Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • Puasa Digital: Apakah Menatap Layar Berlebihan Bisa Membatalkan Puasa?

    Puasa Digital: Apakah Menatap Layar Berlebihan Bisa Membatalkan Puasa?

    Di era digital saat ini, penggunaan perangkat elektronik seperti ponsel, komputer, dan televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Saat bulan Ramadan tiba, banyak umat Muslim yang tetap menjalankan aktivitas digital mereka, baik untuk bekerja, belajar, maupun sekadar mencari hiburan. 

    Data dari Facebook Insights menunjukkan bahwa 1 dari 2 orang Indonesia menggunakan perangkat mobile untuk merencanakan aktivitas sosial selama Ramadan, dan 2 dari 3 orang menonton acara televisi melalui ponsel mereka selama bulan suci ini. Namun, seiring dengan semakin banyaknya waktu yang dihabiskan di depan layar, muncul pertanyaan, apakah menatap layar secara berlebihan dapat membatalkan puasa?  

    Artikel ini akan mengulas secara ilmiah dan populer mengenai pengaruh konsumsi digital terhadap kualitas puasa, batasan-batasan yang perlu diperhatikan, serta pandangan ulama mengenai keterkaitan antara aktivitas digital dan keabsahan ibadah puasa. 

    Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana aktivitas digital memengaruhi ibadah puasa, baik dari segi hukum Islam maupun dampak kesehatannya. Dengan pemahaman yang tepat, umat Muslim dapat menjalankan ibadah dengan lebih khusyuk tanpa terjebak dalam kebiasaan digital yang merugikan.

    Dalam Islam, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga perilaku, emosi, dan pikiran agar tetap dalam kondisi suci. Dengan berkembangnya teknologi, banyak aktivitas yang dahulu dilakukan secara langsung kini beralih ke ranah digital, termasuk ibadah seperti membaca Al-Qur’an secara online, mengikuti kajian virtual, dan berdiskusi agama melalui media sosial. 

    Namun, di sisi lain, konsumsi konten digital yang berlebihan, terutama yang mengarah pada hal negatif seperti tontonan tidak senonoh, ujaran kebencian, atau berita hoaks, dapat mengurangi pahala puasa bahkan berpotensi membatalkannya jika dilakukan secara sadar dan disengaja.

    Dari perspektif kesehatan, paparan layar yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan tidur, terutama jika dilakukan menjelang waktu istirahat. Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama, menyarankan untuk mengurangi waktu menatap layar guna memperbaiki kualitas tidur selama puasa. Kurangnya tidur dapat berdampak pada konsentrasi dan stamina, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan ibadah puasa dengan optimal. 

    Selain itu, penggunaan media sosial dan perangkat elektronik lainnya secara berlebihan dapat menjadi sumber distraksi yang mengganggu konsentrasi selama beribadah. Notifikasi yang terus-menerus dan godaan untuk berselancar di dunia maya dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama Ramadan, yaitu meningkatkan kesadaran spiritual dan koneksi dengan Allah. 

    Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk bijak dalam mengatur waktu penggunaan perangkat elektronik selama bulan Ramadan. Menetapkan batasan waktu untuk aktivitas digital dan memastikan bahwa konten yang dikonsumsi selaras dengan nilai-nilai spiritual dapat membantu menjaga kualitas puasa. Dengan demikian, teknologi dapat dimanfaatkan sebagai alat yang mendukung ibadah, bukan sebagai penghalang.

    Berikut adalah ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan penggunaan teknologi secara bijak selama puasa:

    1. Ayat Al-Qur’an

    a. QS. Al-Baqarah: 183

    “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

    Tafsir:
    Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan utama puasa adalah meningkatkan ketakwaan. Jika aktivitas digital yang berlebihan, seperti menonton konten yang tidak bermanfaat atau menghabiskan waktu dengan hal sia-sia, mengurangi ketakwaan seseorang, maka hal tersebut bertentangan dengan esensi puasa.

    b. QS. Al-Mu’minun: 1-3

    “Sungguh, beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.”

    Tafsir:
    Ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim seharusnya menghindari perbuatan sia-sia, termasuk konsumsi digital yang tidak memberikan manfaat selama bulan Ramadan. Jika seseorang menghabiskan waktu berjam-jam untuk hiburan yang melalaikan, ini bisa mengurangi pahala puasa.

    2. Hadis Nabi

    a. Hadis tentang Menjaga Lisan dan Perbuatan

    Rasulullah ﷺ bersabda:

    “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat dengannya, maka Allah tidak butuh pada ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari No. 1903)

    Penjelasan:
    Hadis ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perbuatan yang tidak baik, termasuk menyebarkan hoaks, menonton konten negatif, atau menggunakan media sosial untuk hal yang tidak bermanfaat.

    b. Hadis tentang Manfaat Diam

    Rasulullah ﷺ bersabda:

    “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari No. 6018, Muslim No. 47)

    Penjelasan:
    Hadis ini bisa diterapkan dalam penggunaan teknologi modern. Jika suatu konten atau percakapan digital tidak memberikan manfaat atau justru berisi hal yang merusak nilai puasa, lebih baik dihindari.

    Secara umum, seperti ponsel, komputer, dan televisi tidak termasuk dalam kategori yang membatalkan puasa, selama tidak melibatkan hal-hal yang secara syariat membatalkan ibadah tersebut. Berdasarkan fatwa dan pandangan ulama, ada beberapa aspek yang tetap perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkat digital saat berpuasa:

    1. Aktivitas Digital Tidak Membatalkan Puasa secara Langsung

    Mayoritas ulama sepakat bahwa menatap layar atau menggunakan media sosial tidak membatalkan puasa. Dalam kitab-kitab fikih klasik, hal-hal yang membatalkan puasa sudah dijelaskan secara jelas, yaitu:

    Makan dan minum dengan sengaja.Berhubungan suami istri di siang hari.Muntah dengan disengaja.Haid dan nifas bagi wanita.Mengeluarkan air mani akibat stimulasi langsung.Menggunakan obat yang masuk ke dalam tubuh melalui jalur tertentu (misalnya suntikan yang mengandung nutrisi).

    Karena aktivitas digital tidak termasuk dalam daftar tersebut, maka secara hukum fikih aktivitas ini tidak membatalkan puasa.

    2. Pengaruh Konten yang Dikonsumsi terhadap Pahala Puasa

    Meski tidak membatalkan puasa, aktivitas digital yang berlebihan dan tidak bermanfaat dapat mengurangi nilai dan pahala puasa. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa memiliki tingkatan, yaitu:

    Puasa awam: Hanya menahan diri dari makan dan minum.Puasa khusus: Menjaga anggota tubuh dari perbuatan maksiat, seperti menahan pandangan, perkataan, dan perbuatan yang buruk.Puasa khusus al-khusus: Menjaga hati dan pikiran dari hal-hal yang melalaikan dari Allah.

    Jika seseorang berpuasa tetapi tetap mengonsumsi konten yang tidak bermanfaat seperti gibah di media sosial, menonton video yang tidak pantas, atau bermain game tanpa batasan waktu, maka puasanya tetap sah tetapi nilai dan pahalanya bisa berkurang.

    Hadis Rasulullah ﷺ menguatkan hal ini:

    “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah No. 1690)

    3. Fatwa Ulama tentang Konsumsi Digital saat Puasa

    Beberapa lembaga fatwa dan ulama kontemporer telah mengeluarkan pandangan mengenai konsumsi digital saat berpuasa:

    Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi: Aktivitas digital seperti menonton televisi atau menggunakan media sosial tidak membatalkan puasa, tetapi dianjurkan untuk menghindari konten yang bertentangan dengan nilai Islam.Fatwa Dar al-Ifta Mesir: Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga akhlak dan perilaku. Oleh karena itu, aktivitas digital yang membawa dampak negatif pada ibadah seseorang dapat mengurangi pahala puasa.MUI (Majelis Ulama Indonesia): MUI menekankan bahwa penggunaan media digital harus selaras dengan tujuan puasa, yaitu meningkatkan ketakwaan. Jika aktivitas tersebut melalaikan dari ibadah, maka sebaiknya dikurangi.4. Solusi Bijak dalam Menggunakan Teknologi saat Puasa

    Para ulama menyarankan agar umat Muslim lebih selektif dalam menggunakan teknologi selama Ramadan, seperti:

    Membatasi waktu penggunaan gadget, terutama sebelum tidur agar tidak mengganggu pola istirahat.Memanfaatkan media digital untuk kebaikan, seperti mendengarkan kajian Islam, membaca Al-Qur’an digital, atau berdiskusi tentang ilmu agama.Menghindari konten yang sia-sia, seperti video yang mengandung maksiat atau ghibah di media sosial.Kesimpulan

    Dari ayat, hadis dan fatwa ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi selama Ramadan harus selaras dengan tujuan utama puasa, yaitu meningkatkan ketakwaan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Meskipun menatap layar dalam waktu lama tidak membatalkan puasa secara langsung, tetapi jika hal tersebut melalaikan dari ibadah dan nilai-nilai puasa, maka itu bisa mengurangi pahala dan manfaat spiritual yang seharusnya diperoleh selama Ramadan. 

    Dengan memahami konsep ini, umat Muslim dapat lebih bijak dalam mengatur waktu dan jenis konsumsi digital mereka agar ibadah puasa tetap bernilai optimal.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • ‘Mana Dalilnya?’, Antara Haus Ilmu dan Kesombongan Terselubung

    ‘Mana Dalilnya?’, Antara Haus Ilmu dan Kesombongan Terselubung

    Di era digital, kita sering menemukan perdebatan keagamaan di media sosial. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul dalam diskusi adalah “mana dalilnya?”. Sekilas, ini tampak sebagai ekspresi kecintaan terhadap ilmu dan keinginan untuk berpegang pada sumber yang jelas. Namun, dalam banyak kasus, pertanyaan ini justru menjadi cermin dari sikap sombong yang tidak disadari.

    Apakah setiap Muslim harus tahu dalil? Tentu. Tapi, apakah setiap Muslim harus menjadi mujtahid yang bisa menggali hukum sendiri dari Al-Qur’an dan hadis? Tidak. Ada jenjang dalam ilmu, dan ada adab dalam bertanya. Mempertanyakan dalil dengan nada meremehkan ulama atau menuntut penjelasan tanpa dasar ilmu yang cukup justru bisa menunjukkan sikap yang kurang tepat.

    Ketika Bertanya Menjadi Cermin Kesombongan

    Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tapi, ilmu agama bukan sekadar kumpulan dalil yang bisa dihafal dan dikutip dengan sesuka hati. Ia memiliki metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama sejak berabad-abad lalu.

    Ketika seseorang yang awam dari ilmu alat (nahwu shorof, ushul fiqh, qawa’idul fiqhiyyah, ilmu hadis, dan sebagainya) bertanya “mana dalilnya”, tanpa niat sungguh-sungguh untuk belajar, itu bisa menjadi tanda hilangnya husnudhon kepada ulama. Seolah-olah ulama berbicara tanpa dasar, atau seakan dirinya lebih berhak menentukan kebenaran hanya dengan satu atau dua kutipan dalil yang ia temukan di internet.

    Bertanya dengan nada menantang justru bisa menunjukkan kesombongan terselubung. Ia seperti pasien yang meminta dokter menjelaskan kandungan kimia pada obat, padahal tugasnya hanya mengonsumsi agar sembuh. Ilmu itu ada jenjangnya. Tidak semua harus menjadi koki untuk menikmati makanan yang lezat, sebagaimana tidak semua orang harus menjadi mujtahid untuk mengamalkan agama.

    Kapan Boleh Bertanya “Mana Dalilnya?”

    Bukan berarti pertanyaan “mana dalilnya?” selalu salah. Dalam konteks akademik, atau bagi mereka yang sedang mendalami ilmu agama, seperti di pesantren, terlebih saat bahtsul masail—bertanya tentang dalil adalah hal yang wajar, bahkan diperlukan. Namun, harus disampaikan dengan penuh adab, niat mencari ilmu, bukan sekadar membantah atau meremehkan.

    Apa itu Bahtsul Masail? Sebuah forum sakral di pondok pesantren untuk mendiskusikan hukum suatu kasus, tentunya dengan berlandaskan ‘ibarot (dasar) yang telah dirumuskan oleh para ulama. Itulah warisan berharga dari para ulama kita, yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan.

    Jika seseorang benar-benar ingin belajar, maka ia akan bertanya dengan penuh rendah hati, mencari penjelasan dari mereka yang berilmu, bukan sekadar mencari-cari dalil untuk memperkuat pendapatnya sendiri.

    Menjaga Tawadhu’ dalam Menuntut Ilmu

    Islam sangat menekankan adab dalam menuntut ilmu. Sebagaimana kata seorang penyair:

    العِلْمُ حَرَبٌ لِلْفَتَى المُتَعَالِي ، كَالسَّيْلِ حَرَبٌ لِلْمَكَانِ العَالِي

    Artinya: “Ilmu akan menghindar dari pemuda yang merasa dirinya tinggi. Seperti aliran air yang selalu menghindari tempat yang tinggi.” Artinya, semakin rendah hati seseorang, semakin banyak ilmu yang bisa ia dapatkan.

    Para ulama dan masyayikh kita tidak berbicara tanpa ilmu. Jika kita belum sampai pada maqam mereka, lebih baik kita berpegang pada prinsip sami’na wa atho’na, mendengar dan menaati dengan penuh hormat. Apakah itu termasuk feodalisme? Tidak. Silakan baca, sudah banyak tulisan yang membahasnya. Sebab, ilmu yang berkah bukan sekadar tentang dalil, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukannya dengan penuh tawadhu’.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
     

  • Masyaallah, Neurosains Ungkap Manfaat Sujud saat Salat bagi Otak

    Masyaallah, Neurosains Ungkap Manfaat Sujud saat Salat bagi Otak

    Jakarta

    Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan sederet manfaat sujud saat salat bagi kesehatan otak. Hal ini diutarakan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Prof Taruna Ikrar yang juga seorang peneliti bidang ilmu neurosains.

    Menurut Taruna, sujud saat salat menjadi sangat fundamental karena selain menjadi momen terdekat dengan Allah SWT sebagai penghambaan diri, tetapi sekaligus menjadi sarana mendapatkan ketenangan hati, juga kesehatan lahir dan batin.

    “Pada saat kita sujud posisi otak kita itu lebih rendah dari jantung, kita tahu jantung adalah pompa otomatis, yang dirangsang sistem parasimpatic, pada saat jantung berdetak, otomatis dia selalu memompakan diri. Pada saat-saat tertentu, kalau tidak pernah sujud, tentu ada area-area tertentu yang ada di kepala kita, tidak cukup, aliran darah ke situ,” terang Prof Taruna dalam ceramah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu (8/2/2025).

    “Oleh karena itu pada saat kita bersujud, posisi jantung lebih tinggi dari otak, manifestasinya tentu selain jantungnya menekan darah ke seluruh tubuh juga ke otak, kebutuhan saturasi oksigen kita lebih terpenuhi, ini dampak berikutnya bisa mencegah penyakit demensia, alzheimer, bisa tercegah dengan sujud,” lanjutnya.

    Perasaan tenang saat sujud juga secara ilmiah bisa didapat sewaktu salat saat jatuh sakit. Dalam posisi tersebut, terjadi proses keseimbangan neurotransmitter di tubuh.

    Hal ini disebutnya sudah diuji dalam sejumlah riset berbasis ilmiah maupun dengan keterlibatan pasien-pasien di rumah sakit.

    “Kita kan tidak mungkin selalu bahagia. Pasti ada saatnya orang bilang sedih takut dan cemas, oleh karena itu kalau dalam Al Qur’an ini tegas dengan beribadah hati kita jadi tentram, karena di situ ilmu neurosains menjelaskan saraf simpatik dan saraf parasimpatik alau dalam konteks pembuluh darah dia bagaimana kerjanya,” beber dia.

    “Marilah kita menjaga shalat, memperbanyak sujud, serta meningkatkan kekhusyukan dalam ibadah. Dengan begitu, kita akan memperoleh ketenangan, kesehatan, dan keberkahan dalam hidup,” pungkasnya.

    (naf/up)

  • Pengaruh Perilaku Sosial dalam Ramadan: Dari Konsumtif ke Produktif

    Pengaruh Perilaku Sosial dalam Ramadan: Dari Konsumtif ke Produktif

    Puasa disepakati memanglah sebuah upaya menahan diri dari makan dan minum, namun apakah sejatinya puasa hanya soal urusan perut untuk menahan lapar dan dahaga saja? Puasa memiliki keutamaan dan tujuan yang lebih besar dari sekedar menahan lapar  dan dahaga, yaitu mencapai ketakwaan sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat (183): 

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

    Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

    Oleh karena itu, menjalankan puasa di bulan Ramadan tidak sebatas menunaikan kewajiban, melainkan juga momentum perubahan perilaku sosial agar terbiasa produktif melalui peningkatan spiritualitas, pengendalian diri dan kepedulian sosial. 

    Namun realitanya, Ramadan sering kali diwarnai dengan perilaku konsumtif terutama dalam hal  makanan, belanja dan gaya hidup. Misalnya, makan berlebihan saat berbuka sebagai bentuk balas dendam setelah berpuasa seharian, berlomba-lomba membeli baju baru dan segala perlengkapan secara berlebihan menjelang hari raya, serta bermegah-megahan mengikuti tren yang justru bertentangan dengan spirit Ramadan. 

    Sikap-sikap  tersebut tentu mencemari esensi Ramadan yang seharusnya menjadi momentum  perubahan menuju produktivitas. Tentu, hal itu dibutuhkan kesadaran dari diri masing-masing dalam memahami makna “ibadah puasa” yang sebenarnya. 

    Puasa sebagai Latihan Ketakwaan dan Pengendalian Diri 

    Makna dari “لعل “sebagai tujuan puasa adalah الإعداد (persiapan) atau الهتيئة (pembentukan) yang artinya persiapan jiwa orang yang berpuasa untuk bertakwa kepada Allah. Kunci keberhasilan dari tujuan puasa ini adalah “kesadaran diri seorang muslim” yang sejatinya tergambarkan dengan bentuk amaliah puasanya. 

    Puasa merupakan  ibadah yang langsung diawasi oleh Allah, sehingga menjadi rahasia antara seorang  hamba dengan Tuhannya, di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat puasanya kecuali Allah. 

    Alhasil, ketika seseorang meninggalkan hawa nafsu dan kenikmatannya yang tersedia sepanjang waktu, semata-mata demi menaati perintah Allah dan tunduk kepada bimbingan agamanya selama sebulan penuh dalam setahun,  serta mengingat pada setiap godaan yang muncul, baik berupa makanan lezat, minuman segar yang dingin, buah-buahan yang ranum, dan sebagainya, maka andai bukan karena kesadaran akan pengawasan Allah, ia tidak akan mampu menahan diri dari  menikmatinya. 

    Niscaya, dengan kebiasaan ini akan tumbuh dalam jiwanya pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Taala. Inilah persiapan terbesar bagi jiwa dan pendidikan terbaik untuk membangun kesadaran akan pengawasan Allah (murâqabah) dan rasa  malu kepada-Nya. Sebab, seorang hamba yang mencapai tingkatan ini akan merasa malu jika terlihat oleh Allah dalam keadaan yang dilarang-Nya. 

    Kesadaran ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan iman kepada Allah Ta’ala dan penghayatan yang mendalam dalam pengagungan serta pemuliaan-Nya. Kesadaran akan pengawasan Allah ini adalah persiapan terbaik bagi jiwa untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Selain itu, sebagaimana ia mempersiapkan seseorang untuk kebahagiaan di akhirat, ia juga mempersiapkannya untuk kebahagiaan di dunia. [‘Alî Ahmad al-Jurjâwî: 1997, 136] 

    Puasa melatih jiwa seseorang untuk bertakwa kepada Allah dengan  meninggalkan syahwat alaminya yang halal dan mudah dilakukan. 

    Redaksi kalimat dalam surah al-Baqarah ayat (183) yaitu “تتقون كُلعل “menggunakan fi’l mudhâri’ yang mengindikasikan makna kata kerja hâl dan mustaqbal. Artinya, persiapan dan  pembentukan ketakwaan tersebut berlaku selama menjalankan puasa Ramadan dan juga  untuk kedepannya, dengan senantiasa terus berupaya meningkatkan ketakwaan pada  setiap waktu. 

    Dengan demikian, seseorang yang menjalankan puasa akan terlatih memiliki kemampuan meninggalkan syahwat yang diharamkan dan bersabar terhadapnya, sehingga menghindarinya menjadi lebih mudah karena telah terbiasa dan  terlatih. 

    Selain itu, puasa juga memperkuat dirinya dalam menjalankan tugas dan  kepentingan serta bersabar dalam menghadapinya. Alhasil, puasa dalam Islam bukanlah bertujuan untuk menyiksa diri, tetapi untuk mendidik dan menyucikan jiwa. 

    Puasa membantu memunculkan sifat murâqabah (kesadaran akan pengawasan  Allah) dan menjadikannya terkendali dan terjaga di dunia, serta mendatangkan kebahagiaan di akhirat. Orang yang memiliki kesadaran murâqabah tidak akan tenggelam dalam maksiat karena ia tidak akan lama berada dalam keadaan lalai dari  Allah dan jikalau lalai, maka ia akan segera sadar dan kembali bertaubat. 

    Puasa adalah pendidik terbaik bagi kemauan dan tekad seseorang sebagai kendali yang menahan hawa nafsu. Oleh karena itu, seorang yang berpuasa sepatutnya menjadi pribadi yang  merdeka, yang berbuat berdasarkan keyakinannya terhadap kebaikan, bukan menjadi  hamba bagi syahwat dan keinginannya. [Rasyîd Ridhâ: 1947, 145-146] 

    Dalam realitas  sosial, kesadaran ini tidak hanya berdampak pada hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, melainkan juga hubungan horizontal antara setiap individu dalam  mengontrol dirinya maupun saat berinteraksi sosial. 

    Mengendalikan Nafsu Konsumtif Menjadi Produktif 

    Manusia yang memiliki kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan akan terdorong secara alamiah untuk memenuhinya. Namun, sering kali kebutuhan bergelut dengan keinginan sehingga mendorong pada sikap berlebihan hingga berkembang menjadi gaya hidup konsumtif yang berorientasi pada kesenangan semata, tanpa produktivitas. 

    Sejatinya, puasa tidak hanya mengajarkan manusia untuk menahan  diri dari sesuatu yang haram saja, melainkan juga mengajarkan pengendalian diri dari sesuatu yang halal agar terhindar dari pola konsumtif yang berlebihan. Sesungguhnya, makanan yang halal tidaklah bahaya karena jenisnya, tetapi sering kali karena jumlahnya yang berlebihan sehingga menjadikan berbahaya bagi tubuh manusia. 

    Oleh karena itu,  puasa bertujuan untuk menguranginya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Saat berpuasa, seseorang belajar menyederhanakan kebutuhannya, membatasi asupan dan menyadari  bahwa ia bisa tetap bertahan dengan konsumsi yang lebih sedikit. [Abû Ahmad al Ghazâlî: 1996, 46-47] 

    Program puasa ini dapat mendidik lebih bijak dalam mengelola sumber daya, baik  dalam aspek finansial, waktu maupun energi. Alhasil, ketika seseorang berpuasa, ia secara alami mengatur ulang ritme hidupnya seperti menjaga pola makan yang lebih  terstruktur, menghindari perilaku boros waktu dan mengarahkan energi pada hal-hal  yang bermanfaat. 

    Dalam konteks ekonomi, Ramadan dapat menjadi ajang pembelajaran  bagi umat Islam untuk mengelola keuangan dengan lebih bijak. Namun realitanya, Ramadan menjadi momen pengeluaran rumah tangga yang cenderung meningkat  drastis. Oleh karena itu, munculnya kesadaran dapat membantu menciptakan pribadi yang lebih produktif, tidak terjebak budaya konsumtif dan lebih fokus pada kebermanfaatan jangka panjang seperti gerakan berbagi takjil ataupun sedekah lainnya, peningkatan produktivitas spiritual dan intelektual melalui program dakwah atau kajian lainnya, ekonomi berbasis syariah seperti persiapan zakat dan wakaf. 

    Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan manfaat puasa dalam  menundukkan musuh dan mengekang syahwatnya jika saat berbuka ia mengganti semua makanan yang ditinggalkannya sepanjang hari, bahkan melebihinya dengan aneka ragam makanan? Alhasil, hal ini akan menjadi kebiasaan buruk, di mana  makanan-makanan terbaik disimpan khusus untuk Ramadan, sehingga seseorang  makan dalam sebulan lebih banyak daripada beberapa bulan sebulannya. 

    Padahal, rahasia dan inti dari puasa adalah melemahkan kekuatan-kekuatan yang menjadi sarana setan dalam mengajak kepada keburukan. Hal ini hanya dapat dicapai dengan mengurangi makan, yaitu dengan makan sesuai porsi kebutuhan, bukan keinginan. Tidak hanya soal makanan, tetapi hal ini juga berlaku pada hal-hal lain agar tidak  dikonsumsi secara berlebihan seperti pakaian, aksesoris dan berbagai kesenangan dunia  lainnya. 

    Puasa menjadi rem (pengendali) agar tidak rakus dengan terbiasa hidup sebagai konsumtif secara berlebihan, bahkan menjadi pendorong untuk lebih produktif dalam beraktivitas. Oleh karenanya, salah satu adab puasa adalah tidak terlalu banyak tidur pada siang hari agar dapat merasakan rasa lapar dan haus, serta kelemahan fisik sehingga  menjadikan hati lebih jernih dan lebih ringan untuk menjalankan segala ibadah tanpa  rasa malas yang membebani akibat kondisi perut penuh dengan makanan. [Abû Ahmad  al-Ghazâlî: 1996, 47-48]

    *Penulis adalah mahasiswi Magister Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Puasa dalam Tasawuf

    Puasa dalam Tasawuf

    Puasa bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Lebih dari itu, puasa adalah perjalanan spiritual yang mengajarkan umat muslim tentang pengendalian diri, penyucian hati, dan kesadaran, akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Jika hanya dipandang sebagai rutinitas, puasa akan kehilangan maknanya. Namun, ketika dipahami  secara lebih mendalam, ia menjadi kunci untuk membangun ketakwaan sejati. 

    Allah berfirman dalam Al-Qur’an QS Al-Baqarah ayat 183:

    يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ‏ ١٨٣ 

    Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

    Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah mencapai ketakwaan (taqwa). Dalam tafsir Ibn Katsir, taqwa berarti menjaga diri dari segala bentuk dosa dan  mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Para sufi memahami bahwa ketakwaan bukan hanya menahan diri dari makanan dan minuman, juga menahan seluruh anggota  tubuh dari perbuatan dosa. 

    Pada era modern yang penuh distraksi dan segala hal bisa diakses dalam sekejap, manusia semakin sulit menemukan ketenangan batin. Media sosial, hiburan instan, dan budaya konsumtif menjebak manusia dalam kesenangan sesaat yang sering kali melalaikan esensi hidup. Puasa dalam tasawuf menawarkan solusi untuk kembali ke dalam diri, mendekatkan hati kepada Allah, dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang berlebihan. 

    Para sufi mengajarkan bahwa puasa bukan hanya tentang fisik, juga tentang jiwa. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin membagi puasa ke dalam tiga tingkatan. Pertama,  puasa umum yang hanya menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Kedua,  puasa yang lebih dalam, yaitu menjaga seluruh pancaindra dari perbuatan dosa: tidak asal  bicara, tidak sembarangan melihat, dan tidak menyakiti orang lain. Ketiga, puasa khusus, yakni seseorang berpuasa dari segala hal yang bisa melalaikan hati dari Allah. Ini adalah  tingkatan puasa para wali. Pikiran dan hati hanya terfokus kepada-Nya.

    Dalam kitab Tafsir al-Mawardi, dijelaskan bahwa ayat puasa dalam Al-Baqarah ayat 183  juga menunjukkan bahwa puasa adalah bentuk latihan diri untuk mencapai kebersihan hati.  Tafsir ini menekankan bahwa puasa tidak hanya berkaitan dengan kesabaran menahan lapar, juga kesabaran dalam menghadapi godaan duniawi. 

    Abu Talib al-Makki dalam kitab  Qut al-Qulub menjelaskan bahwa seseorang yang berpuasa dengan penuh kesadaran akan lebih  mudah mengendalikan emosinya dan mencapai derajat spiritual yang lebih tinggi.  Ketika seseorang menjalankan puasa pada level tertinggi, ia tidak lagi sekadar lapar  atau haus, melainkan merasakan kedamaian batin yang tak tergantikan. Puasa menjadi sarana  untuk mengikis ego, menundukkan nafsu, dan membuka hati terhadap cahaya ilahi. 

    Dalam hadis qudsi disebutkan:

    عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

    “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda,’Allah berfirman: setiap amal anak Adam dilipatgandakan menjadi sepuluh hingga tujuh ratus  kali lipat, kecuali puasa. Karena puasa itu milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR Bukhari & Muslim) 

    Selain itu, dalam kitab Risalah al-Qusyairiyyah, Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa  puasa sejati adalah puasa yang membebaskan hati dari segala keinginan selain Allah. Ia menekankan bahwa orang yang berpuasa tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, juga menahan diri dari segala sesuatu yang dapat mengganggu hubungan spiritualnya  dengan Allah. Dengan demikian, puasa menjadi jalan untuk mencapai derajat ihsan, yakni seseorang merasa seakan-akan melihat Allah dalam setiap perbuatannya. 

    Allah juga berfirman:

    اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ​ؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏ ١٨٤

    (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

    Menurut tafsir Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, ayat tersebut menunjukkan puasa  memiliki hikmah yang lebih luas daripada sekadar kewajiban. Ia adalah jalan menuju kesucian batin  dan kesadaran yang lebih tinggi akan kehadiran Allah dalam hidup umat muslim. 

    Dengan berpuasa, umat belajar jujur pada diri sendiri. Tidak ada yang mengawasi, tetapi tetap menahan diri karena  sadar bahwa Allah Maha-Melihat. Hidup ini tidak hanya tentang memenuhi  keinginan sesaat, tetapi tentang bagaimana mengendalikan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Puasa juga mengajarkan manusia lebih peka terhadap lingkungan, merasakan penderitaan  mereka yang kurang beruntung, serta menumbuhkan empati dan kasih sayang. 

    Puasa dalam tasawuf adalah jalan menuju kebebasan sejati. Kebebasan dari belenggu  ego, dari ketergantungan duniawi, dan dari godaan-godaan yang melemahkan jiwa. Ia adalah revolusi batin yang memungkinkan manusia melihat dunia dengan lebih jernih dan memahami bahwa  kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang dimiliki, tetapi pada sejauh mana dekat dengan Allah. 

    Pada zaman sekarang, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan manusia semakin sibuk dengan urusan dunia. Puasa bisa menjadi momentum untuk kembali menata diri. Bukan hanya  menahan lapar, juga menahan amarah, kesombongan, dan segala sesuatu yang menjauhkan diri dari Allah. Puasa adalah ibadah yang mampu menyadarkan manusia bahwa hidup bukan  hanya tentang dunia, juga mengenai perjalanan menuju keabadian. 

    Mari jadikan puasa sebagai lebih dari sekadar ritual, yakni sebagai pengalaman transformasi diri. Sejatinya, puasa yang paling bermakna bukan hanya tentang apa yang  tidak dilakukan, tetapi tentang bagaimana menjadi lebih baik setelahnya. 

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Mengenal Masjid Saka Tunggal, Masjid Bersejarah untuk Wisata Religi

    Mengenal Masjid Saka Tunggal, Masjid Bersejarah untuk Wisata Religi

    Liputan6.com, Bandung – Memasuki bulan suci Ramadan, banyak orang tidak hanya melaksanakan ibadah puasa tetapi juga kegiatan yang positif. Adapun ketika berlibur tidak jarang orang-orang memutuskan untuk melakukan wisata religi.

    Sebagai informasi, wisata religi merupakan perjalanan yang tidak hanya memberikan pengalaman spiritual tetapi juga menambah wawasan budaya dan sejarah. Wisata religi bisa berupa mengunjungi tempat ibadah bersejarah seperti masjid, gereja, atau pura.

    Tempat-tempat ibadah tersebut biasanya menyimpan edukasi seperti telah berdiri sejak ratusan tahun lalu dan dapat memberikan inspirasi dan ketenangan bagi para wisatawan yang mendatanginya.

    Selain itu, wisata religi juga menjadi sarana untuk memahami nilai-nilai kehidupan serta meningkatkan rasa syukur dan kedekatan dengan Tuhan. Kemudian salah satu manfaat utama dari wisata religi adalah mengenali sejarah dan keunikan arsitektur bangunan ibadah.

    Saat ini banyak masjid bersejarah di dunia yang tentunya memiliki nilai seni dan budaya tinggi seperti Masjid Istiqlal di Jakarta, Masjid Sultan di Singapura, hingga Masjid Alhambra di Spanyol.

    Masjid-masjid tersebut biasanya menyimpan keindahan dari ornamen, ukiran kaligrafi, serta gaya arsitektur yang khas mencerminkan perkembangan peradaban Islam di berbagai zaman dan wilayah.

    Selain memperkaya wawasan sejarah dan budaya wisata religi juga dapat meningkatkan rasa toleransi antarumat beragama. Adapun di Indonesia ada salah satu tempat wisata religi yang bersejarah yaitu Masjid Saka Tunggal di Banyumas.

  • Atasi Burnout saat Ramadan: Cara Imbangkan Ibadah dan Produktivitas

    Atasi Burnout saat Ramadan: Cara Imbangkan Ibadah dan Produktivitas

    Bulan Ramadan adalah waktu yang penuh berkah, di mana umat Muslim meningkatkan ibadah mereka sekaligus tetap menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun, bagi sebagian orang, kombinasi antara kewajiban ibadah dan tuntutan pekerjaan dapat menyebabkan kelelahan atau burnout. 

    Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental akibat tekanan yang berkepanjangan. Dalam konteks Ramadan, burnout dapat muncul akibat kurangnya manajemen waktu, kurang tidur, serta tekanan untuk tetap produktif di tengah perubahan pola makan dan aktivitas. Artikel ini akan membahas cara mengatasi burnout saat Ramadan dengan menyeimbangkan ibadah dan produktivitas berdasarkan ajaran Islam, ayat Al-Qur’an, dan hadis.

    1. Memahami Konsep Keseimbangan dalam Islam

    Islam menekankan keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan kehidupan pribadi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

    وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

    Artinya : ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qasas: 77)

    Ayat ini menegaskan bahwa umat Muslim perlu menjaga keseimbangan antara ibadah dan kehidupan duniawi agar tidak mengalami kelelahan yang berlebihan.

    2. Manajemen Waktu yang Efektif

    Manajemen waktu yang baik sangat penting untuk menghindari burnout. Rasulullah ﷺ bersabda:

    إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

    Artinya: ”Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini mengajarkan pentingnya tidak memforsir diri secara berlebihan. Beberapa tips dalam mengatur waktu selama Ramadan: Prioritaskan ibadah wajib, seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.

    Gunakan teknik manajemen waktu, seperti metode Pomodoro (bekerja selama 25 menit, lalu istirahat 5 menit) untuk meningkatkan fokus. Atur jadwal tidur yang cukup, idealnya 6-7 jam per hari agar tubuh tetap bugar.

    3. Pola Makan Sehat untuk Menjaga Energi

    Pola makan yang baik selama sahur dan berbuka sangat mempengaruhi energi dan produktivitas. Rasulullah SAW bersabda:

    تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

    Artinya: ”Makan sahurlah, karena dalam sahur terdapat keberkahan.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Beberapa tips pola makan sehat: Sahur dengan makanan bergizi, seperti karbohidrat kompleks (oatmeal, roti gandum), protein (telur, ayam), dan lemak sehat (alpukat, kacang-kacangan). Hindari makanan berminyak dan manis berlebihan saat berbuka untuk menghindari rasa lemas. Minum air yang cukup (minimal 8 gelas sehari) agar tubuh tetap terhidrasi.

    4. Mengatur Beban Kerja agar Tidak Berlebihan

    Dalam bekerja selama Ramadan, penting untuk mengatur ritme kerja agar tidak menyebabkan kelelahan berlebihan. Islam mengajarkan pentingnya bekerja dengan niat yang baik. Rasulullah SAW bersabda:

    إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

    Artinya: ”Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (sungguh-sungguh dan profesional).” (HR. Thabrani)

    Tips mengatur pekerjaan selama Ramadan:

    Kerjakan tugas paling sulit di pagi hari, ketika energi masih optimal setelah sahur.Kurangi aktivitas yang tidak perlu, seperti terlalu lama di media sosial.Buat daftar tugas harian agar pekerjaan lebih terstruktur dan tidak menumpuk.5. Menjaga Kesehatan Mental dan Emosi

    Burnout tidak hanya berdampak fisik tetapi juga mental. Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental sangat penting. Rasulullah ﷺ bersabda:

    لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

    Artinya: ”Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Beberapa cara menjaga kesehatan mental:

    Luangkan waktu untuk refleksi diri dengan memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur’an.Jangan ragu untuk beristirahat ketika merasa terlalu lelah.Bersedekah dan membantu orang lain, karena memberi dapat meningkatkan kebahagiaan dan ketenangan batin.6. Memanfaatkan Waktu untuk Ibadah Secara Efektif

    Salah satu penyebab burnout adalah perasaan kurangnya waktu untuk beribadah. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan waktu secara bijak. Allah berfirman:

    فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

    Artinya: ”Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.” (QS Al-Insyirah: 7-8)

    Beberapa cara efektif meningkatkan kualitas ibadah:

    Membaca Al-Qur’an setelah salat, bahkan hanya satu halaman per hari.Memperbanyak doa dan zikir, terutama setelah salat wajib dan sebelum tidur.Menghadiri kajian Islam online atau offline untuk meningkatkan pemahaman agama Kesimpulan

    Mengatasi burnout selama Ramadan memerlukan keseimbangan antara ibadah dan produktivitas. Islam mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qasas: 77. Dengan menerapkan manajemen waktu yang baik, pola makan sehat, pengaturan pekerjaan, serta menjaga kesehatan mental dan spiritual, seseorang dapat menjalani Ramadan dengan lebih optimal tanpa mengalami kelelahan berlebihan. 

    Ramadan seharusnya menjadi momen untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus tetap menjalankan tugas duniawi dengan bijak. Dengan strategi yang tepa, burnout dapat dihindari, dan Ramadan dapat menjadi bulan yang penuh berkah serta produktivitas.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Gibah Virtual dan Puasa Ramadan

    Gibah Virtual dan Puasa Ramadan

    Ramadan merupakan sarana yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan. Bulan ini merupakan hadiah besar yang dianugerahkan kepada umat muslim sebagai momen untuk memperbaiki kekurangan dan bertobat atas kesalahan, serta meningkatkan ketaatan kepada Sang Pencipta. Visi dari madrasah Ramadan telah ditegaskan oleh Allah Taala dalam QS Al-Baqarah ayat 183.

    Ketakwaan yang diharapkan dari puasa saat Ramadhan tidak hanya berdimensi spiritual. Lebih dari itu, puasa Ramadan menjadi sarana efektif untuk membentuk berbagai aspek ketakwaan, baik dalam hubungan langsung antara manusia dan Tuhan-Nya atau antara sesama manusia. Oleh karenanya, banyak dalil yang menjelaskan keutamaan puasa dan ibadah, seperti bangun untuk salat pada malam hari pada Ramadan. 

    Rasulullah ﷺ bersabda yang maknanya,”Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Hadis yang maknanya serupa sangat banyak. Misalnya, orang yang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan salat dijanjikan ampunan oleh Allah. Namun, tidak semua orang yang menjalankan ibadah puasa dan qiyamul lail mendapatkan pahala yang dijanjikan. 

    Rasulullah ﷺ mengingatkan dalam hadisnya,”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain sekadar begadang.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

    Perbandingan dalil-dalil di atas membuat seorang muslim merenung kembali tentang hakikat ibadah yang dilakukannya. Puasa seperti apakah yang akan mendapatkan ampunan dari Sang Pencipta? Hal apa sajakah yang dapat mengurangi, bahkan menghapus, pahala puasa? 

    Dari banyak dalil yang ada, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab utama hilangnya pahala puasa adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan diri dari segala hal yang dapat merusak pahala puasa semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Taala, sebagaimana makna dari hadis Nabi:

    “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa serta kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari nomor 1903)

    Hadis ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, juga dari perbuatan tercela, seperti gibah. Jika seseorang tetap melakukan gibah, puasanya kehilangan nilai dan pahalanya berkurang. 

    Secara hukum fikih, puasanya tetap sah, tetapi bisa jadi tidak ada pahalanya karena tidak mampu mengekang nafsu dari perbuatan buruk, termasuk gibah.

    Gibah diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan ijmak ulama. Banyak ulama yang menggolongkannya sebagai dosa besar. Allah Taala menyamakan perbuatan ini dengan memakan daging saudara sendiri yang telah mati, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat Al-Hujurat: 12.  

    Definisi gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang jika orang tersebut mengetahuinya, ia akan merasa tidak suka. Seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu gibah? Beliau bersabda,‘Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak sukai.’ Dikatakan,‘Bagaimana jika memang benar ada padanya apa yang aku katakan?’ Rasulullah menjawab,‘Jika memang benar ada padanya, berarti engkau telah menggunjingnya. Namun jika tidak ada padanya, berarti engkau telah memfitnahnya’.” (HR Muslim).

    Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan definisi gibah dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah:

    ومعنى الغيبة أن تذكر إنسانا بما يكرهه لو سمعه سواء ذكرته بلفظك، أو في كتابك أو رمزت أو أشرت إليه بعينك أو يديك أو رأسك

    “Hakikat gibah adalah menyebut orang lain dengan sesuatu yang tidak ia sukai jika sampai kepadanya, meskipun itu memang benar ada padanya, baik dengan lafaz (kalimat yang engkau ucapkan), tulisan, simbol, isyarat dengan mata, tangan, kepala, dan lain sebagainya.”

    Seiring perkembangan teknologi, gibah tidak hanya dilakukan secara lisan, juga melalui media sosial dan platform digital lainnya. Gibah virtual terjadi ketika seseorang menggunjing, mencela, atau menyebarkan keburukan orang lain, dalam bentuk tulisan, gambar, video, atau komentar di dunia maya. Sejumlah grup WhatsApp berubah menjadi tempat membicarakan aib orang lain. Di Facebook, gibah virtual dapat berbentuk status sindiran atau komentar yang membuka aib seseorang. Di Instagram, gibah bisa berupa postingan yang mengekspos keburukan seseorang disertai caption bernada ejekan.

    Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan bahwa gibah tidak hanya berlaku bagi orang yang berbicara, juga bagi orang yang mendengar tanpa menegur atau mengingkarinya. Bagi yang mendengar dan tidak mengingkari juga mendapatkan dosa seperti yang melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa mendengarkan gibah di grup WhatsApp, membaca komentar buruk di Facebook tanpa berusaha menegurnya, bahkan menyukai dan menyebarkan postingan yang mengandung gibah di Instagram, juga bisa termasuk perbuatan gibah yang dapat mengurangi atau menghapus pahala puasa.

    Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam gibah, di antaranya: rasa iri dan dengki, tidak senang melihat orang lain mendapatkan nikmat, mengikuti kebiasaan lingkungan dan teman-teman yang suka bergunjing, ingin menonjolkan kelebihan diri, dan lain sebagainya. Penyebab terbesarnya adalah merasa diri lebih baik dari orang yang digunjingnya. 

    Oleh karenanya, Ibnu Abbas berkata,”Jika engkau hendak mengingat atau menyebutkan aib orang lain, maka terlebih dahulu ingatlah aibmu sendiri.” (Syu’abul Iman, 9/110)

    Introspeksi diri sehingga tidak sempat melihat aib orang lain merupakan kunci agar tidak mudah terjerumus dalam gibah. Dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah ada beberapa cara untuk mengenali aib diri sendiri, di antaranya memiliki murabbi yang akan membantu untuk menunjukkan kekurangan agar bisa memperbaikinya, mendengarkan nasihat dari sahabat yang baik yang mau menunjukkan kesalahan, belajar dari kritik musuh meskipun menyakitkan, karena orang yang tidak suka akan selalu melihat kekurangan dari yang tidak disukainya, serta banyak bergaul dan mengamati perilaku orang lain.

    Marilah bijak dalam menggunakan media sosial dengan mengedepankan konsep tabayun sebelum membagikan informasi. Apa manfaatnya apabila dibagikan? Ubah topik jika dirasa mengandung unsur gibah dan apabila sulit dikendalikan, lebih baik keluar dari grup yang salah. 

    Kemudian, tidak menyukai, mengomentari, atau membagikan postingan yang mengandung celaan, fitnah, atau aib seseorang. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala yang dapat merusak pahala puasa, seperti gibah, dan menerima amal ibadah serta menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bertakwa.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

     

  • Menemukan Makna Ramadan: Refleksi Spiritual dan Sosial

    Menemukan Makna Ramadan: Refleksi Spiritual dan Sosial

    Bulan Ramadan merupakan momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain sebagai bulan ibadah, Ramadan juga menjadi kesempatan untuk memperkuat kesadaran spiritual dan mempererat solidaritas sosial. Puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, empati, dan kedisiplinan dalam menjalani kehidupan.

    Dalam bulan yang penuh berkah ini, umat Islam diajak untuk merenungi hakikat kehidupan dan memperbaiki diri melalui berbagai bentuk ibadah. Tidak hanya berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, menahan diri dari amarah, serta memperbanyak amalan kebaikan. 

    Ramadan menjadi ajang untuk meningkatkan kualitas spiritual dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui salat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Momentum ini juga mendorong setiap individu untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, baik melalui sikap saling memaafkan maupun dengan memperbanyak sedekah dan kepedulian sosial.

    Puasa sebagai Latihan Spiritual

    Puasa dalam Islam memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Dalam surah Al-Baqarah ayat (183), Allah Swt berfirman:

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

    Ayat ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga merupakan jalan menuju ketakwaan. Dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, seorang Muslim belajar untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran terhadap kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Puasa juga mengajarkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani perintah-Nya.

    Selain itu, puasa juga menjadi ajang untuk melatih diri dalam meningkatkan ibadah lainnya, seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, serta memperbanyak doa. Rasulullah SAW bersabda:

    “Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Hakim)

    Dengan demikian, Ramadan menjadi waktu yang tepat untuk memperbaiki kualitas ibadah serta menumbuhkan kebiasaan baik yang bisa dilanjutkan setelah bulan suci ini berakhir.

    Dimensi Sosial Ramadan

    Selain aspek spiritual, Ramadan juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya berbagi dengan sesama, terutama kepada mereka yang kurang mampu. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

    “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR. Bukhari & Muslim)

    Hadis ini mengajarkan bahwa berbagi makanan dan membantu sesama selama Ramadan memiliki nilai pahala yang besar. Kegiatan seperti sedekah, zakat fitrah, dan berbagi hidangan berbuka puasa adalah bagian dari semangat sosial yang diperkuat selama bulan ini. Melalui kebiasaan ini, umat Islam diajak untuk lebih peduli terhadap kondisi sosial di sekitarnya dan memperkuat rasa persaudaraan.

    Lebih dari sekadar berbagi makanan, Ramadan juga menjadi momen penting dalam mempererat hubungan sosial antar sesama umat Islam. Banyak kegiatan keagamaan seperti salat tarawih berjemaah, kajian keislaman, serta gotong royong dalam menyiapkan hidangan buka puasa bersama yang menjadi bentuk nyata dari ukhuwah Islamiyah. Semua ini membantu membangun rasa kebersamaan dan kepedulian dalam masyarakat.

    Ramadan sebagai Momentum Perubahan

    Ramadan juga menjadi momentum perubahan bagi individu dan masyarakat. Banyak orang menggunakan bulan ini untuk meningkatkan kebiasaan baik, seperti membaca Al-Qur’an, memperbanyak salat sunnah, dan menjauhi perbuatan buruk. Setelah Ramadan, kebiasaan-kebiasaan baik ini diharapkan terus berlanjut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

    Puasa juga dapat menjadi alat introspeksi diri. Dengan berpuasa, seseorang dapat merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan haus, yang dapat meningkatkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Kesadaran ini dapat memotivasi seseorang untuk lebih banyak berkontribusi dalam aksi sosial, baik dalam bentuk donasi, program sosial, maupun terlibat dalam kegiatan kemanusiaan lainnya.

    Dalam konteks sosial, Ramadan juga dapat menjadi momen rekonsiliasi dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Sikap saling memaafkan dan meningkatkan ukhuwah Islamiyah menjadi salah satu nilai utama yang dapat diperoleh dari pengalaman berpuasa. Dengan adanya peningkatan kesadaran spiritual dan sosial, diharapkan setelah Ramadan, nilai-nilai kebaikan yang telah dibangun dapat terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Ramadan dalam Perspektif Sejarah

    Sejak zaman Rasulullah SAW, bulan Ramadan telah menjadi momentum penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa besar terjadi di bulan ini, seperti turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an) serta kemenangan kaum Muslim dalam Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijriah. Kemenangan ini bukan sekadar kemenangan fisik, tetapi juga menunjukkan kekuatan iman dan ketaatan kaum Muslim dalam menghadapi ujian.

    Selain itu, dalam sejarah peradaban Islam, bulan Ramadan juga menjadi bulan bagi para ulama dan cendekiawan untuk meningkatkan intelektualitas dan spiritualitas mereka. Banyak karya besar Islam ditulis selama bulan ini, mengingat suasana yang lebih kondusif untuk mendekatkan diri kepada Allah serta meningkatkan kualitas ilmu dan pemahaman agama.

    Kesimpulan

    Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga waktu untuk meningkatkan kualitas diri baik dalam aspek spiritual maupun sosial. Puasa mengajarkan ketakwaan, kesabaran, dan kedisiplinan, sementara interaksi sosial selama Ramadhan menumbuhkan kepedulian dan solidaritas. Selain itu, Ramadan juga memiliki makna sejarah yang dalam, di mana banyak peristiwa besar dalam Islam terjadi di bulan ini.

    Dengan memahami makna mendalam dari bulan suci ini, seorang Muslim dapat menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk perbaikan diri dan kehidupan yang lebih bermakna. Setelah Ramadan berakhir, diharapkan nilai-nilai kebaikan yang telah ditanamkan tetap dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Semoga Ramadan kali ini membawa berkah dan perubahan positif bagi kita semua. Aamiin.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Wartawan, Profesi yang Paling Dimuliakan dalam Al-Qur’an

    Wartawan, Profesi yang Paling Dimuliakan dalam Al-Qur’an

    loading…

    Menag KH Nasaruddin Umar saat menyampaikan tausyiah saat buka puasa bersama Forum Pemimpin Redaksi (FP) dengan Bank Syariah Indonesia (BSI). Foto/SindoNews

    JAKARTA – Profesi wartawan , jurnalis atau pekerja media patut berbangga. Pasalnya, profesi yang berkaitan dengan media dan pemberitaan ini ternyata mendapat posisi yang sangat mulia dalam Al-Qur’an, yakni dalam Surat An-Naba’ Surat ke 78 yang diartikan sebagai Berita Besar.

    Penegasan ini disampaikan Menteri Agama (Menag) KH Nasaruddin Umar saat menyampaikan tausyiah menjelang buka puasa bersama Forum Pemimpin Redaksi (FP) dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) di Hotel Mulia, Jakarta, Jumat, 7 Maret 2025.

    “Tidak ada profesi yang begitu dimuliakan dalam Al-Qur’an selain wartawan, karena disebutkan sebagai nama surat yaitu Surat An-Naba’ yang artinya pemberitaan,” kata Menag.

    Karena itu, Menag yang juga pernah menjadi wartawan dan penulis di sejumlah media nasional ini mengaku senang dan bangga dengan profesi wartawan. Al-Qur’an juga menegaskan betapa pentingnya peranan wartawan dan media itu sebagai sarana penyampai informasi yang bisa dipercaya masyarakat.

    “Saya kira tidak ada profesi yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an selain An-Naba’,” kata Nasaruddin yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta ini.

    Buka puasa bersama bertajuk “Silaturahmi Ramadan FP Charity dan BSI” ini dihadiri para pemimpin redaksi media nasional dan jurnalis senior. Hadir pula Direktur Utama BSI Hery Gunardi serta seluruh jajaran direksi BSI.

    Nasaruddin berpesan kepada masyarakat agar berhati-hati mencerna informasi di media. Karena belakangan banyak sekali kabar berita yang disebarkan oleh media yang fasik, gemar menyebarkan kabar bohong dan tidak bertanggung jawab. “Jangan sampai media fasik ini mengalahkan media-media yang bertanggung jawab,” kata Menag.

    Faktanya, lanjut Menag, masyarakat Indonesia lebih gampang percaya berita yang disampaikan oleh media fasik itu. Daripada berita dari media-media yang bertanggung jawab yang dipimpin para pemimpin redaksi yang hadir di sini.

    Karena itu, Nasaruddin berpesan agar berita yang berasal dari media fasik wajib diklarifikasi dulu kebenarannya. Sedangkan media yang bertanggung jawab pemberitaan nya bisa dipercaya. Karena media arus utama ini selalu diikat oleh kode etik jurnalistik.

    “Jadi kita wajib hati-hati kalau mendapatkan berita dari media fasik yang seringkali kabar bohong atau bahkan sengaja membuat informasi yang merusak.”

    (cip)