Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • Harmoni Dapur Ramadan: ketika Suami-Istri Berkolaborasi Menyiapkan Menu Sahur dan Berbuka

    Harmoni Dapur Ramadan: ketika Suami-Istri Berkolaborasi Menyiapkan Menu Sahur dan Berbuka

    Stereotipe yang berkembang tentang wanita dan dapur di bulan Ramadan mencerminkan pandangan tradisional yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Selama bulan suci ini, beban ganda seringkali diletakkan di pundak para wanita, terutama ibu dan istri. 

    Mereka diharapkan untuk bangun lebih awal, jauh sebelum azan subuh berkumandang, untuk menyiapkan hidangan sahur bagi seluruh anggota keluarga. Dalam pandangan stereotipikal, seorang wanita “ideal” di bulan Ramadan adalah yang mampu menyajikan menu sahur dan berbuka yang bervariasi setiap harinya. Mereka seolah dituntut untuk menjadi koki profesional yang harus menguasai berbagai resep, dari makanan tradisional hingga modern. Kegagalan dalam menyajikan menu yang memuaskan seringkali berujung pada kritik dan perbandingan dengan kemampuan memasak wanita lain.

    Stereotipe ini semakin diperkuat dengan ekspektasi bahwa wanita harus pandai mengatur waktu antara pekerjaan di luar rumah dan tugas dapur. Meskipun mereka juga berpuasa dan bekerja, tuntutan untuk menyiapkan hidangan berbuka yang lengkap tetap ada. Bahkan, kemampuan seorang wanita dalam mengelola dapur selama Ramadan seringkali dijadikan ukuran kesuksesan perannya sebagai ibu atau istri. 

    Media sosial turut memperkuat stereotipe ini dengan banyaknya konten yang menampilkan “goals” seorang wanita dalam menyiapkan menu Ramadan. Unggahan foto makanan yang tampak sempurna, meja berbuka yang tertata rapi, dan variasi menu yang beragam menciptakan tekanan sosial tersendiri. Wanita yang tidak mampu memenuhi standar ini seringkali merasa tidak cukup baik atau kurang berkompeten dalam perannya.

    Pandangan stereotipikal juga mengasumsikan bahwa urusan dapur adalah “kodrat” wanita, sehingga bantuan dari anggota keluarga lain, terutama laki-laki, dianggap sebagai “bonus” dan bukan kewajiban. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam pembagian tugas rumah tangga, di mana wanita menanggung beban lebih berat dalam menyiapkan makanan selama Ramadan.

    Dampak dari stereotipe ini bukan hanya pada beban fisik, tetapi juga mental. Wanita seringkali merasa bersalah jika tidak bisa menyajikan menu yang “istimewa” atau jika memilih untuk membeli makanan siap saji untuk berbuka. 

    Padahal, esensi Ramadan seharusnya lebih dari sekadar perkara menu makanan, melainkan tentang peningkatan spiritualitas dan penguatan ikatan keluarga. Ramadhan adalah bulan suci yang tidak hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga momentum untuk menguatkan ikatan.

    وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً

    Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

    Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan dibangun atas dasar cinta dan kerja sama, termasuk dalam urusan dapur selama Ramadhan.

    Di era modern ini, paradigma “dapur adalah wilayah istri” mulai bergeser. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah RA pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi di rumahnya, beliau menjawab:

    “Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya.”

    Ini menunjukkan bahwa membantu pekerjaan rumah tangga, termasuk di dapur, adalah sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

    Kolaborasi suami-istri dalam menyiapkan menu sahur dan berbuka menciptakan harmoni tersendiri. Ketika suami turut membantu memotong sayuran, mencuci piring, atau bahkan memasak, beban istri menjadi lebih ringan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

    “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.”

    Hadits ini menekankan pentingnya menjadi pasangan yang saling mendukung.

    Kebersamaan di dapur Ramadhan juga menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak. Mereka belajar bahwa pekerjaan rumah tangga bukan tentang gender, melainkan tentang tanggung jawab bersama. Allah Swt berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 71:

    وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

    Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain….”

    Ayat ini mengajarkan tentang pentingnya saling tolong-menolong tanpa memandang gender.

    Menyiapkan makanan sahur dan berbuka bersama membuka ruang komunikasi yang lebih intim antara suami-istri. Sambil memasak, mereka bisa berbagi cerita, mendiskusikan menu, atau sekadar bercanda ringan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

    عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً”

    Kolaborasi di dapur juga mengajarkan nilai-nilai kesabaran dan apresiasi. Suami yang biasanya tidak terbiasa dengan urusan dapur akan lebih menghargai jerih payah istri. Sebaliknya, istri akan merasa dihargai dan didukung.

    Di bulan yang penuh berkah ini, kebersamaan di dapur bisa menjadi ladang pahala. Setiap usaha untuk memudahkan pasangan dalam beribadah, termasuk menyiapkan makanan sahur dan berbuka, dicatat sebagai amal kebaikan.

    Pada akhirnya, harmoni di dapur Ramadan bukan sekadar tentang pembagian tugas, tetapi lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari cinta dan pengabdian kepada Allah SWT.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Rekonstruksi Iman Melalui Ramadan

    Rekonstruksi Iman Melalui Ramadan

    Hampir semua agama merekomendasikan periode puasa. Banyak Muslim dewasa berpuasa selama bulan suci Ramadan setiap tahun. Puasa Ramadan sebagai salah satu jenis puasa intermiten adalah intervensi non-farmakologis yang  memperbaiki kesehatan secara keseluruhan.

    Puasa Ramadhan menciptakan perubahan gaya hidup. Jika kita mengontrol perubahan gaya hidup selama bulan Ramadan, puasa intermiten (IF) Ramadan mengurangi stres oksidatif. Pengaruh Islamic IF selama dan di luar Ramadan pada perubahan sirkadian dalam lipid peroxidation marker malondialdehyde (MDA) selama dan di  luar sambil mengendalikan pembaur potensial (Bahammam et al., 2016). Ritual puasa akan memastikan planet sehat yang berkelanjutan. 

    Ilmu kesehatan mengatakan, puasa Ramadan merupakan strategi perlindungan terhadap stres oksidatif dan kerusakan sel. Puasa Ramadan menjaga kondisi kesehatan tubuh meskipun dalam posisi dikarantina akibat dampak Corona-19 (Khatib, 2022). Latihan sepak bola bersamaan puasa Ramadan untuk waktu yang lama terbukti meningkatkan kesehatan kardiometabolik pada individu yang sehat. Karena olahraga dan puasa memberikan manfaat  kesehatan secara mandiri (Zainudin et al., 2022). 

    Di antara ciri yang terdapat pada jiwa yang sehat yakni kemampuan manusia dalam kaitan pengendalian diri (self control). Pengendalian diri berfungsi penting terhadap kualitas kesehatan jiwa berdampak meningkatnya daya tahan mental ketika ia menghadapi berbagai macam stres dalam kehidupan (Ahmad, 2020). 

    Maka dari itu, ketika seseorang berpuasa, sejatinya melatih kemampuan penyesuaian diri pada tekanan tersebut, sehingga menjadi ia memiliki daya tahan serta lebih sabar dalam menghadapi berbagai tekanan hidup yang ada. 

    Di sisi lain, puasa adalah upaya untuk menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan melanggar ketentuan ajaran Islam. Puasa tidak hanya berorientasi pada ibadah fisik, tetapi juga ibadah spiritual yang dapat menyelamatkan dan menyejahterakan manusia, baik jasmani maupun  rohani, di dunia dan akhirat.

    Sangat disayangkan, sering kali dan banyak umat Islam menganggap ibadah itu hanya sekadar menjalankan rutinitas dari hal yang dianggap kewajiban, seperti halnya puasa Ramadan. Sering kali mereka melupakan bahwa aspek ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian terhadap iman. Maka peneliti tertarik untuk mengaji tentang puasa Ramadan sebagai media reklamasi iman sehingga makna puasa akan lebih terlihat dalam kacamata keimanan. 

    Orientasi bertaqwa disebabkan ibadah puasa merupakan sarana menuju derajat takwa. Puasa Ramadan bisa mengendalikan nafsu serta mengalahkan syahwat. Selain itu, supaya orang  yang berpuasa waspada terhadap jebakan syahwat yang acap kali muncul melalui unsur makanan, minuman ataupun bersetubuh (Al-Baghawi, 2014). 

    Tafsir Jalalain (2018) menjelaskan, puasa Ramadan supaya kalian semua dapat bertaqwa dari segala maksiat, karena dengan menjalani puasa seseorang bisa menaklukkan syahwatnya yang merupakan sumber dari berbagai tindakan maksiat. 

    Pada surat al-Baqarah ayat (183-187), Allah Swt tidak hanya menyebut ketakwaan sebagai tujuan puasa Ramadan, namun predikat hamba yang bersyukur menjadi target dari ibadah tersebut. Oleh sebab itu, ketakwaan pada ending-nya akan terkait erat dengan rasa syukur seorang hamba. Kecuali ayat ke-184, semuanya selalu dirangkai kata “La’alla”, yang berarti  menunjukkan sebuah harapan. 

    Maka, puasa Ramadan menjadi pembangkit harapan, di mana bermodal optimisme, kaum muslim bisa menyongsong perubahan serta peningkatan menuju arah yang lebih baik dan bermakna dalam hidupnya (Thaib & Hasballah, 2014). 

    Tinjaun bahasa Arab, kata taqwa berasal dari bentuk fi’il “ittaqa-yattaqi”, yang dapat diartikan takut, waspada serta berhati-hati (Munawwir, 2020). Termin bertakwa dari kemaksiatan dikandung maksud supaya manusia takut serta waspada terjerumus dalam kubangan maksiat. 

    Secara istilah, definisi tawa yakni menjalani ketaatan terhadap Allah Swt dengan dalil (cahaya  Allah), mengharapkan ampunan-Nya, meninggalkan unsur maksiat dengan cahaya Allah, serta  memiliki sikap takut kepada azab dari Allah (Adz- Dzahabi, 2017). 

    Dari sini menjadi jelas bahwa keterikatan antara ibadah puasa Ramadan dengan ketakwaan, puasa merupakan salah satu dari sebab terbesar menuju derajat ketakwaan seseorang, sebab orang yang menjalani puasa berarti sudah menjalankan perintah Allah, pada kesempatan sama menjauhi apa yang telah dilarang-Nya. 

    Seseorang yang sedang menjalani puasa Ramadan menjaga diri dari tindakan haram seperti makan, minum, dan semacamnya padahal secara kejiwaan manusia mempunyai kecenderungan atas hal tersebut. Ia rela menahan semua itu demi ketaatan terhadap Allah Swt, serta berharap memperolah pahala dari-Nya. Semua tindakan ini  merupakan wujud dari takwa. 

    Ibadah puasa Ramadan hakikatnya mempersempit ruang gerak setan dalam aliran darah seseorang, sehingga dampak pengaruh setan pada dirinya melemah. Hal ini merupakan imbas dikuranginya perilaku maksiat. Secara bersamaan gairah puasa itu bisa memperbanyak ketaatan terhadap Allah, yang mana hal ini merupakan tabiat bagi orang bertakwa. Dengan ibadah puasa Ramadan, orang kaya sekalipun merasakan bagaimana perihnya rasa lapar, hingga ia lebih peduli terhadap kaum fakir miskin yang hidup kekurangan (As-Sa’di, 2016). 

    Pada surat al-Baqarah tentang perintah puasa Ramadan, merupakan sebuah penjelasan penting bahwa Allah Swt menghendaki supaya umat muslim bertakwa dengan perintah jamak “mereka”. Kata “mereka” dari ayat tersebut menunjukkan pesan moral yang tidak hanya tertuju pada satu individu saja, akan tetapi menunjuk makna banyak, yakni bagaimana komunitas umat muslim mewujudkan ketakwaan pribadi-pribadi mereka ke dalam bentuk tindakan kolektif  (Habannakah, 2010). 

    Dari sini dapat dipahami, komunitas Muslim di seluruh dunia menjunjung tinggi Ramadan. Muslim berusaha untuk meningkatkan karakter moral dan kebiasaan moral yang baik  selama bulan ini untuk meningkatkan kesempatan mereka menerima berkah (Din & Ramli,  2023). Bukan umat Muslim saja, bahkan sebagian umat manusia di dunia menjalankan ibadah puasa. 

    Berbagai agama turut memerintahkan umatnya untuk menjalankan puasa sesuai dengan tata cara dan pelaksanaannya masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri  pada Sang Pencipta (Aqiilah, 2020). 

    Puasa Ramadan merupakan pedoman hidup, bagaimana seseorang dapat mengatur waktu dan ibadahnya semaksimal mungkin, melatih kesabaran dan melatih hatinya untuk dapat beribadah hanya dengan fokus kepada Allah. Pola hidup yang bisa konsisten dan menjadi pola keseharian setelah Ramadan merupakan salah satu indikator diterimanya rangkaian ibadah  selama bulan Ramadan. 

    Secara pada hakikat, Ramadan adalah madrasah besar yang  mengajarkan siswanya berbagai disiplin ilmu seperti ikhlas, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, rida dengan ketentuan Allah. Sebab Ramadan ibarat sebuah madrasah, tentu akan melahirkan para alumni dengan berbagai predikat yang disandangnya, ada yang kemudian lulus dan mendapat predikat takwa sesuai dengan tujuan puasa itu sendiri, namun banyak juga yang gagal dan kemudian tinggal kelas (Ilmiah et al., 2021).

    Orang yang menjalani puasa Ramadan merasakan semangat spiritual yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Mereka lebih semangat membaca Al-Qur’an, salat berjemaah, bangun malam demi bisa melaksanakan salat tahajud, berbagi makanan dengan sesama terutama saat berbuka puasa, sabar menunggu azan Magrib, merasa diawasi Allah dalam berpuasa agar mereka lebih jujur dengan diri mereka sendiri. 

    Banyak hikmah dalam puasa Ramadhan, semisal menjadikan seseorang mampu meraih derajat takwa, meningkatkan keimanan, melatih  keikhlasan, memberi ketenangan hati, melatih seseorang untuk selalu merasakan kehadiran  Allah, melatih kesabaran, mendidik seseorang untuk memiliki jiwa sosial tinggi, empati, mendidik seseorang berjiwa besar, dan melatih perlaku kejujuran (Ali et al., 2022). 

    Penjelasan di atas, mengindikasikan bahwa ketakwaan tersebut harus mewujud diawali dari individu, meluas keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Realisasi takwa dapat diwujudkan melalui proses bertahap. Maka dari itu, bulan Ramadan merupakan momen tepat  bagi umat muslim menjadikan titik tolak pembinaan serta pembiasaan individu serta masyarakat untuk taat terhadap perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sehingga membentuk iman yang  mendalam, menuju hamba Allah yang bertakwa (Thaib & Hasballah, 2014). 

    Pelajaran yang dapat dipetik melalui pendidikan puasa Ramadan, bahwa terdapat relasi vertikal yang spesial antara hamba dan Rabb-Nya pada bulan suci tersebut. Umat muslim diperintah membangun relasi vertikal, bersamaan dengan relasi horizontal, membangun kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial, hubungan pribadi dan sesama mesti seimbang.  

    Sebelas bulan ke depannya umat muslim diharapkan tetap konsisten dengan pembinaan di bulan Ramadhan sampai kepada bulan Ramadan berikutnya, dengan adanya peningkatan nilai keimanan. Dari pembinaan individu yang bertakwa dapat menjadi sebuah pembenahan keteladanan dalam lingkup sosial, dan secara kolektif menjadi masyarakat yang bertakwa. 

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Fenomena dan Filosofi Takjil Biji Salak dan Timun Suri sebagai Keberkahan Ramadan

    Fenomena dan Filosofi Takjil Biji Salak dan Timun Suri sebagai Keberkahan Ramadan

    Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan bulan yang dinanti-nantikan oleh kaum muslimin untuk menunaikan ibadah puasa. Hal ini sebagaimana Nabi  Muhammad SAW bersabda : 

    Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang kepada kalian  Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1.000 bulan. Siapa yang  dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (Hadis sahih, dan diriwayatkan  oleh An –Nasa’i) 

    Dari statement di atas bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang diberkahi dan di mana ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan setara dengan mengerjakan kebaikan selama 83 tahun. 

    Bulan Ramadan juga memiliki fenomena menarik yang sudah diketahui publik, yakni kolak “biji  salak”. Awalnya biji salak sesuai dengan konotasinya biji  salak secara diksi dan logika, tetapi alangkah mengejutkannya ia adalah konsumsi makanan yang disediakan untuk ta’jil ifthor atau makanan sekedar untuk membatalkan puasa.

    Ada yang mengejutkan, banyak para ahli memfilosofikan kolak biji salak adalah kejadian histori tentang pengerjaran Nabi Musa oleh Fir’aun dan tentaranya.  Ada yang memfilosofikan dengan kata kolak itu ada khola’ yang berarti kosong, yang  mengindikasikan kekosongan jiwa dari kotoran-kotoran batiniah, seperti iri, dengki, riya, sum’ah dan sombong. Jadi puasa menjadi sarana untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran batin. 

    Buah salak adalah buah yang sulit untuk dibuka. Demi memakannya, duri-duri di sekitar buah salak harus dikupas agar mendapatkan daging buah yang segar dan manis. Kadang jari tangan sedikit terluka oleh keras kulit dan duri yang melekat di pohon dan buah.

    Ada juga yang mencocoklogikan kata “kolak” dengan kata Kholik yang berarti Sang Pencipta, yang berarti hubungan puasa adalah hubungan manusia dan hubungan Sang Pencipta (Allah Swt). Pahalanya yang diperoleh dalam puasa adalah prerogatif milik Allah Swt. 

    Jadi fenomena kolak “biji salak” adalah hidangan yang merajalela saat takjil untuk iftar atau buka puasa merupakan suatu keberkahan yang didapati umat muslimin Pulau Jawa khususnya, dan umumnya di Indonesia. Kolak “biji salak” mempunyai rasa yang  manis dan ada santan sebagai kuah yang cukup menggugah saat berbuka puasa. 

    Santan itu memiliki beberapa filosofi yang berasal dari kata “Nganpunten” yang berarti memaafkan. Dalam hal ini berarti ada saat memaafkan dan membersihkan diri dari dosa yang dibuat sendiri dan dari orang lain, sehingga harus segera memaafkan dan meminta maaf. Hal ini biasa dilakukan di saat bulan ruwah atau  sebelum puasa atau sesudah puasa, dengan melakukan silaturahmi menjelang hari raya Idulfitri. 

    Jadi dapat disimpulkan bahwa fenomena dan filosofi kolak “biji salak” adalah hidangan puasa dan persiapan puasa dan setelah puasa sebagai makna harus melakukan pembersihan diri sebelum puasa dan tidak mengotori lagi setelah menjalani puasa. Saling memaafkan dan kesabaran ada dalam filosofi “bijik salak”. 

    Selanjutnya adalah fenomena “timun suri” yang banyak dijual pada saat Ramadan dan menjadi keberkahan umat Islam dalam menjalani puasa. Biasa dihidangkan dengan dipotong dadu, disiram sirup cap pisang Ambon yang membuat hidangan buka puasa semakin menggugah selera. 

    Timbul dibenak kita semua, apa yang menjadikan “timun suri” menjadi ikon minuman yang ada saat buka puasa khususnya di Jakarta? Padahal tidak ada rasa, hanya harum sekali apabila sudah matang. Apa filosofi yang terkandung dalam minuman timun suri? Kenapa timun suri hanya ada pada saat Ramadan?

    Mari kita bahas sesuai dengan asumsi dan hipotesa yang akan kita jelaskan. Itulah salah satu keberkahan Ramadan, seperti yang ditemukan pada saat puasa, salah satunya kolak biji salak. 

    Filosofi timun suri adalah, buah yang tidak menyebutkan asal pohonnya, sama seperti melon, blewah, dan lainnya. Itu semua tidak mencantumkan asal pohonnya. 

    Filosofi selanjutnya adalah, timun suri merupakan buah yang jujur dan tidak bisa bohong, kenapa? Karena pada saat matang, buah ini memiliki ciri khusus yaitu retak dan mengeluarkan aroma harum dan wangi khas. 

    Saking berkahnya bulan Ramadan, Allah Swt berikan minuman timun suri adalah minuman yang menyegarkan dan menyehatkan kepada umat Islam. Salah satunya adalah sebagai obat pencegahan radang dan panas dalam khususnya bagi orang puasa Ramadan. Alhamdulillah. 

    Takjil es timun suri dengan sirup manis, walaupun terlihat sederhana tapi bisa menghilangkan dahaga yang meradang sejak siang hari. Sederhana dan manis, tetapi mengugah selera dan dapat menghilangkan dahaga para shoimin. 

    Anehnya para pedagang yang menjajakan timun suri paling banyak pada saat menjelang Ramadan. Hampir di lokasi Jakarta dan Sekitarnya  menjajahkan dagangan buah tersebut. 

    Aroma mulut orang yang berpuasa, menurut Allah Swt, lebih harum daripada bau misik. Filosofi timun suri, semakin matang dan semakin masak, buah tersebut merekah dan mengeluarkan aroma wangi semerbak. Hal ini dikaitkan  dengan mulut orang berpuasa yang harumnya lebih harum dari misik. 

    Pahala yang diberikan Allah Swt kepada orang yang berpuasa, adalah karena kesabarannya melawan dahaga dan lapar saat siang hari. Berpuasa juga untuk merasakan fakir miskin dan papa yang tidak menemukan makanan setiap harinya. Hal ini ada kaitannya dengan filosofi timun suri yang berarti di balik kesederhaan buah dan banyak yang tidak diminati, tetapi harum dan wanginya menggoda semua orang. 

    Pada bulan puasa ada satu malam yang sebanding dengan 1.000 malam atau sebanding dengan mengerjakan ibadah kurang lebih 83 tahun. Dalam bulan Ramadan ini ada beberapa hadis mengatakan, pahala orang yang berpuasa di bulan ini akan dilipatgandakan. 

    Ini juga bisa dikaitkan dengan filosofi buah timun suri, di mana buah yang memiliki biji yang banyak sekali, yang berarti setelah dimakan buahnya, biji-biji yang  di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh petani untuk ditanam kembali.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • SIG Jamin Kekokohan Konstruksi Tol Jogja-Solo

    SIG Jamin Kekokohan Konstruksi Tol Jogja-Solo

    Jakarta

    Pemerintah Indonesia terus mematangkan persiapan mudik Lebaran 2025.Mulai dari moda transportasi mudik, rekayasa lalu lintas, hingga infrastruktur jalan tol, dipersiapkan untuk mendukung kelancaran dan memberikan kenyamanan bagi para pemudik. Salah satu jalan tol yang dipersiapkan untuk mudik Lebaran 2025 adalah Tol Jogja-Solo yang dibangun dengan produk semen dari PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG).

    Corporate Secretary SIG, Vita Mahreyni mengatakan, sebagai penyedia solusi bahan bangunan terdepan di Indonesia, SIG memiliki ragam produk dan solusi untuk berbagai kebutuhan pembangunan.

    “Pasokan produk semen dari SIG pada proyek pembangunan Tol Jogja-Solo, berkontribusi memberikan jaminan kualitas ketahanan konstruksi dalam jangka panjang, terutama menjelang arus mudik Lebaran mendatang di mana akan terdapat peningkatan beban lalu lintas antar wilayah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” tutur Vita Mahreyni, dalam keterangannya, Jumat (7/3/2024).

    Tol Jogja-Solo akan membentang sepanjang 96,57 km dan terbagi menjadi 3 seksi, meliputi Seksi 1 Kartasura – Purwomartani; Seksi 2 Purwomartani – Junction Sleman; dan Seksi 3 JC Sleman – Kulonprogo. Proyek Strategis Nasional (PSN) ini memiliki peranan signifikan terhadap peningkatan konektivitas pada segitiga emas Joglo Semar (Jogja-Solo-Semarang), serta berfungsi untuk menghubungkan kawasan pariwisata nasional, sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi baru di daerah.

    Vita Mahreyni pun menggarisbawahi bahwa selain mendukung kenyamanan para pemudik menuju kampung halaman, kontribusi SIG pada proyek Tol Jogja – Solo ini juga membantu memastikan distribusi logistik berjalan dengan baik untuk menjaga ketersediaan kebutuhan saat hari raya. Hal ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan arahan Menteri BUMN, Erick Thohir untuk melanjutkan pengembangan infrastruktur demi mencapai pertumbuhan ekonomi.

    Tercatat, sejak Januari 2022 hingga Desember 2024, SIG telah memasok 253.172 ton semen untuk pembangunan Seksi 1.1 Ruas Kartasura – Klaten sepanjang 22,3 km, Seksi 1.2 Ruas Klaten – Yogyakarta sepanjang 20 km, serta Seksi 2.2 (elevated ring road). Seksi 1.1 Ruas Kartasura – Klaten sendiri telah diresmikan pada September 2024 lalu.

    “Sebagai perusahaan solusi bahan bangunan terdepan di Indonesia, SIG memiliki pengalaman panjang dan kontribusi dalam membangun negeri. Sejumlah landmark yang tetap berdiri kokoh hingga saat ini karena dibangun menggunakan semen berkualitas dari SIG antara lain; Masjid Istiqlal, Monumen Nasional (Monas), Gedung MPR dan DPR, dan Jembatan Semanggi menjadi bukti atas kualitas dan mutu produk SIG, yang siap mendukung ketahanan konstruksi bangunan dan infrastruktur dalam jangka panjang,” ujar Vita Mahreyni.

    (rrd/rir)

  • Menteri Agama Bakal Dirikan Pesantren Internasional, Santrinya Belajar Kitab Putih Berbahasa Inggris – Halaman all

    Menteri Agama Bakal Dirikan Pesantren Internasional, Santrinya Belajar Kitab Putih Berbahasa Inggris – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Agama berencana mendirikan pondok pesantren internasional di Indonesia.

    Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan pondok pesantren ini akan berkonsep modern.

    “Nah kita akan mengembangkan sistem pondok pesantren, dan dalam waktu dekat ini juga kita akan membuat pondok pesantren internasional. Kita sudah siapkan segalanya,” kata Nasaruddin pada konferensi pers Asta Protas Kementerian Agama 2024-2025 di Kantor Kemenag, Jakarta, Kamis (6/3/2025).

    Nasaruddin mengungkapkan selama ini masih ada kesan kumuh terhadap pondok pesantren.

    Sehingga, Nasaruddin mengatakan Kemenag harus melakukan intervensi untuk memodernisasi pondok pesantren.

    “Kalau selama ini ada pesantren yang sangat kumuh, maka Kementerian Negama adalah menjadi bertanggung jawab untuk menciptakan modernisasi pondok pesantren,” ungkapnya.

    Konsep pesantren internasional ini, kata Nasaruddin, tidak hanya belajar kitab kuning berbahasa Arab.

    Namun, juga buku berbahasa Inggris yang dalam istilah Nasaruddin, adalah kitab putih.

    “Tidak hanya bisa membaca kitab kuning dalam pengetahuan bahasa Arab, tapi juga harus membaca kitab putih, bahasa Inggris,” kata Nasaruddin.

    Dirinya mencontohkan kader ulama yang dilaksanakan oleh Masjid Istiqlal.

    Kader ulama di Masjid Istiqlal, kata Nasaruddin, berbasis program master. Para kader ulama mendapatkan kuliah satu semester di Amerika, dan satu semester di Al-Azhar, Kairo, Mesir.

  • Masjid Istiqlal Gandeng Le Minerale untuk Berbagi Kebaikan di Ramadan

    Masjid Istiqlal Gandeng Le Minerale untuk Berbagi Kebaikan di Ramadan

    Jakarta: Ramadan selalu menjadi momen istimewa untuk menebar kebaikan. Tahun ini, Masjid Istiqlal kembali memperkuat kolaborasinya dengan Le Minerale, mitra jangka panjang yang mendukung berbagai program sosial dan keagamaan.

    Kemitraan ini tidak hanya menyediakan kebutuhan berbuka puasa, tetapi juga menghadirkan berbagai inisiatif yang memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat sekitar.

    Beberapa inisiatif yang telah berjalan antara lain pemberian umrah gratis bagi marbot, beasiswa pendidikan bagi anak-anak marbot berprestasi, renovasi area kuliner, serta program Jumat Berkah bagi masyarakat yang membutuhkan, serta pelaksanaan buka puasa bersama di Masjid Istiqlal.

    Setiap harinya, ribuan jamaah menikmati sajian berbuka yang difasilitasi oleh masjid, dengan Le Minerale berkontribusi menyediakan 3 ribu – 5 ribu botol air mineral serta 8 rib paket berbuka puasa.

    Direktur Utama Istiqlal Global Fund Masjid Istiqlal, Ahsanul Haq, menegaskan kerja sama dengan Le Minerale sejalan dengan visi masjid dalam menebarkan manfaat bagi umat.

    “Kami sangat mengapresiasi Le Minerale yang mendukung berbagai kegiatan di Masjid Istiqlal. Selain memiliki kualitas terbaik, Le Minerale adalah produk asli Indonesia yang memiliki visi sejalan dalam memberikan kebaikan kepada masyarakat,” ujar Ahsanul.

    Kolaborasi jangka panjang dengan pihak swasta diharapkan semakin memperkuat kepedulian sosial dan mendorong masyarakat untuk mendukung produk-produk nasional yang berkualitas.

    “Kami merasa bangga dapat menjadi bagian dari perjalanan spiritual jamaah serta mendukung berbagai program yang berdampak langsung pada kesejahteraan umat,” kata Head of Public Relations and Digital Le Minerale, Yuna Eka Kristina.

    Masjid Istiqlal berharap dapat terus menjadi inspirasi bagi masjid-masjid lain untuk tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat.

    Jakarta: Ramadan selalu menjadi momen istimewa untuk menebar kebaikan. Tahun ini, Masjid Istiqlal kembali memperkuat kolaborasinya dengan Le Minerale, mitra jangka panjang yang mendukung berbagai program sosial dan keagamaan.
     
    Kemitraan ini tidak hanya menyediakan kebutuhan berbuka puasa, tetapi juga menghadirkan berbagai inisiatif yang memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat sekitar.
     
    Beberapa inisiatif yang telah berjalan antara lain pemberian umrah gratis bagi marbot, beasiswa pendidikan bagi anak-anak marbot berprestasi, renovasi area kuliner, serta program Jumat Berkah bagi masyarakat yang membutuhkan, serta pelaksanaan buka puasa bersama di Masjid Istiqlal.

    Setiap harinya, ribuan jamaah menikmati sajian berbuka yang difasilitasi oleh masjid, dengan Le Minerale berkontribusi menyediakan 3 ribu – 5 ribu botol air mineral serta 8 rib paket berbuka puasa.
     
    Direktur Utama Istiqlal Global Fund Masjid Istiqlal, Ahsanul Haq, menegaskan kerja sama dengan Le Minerale sejalan dengan visi masjid dalam menebarkan manfaat bagi umat.
     
    “Kami sangat mengapresiasi Le Minerale yang mendukung berbagai kegiatan di Masjid Istiqlal. Selain memiliki kualitas terbaik, Le Minerale adalah produk asli Indonesia yang memiliki visi sejalan dalam memberikan kebaikan kepada masyarakat,” ujar Ahsanul.
     
    Kolaborasi jangka panjang dengan pihak swasta diharapkan semakin memperkuat kepedulian sosial dan mendorong masyarakat untuk mendukung produk-produk nasional yang berkualitas.
     
    “Kami merasa bangga dapat menjadi bagian dari perjalanan spiritual jamaah serta mendukung berbagai program yang berdampak langsung pada kesejahteraan umat,” kata Head of Public Relations and Digital Le Minerale, Yuna Eka Kristina.
     
    Masjid Istiqlal berharap dapat terus menjadi inspirasi bagi masjid-masjid lain untuk tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (FZN)

  • Jadikan Ramadan Lebih Bermakna

    Jadikan Ramadan Lebih Bermakna

    Ramadan merupakan momen yang paling ditunggu umat  Islam di dunia. Bulan ini memiliki keunggulan dibandingkan bulan-bulan lain.

    Umat Islam di dunia mempunyai tradisi berbeda-beda untuk menyambut bulan yang sangat mulia ini. Umat muslim Mesir memasang hiasan di sepanjang jalan. Hiasan yang terbuat dari plastik kaca dikreasikan sedemikian rupa sehingga jalanan terlihat berkelip-kelip dari pantulan kertas tersebut. Mereka juga menjual lampu-lampu vanus yang diukir dengan cantik pada kotak penutupnya.

    Di Indonesia, umat Islam biasanya menggelar acara makan-makan bersama keluarga atau orang sekitar. Fenomena ini menjadi berkah bagi para pedagang karena konsumsi masyarakat meningkat signifikan pada bulan ini.  

    Bulan yang penuh berkah ini bisa lebih bermakna bagi umat muslim dengan menjalankan sejumlah tip. Tip ini diharapkan bisa membuat umat muslim memperoleh keberkahan dan sebagai wasilah menjadi hamba yang ingin meraih rida dari  Allah Swt. Berikut lima tip agar Ramadan tahun ini menjadi lebih bermakna.

    1. Membuat to do list harian 

    Allah Swt telah memuliakan manusia dari seluruh ciptaan-Nya. Allah Swt menganugerahkan manusia akal, sehingga bisa membedakan mana yang benar dan salah.  Sedangkan hewan hanya diberikan insting, sebagaimana yang terdapat  dalam surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi:

    وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ

    wa laqad karramnâ banî âdama wa ḫamalnâhum fil-barri wal-baḫri wa razaqnâhum minath-thayyibâti wa fadldlalnâhum ‘alâ katsîrim mim man khalaqnâ tafdlîlâ

    Meski diberi kelebihan tersebut, manusia tidak bisa lepas dari kelemahan. Salah satunya sifat pelupa. Oleh karena itu, perlu dicatat hal-hal yang  menjadi prioritas sehari-hari agar terhindar dari sifat lalai dan orang orang yang merugi karena tidak bisa mengatur jadwal. Salah satunya bisa dilakukan dengan membuat to do list.  Cara ini efektif bagi seseorang yang mempunyai jadwal padat di rumah atau di kantor. 

    2. Mempelajari skill baru 

    Ramadan memberi keuntungan dalam upaya meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari skill baru. Banyak hal yang bisa menunjang value seseorang dalam mencapai  kebahagian dunia dan akhirat.  

    Ramadan merupakan waktu yang efektif untuk belajar hal-hal baru. Ketika berpuasa, seseorang lebih fokus dan terhindar dari  distorsi.  Bahkan, ada sebagian kantor yang meliburkan karyawan lebih cepat, sehingga skill apa pun yang dipelajari akan lebih mudah  diserap. 

    Beberapa lembaga nonformal juga membuka kelas-kelas khusus selama Ramadan, seperti menghafal Al-Qur’an, kursus menjahit, memasak, kerajinan tangan, kelas kajian keislaman, dan  lain-lain. Kegiatan tersebut sangat bermanfaat, sekaligus meningkatkan  taraf hidup ke tingkat yang lebih baik dan mendapat  keberkahan dari Allah Swt.  

    3. Meningkatkan ketakwaan 

    Tidak bisa dimungkiri, Ramadan mempunyai kekhususan dibandingkan bulan-bulan lain. Salah satunya adalah puasa sebulan  penuh dan salat tarawih, serta yang paling ditunggu-tunggu adalah berburu malam Lailatulqadar yang lebih baik dari seribu bulan. Tidak salah apabila ada orang  yang rela begadang pada 10 hari terakhir untuk mendapatkan keberkahan pada malam Lailatulqadar sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Qadr ayat 1 sampai 5:

    اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰهُ فِىۡ لَيۡلَةِ الۡقَدۡرِ ۖ ۚ‏ ١

    وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا لَيۡلَةُ الۡقَدۡرِؕ‏ ٢

    لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ  ٣

    تَنَزَّلُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ وَالرُّوۡحُ فِيۡهَا بِاِذۡنِ رَبِّهِمۡ​ۚ مِّنۡ كُلِّ اَمۡرٍ ۛۙ‏ ٤

    سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِࣖ ٥

    4. Menebar kebaikan

    Banyak umat Islam menjadikan Ramadan sebagai ajang menebar kebaikan. Ada yang mewujudkannya dengan membagikan buka puasa  gratis, memberi sembako kepada orang-orang yang membutuhkan, dan lain lain. Intinya, apa pun yang dilakukan hanya untuk mencari keridaan  Allah Swt. 

    Di negara-negara, seperti Saudi Arabia dan Mesir, orang-orang yang kaya bekerja sama mengumpulkan dana dan  menyediakan buka puasa selama satu bulan penuh di sepanjang jalan dengan cuma-cuma. Bahkan, ketika stand dibuka, mereka berlomba-lomba mencari tamu agar singgah untuk menikmati bermacam-macam menu saat berbuka. 

    5. Menjalin silaturahmi lebih intens dengan keluarga 

    Hal lain yang bisa dilakukan selama Ramadan adalah menjalin silaturahmi dengan keluarga yang dekat dan jauh. Kegiatan yang bisa dilakukan, antara lain buka puasa  bersama, membangun usaha keluarga, membuat kajian di rumah , dan lain-lain. Anjuran untuk menjalin silaturahmi telah diajarkan Rasulullah SAW karena mempunyai banyak keuntungan sebagaimana hadis yang  berbunyi:

    عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

    “Dari Ibnu Syihab, dia berkata,’Telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  ‘Barang siapa ingin lapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi’,” (HR Bukhari)

    Dari hadis tersebut, silaturahmi bisa mendatangkan rezeki karena mempunyai banyak saudara. Allah Swt sangat membenci  hambanya yang memutuskan silaturahmi.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Masjid Istiqlal jadi destinasi ngabuburit masyarakat

    Masjid Istiqlal jadi destinasi ngabuburit masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat menjadi destinasi bagi masyarakat dari berbagai wilayah untuk ngabuburit atau menunggu waktu berbuka puasa Ramadhan 1446 Hijriah.

    Suasana berbuka puasa di masjid yang terletak di pusat kota Jakarta ini pun menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk berbagi kebersamaan.

    Kasim (54), misalnya, pria asal Bandung, Jawa Barat, pada Rabu mengungkapkan sengaja datang untuk bertemu saudara sekaligus melaksanakan ibadah tarawih dan berbuka puasa di masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut.

    “Istiqlal itu sangat strategis, di pusat kota, dekat stasiun, jadi mudah dijangkau. Tempatnya luas bisa nampung ribuan orang. Ditambah lagi, Istiqlal juga menyediakan takjil gratis yang pasti banyak peminatnya,” ujarnya.

    Antusiasme masyarakat juga terlihat dari penilaian Salamah (39) yang datang bersama anak-anaknya dari Pluit, Jakarta Utara. Bagi Salamah, Istiqlal menjadi pilihan utama untuk berbuka puasa karena ruangannya yang luas dan nyaman.

    “Walaupun ramai, tidak sesak. Anak-anak juga bisa leluasa keliling. Ditambah lagi di depannya ada bazar takjil sama jualan, makin lengkap deh,” kata Salamah yang hampir setiap minggu mengunjungi Istiqlal.

    Para pengunjung menunggu waktu berbuka (ngabuburit) di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (5/3/2025). ANTARA/Yamsyina Hawnan

    Masjid Istiqlal menyediakan takjil gratis bagi para pengunjung yang dibagikan setiap hari mulai pukul 17.15 WIB. Total takjil yang disediakan bisa mencapai sekitar 6.500 takjil per hari, tergantung antusiasme jamaah.

    “Kami membagikan takjil sekitar pukul 17.30 hingga 17.40. Jumlahnya setiap hari bervariasi, mulai dari 5.000 hingga 6.500 takjil, tergantung hari dan antusiasme jamaah,” kata Mulyadi, salah satu pengurus masjid tersebut.

    Ia menambahkan bahwa takjil yang dibagikan sebagian besar berasal dari sumbangan, termasuk bantuan dari Pemprov DKI Jakarta dan Panglima TNI Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang menyumbangkan 1.000 kotak takjil setiap hari.

    Menurut Mulyadi, antusiasme masyarakat tahun ini tidak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Ia pun menggarisbawahi kondisi masjid akan lebih padat pada akhir pekan karena lebih banyak jamaah yang datang untuk berbuka dan tarawih.

    “Jumlah jamaah setiap hari tetap banyak, bahkan lebih banyak di akhir pekan. Jumat sampai Minggu selalu lebih ramai karena banyak orang yang datang untuk berbuka di sini,” katanya.

    Pewarta: Ade irma Junida/Yamsyina Hawnan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • Fenomena Berburu Takjil: Tradisi, Sedekah Jalanan, dan Implikasinya

    Fenomena Berburu Takjil: Tradisi, Sedekah Jalanan, dan Implikasinya

    Takjil secara bahasa asalnya berasal dari bahasa Arab yang telah diserap kedalam bahasa Indonesia, sehingga telah membudaya dalam masyarakat Indonesia istilah “Berburu Takjil”, Takjil secara bahasa dari kata ‘ajjala-yu‘ajjilu-ta’jilan yang memiliki arti bersegera atau menyegerakan. 

    Kata Takjil ini Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti mempercepat untuk segera berbuka puasa. Istilah takjil diambil dari hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang berbunyi,”Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (ajala) berbuka.” 

    Dapat disimpulkan, arti takjil dalam Islam adalah perintah untuk menyegerakan berbuka puasa. Kata takjil ini sudah umum ditelinga masyarakat Indonesia dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk istilah berburu kuliner untuk berbuka puasa. Rasulullah SAW pun pernah bersabda tentang takjil ini, beliau bersabda:  

    عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يزال الناس بخير ماعَجَّلُوا الفطر (رواه البخاري)

    Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Orang-orang senantiasa akan selalu bersama dengan kebaikan, selama mereka masih menyegerakan buka puasa”

    Sebagai negara yang memiliki pemeluk agama Islam terbesar didunia, takjil ini merupakan salah satu cipratan dari banyaknya berkah bulan suci Ramadan untuk para penjual kuliner dan para pembeli yang menginginkan lezatnya kuliner tersebut. Berbicara tentang ritual dan tradisi takjil ini, dalam laporan De Atjehers, yang ditulis oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19. disebutkan bahwa masyarakat lokal Aceh telah mengadakan buka puasa yang disegerakan (takjil) di masjid secara beramai-ramai dengan bubur pedas. 

    Kue Bingka Kentang di pasar Ramadan Kota Palangka Raya. – (Beritasatu.com/Andre Faisal Rahman)

    Riwayat lain menyebutkan bahwa takjil menjadi salah satu sarana dakwah Wali Songo, yang menyebarkan Islam di Jawa sejak sekitar abad ke-15. Pada tahun 1950 di kota Yogyakarta tradisi takjil juga sudah dilakukan di masjid Kauman. Takjil berkembang disegala sudut diperkotaan dan pedesaan, dari penjual jajanan kecil sampai beranekaragam kuliner dan makanan berat yang berderet diantara pinggir jalan. Dari jajanan yang gurih sampai asinan dan manisan, dari berbagai minuman, buah-buahan dan berbagai resep makanan yang bermacam-macam dari berbagai daerah diIndonesia. 

    Fenomena takjil ini mendorong banyak masyarakat tanpa memandang Agama dan ras untuk saling mengikuti bagaimana rasanya “War Takjil” ditengah ramainya para penjual yang sedang mencari rizki. Tidak hanya umat muslim, tapi Non-Muslimpun dapat merasakan bagaimana keseruan berburu takjil diwaktu sore menjelang berbuka puasa. 

    Banyak komunitas dan grup-grup para pemuda bahkan banyak para mahasiswa yang berinisiatif untuk membagikan jajanan takjil dibulan Ramdan, komunitas tersebut berdiri berbaris sepanjang jalan dan membagikan takjilnya kepada para pengendara motor maupun mobil yang sedang berlalulintas melewati mereka. 

    Dengan senang hati dan bahagia para pengendara motor dan mobilpun menerima takjil yang diberikan kepada mereka. Hal demikian pula dirasakan para pemberi takjil. Takjil yang diberikan akan menjadi sedekah untuk para musafir dan pengendara jalan yang sedang menunaikan ibadah puasa. Dengan demikian akan menciptakan interaksi yang bagus antar kalangan masyarakat dan membentuk kerukunan dan rasa saling toleransi yang tinggi. Bahkan ada diantara pemeluk agama yang berbeda mengatakan “Agamamu agamamu, Takjilmu takjilku…”.

    Peristiwa yang demikian ini dapat menambah toleransi yang kuat diantara umat beragama bahkan bisa menghadirkan pengaruh yang positif dikalangan lapisan masyarakat serta menjadi alat persatuan dalam menjaga adat dan budaya masyarakat Indonesia. Suasana takjil dan fenomea-fenomenanya ini membawa implikasi terhadap masyarakat yang positif diantaranya:

    Takjil, yang semula hanya dipahami sebagai sekadar hidangan ringan untuk berbuka puasa pada bulan Ramadan, ternyata menyimpan narasi mendalam tentang perjalanan kebangsaan Indonesia. – (Freepik/Odua)1. Meningkatkan solidaritas sosial

    Manusia yang hidup berdampingan selalu akan membutuhkan satu sama yang lainnya dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Ritual keagamaan, gotong royong dalam bekerja hingga jual beli dan bahkan sampai pada hal-hal yang paling kecil. Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu satu kesatuan seperti halnya sebuah bangunan, yang menguatkan diantara satu dan lainnya”. Oleh sebab itu “Takjil” dapat juga dikategorikan sebagai bentuk solidaritas sosial antara mukmin yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, antara penjual dan pembeli sama saling menguatkan.

    2. Mendukung Ekonomi warga lokal

    Tentu saja penjual takjil akan terbantu dengan adanya aktivitas jualan takjil ini, dengan demikian aktivitas jual takjil ini membantu para penjual mendapatkan penghasilan tambahan selama bulan Ramadan. Bahkan dalam hal ini terdapat Hadits yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:

    مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    Artinya: “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Tirmidzi, No 807; Ibnu Majah, No 1746, sahih menurut Al-Albani)

    Makna dari hadits tersebut adalah menunjukkan keutamaan memberi makanan berbuka, yang dalam konteks takjil bisa berupa sedekah makanan kepada sesama. Oleh sebab itu, Dengan meningkatnya aktivitas berburu takjil dan berbagi makanan, ekonomi warga juga ikut bergerak. Begitu juga yang pernah disampaikan oleh

    Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, beliau menjelaskan: “Memberi makan kepada orang lain adalah bentuk kebaikan yang utama, karena mengandung unsur kepedulian terhadap sesama serta membantu orang lain untuk menjalankan ibadah dengan baik.”

    3. Membentuk kesadaran spiritual

    Takjil bukan hanya sekedar makanan pembuka puasa, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam dalam membentuk kesadaran keagamaan seorang Muslim. Imam Ibn Rajab dalam Latha’if al-Ma‘arif pernah menjelaskan bahwa “Puasa itu mengajarkan seseorang untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin, dan berbuka dengan sederhana adalah cara untuk mensyukuri nikmat Allah.”

    Dengan berbuka secukupnya dan tidak berlebihan, seseorang lebih merasakan makna ibadah puasa sebagai bentuk penyucian diri. Kesadaran akan nikmat yang diberikan Allah tumbuh lebih kuat, mendorong seseorang untuk lebih banyak bersedekah dan beribadah dengan khusyuk.

    Guna membantu para pemudik yang kesulitan mencari makanan takjil di jalur selatan Nagreg, Kabupaten Bandung, sejumlah awak media yang tergabung salam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Bandung membagikan ratusan paket makanan takjil, Senin, 8 April 2024. – (Beritasatu.com/Aep)4. Meningkatkan toleransi dan keharmonisan dalam beragama

    Tradisi berburu dan berbagi takjil selama Ramadan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan spiritual, tetapi juga memiliki peran penting dalam membangun toleransi dan keharmonisan antarumat beragama. Di banyak tempat misalnya, takjil tidak hanya dikonsumsi oleh Muslim, tetapi juga menjadi momen berbagi dengan tetangga atau teman yang berbeda keyakinan. Masyarakat yang majemuk sering mengadakan kegiatan berbagi takjil secara kolektif, melibatkan orang dari berbagai latar belakang agama, memperkuat rasa kebersamaan. Dengan memahami bahwa semua manusia adalah ciptaan Allah, sikap hormat dan kasih sayang kepada orang lain, termasuk non-Muslim, menjadi bagian dari ajaran Islam. Tradisi berbagi takjil dapat menjadi sarana memperkuat rasa persaudaraan universal tanpa melihat perbedaan agama.

    Demikianlah bahwa fenomena berburu takjil bukan sekadar tradisi musiman saat Ramadan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Tradisi ini memperkuat nilai-nilai kebersamaan, semangat berbagi, dan gotong royong, terutama melalui kegiatan sedekah jalanan yang banyak dilakukan. 

    Selain itu, pasar takjil turut menggerakkan perekonomian lokal dan membuka peluang usaha bagi masyarakat kecil. Namun, fenomena ini juga pasti membawa tantangan, seperti potensi kemacetan, peningkatan sampah plastik, dan konsumsi berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus menjaga esensi positif dari tradisi ini, sekaligus mengelola dampak negatifnya melalui edukasi dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Dengan demikian, berburu takjil dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya Ramadan yang tidak hanya menghidupkan semangat ibadah, tetapi juga memperkuat harmoni sosial dan kepedulian terhadap sesama.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ramadan Luaskan Kepedulian

    Ramadan Luaskan Kepedulian

    Ramadan menjadi momen yang paling dinanti seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Bulan yang penuh berkah ini hadir sebagai waktu istimewa yang dipenuhi dengan berbagai keutamaan dan limpahan kebaikan. Setiap detik mengandung peluang emas untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, baik melalui ibadah wajib maupun sunah. 

    Salah satu  keistimewaan terbesar pada bulan suci ini adalah dilipatgandakannya pahala bagi setiap amal  kebaikan yang dilakukan, sekecil apa pun amal tersebut. Keutamaan ini tecermin dalam sebuah hadis mulia yang diriwayatkan oleh Ummu Hani’ binti  Abi Thalib RA.

    قال رسول الله ﷺ: (إِنَّ أُمَّتِي لَمْ يَخِزُوْا مَا أَقَامُوا شَهْرَ رَمَضَانَ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ الله وَمَا خَزِيُهُمْ فِي إِضَاعَةِ شَهْرٍ رَمَضَانَ؟ قال: انْتِهَاكُ الْمَحَارِمِ فِيْهِ مِنْ زِنَا فِيْهِ أَوْ شَرِبَ فِيْهِ خَمْرًا لَعَنَهُ اللهُ وَمَنْ فِي السَّمَاوَاتِ إِلَى مِثْلِهِ مِنَ الْحَوْلِ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ رَمَضَانُ لَمْ تَبْقَى لَهُ عِنْدَ اللهِ حَسَنَةٌ يتقي بها النار فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ مَا لَا تُضَاعَفُ فِيْمَا سِوَاهُ وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ

    Artinya,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku tidak  akan terhina, selama mereka mendirikan bulan Ramadhan.’ Sahabat bertanya: ‘Wahai  Rasulullah, apa bentuk kehinaan mereka dalam menyia-nyiakan bulan Ramadan?’ Rasulullah menjawab, ‘Pelanggaran terhadap hal-hal yang haram pada bulan Ramadan, seperti zina atau minum khamar. Allah dan para malaikat melaknatnya hingga tahun  berikutnya. Jika ia meninggal sebelum bulan Ramadan berikutnya, maka ia tidak mempunyai kebaikan apa pun di sisi Allah yang bisa menyelamatkannya dari neraka. Oleh  sebab itu, berhati-hatilah terhadap bulan Ramadan, karena pahala kebaikan demikian  juga ganjaran kejelekan akan dilipat gandakan.” 

    Dari hadis ini dapat diambil pelajaran berharga bahwa setiap amal kebaikan yang  dilakukan pada Ramadan memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah Swt. Setiap  perbuatan baik, sekecil apa pun, jika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharap rida-Nya, akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.

    Ramadan adalah  bulan penuh rahmat, magfirah, dan pembebasan dari api neraka, sehingga menjadi  kesempatan emas bagi setiap muslim untuk memperbaiki diri dan memperbanyak amal  saleh.

    Namun, di balik keutamaan yang besar, perlu disadari bersama bahwa setiap amalan buruk yang dilakukan dalam Ramadan pun dapat mendatangkan dosa yang berlipat  ganda. Oleh karena itu, menjaga diri dari perbuatan yang dilarang menjadi hal yang sangat penting.

    Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, juga mengendalikan hawa nafsu, menjaga lisan, serta memperbaiki akhlak. Dengan demikian,  umat muslim dapat meraih keberkahan sejati dari bulan suci ini dan menjadikannya sebagai momentum untuk menjadi pribadi yang lebih baik. 

    Salah satu bentuk kebaikan yang paling dianjurkan adalah bersedekah dan berbagi kepada sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini selaras  dengan sabda Rasulullah SAW:

    أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فَيْ رَمَضَانَ 

    Artinya,”Rasulullah SAW pernah ditanya,’Sedekah apakah yang paling mulia?’ Beliau  menjawab,’Yaitu sedekah di bulan Ramadan’.” (HR Tirmidzi)

    Tak heran jika Ramadan menjadi bulan yang penuh dengan limpahan  keberkahan, karena pada bulan ini setiap orang berlomba-lomba meraih kebaikan dan  pahala yang berlipat ganda. Ramadan tidak hanya mengajarkan tentang ibadah secara  individual, juga menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial terhadap sesama. Sikap  peduli ini tampak jelas saat momen berbuka puasa maupun sahur. Satu sama lain  saling berbagi kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi.

    Salah satu bentuk kepedulian yang sangat dianjurkan adalah memberi hidangan berbuka kepada orang yang berpuasa. Rasulullah SAW menegaskan keutamaan ini dalam sabdanya:

    مَنْ فَطَرَ صَائِمًا كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّائِمِ لَا يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

    “Barang siapa memberi perbukaan (makanan atau minuman) kepada orang yang berpuasa,  maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa  mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR Ahmad)

    Hadis ini mengajarkan bahwa setiap kebaikan yang dilakukan pada Ramadan, sekecil apa pun, memiliki nilai yang luar biasa di sisi Allah Swt. Salah satu  contohnya adalah memberikan makanan untuk berbuka puasa. Tindakan sederhana ini tidak  hanya mempererat rasa persaudaraan di antara sesama muslim, juga menjadi jalan untuk meraih pahala besar yang setara dengan pahala orang yang berpuasa tanpa  mengurangi pahala mereka sedikit pun. Inilah salah satu wujud nyata Ramadan  menjadi momen untuk menumbuhkan kepedulian, memperkuat kebersamaan, dan  membangun solidaritas antarsesama.  

    Artinya, saat berpuasa dan membantu orang lain yang juga sedang berpuasa, umat muslim akan  mendapatkan dua kebaikan sekaligus. Pertama, kebaikan dari membantu sesama yang sedang menjalankan ibadah puasa yang menunjukkan rasa empati dan solidaritas. Kedua, pahala dari ibadah puasa yang dijanjikan Allah Swt sebagai balasan atas  ketaatan dan kesungguhan dalam menjalankan perintah-Nya.

    Ramadan mengajarkan umat muslim tentang makna kepedulian terhadap sesama, menumbuhkan rasa empati, dan mendorong untuk berbagi kebaikan. Setiap amal kebaikan  yang dilakukan akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt sebagai bentuk rahmat-Nya bagi hamba-hamba yang ikhlas mengerjakannya. Semoga umat muslim mampu memaksimalkan setiap kesempatan untuk berbuat baik selama Ramadan karena dapat  bertemu kembali dengan bulan suci ini adalah nikmat yang sangat besar dan patut disyukuri.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).