusnya menjadi katalis dari pusat kegiatan ekonomi masyarakat.

    Dia bahkan menyebutkan semisal Masjid Istiqlal sempat menjadi lokasi vaksinasi massal Covid-19 sebelumnya.

    “Ingat dahulu sewaktu jaman Covid-19 justru Masjid Istiqlal yang mensponsori dan tempat umum pertama yang melakukan suntik massal vaksinasi dan itu semuanya gratis,” jelas Nasaruddin.

    Lebih lanjut, imam Masjid Istiqlal itu mengeklaim mampu mengumpulkan dana dan datang dari umat agama mana pun.

    “Kita di sini juga mengumpulkan dana umat tanpa membedakan agama apa pun dan itu terkumpul lebih dari Rp 20 miliar,” terang dia.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan efisiensi anggaran belanja hingga Rp 306,95 triliun untuk tahun anggaran 2025. Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk mengencangkan ikat pinggang guna memastikan program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetap berjalan dengan baik.

    Meskipun Masjid Istiqlal tak terpengaruh efisiensi anggaran, tetapi langkah itu dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Pemerintah melakukan reviu anggaran kementerian/lembaga (K/L) dalam APBN 2025, APBD 2025, serta transfer ke daerah.

  • Ramadan Bulan Berkarya

    Ramadan Bulan Berkarya

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan bukan hanya soal puasa dan ibadah, juga tentang produktivitas. Banyak orang justru lebih aktif dan kreatif pada bulan ini karena dorongan sosial dan spiritual. Dalam bidang ekonomi, permintaan yang tinggi bisa meningkatkan produksi tanpa harus ada perubahan besar dalam kualitasnya. Rasulullah SAW pernah bersabda:

    رُبَّ صَائِــمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْـجُوعِ وَالْعَطَشُ

    “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan haus.” (HR Ibnu Majah)

    Jadi, puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari Ramadan untuk meningkatkan kualitas diri!

    Sekolah Unggulan

    Anggap saja Ramadan sebagai sekolah unggulan. Ada siswa (umat Islam), guru (Allah dan Rasul-Nya), kurikulum (puasa, ibadah, sedekah), dan metode pembelajaran (kesabaran, kedisiplinan, pengendalian diri). Seperti sekolah, ada ujian yang harus dilalui untuk mencapai derajat yang lebih tinggi.

    Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 183:

    يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ‏ ١٨٣

    “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

    Pada bulan ini, kita belajar untuk lebih profesional dalam ibadah dan kehidupan. Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, juga tempat kita ditempa agar menjadi pribadi yang lebih baik.

    Titik Awal Perubahan Besar

    Dalam astronomi, teori Big Bang menggambarkan bagaimana alam semesta terbentuk dari ledakan besar. Analogi ini cocok dengan Ramadan. Ia menjadi momentum ledakan perubahan dalam hidup kita. Dari sini, kita bisa terus tumbuh dan berkembang, baik dalam ibadah, ilmu, maupun perilaku.

    Sejarah juga mencatat, banyak peristiwa penting terjadi pada Ramadan:

    Perang Badar (hari ke-17 Ramadan) – kemenangan pertama umat Islam melawan kaum Quraisy.Fathu Makkah (hari ke-10 Ramadan) – penaklukan Makkah tanpa pertumpahan darah.Perang Tabuk – umat Islam menghadapi tantangan besar melawan Romawi.Penaklukan Andalusia – Thariq bin Ziyad dan pasukannya menaklukkan Spanyol dan membawa cahaya Islam ke Eropa.

    Thariq Bin Ziyad berkata kepada pasukannya,”Wahai seluruh pasukan, ke mana kalian hendak lari? Laut berada di belakang kalian dan musuh di depan kalian. Demi Allah, satu-satunya yang kalian miliki saat ini tinggal kejujuran dan kesabaran!”

    Semua ini menunjukkan bahwa Ramadan bukan bulan bermalas-malasan, tetapi bulan penuh aksi dan prestasi!

    Allah juga berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 185:

    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ

    “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).”

    Puasa Bukan Alasan untuk Lemah

    Banyak yang berpikir puasa membuat lemas dan kurang produktif. Justru sebaliknya! Puasa bisa meningkatkan fokus, kesehatan, dan kejernihan berpikir. Ramadan adalah kesempatan emas untuk berkembang dan berkarya.

    Nabi Muhammad SAW bersabda:

    الصِّيَامُ جُنَّةٌ

    “Puasa adalah perisai.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda:

    إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ

    “Di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang akan masuk melaluinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Lihat saja bagaimana Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada Ramadan dengan perintah: iqra! (bacalah!). Ini bukan sekadar ajakan membaca, tetapi juga berkarya. Arab yang sebelumnya terbelakang, setelah menerima Al-Qur’an, berubah menjadi peradaban besar yang melahirkan ilmuwan hebat, seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi.

    Hadis lain menyebutkan:

    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    “Barang siapa yang berpuasa pada Ramadan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Mari Berkarya Selama Ramadan!

    Puasa adalah ladang pahala dan momen emas untuk berkarya. Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk berbagi dengan sabdanya:

    مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    “Barang siapa memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    Ramadan juga merupakan bulan penuh ampunan. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:

    مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    “Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatulkadar dengan iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Maka, mari manfaatkan Ramadan ini untuk berkarya. Jangan hanya berlalu dengan ibadah rutin, tetapi jadikan momen ini untuk meningkatkan produktivitas dan memberi manfaat bagi orang lain.

    Selamat datang Ramadan. Bulan penuh berkah, bulan penuh karya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).