Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • LD PWNU Jakarta selenggarakan sembilan program syiar selama Ramadan

    LD PWNU Jakarta selenggarakan sembilan program syiar selama Ramadan

    Umat Islam membaca Al Quran dalam acara Indonesia Quran Hours 2024 di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (28/3/2024). Indonesia Quran Hours 2024 yang merupakan kegiatan membaca Al Quran secara bersama-sama itu mengangkat tema Indonesia Bersatu Indonesia Bangkit. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

    LD PWNU Jakarta selenggarakan sembilan program syiar selama Ramadan
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Minggu, 02 Maret 2025 – 19:27 WIB

    Elshinta.com – Lembaga Dakwah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LD PWNU) Jakarta menyelenggarakan sembilan program syiar selama bulan suci Ramadan 2025.

    Ketua LD PWNU Jakarta, KH Masrukhin Abdul Majid mengatakan  angka sembilan merupakan wujud dari lambang NU yang memiliki sembilan bintang.

    “Kita usahakan sembilan program. Dan, program ini tidak secara tiba-tiba, beberapa kali kita revisi,” ujar Masrukhin dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Masrukhin menyebut tiga tujuan diselenggarakannya sembilan program tersebut antara lain untuk meramaikan Ramadan dengan syiar-syiar Islam, sebagai media pendidikan, dan sebagai pengingat turunnya Al-Qur’an.

    Adapun sembilan program Ramadan LD PWNU Jakarta sebagai berikut:

    Shalat Tarawih

    Masrukhin mengatakan bahwa program shalat tarawih akan dilaksanakan satu bulan penuh selama Ramadan yang bertempat di Gedung PWNU Jakarta, lantai dua.

    Bagi-bagi Takjil

    Pembagian takjil antara 100 sampai 200 paket akan dibagikan selama bulan Ramadan mulai pukul 17.00 WIB.

    Teras Dakwah Ramadan

    Masrukhin menjelaskan bahwa program tersebut dilaksanakan setiap hari Jumat, mengundang para dai yang pernah mengikuti pelatihan. Bertempat di Gedung PWNU lantai 1 dilanjutkan dengan tahlil, pembagian takjil, dan dimeriahkan oleh gambus.

    Safari Ramadan

    Selanjutnya program safari Ramadan, mengunjungi sekolah dan pesantren-pesantren di Jakarta bekerja sama dengan LD PCNU.

    Selebriti Mengaji

    Program ini mengajak selebriti untuk mengaji. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16 Maret 2025 di Hotel Blue Sky.

    Program ini berbarengan dengan santunan anak yatim dan pembagian takjil kepada fakir miskin yang bekerja sama dengan Amar Wisata.

    Pelatihan Public Speaking

    Masrukhin mengungkapkan bahwa program ini akan melibatkan anak-anak milenial terdiri dari pelajar atau santri-santri di Jakarta.

    Adapun syarat mengikuti program public speaking adalah peserta mampu membaca Al-Qur’an dan Hadits.

    “Syaratnya mereka sudah memiliki dasar yang sudah matang, saat datang ke sini. Mereka juga sudah membawa teks masing-masing, kita hanya menyampaikan public speakingnya,” ungkapnya.

    Peringatan Malam Nuzulul Qur’an

    Acara peringatan Nuzulul Quran dilaksanakan pada malam ke-17 Ramadan. Sedangkan pembicara dalam program tersebut akan disampaikan dari jajaran syuriyah NU.

    Silaturrahmi Akbar 1.000 alumni pelatihan LD PWNU Jakarta, dan santunan yatim/dhuafa

    Masrukhin menyampaikan bahwa selama empat tahun LD PWNU Jakarta telah mengadakan pelatihan dengan total 1.000 peserta.

    Rencananya dalam program tersebut sekalian dengan santunan yatim/dhufa dan bertempat di gedung PWNU atau di Islamic Center.

    “Tempatnya, nantilah kita pikirkan di Islamic Center atau di mana karena program ini agak terakhir pelaksanaannya,” katanya.

    Gema Takbir dan Shalat Idul Fitri 1446Hijriah

    Masrukhin menjelaskan gema takbir dan shalat Id akan dilaksanakan di halaman Gedung PWNU.

    Menurutnya, alasan diadakannya shalat di halaman PWNU adalah untuk menjadi media para musafir dan mempermudah masyarakat mengikuti shalat Id karena mengingat jarak yang jauh dari masjid.

    “Yang penting kita bisa mendapat izin bahwa kita boleh menyelenggarakan shalat Idul Fitri yang dari dulu kita minta belum boleh-boleh sekarang sudah diizinkan melaksanakan shalat Id di halaman, imam dan khatib di teras,” tuturnya.

    Sumber : Antara

  • Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    Lailatul Qadr, atau Malam Kemuliaan, merupakan salah satu malam yang paling ditunggu-tunggu dalam bulan Ramadan. Dalam tradisi Islam, malam ini diyakini sebagai waktu di mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan Lailatul Qadr tidak hanya terletak pada nilai spiritualnya, tetapi juga pada dampak sosial yang dapat ditimbulkannya. Dalam konteks ini, penting untuk menggali makna spirit sosial yang terkandung dalam malam yang penuh berkah ini, terutama melalui tafsir yang mendalam seperti yang terdapat dalam Mafatih Al Ghaib.

    Tafsir Mafatih Al Ghaib memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai berbagai aspek ajaran Islam, termasuk Lailatul Qadr. Melalui tafsir ini, kita dapat memahami lebih dalam tentang bagaimana malam ini tidak hanya menjadi momen ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas sosial di antara umat. Dalam masyarakat yang sering kali diwarnai oleh perpecahan dan ketidakadilan, spirit sosial yang terkandung dalam Lailatul Qadr dapat menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan kerja sama dalam membangun komunitas yang lebih baik.

    Melalui artikel ini, penulis berupaya untuk menggali lebih dalam makna spirit sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana malam yang penuh berkah ini dapat menjadi pendorong bagi individu dan masyarakat untuk berbuat lebih banyak dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan berkeadilan. Dengan demikian, Lailatul Qadr tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga sebuah panggilan untuk aksi sosial yang nyata.

    Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul QadrIlustrasi malam lailatul qadar. – (Freepik/-)

    Di sepuluh terakhir bulan Ramadan, term Al-Qur’an Lailatul Qadr senantiasa menjadi “mesin” motivasi masyarakat Muslim dalam peningkatan spiritual. Mayoritas mereka termotivasi dengan keistimewaan dan nilai pahala yang terkandung dalam term Al-Qur’an tersebut. 

    Selain itu, didukung dengan redaksi Al-Qur’an yang jelas dalam menjelaskan keistimewaan Lailatul Qadr, khair min alfi sahr, lebih baik dari seribu bulan. Namun, kebanyakan nalar masyarakat hanya terbatas sampai redaksi tersebut, yakni ayat ketiga surat Al-Qadr. 

    Padahal, Al-Qur’an telah memberikan isyarat bahwa ayat setelahnya memiliki keterkaitan yang tentunya memiliki kesatuan makna yang tak terpisahkan. Maka dalam tulisan ini, penulis akan mengawali pembahasan dengan langsung fokus di ayat keempat surat Al-Qadr:

    Pada saat menafsirkan surat Al-Qadr ayat keempat, tanazzalu al-malaikah wa al-ruh fiha bi idzni rabbihim min kulli amr, Fakhruddin Al-Razi mengurai karakteristik ungkapan:

    اعلم أن نظر المالئكة على األرواح ، ونظر البشر على األشباح

    Artinya: Ketahuilah bahwa yang dipandang oleh malaikat adalah dimensi ruh, sedangkan yang dipandang oleh manusia adalah dimensi fisik.

    Menurut Al-Razi, jika para malaikat menemukan hati manusia menjadi tempat bersemayamnya sifat-sifat tercela seperti marah dan syahwat duniawi, maka mereka enggan mendekatinya. Sebagaimana manusia yang merasa jijik melihat bentuk anaknya yang masih berupa air mani atau gumpalan darah, tetapi langsung menerimanya ketika Allah menciptakan dan membentuknya dalam rupa yang sempurna. 

    Begitu juga dengan malaikat. Ketika mereka melihat ruh manusia dalam kondisi yang baik, berisi makrifat dan ketaatan kepada Allah, mereka sangat menyukai hal itu dan akan turun ke bumi untuk mendatanginya (Tafsir Mafatihul Ghaib Juz 16).  Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, karakteristik malaikat yang menyukai pribadi-pribadi manusia yang bersih. 

    Kedua, fungsi keberadaan malaikat yang mengiringi turunnya Al-Qur’an pada malam mulia tersebut.  Selanjutnya, pada penggalan ayat berikutnya dijelaskan bahwa turunnya malaikat terikat dengan izin Tuhan, bi idzni rabbihim. 

    Al-Razi menjelaskan bahwa ketergantungan malaikat terhadap izin Tuhan menunjukkan bahwa mereka memiliki kerinduan besar untuk bertemu dengan penduduk bumi, tetapi terhalang oleh ketetapan-Nya. Jika mendapatkan izin, mereka turun; jika tidak, mereka tetap di langit. Menurut Al-Razi, faktor yang menyebabkan para malaikat sangat ingin turun adalah adanya kebaikan-kebaikan makhluk bumi yang tidak pernah terjadi di langit, yaitu:

    أن الأغنياء يجيئون بالطعام من بيوتهم فيجعلونه ضيافة للفقراء والفقراء يأكلون طعام الأغنياء ويعبدون الله

    Artinya: Para dermawan membawa makanan dari rumahnya, makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan bagi orang-orang fakir. Kemudian, orang-orang fakir tersebut memakan makanan tersebut dan mereka beribadah kepada Allah SWT.

    أنهم يسمعون أنين العصاة

    Artinya: Para malaikat mampu mendengar rintihan para pendosa.

    أنه تعالى قال : ألنين المذنبين أحب إلي من زجل المسبحين

    Artinya: Allah berfirman: “Rintihan para pendosa lebih Aku cintai daripada orang yang banyak bertasbih.” (Tafsir Mafatihul Ghaib Juz 16)

    Dari tiga sebab ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa ada dua hal yang menyebabkan para penduduk langit tertarik dengan penduduk bumi, yaitu spiritual individu dan spiritual sosial.

    Spiritual individu di sini digambarkan dengan proses pensucian diri. Para penduduk bumi yang melakukan penyucian jiwa dari sifat-sifat negatif menebarkan “aroma” spiritual yang menyebabkan penduduk langit tertarik. Cara penyucian jiwa tersebut dilakukan dengan meminimalisir amarah syaithaniyyah, belenggu syahwat duniawi, dan perbuatan-perbuatan yang bisa mengotori hati. Sehingga, pada saat hati berada dalam proses pensucian, para malaikat yang terbuat dari cahaya suci “rindu” ingin segera menemui jiwa-jiwa yang suci.

    Selain spiritual individu, spirit sosial juga menjadi bagian penting untuk diperhatikan karena dua hal ini merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh para pencari keistimewaan Lailatul Qadr. Potret spirit sosial yang dijelaskan Al-Razi dalam tafsir membentuk sebuah prinsip serta nilai spirit sosial dalam Lailatul Qadr. 

    Gambaran Al-Razi tentang para dermawan yang memberi jamuan kepada fakir miskin, dan fakir miskin yang dalam keadaan kenyang beribadah, memberikan isyarat bahwa jika manusia ingin mendapatkan keistimewaan Lailatul Qadr dan “didatangi” oleh para malaikat, maka ia harus memiliki prinsip-prinsip sosial seperti kepedulian terhadap sesama, solidaritas, partisipasi aktif, empati, tanggung jawab sosial, serta keadilan sosial.

    KesimpulanMalam lailatulqadar adalah malam yang memiliki keutamaan luar biasa dalam Islam. Keutamaannya disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, terutama dalam surah Al-Qadr. – (Pixabay/Bru-No)

    Berdasarkan Tafsir Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi, Lailatul Qadr memiliki makna quranic yang sangat luas. Lailatul Qadr ditafsirkan sebagai fungsi sosial dalam pembentukan karakter masyarakat Qurani. Pencarian keistimewaan Lailatul Qadr tidak cukup hanya dengan meningkatkan ibadah individual di sepuluh terakhir bulan Ramadan, tetapi harus diawali dengan pensucian diri dan penerapan prinsip-prinsip sosial agar jiwa kita “dikenal” oleh para penduduk langit.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Cobain Bukber Gratis Bareng Warga di Masjid Istiqlal

    Cobain Bukber Gratis Bareng Warga di Masjid Istiqlal

    Video: Cobain Bukber Gratis Bareng Warga di Masjid Istiqlal

    159 Views | Minggu, 02 Mar 2025 22:41 WIB

    Masjid Istiqlal menyediakan hidangan gratis saat buka puasa selama bulan Ramadan. Ternyata, warga hanya cukup menunggu di selasar masjid untuk bisa mendapatkan hidangan gratis yang akan dibagikan. Simak yuk cerita warga asal Bogor yang ikutan buka bersama di sini.

    Daffa Ridwan Nurhakim – 20DETIK

  • Refleksi Kesalehan Sosial di Bulan Ramadan: Manifestasi Spiritual dalam Kehidupan Bermasyarakat

    Refleksi Kesalehan Sosial di Bulan Ramadan: Manifestasi Spiritual dalam Kehidupan Bermasyarakat

    Ramadan merupakan bulan yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Selain sebagai bulan diwajibkannya puasa, Ramadan juga menjadi arena pembentukan karakter sosial umat Islam. Kesalehan yang dibangun selama Ramadan tidak hanya berhenti pada aspek ritual-spiritual, tetapi harus termanifestasi dalam perilaku sosial yang konstruktif.

    Transformasi spiritual yang terjadi selama Ramadan seharusnya memberikan dampak nyata pada perubahan sosial masyarakat. Kesadaran kolektif yang terbangun melalui ibadah puasa dapat menjadi katalis perubahan sosial yang signifikan. Kebersamaan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan, seperti tercermin dalam ibadah salat tarawih berjemaah, menciptakan solidaritas sosial yang kuat.

    Puasa Ramadan pada hakikatnya memiliki dimensi sosial yang kuat. Melalui puasa, seorang Muslim dilatih untuk merasakan penderitaan orang yang kekurangan, sehingga tumbuh rasa empati dan kepedulian sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga merupakan proses pendidikan jiwa untuk lebih peka terhadap penderitaan sesama.

    Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:”Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ath Thobroniy dalam Al Kabir).

    Kesalehan Sosial dalam Tradisi RamadanPenyandang tuna netra di Rehabilitasi Sosial Bina Netra (RSBN) Jalan Beringin, Janti, Kota Malang, Jawa Timur, menghabiskan waktu ramadan dengan membaca Al Qur’an Braille, Sabtu 1 Maret 2025. – (Beritasatu.com/Didik Fibrianto)

    Kesalehan sosial dalam Ramadan termanifestasi dalam berbagai bentuk aktivitas kolektif. Tradisi berbuka puasa bersama (iftar jama’i), misalnya, tidak hanya menjadi momentum berbagi makanan, tetapi juga mempererat ikatan sosial antaranggota masyarakat. Masjid-masjid dan musala menjadi pusat aktivitas sosial yang menghidupkan semangat kebersamaan.

    Momentum spiritual Ramadan dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas sosial. Berbagai program sosial yang dilaksanakan selama Ramadan berpotensi menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan. Tradisi-tradisi sosial yang berkembang selama Ramadan dapat menjadi modal sosial yang berharga bagi pembangunan masyarakat yang lebih baik.

    Menjaga Relevansi Nilai Ramadan di Era ModernRibuan warga di Kota Gorontalo menggelar tradisi koko’o atau ketuk sahur untuk membangunkan warga saat Ramadan, Sabtu (1/3/2025) dini hari. – (Beritasatu.com/Melki Gani)

    Inovasi dalam manifestasi kesalihan sosial perlu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan teknologi digital untuk memfasilitasi program-program sosial dapat memperluas jangkauan dan dampak program tersebut. Digitalisasi program sosial melalui media sosial juga memungkinkan partisipasi generasi muda yang lebih besar.

    Meski demikian, upaya penguatan kohesi sosial ini menghadapi berbagai tantangan di era kontemporer. Individualisme dan materialisme yang menjadi ciri masyarakat modern berpotensi mengikis dimensi sosial dari ibadah Ramadan. Dibutuhkan upaya serius untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai sosial Ramadan dalam konteks kekinian.

    Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:”Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR At Tirmidzi).

    Pada akhirnya, Ramadan diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat bagi pembentukan kesalehan sosial dalam masyarakat Islam. Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai sosial ini agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, sembari terus berinovasi dalam manifestasi kesalihan sosial yang sesuai dengan konteks kontemporer.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu sebelum Idulfitri. Tujuan utama zakat fitrah adalah menyucikan jiwa dan memberikan kebahagiaan bagi kaum dhuafa agar mereka dapat turut merasakan kegembiraan di hari raya.

    Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bentuk zakat fitrah, apakah harus berupa makanan pokok seperti beras atau boleh dikonversi menjadi uang? Perdebatan ini menjadi semakin menarik dalam konteks masyarakat modern, terutama di Indonesia yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.

    Secara turun-temurun, masyarakat Indonesia membayar zakat fitrah dalam bentuk beras sesuai dengan ketentuan mazhab Syafi’i. Namun, dengan perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan sosial ekonomi, banyak yang memilih membayar dalam bentuk uang karena dinilai lebih praktis dan lebih bermanfaat bagi mustahiq. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai pandangan fikih mengenai hal ini agar umat Islam dapat menjalankan kewajiban zakat fitrah dengan lebih bijak.

    Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. Imam Syafi’i dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menegaskan bahwa zakat fitrah tidak boleh diganti dengan uang, karena tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah

    Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

    فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

    Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk salat (Idulfitri).” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini menjadi dasar bagi mazhab Syafi’i untuk menegaskan bahwa zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok yang umum dikonsumsi di masyarakat setempat, seperti beras di Indonesia. Dalam pandangan mereka, pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tidak diperbolehkan karena dianggap menyelisihi praktik yang dicontohkan Rasulullah SAW.

    Sebaliknya, mazhab Hanafi membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tujuan utama zakat fitrah adalah mencukupi kebutuhan mustahiq pada hari raya. Oleh karena itu, memberikan uang kepada mereka dianggap lebih bermanfaat karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pakaian, obat-obatan, atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

    Pandangan mazhab Hanafi ini juga didukung oleh sebagian ulama kontemporer yang melihat bahwa kondisi masyarakat modern sudah berbeda dibandingkan masa Rasulullah SAW. Di zaman sekarang, banyak orang yang lebih membutuhkan uang dibandingkan makanan pokok, sehingga pemberian zakat fitrah dalam bentuk uang dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka.

    Pandangan Gus Baha: Fleksibilitas dalam Berzakat

    Gus Baha, seorang ulama kontemporer yang dikenal dengan pemikirannya yang moderat dan fleksibel, menekankan pentingnya maslahat bagi penerima zakat. Menurutnya, dalam kondisi tertentu, uang lebih bermanfaat dibandingkan beras. Sebab, sebagian besar mustahiq mungkin sudah memiliki beras tetapi membutuhkan uang untuk kebutuhan lain. Oleh karena itu, memberikan uang dalam jumlah yang setara atau lebih dari harga beras menjadi solusi yang lebih praktis.

    Gus Baha juga menekankan bahwa esensi dari zakat fitrah adalah membantu fakir miskin agar mereka dapat merayakan Idulfitri dengan layak. Jika tujuan tersebut bisa tercapai dengan lebih baik melalui pemberian uang, maka hal itu tidak bertentangan dengan semangat zakat fitrah itu sendiri. Pendekatan fleksibel ini juga relevan dengan realitas kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks.

    Keputusan Lembaga Bahtsul Masail PBNU

    Lembaga Bahtsul Masail PBNU telah membahas kebolehan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan beberapa pertimbangan:

    Tujuan zakat fitrah adalah memastikan penerima dapat merayakan Idul Fitri dengan layak.Sebagian ulama membolehkan zakat dalam bentuk uang selama tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.Jika terjadi perbedaan pendapat, maka maslahat penerima zakat menjadi prioritas utama.Dengan pertimbangan ini, PBNU membolehkan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan nominal setara dengan harga 2,7 kg hingga 3 kg beras. Keputusan ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih bentuk zakat yang paling sesuai dengan kebutuhan mustahiq, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam fikih.Praktik di Masyarakat dan Tantangan Sosialisasi

    Di Indonesia, mayoritas masyarakat masih mengikuti mazhab Syafi’i yang mengutamakan beras sebagai zakat fitrah. Namun, dalam praktiknya, banyak yang memilih membayar dengan uang. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi agar masyarakat memahami dasar hukum di balik setiap keputusan.

    Sebagai solusi, beberapa pesantren, seperti Sirojuth Tholibin Grobogan, menerapkan konsep ‘melalui uang’, yakni zakat tetap diberikan dalam bentuk beras, tetapi bisa dibeli menggunakan uang agar tetap sesuai dengan mazhab Syafi’i. Metode ini memungkinkan masyarakat tetap menjalankan ketentuan mazhab yang mereka anut, sekaligus memberikan fleksibilitas bagi mustahiq dalam memanfaatkan zakat fitrah yang diterima.

    Selain itu, tantangan utama dalam sosialisasi pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang adalah adanya persepsi bahwa hanya bentuk beras yang sah dalam mazhab Syafi’i. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijak dalam menyampaikan fatwa dan pandangan ulama, agar tidak menimbulkan kebingungan atau perpecahan di tengah masyarakat.

    Gus Baha juga memberikan solusi berdasarkan pengalamannya dengan mengatakan bahwa beliau selalu melebihkan jumlah beras yang diberikan sebagai zakat, misalnya dari 2,5 kg menjadi 3 kg atau bahkan 5 kg, untuk memastikan penerima mendapatkan manfaat yang lebih optimal. “Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” jelasnya.

    Kesimpulan

    Polemik zakat fitrah antara beras dan uang merupakan bagian dari kekayaan khazanah fikih Islam. Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok, sedangkan mazhab Hanafi membolehkan pembayaran dalam bentuk uang. Pendapat fleksibel dari Gus Baha dan PBNU menunjukkan bahwa maslahat penerima harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan bentuk zakat yang diberikan.

    Dalam konteks masyarakat modern, kebutuhan mustahiq semakin beragam dan tidak hanya terbatas pada makanan pokok. Oleh karena itu, kebolehan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun, bagi mereka yang ingin tetap mengikuti ketentuan mazhab Syafi’i, memberikan zakat fitrah dalam bentuk beras tetap merupakan pilihan utama yang sah.

    Sebagai bentuk kompromi antara kedua pendapat, kita dapat tetap mengikuti mazhab Syafi’i dengan menunaikan zakat fitrah dalam bentuk beras, tetapi dengan menambah sedikit dari batas takaran sebagai bentuk kehati-hatian. Alternatif lainnya adalah tetap memberikan beras sesuai ketentuan mazhab Syafi’i, lalu menambahkan uang kepada mustahiq sebagai sedekah tambahan. Dengan demikian, zakat fitrah tetap tertunaikan sesuai tuntunan fikih, sekaligus memberikan manfaat lebih kepada penerima.

    Sebagai umat Islam, memahami berbagai sudut pandang dalam fikih memungkinkan kita untuk beramal lebih bijak sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, esensi zakat fitrah sebagai sarana berbagi kebahagiaan di hari raya dapat tercapai secara optimal tanpa menghilangkan nilai-nilai syariat yang mendasarinya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ramadan di Indonesia: Berkah bagi Semua

    Ramadan di Indonesia: Berkah bagi Semua

    Setiap tahun, Ramadan datang membawa suasana yang tak tergantikan. Masjid mendadak jadi tempat favorit, warung makan pasang tirai ala ninja, dan jalanan lebih macet jelang maghrib karena semua orang mendadak menjadi pemburu takjil, penjual takjil, atau bahkan yang membagi-bagikan takjil gratis di jalan-jalan.

    Di Indonesia, Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tapi juga festival kebaikan, kebersamaan, dan tentu saja kuliner dadakan yang menggoda iman.

    Dari subuh sampai isya, ada banyak hal yang membuat Ramadan di Indonesia unik. Sahur, misalnya, bukan hanya soal makan, tapi juga ajang uji kesabaran. Dari suara alarm yang entah kenapa lebih sulit dikalahkan dari biasanya, sampai seruan “Sahuuur!” dari masjid, musala, dan anak-anak kampung yang lebih semangat ketimbang pemain bola saat mencetak gol kemenangan.

    Lalu, setelah subuh, datanglah ujian berikutnya: tetap melek di kantor atau tempat kerja sambil menahan godaan kantuk dan malas yang lebih dahsyat dari biasanya. Untuk Ramadan kali ini, berdasarkan SK 3 menteri, anak-anak sekolah mendapatkan jatah libur di minggu pertama. Semoga mereka bisa menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Semoga kita selalu senantiasa antusias menjalani aktivitas meskipun sedang beraktivitas di bulan Ramadan.

    Pastinya, salah satu yang paling dinanti dari Ramadan di Indonesia adalah berburu takjil. Dari yang santai sampai yang totalitas, semua punya gaya masing-masing. Tahun kemarin, media sosial sempat heboh dengan fenomena “war takjil” di mana masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, rela antre berjam-jam untuk membeli takjil buka atau bahkan berebut demi mendapatkan takjil gratis di masjid-masjid atau komunitas tertentu.

    Dari mulai kolak, es buah, sampai gorengan, semuanya jadi rebutan. Fenomena ini menunjukkan betapa antusiasnya masyarakat dalam menikmati berkah Ramadan, meskipun kadang lupa bahwa niat berburu takjil seharusnya bukan sekadar untuk koleksi, tapi juga untuk berbagi.

    Dan memang, Ramadan selalu identik dengan semangat berbagi. Rasulullah SAW bersabda:

    عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

    Artinya: Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)

    Tak heran jika di Indonesia, berbagi makanan saat berbuka jadi tradisi yang begitu melekat. Pedagang kaki lima, komunitas sosial, hingga orang-orang biasa berlomba-lomba membagikan takjil gratis di jalanan. Bagi yang memberi, ada kebahagiaan dalam berbagi. Bagi yang menerima, ada kehangatan dalam kebersamaan.

    Selain berbagi makanan, Ramadan di Indonesia juga dipenuhi dengan kajian keislaman, pesantren kilat, dan tadarus Al-Qur’an yang semakin menggema. Inilah bulan di mana banyak orang kembali mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

    شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

    Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

    Dan yang tak kalah menarik, Ramadan di Indonesia bukan hanya dirasakan oleh umat Islam, tapi juga menjadi momen kebersamaan lintas agama. Banyak saudara-saudara kita non-Muslim yang ikut menunjukkan toleransi, bahkan ada yang turut berbagi dalam kegiatan sosial. Di tengah perbedaan, Ramadhan justru menjadi jembatan yang mempererat hubungan antar sesama.

    Ramadhan bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membangun kesadaran sosial. Di bulan ini, batas-batas sosial seakan memudar. Orang kaya dan miskin sama-sama merasakan lapar, yang pada akhirnya menumbuhkan empati dan keinginan untuk berbagi. War takjil yang viral di media sosial tahun lalu, di mana orang-orang berebut makanan berbuka di jalanan, mengingatkan bahwa dalam beramal pun perlu keikhlasan dan ketertiban. Bukan soal siapa yang mendapatkan lebih dulu, tetapi bagaimana kebersamaan itu tercipta dalam harmoni.

    Dan tentu saja, di Indonesia, tidak ada Lebaran tanpa mudik, sebuah tradisi yang lebih dari sekadar perjalanan pulang kampung. Setiap tahunnya, jutaan orang berbondong-bondong kembali ke tanah kelahiran untuk berkumpul dengan keluarga besar. Macet berjam-jam di jalan, antrean panjang di terminal, stasiun, pelabuhan, dan juga bandara. 

    Perjuangan mendapatkan tiket mudik lebih sulit dan mahal jikalau tidak dibeli dari jauh-jauh hari. Semuanya menjadi bagian dari ritual tahunan ini. Mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin untuk kembali kepada akar, merajut kembali kenangan masa kecil, dan merasakan kembali hangatnya pelukan orang tua yang mungkin selama ini hanya terdengar suaranya di telepon.

    Mudik juga merupakan refleksi dari semangat harmonisme yang diajarkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:

    مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

    Artinya: “Barang siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.”

    Dalam perjalanan mudik, kita melihat nilai ini dalam bentuk nyata. Orang-orang yang sabar mengantre, pemudik yang saling berbagi bekal di rest area, bahkan polisi dan relawan yang bekerja ekstra demi kelancaran perjalanan, semuanya adalah cerminan dari semangat kebersamaan yang diajarkan di bulan Ramadhan.

    Selain itu, mudik juga menjadi ajang memperbaiki hubungan. Banyak yang akhirnya pulang bukan sekadar untuk bertemu keluarga, tetapi juga untuk menyelesaikan konflik lama, mempererat kembali silaturahmi yang sempat renggang, dan tentu saja memenuhi kewajiban untuk berbakti kepada orang tua. Dalam Islam, menjaga hubungan baik dengan keluarga adalah bagian dari ibadah, dan momen Lebaran memberikan kesempatan untuk itu.

    Namun, ujian sebenarnya datang setelah Ramadan berlalu. Apakah kelembutan hati yang telah terasah tetap bertahan? Apakah kebiasaan berbagi dan memperhatikan sesama masih terus berlanjut? Ataukah semua kembali seperti sedia kala, di mana kesibukan menelan kembali nilai-nilai yang telah dibangun selama sebulan penuh?

    Harmoni yang tercipta di bulan Ramadhan tidak boleh berhenti di malam takbiran. Seperti gema takbir yang menggema ke seluruh penjuru, semangat berbagi, menahan diri, dan menjaga keharmonisan harus tetap menyala dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan bukanlah sekadar rutinitas tahunan, melainkan latihan spiritual dan sosial agar kita menjadi manusia yang lebih baik sepanjang tahun.

    Akhirnya, setelah sebulan penuh dengan sahur, puasa, berburu takjil, dan tarawih, Idul Fitri pun tiba. Aroma ketupat mulai menyeruak di setiap rumah, opor ayam tersaji di meja makan, dan sanak saudara saling bermaafan dalam kehangatan silaturahmi. Suasana yang sebelumnya dipenuhi perjuangan melawan kantuk saat sahur dan godaan es teh manis di siang hari, kini berganti dengan kebahagiaan berkumpul bersama keluarga dan tetangga.

    Namun, lebih dari sekadar perayaan dan hidangan khas Lebaran, Ramadan selalu meninggalkan sesuatu yang jauh lebih bermakna: hati yang lebih lembut, jiwa yang lebih tenang, dan harapan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ditanam selama sebulan ini tidak luntur seiring waktu.

    Semoga puasa di tahun ini lebih baik dari tahun kemarin dan diberikan kelancaran serta keberkahan bagi semua. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Terpopuler, Nasaruddin Umar Isi Kultum Buka Puasa di BTV hingga Tiket KA Lebaran

    Terpopuler, Nasaruddin Umar Isi Kultum Buka Puasa di BTV hingga Tiket KA Lebaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabar tentang Menteri Agama Nasaruddin Umar yang mengisi kultum menjelang buka puasa setiap hari di BTV dan Beritasatu menjadi berita terpopuler atau top news di Beritasatu,com sepanjang Sabtu (1/3/2025).

    Berita lain yang menarik perhatian pembaca, yakni mengenai jadwal salat dan buka puasa Minggu (2/3/2025), tol Japek Selatan II akan difungsionalkan untuk mengurai kepadatan arus mudik Lebaran 2025, grup musik Sukatani yang menolak menjadi duta Polri, serta 441.675 tiket kereta Lebaran 2025 telah terjual.

    Berikut lima berita terpopuler atau top 5 news di Beritasatu.com pada Sabtu (1/3/2025): 

    1. Saksikan! Nasaruddin Umar Isi Kultum Jelang Buka Puasa Setiap Hari di BTV dan Beritasatu
    BTV dan Beritasatu bakal menghadirkan berbagai program spesial Ramadan 1446 Hijriah untuk menemani pemirsa setia agar makin semangat menjalankan ibadah puasa. Deretan program hiburan, tausiah, dan sejarah Islam akan menambah pengetahuan serta meningkatkan nilai-nilai spiritual bagi pemirsa BTV.

    Sambil menunggu waktu berbuka puasa, akan ada Kultum the Power of Ramadhan yang sampaikan langsung oleh Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr Nasaruddin Umar MA. Tema yang dibahas seputar nilai-nilai Islam yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di bulan Ramadan. 

    Kultum the Power of Ramadhan berlangsung di Masjid Istiqlal dan disiarkan BTV menjelang waktu berbuka puasa. 

    2. Jadwal Salat dan Buka Puasa pada Minggu 2 Maret 2025
    Mengetahui jadwal salat dan buka puasa penting dilakukan agar tidak terlambat untuk melaksanakan ibadah. Umat muslim di seluruh Indonesia mulai menunaikan ibadah puasa Ramadan 1446 Hijriah sejak Sabtu (1/3/2025).

    Minggu (2/3/2025), bertepatan dengan 2 Ramadan 1446 Hijriah. Tanggal ini menandai hari kedua pelaksanaan ibadah puasa Ramadan tahun ini. Dalam menjalankan puasa, memperhatikan jadwal imsakiah, waktu salat Subuh, serta Magrib menjadi hal yang sangat penting.

    Sebagai panduan bagi umat muslim, Kementerian Agama telah menerbitkan jadwal resmi yang mencakup berbagai waktu penting selama Ramadan 1446 Hijriah. Jadwal tersebut meliputi waktu berbuka puasa, jadwal salat, serta waktu imsakiah dan Subuh.

    3. Tol Japek Selatan II Akan Difungsionalkan Urai Kepadatan Arus Mudik Lebaran 2025
    Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri menyatakan Tol Japek Selatan II yang akan difungsionalkan untuk mengurai kepadatan arus mudik dan balik Lebaran 2025. Penerapan tol fungsional itu merupakan strategi dalam Operasi Ketupat 2025.

    Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryo Nugroho mengatakan, pihaknya telah menyiapkan skenario pengelolaan kepadatan lalu lintas, seperti penggunaan tol fungsional untuk mengurangi beban di titik-titik rawan kemacetan dalam Operasi Ketupat 2025.

    Menurut dia, tol fungsional dapat melancarkan arus kendaraan hingga 1.000 unit per jam sehingga berpotensi mengurangi beban Tol Cikampek-Cipularang.

    4. Tolak Jadi Duta Polri, Band Sukatani Mengaku Alami Intimidasi Sejak Juli 2024
    Band Sukatani mengaku mengalami intimidasi sejak 2024 hingga akhirnya terpaksa membuat video permintaan maaf atas lagu Bayar Bayar Bayar yang viral. Sukatani menegaskan menolak menjadi duta Polri.

    Pengakuan itu diungkapkan Sukatani melalui akun Instagram resminya @sukatani.band, Sabtu (1/3/2025), untuk mengabarkan kondisi band bergenre punk asal Purbalingga, Jawa Tengah ini.

    “Hallo kawan-kawan. Mau mengabarkan bahwa kami dalam keadaan baik, tetapi masih dalam proses recovery pascakejadian bertubi yang selama ini kami hadapi sejak Juli 2024,” tulis Sukatani dalam unggahannya.

    5. 441.675 Tiket Kereta Lebaran Terjual, Cek Jadwal dan Okupansi
    PT KAI Daop 1 Jakarta mencatat 441.675 tiket kereta api jarak jauh (KAJJ) untuk mudik Lebaran 2025 telah terjual hingga Sabtu (1/3/2025). Jumlah ini mencerminkan okupansi sebesar 45% dari total kapasitas yang disediakan.

    “Sebanyak 441.675 tiket telah terjual, dengan tingkat okupansi mencapai 45%,” ujar Manager Humas KAI Daop 1 Jakarta Ixfan Hendriwintoko dalam keterangannya di Jakarta.

    Untuk mengakomodasi pemudik, KAI Daop 1 Jakarta telah menyiapkan 1.826 perjalanan KAJJ yang beroperasi selama periode 21 Maret hingga 11 April 2025. Total kapasitas kursi mencapai 970.675 tempat duduk dan rata-rata kapasitas harian 44.122 kursi.

    “Mengingat tingginya permintaan, kami mengimbau pelanggan untuk segera memesan tiket sebelum kehabisan,” tambah Ixfan.

    Demikian lima berita terpopuler atau top 5 news di Beritasatu.com pada Sabtu (1/3/2025).

  • Sabar Adalah Karakter si Shoim

    Sabar Adalah Karakter si Shoim

    “Banyak yang puasa tetapi marah-marah, banyak yang puasa tetapi suka mencela, banyak yang puasa tetapi masih suka berbuat kemungkaran,” dan ungkapan-ungkapan lain yang masih menggambarkan bagaimana ketimpangan yang terjadi bagi orang yang berpuasa. 

    Karakter shoim (orang yang berpuasa) yang sepatutnya menggambarkan tingkah laku terpuji tak pula menjadi suatu jaminan secara pasti. Agaknya fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing untuk ditemukan di sekitar kita umat muslim. 

    Puasa yang biasa dipahami dengan makna “menahan dari segala sesuatu dan meninggalkannya”, (Manzur, t.t), baik menahan dari rasa lapar, dahaga, amarah dan perasaan negatif lainnya yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala berpuasa, nyatanya tidak serta merta dengan mudah dapat direalisasikan dalam kehidupan.

    Realita yang sering tidak sesuai dengan keinginan diri terkadang membuat seseorang terlepas untuk melakukan atau bersikap buruk. Walaupun ia juga menyadari bahwa hal itu adalah sesuatu yang tidak baik. Sebagaimana orang-orang yang berpuasa yang seharusnya menahan diri agar puasanya mendapatkan keabsahan ataupun pahala yang besar, namun masih saja terus mendapat cobaan hingga dirasa mengurangi pahala berpuasanya. 

    Oleh karena itu seseorang yang berpuasa dianjurkan untuk belajar bersabar. Karena dengan kesabaran seseorang secara tidak langsung belajar menahan dirinya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi diri. Dengan kesabaran seseorang akan merasa bahwa apa yang ia lakukan memiliki sesuatu kebaikan dan keindahan. 

    Selain itu juga memiliki keyakinan, bahwa apa yang ia lakukan nantinya akan membuahkan hasil yang manis ataupun
    hikmah yang akan ia dapatkan meskipun berat untuk mempraktikannya. 

    Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Az-Zumar [39]: 10:

    قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْۗ لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌۗ وَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌۗ اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

    Artinya: “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini ada pahala yang baik. Dan di bumi Allah ini ada tempat yang luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan pahala mereka tanpa batas.”

    Mufassir lokal terkemuka, Buya Hamka dalam tafsirnya Al Azhar menjelaskan, bahwa di ujung ayat ini sudah diisyaratkan pula bahwasanya beriman, mengisi hidup dengan takwa dan berbuat kebajikan tidaklah semudah apa yang kita kira. 

    Lantaran itulah maka Tuhan pun membayangkan bahwa bumi Allah ini luas. Kalau perlu pindah dari satu negeri yang di sana beramal terlalu sempit ke tempat lain yang mendapat alam lebih lapang untuk beramal. Dan di dalam perjuangan menegakkan kebenaran itu banyaklah percobaan yang akan diderita, sebab iman itu selalu diuji. Kalau kuat akan bertambah naik, kalau lemah akan jatuh. 

    Maka alat utama untuk menangkis percobaan ialah sabar, tahan hati, tabah. Hanya orang-orang yang sabarlah yang akan sampai kepada apa yang dia tuju, yaitu pahala yang berganda-lipat di sisi Allah. (Hamka, 1982)

    Dari pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwasanya kesabaran akan membawa seseorang untuk mendapatkan apa yang ia tuju dan pahala yang berlipat. Dengan kesabaran pula seseorang bisa memiliki sikap-sikap terpuji walaupun untuk bisa memiliki sifat sabar, seseorang harus berlatih. 

    Hamka mengungkapkan lebih lanjut dengan mengutip tafsiran dari al-lmam al-‘Auza’i bahwa orang-orang yang sabar dan tahan menderita itu di akhirat kelak tidaklah ditimbang berat atau ringan amalnya melainkan sudah disediakan saja buat mereka bilik-bilik istirahat yang mulia di surga. 

    Menurut sebuah Hadis yang didengar oleh Anas bin Malik dari Rasulullah SAW, bahwa semua amal akan ditimbang kelak dengan teliti, namun ahlul-balaa’ yang tahan menderita tidak ditimbang-timbang lagi.

    حَتَّى يَتَمَنَّى أَهْل ُ الْعَافِيَة ِ فِي الدُّنْيَا أَن َّ أَجْسَادَهُم ْ تُعْرَض ُ بِالْمَقَارِيض ِ مَا يَذْهَب ُ بِه ِ أَهْل ُ الْ ِب ََلَء ِ مِن َ الْفَضْل

    Artinya: “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang sihat-sihot saja di dunia kalau kiranya dahulu badannya digergaji dipotong-potong, setelah mereka lihat bagaimana kelebihan dan keistimemewaan yang akan diterima oleh orang-orang yang sabar menderita itu. Itulah maksudnya pahala yang akan diberikan dengan tidak ada perhitungan lagi.”

    Hadis di atas memperkuat bahwa kesabaran tidak hanya akan membawa seseorang itu beruntung saat hidup di dunia namun juga di akhirat kelak. Bukan hanya sekedar membantu menyampaikan seseorang pada apa yang ia tuju, tetapi juga mengantarkan pada keabadian di akhirat nantinya. Hal itu akan menjadi penyesalan bagi orang-orang yang dahulunya ketika hidup di dunia tidak berusaha untuk menahan dirinya dalam rasa kesabaran.

    Pada akhirnya, dapat kita sadari bahwa antara ‘puasa’ dan ‘sabar’ memiliki ciri yang sama dan saling berkaitan. Puasa yang dimaknai dengan menahan, juga sejalan dengan sifat sabar yang dimaknai dengan menahan. (M. Quraisy Syihab, 2007). Sehingga, ketika menjalani ibadah puasa sudah sepatutnya juga kita belajar untuk bersabar. 

    Dengan kesabaran yang dilatih, puasa yang kita jalani tidak hanya akan membentuk diri kita untuk menjadi sosok yang lebih baik, tetapi juga pahala yang melimpah, karena seperti itulah yang Allah Swt janjikan. Kesabaran akan membawamu pada maqam kemuliaan dunia dan keabadian di akhirat kelak. Hingga pada titik kesimpulan ‘Orang yang berpuasa adalah orang yang sabar’. Wallahu a’lam bi ash shawab.

    *Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ramadan Momentum Membangun Kesadaran Ekologi

    Ramadan Momentum Membangun Kesadaran Ekologi

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Selain menjadi waktu untuk meningkatkan ibadah dan memperkuat hubungan dengan Allah Swt, bulan suci ini juga menjadi ajang memperbaiki pola hidup dan membangun kebiasaan yang lebih baik. Salah satu aspek yang sering terabaikan selama Ramadan adalah dampaknya terhadap lingkungan. 

    Fenomena seperti meningkatnya sampah plastik akibat kemasan takjil, pemborosan makanan saat berbuka dan sahur, serta lonjakan konsumsi listrik di masjid-masjid dan rumah-rumah, menjadi permasalahan yang sering terjadi.

    Padahal, Islam telah menekankan pentingnya keseimbangan alam (al-mizan) dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga kelestarian lingkungan.

    Konsep Keseimbangan Alam dalam Islam

    Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi momen pengendalian diri dalam hal makan dan minum, juga dalam cara mengelola sumber daya alam. Artikel ini akan mengulas bagaimana Islam mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan serta bagaimana umat muslim dapat menjadikan Ramadan sebagai momentum membangun kesadaran ekologi untuk menjaga kesehatan lingkungan.

    Islam mengajarkan bahwa keseimbangan adalah bagian dari sunnatullah yang harus dijaga. Allah Swt berfirman dalam QS. Ar-Rahman ayat 7-9:

    وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الۡمِيۡزَانَۙ‏ ٧

    was-samâ’a rafa‘ahâ wa wadla‘al-mîzân
    Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan)

    اَلَّا تَطۡغَوۡا فِى الۡمِيۡزَانِ‏ ٨

    allâ tathghau fil-mîzân
    agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu.

    وَاَقِيۡمُوا الۡوَزۡنَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُوا الۡمِيۡزَانَ‏ ٩

    wa aqîmul-wazna bil-qisthi wa lâ tukhsirul-mîzân
    Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.

    Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan dalam alam adalah bagian dari sistem yang telah Allah tetapkan. Manusia diperintahkan untuk tidak merusaknya dengan cara berlebihan dalam menggunakan sumber daya atau melakukan tindakan yang dapat mencemari lingkungan.

    Dalam QS. Al-A’raf ayat 31, Allah Swt juga mengingatkan:

    يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَࣖ

    yâ banî âdama khudzû zînatakum ‘inda kulli masjidiw wa kulû wasyrabû wa lâ tusrifû, innahû lâ yuḫibbul-musrifîn

    “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” 

    Ayat ini secara jelas melarang pemborosan, baik dalam makanan, minuman, maupun dalam hal lain yang bisa merugikan diri sendiri dan lingkungan. 

    Rasulullah SAW juga mencontohkan pola hidup sederhana dan penuh kesadaran. Beliau bersabda,”Tidaklah manusia memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi manusia beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

    Hadis ini mengajarkan bahwa hidup hemat dan sederhana bukan hanya baik bagi kesehatan, juga untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang semakin terbatas. 

    Permasalahan Lingkungan Selama Ramadan 

    1. Sampah plastik dari kemasan takjil 

    Setiap sore menjelang berbuka puasa, pasar takjil di berbagai daerah dipenuhi masyarakat yang membeli makanan dan minuman untuk berbuka. Sayangnya, sebagian besar makanan tersebut dikemas dalam plastik sekali pakai. Akibatnya, limbah plastik meningkat drastis selama Ramadan.

    Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari tanah dan air, serta membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik selama Ramadan. Misalnya, dengan membawa wadah sendiri saat membeli takjil. 

    2. Pemborosan makanan 

    Banyak keluarga yang menyiapkan makanan dalam jumlah besar untuk berbuka dan sahur. Namun, tidak semua makanan tersebut habis dikonsumsi, sehingga sebagian terbuang. 

    Sebagai wujud refleksi dari fenomena ini, Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Tirmidzi)

    Daripada membuang makanan, alangkah baiknya jika makanan berlebih diberikan kepada yang membutuhkan. 

    3. Konsumsi energi berlebihan 

    Selama Ramadan, konsumsi listrik meningkat akibat penerangan di masjid-masjid dan rumah-rumah. Pendingin ruangan (AC), kipas angin, dan alat elektronik lainnya, sering digunakan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan efisiensi energi. 

    Konsumsi energi yang tinggi berdampak pada peningkatan emisi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran untuk menggunakan energi secara lebih bijak. 

    Solusi Ramadan Ramah Lingkungan 

    Untuk menjadikan Ramadan lebih ramah lingkungan, umat muslim bisa menerapkan langkah-langkah berikut: 

    1. Mengurangi pemborosan makanan 

    Salah satu langkah utama untuk menjadikan Ramadan lebih ramah lingkungan adalah mengurangi pemborosan makanan. Hal ini bisa dimulai dengan mengambil makanan secukupnya saat berbuka dan sahur agar tidak ada yang terbuang sia-sia. Makanan yang tersisa juga sebaiknya dikelola dengan baik.

    Misalnya dengan menyimpannya untuk dikonsumsi kembali atau membagikannya kepada yang membutuhkan. Selain itu, memasak sesuai dengan porsi keluarga juga menjadi langkah penting untuk mencegah makanan berlebih yang akhirnya terbuang. 

    2. Mengurangi penggunaan plastik 

    Penggunaan plastik sekali pakai selama Ramadan meningkat drastis, terutama dari kemasan takjil dan kantong belanja. Untuk menguranginya, bisa dimulai  dengan membawa wadah sendiri saat membeli makanan berbuka, sehingga tidak bergantung pada kemasan plastik.

    Menggunakan botol minum isi ulang juga menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan membeli minuman dalam kemasan plastik. Selain itu, tas kain atau anyaman dapat menjadi pengganti kantong plastik, yang tidak hanya lebih tahan lama, juga lebih ramah lingkungan. 

    3. Menghemat energi 

    Konsumsi energi selama Ramadhan sering kali meningkat akibat penggunaan listrik yang lebih tinggi, terutama untuk penerangan dan pendingin ruangan. Penghematan bisa dilakukan dengan menggunakan lampu hemat energi dan mematikan alat elektronik yang tidak digunakan. Penghematan juga dapat dilakukan dalam penggunaan air. Misalnya, tidak berlebihan saat berwudu atau mencuci peralatan makan. Bahkan, jika memungkinkan, penggunaan energi alternatif, seperti panel surya, untuk penerangan masjid bisa menjadi solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

    4. Mengelola sampah dengan bijak 

    Sampah yang dihasilkan selama Ramadan perlu dikelola dengan baik agar tidak mencemari lingkungan. Sampah organik dan anorganik harus dipilah sehingga bisa didaur ulang. Sampah makanan yang tidak habis dapat diolah menjadi kompos untuk mengurangi limbah dan bermanfaat bagi tanah. Selain itu, mendukung program bank sampah atau sedekah sampah juga merupakan langkah konkret dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan. 

    Kesimpulan 

    Ramadan bukan hanya bulan ibadah, juga momentum untuk mengendalikan konsumsi dan peduli lingkungan. Islam mengajarkan manusia sebagai khalifah wajib merawat bumi demi kelestarian generasi mendatang. Dengan menjadikan Ramadan sebagai ajang perubahan, umat muslim tidak hanya meningkatkan ketakwaan, juga berkontribusi menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari amanah Allah.

    Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Masjid Garapan Waskita Karya Siap Digunakan untuk Salat Tarawih

    Masjid Garapan Waskita Karya Siap Digunakan untuk Salat Tarawih

    Masjid Garapan Waskita Karya Siap Digunakan untuk Salat Tarawih
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Memasuki
    Ramadhan 1446 Hijriah
    , sejumlah masjid di Tanah Air mulai bersiap menggelar salat tarawih berjemaah. Seperti diketahui, selama bulan suci ini akan banyak kegiatan yang dilakukan di rumah ibadah umat Islam tersebut.
    PT
    Waskita
    Karya (Persero) Tbk pun telah membangun dan merenovasi berbagai masjid besar di Indonesia, di antaranya
    Masjid Baiturrahman Aceh
    ,
    Masjid Istiqlal Jakarta
    ,
    Masjid Baiturrahman Semarang
    , dan
    Masjid Sheikh Zayed Solo
    .
    Corporate Secretary
    Waskita Karya
    Ermy Puspa Yunita mengatakan, sebagai badan usaha milik negara (
    BUMN
    ) konstruksi yang telah berpengalaman selama lebih dari 64 tahun membangun infrastruktur, perseroan selalu memprioritaskan kenyamanan pengguna dalam setiap menyelesaikan suatu proyek, termasuk masjid.
    “Waskita juga melihat sejarah atau latar belakang berdirinya masjid yang ingin dibangun dan direnovasi. Hal ini guna menyelaraskan bangunan tanpa harus merubah bentuk yang signifikan sehingga nilai sejarah masih terlihat pada bangunannya,” jelas Ermy dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Sabtu (1/3/2025).
    Ia menyebutkan, Masjid Baiturrahman Aceh misalnya, merupakan salah satu masjid tertua yang berdiri sejak 1612. Masjid Istiqlal pun sudah dibangun sejak 1961 dan menjadi saksi banyak agenda kenegaraan.
    Sementara itu, Masjid Baiturrahman Semarang yang awalnya bernama Masjid Candi Semarang didirikan pada tahun 1955. Adapun Masjid Sheikh Zayed Solo merupakan bentuk hibah dari Uni Emirat Arab (UEA) kepada Indonesia.
    Ermy menambahkan, dalam pembangunannya, masjid yang dibangun oleh Waskita diselesaikan dengan tepat waktu, bahkan ada beberapa yang lebih cepat pembangunannya. Perseroan juga menambahkan inovasi
    green building
    serta beberapa fasilitas berteknologi modern.
    Salah satunya adalah Masjid Baiturrahman Aceh yang baru direnovasi sejak 2015 setelah terdampak bencana tsunami pada 2004. Masjid ini dikembangkan menyerupai Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi, dengan dipasang 12 payung raksasa serta pohon kurma di sekitar halamannya.
    Dengan perluasan halaman dan pemasangan payung elektrik, masjid mampu menambah daya tampung yang semula 9.000 jemaah menjadi 24.405 jemaah. Hingga saat ini, masjid ini menjadi salah satu destinasi wisata religi dan budaya di Aceh.
    Adapun Masjid Istiqlal Jakarta direnovasi oleh Waskita sejak 2019 dan rampung pada Januari 2021. Dalam pembangunannya, Waskita memanfaatkan luasnya halaman masjid dengan menata
    landscape
    yang kini dimanfaatkan untuk pusat perbelanjaan dan makanan yang dibina dari UMKM.
    Sementara itu, pada renovasi Masjid Baiturrahman yang berada di Alun-alun Kota Semarang, Waskita menggunakan sistem Building Automation System (BAS) dengan mengintegrasikan sistem tata udara,
    special lighting
    , dan
    control equipment mechanical
    ,
    electrical
    ,
    and plumbing
    (MEP). Diusung pula konsep
    smart building
    yang menjadi salah satu mahakarya Kota Semarang.
    Kemudian pada Masjid Sheikh Zayed Solo, fasilitas masjid dibangun menyerupai miniatur Masjid Sheikh Zayed Abu Dhabi, UEA, dilengkapi ukiran batik kawung khas Solo pada karpetnya. Bangunan yang dapat menampung 10.000 jemaah ini merupakan ikon sekaligus kebanggaan warga Jawa Tengah.
    “Keempat masjid yang dibangun oleh Waskita menjadi simbol umat Islam di daerah tersebut, maka bisa dimanfaatkan pula sebagai destinasi wisata rohani,” ujar Ermy.
    Ia berharap, masyarakat dapat melakukan kegiatan keagamaan ataupun ibadah di bulan suci Ramadhan secara lebih khusyuk di berbagai masjid karya Waskita.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.