Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • Nikmat dan Azab Kubur: Keyakinan atau Kenyataan?

    Nikmat dan Azab Kubur: Keyakinan atau Kenyataan?

    Kehidupan setelah kematian selalu menjadi misteri yang menimbulkan pertanyaan besar bagi setiap manusia. Banyak ajaran agama meyakini bahwa alam kubur bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kehidupan selanjutnya. Di sana, dikatakan ada yang merasakan ketenangan dan kebahagiaan, sementara yang lain menghadapi siksaan sebagai konsekuensi dari perbuatannya di dunia.

    Namun, benarkah nikmat dan azab kubur itu nyata? Ataukah itu sekadar keyakinan yang diwariskan dari generasi ke generasi? Berbagai dalil agama dan pengalaman spiritual sering dijadikan landasan untuk membuktikan keberadaan kehidupan setelah mati. Di sisi lain, ada pula yang mempertanyakan kebenaran konsep ini dari sudut pandang rasional dan ilmiah.

    Artikel ini akan membahas secara tentang konsep nikmat dan azab kubur, dengan dalil-dalil hadits Nabi yang kami rujuk melalui kitab Hujjah Ahlussunnah wa Jama’ah karya K.H. Ali Maksum. Apakah ini hanya kepercayaan yang tumbuh dari tradisi, atau ada bukti yang menguatkannya? Mari kita telusuri lebih dalam.

    Kiai Ali Maksum menjelaskan di dalam kitabnya, banyak diantara orang-orang yang mengingkari terhadap nikmat dan azab kubur yang mereka itu justru menisbatkan dirinya kepada agama Islam. Hal itu justru menunjukkan mereka atas kebodohan yang sangat hina dengan keberagamaan mereka. Sesungguhnya banyak Hadits Nabi dan Al-Qur’an yang berbicara tentang hal ini. 

    Allah berfirman dalam Surat Ghafir ayat 46: 

    اَلنَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّاۚ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُۗ اَدْخِلُوْٓا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَابِ 

    Artinya; “Neraka diperlihatkan kepada mereka (di alam barzakh) pada pagi dan petang. Pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan,) “Masukkanlah Fir‘aun dan kaumnya ke dalam sekeras-keras azab!”

    Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Nasai juga meriwayatkan dalam kitab haditsnya: 

    انَّ رَسُولَ اللَّهِ  خَرَجَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَسَمعَ صَوْتًا فَقَالَ يَهُودُ تُعَذِّبُ فِي قَبْرِهَا وَرَوَى النَّسَائِي وَمُسْلِمُ أَنَّهُ لَهُ قَالَ : لَوْلَا أَنْ تَدَا فَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهُ أَنْ يُسْمِعَكُمْ عَذَابَ الْقَبْرِ

    Dari dalil Al-Qur’an dan hadis di atas sangatlah jelas bahwa adanya siksa kubur bagi orang yang ketika hidup di dunianya tidak mempunyai perbekalan yang cukup untuk menghadapi alam kubur. Hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah mendengar seorang yahudi yang sedang disiksa dalam kuburnya. 

    Mengenai keaslian (tsiqah) atau kesahihan hadis ini, riwayat yang berasal dari  Imam Muslim dan Imam An-Nasa’i menunjukkan bahwa hadis ini memiliki derajat shahih, karena Imam Muslim adalah salah satu imam hadis paling terpercaya setelah Imam Bukhari. Oleh karena itu hadits ini sudah sangat cukup untuk menyatakan bahwa adanya nikmat dan siksa yang ada dalam kubur.

    Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim juga disebutkan bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW melewati 2 kuburan kemudian beliau bersabda: bahwa kedua ahli kubur ini sedang diazab, akan tetapi keduanya tidak diazab di hadapan manusia. Adapun salah satu diantara mereka diazab karena ia suka mengadu domba sedangkan yang lain diazab karea ia tidak tertutup ketika buang air kecil.

    Sebagai umat Islam, kita harus mengambil pelajaran dari sabda Rasulullah SAW ang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang dua penghuni kubur yang sedang diazab. Dalam hadis tersebut, Nabi SAW menjelaskan bahwa mereka diazab bukan karena dosa besar menurut pandangan manusia, tetapi karena kesalahan yang sering diremehkan: mengadu domba dan tidak menjaga kebersihan saat buang air kecil.

    Nikmat dan azab kubur merupakan bagian dari keyakinan dalam Islam yang telah disampaikan melalui dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. Meskipun keberadaannya tidak dapat disaksikan langsung oleh manusia di dunia, keyakinan ini menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

    Sebagai umat yang beriman, kita diajarkan untuk mempersiapkan kehidupan setelah kematian dengan memperbanyak amal shalih, menjaga lisan dan perbuatan, serta selalu memohon ampunan kepada Allah. Kesadaran akan adanya nikmat dan azab kubur seharusnya mendorong kita untuk lebih bertakwa dan menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab.

    Akhirnya, hanya Allah yang Maha Mengetahui hakikat kehidupan setelah kematian. Semoga kita termasuk dalam golongan yang mendapatkan nikmat kubur dan dihindarkan dari azab-Nya. Aamiin.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Izzuddin ibn Abdissalam tentang Tanggung Jawab Ulama terhadap Negara

    Izzuddin ibn Abdissalam tentang Tanggung Jawab Ulama terhadap Negara

    Izzuddin Ibn Abdissalam, yang juga dikenal sebagai Al-`Izz ibn `Abd Al-Salam (selanjutnya disebut Izzuddin) atau Sultan al-Ulama, merupakan tokoh terkemuka yang memiliki komitmen mendalam terhadap pendidikan dan ilmu Islam. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang begitu sederhana dan hampir tidak punya apa-apa. 

    Beruntungnya, Izzuddin tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan sangat mendukung perkembangan intelektual. Masa-masa awal kehidupannya ditandai dengan dedikasi yang luar biasa terhadap pembelajaran, terutama dalam memperdalam pemahaman fikih dan teologi Islam, yang kemudian menjadi landasan kuat bagi kontribusinya di kemudian hari. 

    Tumbuh dan berkembang di kota Damaskus pada masa kejayaan dinasti Ayyubiyah, beliau mendapatkan kesempatan yang sangat berharga untuk menimba ilmu dari berbagai ulama terkemuka pada zamannya. Para guru dan ulama yang membimbingnya ini tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk cara pandang dan metodologi berpikirnya, yang pada akhirnya sangat mempengaruhi dan memperkaya perkembangan intelektualnya secara mendalam.

    Kehidupan Izzuddin merupakan perjuangan panjang menyuarakan kebenaran, berdiri teguh di atas agama, menghadapi kebatilan, amar ma’ruf nahi munkar, yang membuat kehidupan Izzuddin ini senantiasa berkelindan dengan kesulitan, cobaan, dan ancaman yang terus menerus. Namun ia tidak berkompromi, dan tidak pula mundur, tetapi tetap teguh hingga ajal menjemputnya, sehingga ia pantas mendapatkan gelar Sultan Para Ulama.

    Adalah Ibn Daqiq al-‘Id, salah seorang murid utamanya yang menggelari Sang Guru dengan nama itu. Ia menggambarkan betapa legitimasi Izzuddin sebagai ulama di satu sisi, di saat yang sama sebagai penjaga reputasi Ulama pada masanya (as-Subki 1918, 8:209). Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.

    Kebesaran Izzuddin yang paling utama selain karya-karya dan murid-muridnya yang luar biasa, adalah reputasi Izzuddin dalam menjaga reputasi ilmu dan  keulamaan di hadapan penguasa (al-Wahibi 1982, 47). Awal persinggungan Izzuddin dengan penguasa ditandai dengan peristiwa saat ia menjadi hakim dan mufti agung di Damaskus.

    Adalah Al-Saleh Ismail al-Ayyubi, penguasa Damaskus, bersekutu dengan Tentara Salib untuk memerangi saudaranya, Najm al-Din Ayyub, penguasa Mesir. Di antara syarat-syarat persekutuan ini adalah bahwa ia akan memberikan kota Sidon dan Kastil Syaqif dan beberapa kota, mengizinkan mereka membeli senjata dari Damaskus, dan pergi bersama mereka dalam satu pasukan untuk menyerang Mesir (Zuhaili 1992, 171–72).

    Keputusan penguasa ini meresahkan sang mufti. Persekongkolan politik seperti ini menurut dia sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam agama. Ia marah. Ia gunakan otoritas keulamaanya untuk melindungi agama. Ia mengeluarkan fatwa untuk para pedagang di Damaskus bahwa menjual senjata kepada Tentara Salib tidak diperbolehkan karena barang siapa yang menjual senjata kepada mereka, maka ia tahu bahwa mereka akan mengarahkan senjata tersebut ke dada kaum Muslimin.

    Dalam khotbah Jumat yang biasanya ia mendoakan asing penguasa, kali ini ia gunakan untuk mengecam Salih Ismail karena persekutuannya dengan Tentara Salib, serta mengakhiri khotbah dengan mengatakan: “Ya Allah, tegakkanlah bagi bangsa ini sebuah tatanan lurus yang di dalamnya Engkau memperkuat kekasih-Mu dan mempermalukan musuh-Mu, dan di dalamnya kebaikan diperintahkan dan kejahatan dilarang.”

    Sang gubernur marah besar. Ia segera menurunkan sang syekh dari kedudukannya. Tak cukup. Izzuddin dipenjarakan. Namun, respon penduduk Damaskus membuat penguasa berpikir ulang. Akhirnya sang syekh dikeluarkan dari penjara, tapi ia tak lagi diizinkan naik mimbar.

    Sang Imam memutuskan untuk hijrah akhirnya. Ke Mesir.

    Izzuddin tiba di Mesir pada tahun 639 H, dengan seluruh ketenaran dan kedudukannya yang tinggi. Dia diterima dan dihormati oleh Sultan Mesir, Najm al-Din Ayyub, yang memberinya panggung pidato di Masjid Amr bin al-As dan menunjuknya sebagai hakim di Mesir. Ulama terhormat Mesir, Syekh Zaki al-Din al-Mandhari, memilih untuk menahan diri untuk tidak memberikan fatwa di hadapan Izzuddin sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap ilmunya.

    Di Mesir, masa itu berada dalam penguasa Mamluk. Kerajaan Mamluk adalah kerajaan yang didirikan oleh para budak yang memerintah di Mesir dan Suriah. Kerajaan ini juga dikenal sebagai Dinasti Mamluk atau Mamalik.

    Status budak inilah yang menjadi perhatian sang Imam. Dalam tradisi fikih Syafi’i, status budak mereka belumlah hilang karena mereka tidak pernah dimerdekakan ataupun memerdekakan diri. 

    Sehingga sehingga banyak persoalan administrasi pemerintahan maupun keagamaan yang bisa menjadi masalah karena status budak tersebut, di sisi lain sebagai penguasa. Sang imam menyarankan kepada para penguasa yang berstatus budak untuk memerdekakan dirinya sendiri dengan cara “membeli” dirinya sendiri lewat baitul mal.

    Tentu saja fatwa Izzuddin ini memicu perdebatan luar biasa panas di Mesir. Ia didesak untuk mencabut fatwa tersebut karena telah menimbulkan keresahan umum. Ia bergeming. Integritas keulamaanya betul-betul diuji di negeri tempat para penguasa telah menerima dirinya saat ia terusir ini. Problem ini sempat membuat dirinya sudah bersiap untuk meninggalkan Mesir kali ini.

    Beruntung, sang Raja mengerti akan visi sang Imam. Ia kemudian meminta Izzuddin untuk memimpin proses kemerdekaan status budak para penguasa Mamluk. Para pejabat serta penguasa di wilayah administrasi Mamluk kemudian membeli dirinya sendiri lewat baitul mal sehingga status budak mereka hilang, dan proses muamalah kembali berjalan seperti biasa.

    Keteguhan Izzuddin atas prinsip keulamaan adalah sebuah contoh yang luar biasa bagaimana Ilmu mampu menjadi panglima dalam menjalankan negara. Ilmu dengan seluruh institusinya, mulai ulama dan jemaahnya, aktivitas intelektual beserta kelembagaannya (sekolah, madrasah, kampus) adalah sebuah wilayah suci yang harus terbebas dari kepentingan-kepentingan lain yang mungkin menodainya. 

    Integritas keulamaan harus dijaga sekuat-kuatnya, semampu-mampunya. Pantang mundur apa pun risiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari itu, bahkan nyawa sekalipun. Seperti pesan Izzuddin kepada putranya

    أأبوك أقلّ من أن يُقتل في سبيل الله؟

    Artinya; “Apakah ayahmu lebih rendah (tidak layak) untuk terbunuh di jalan Allah?”

    Pertanyaan selanjutnya adalah, di manakah posisi  Institusi Keulamaan Indonesia di hadapan penguasa saat ini?

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Spiritualitas Ramadan di Era Digital: Antara Kesalehan dan Distraksi

    Spiritualitas Ramadan di Era Digital: Antara Kesalehan dan Distraksi

    Ramadan merupakan bulan suci yang penuh keberkahan, di mana umat Islam berusaha meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, di antaranya mempergunakan alat teknologi, kemajuan teknologi membawa banyak manfaat dalam kehidupan kita, termasuk dalam urusan ibadah. 

    Kini, kita bisa dengan mudah mengakses kajian keislaman, membaca Al-Qur’an secara digital, hingga mendapatkan pengingat salat melalui aplikasi. Namun, di sisi lain, era digital  juga menghadirkan tantangan yang tidak ringan. Media sosial, hiburan daring, dan arus informasi yang tiada henti sering kali mengalihkan perhatian kita dari tujuan utama Ramadan.  

    Betapa banyak waktu kita yang terbuang untuk sekadar menggulir layar ponsel, mengikuti tren di media sosial, atau menonton hiburan yang tidak bermanfaat. Padahal, bulan Ramadan adalah kesempatan bagi kita untuk menata kembali kehidupan spiritual kita, mengendalikan hawa nafsu, serta membiasakan diri dengan amalan-amalan yang mendekatkan  kita kepada Allah.  

    Allah جل جلاله berfirman dalam Al-Qur’an:  

    وَاَمَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهٗ جَزَاۤءً ࣙالْحُسْنٰىۚ وَسَنَقُوْلُ لَهٗ مِنْ اَمْرِنَا يُسْرًاۗ 

    “Adapun orang yang beriman dan beramal saleh mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (QS. Al-Kahfi: 88)  

    Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga bersabda:  

    مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

    “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) 

    Dari ayat dan hadis ini, kita dapat memahami bahwa menjaga kesalehan tidak hanya tentang memperbanyak ibadah, tetapi juga tentang menyaring aktivitas yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat.  

    Maka, bagaimana cara kita agar tetap fokus beribadah di bulan Ramadan tanpa teralihkan oleh distraksi digital?  

    Pertama, kita perlu menetapkan batasan dalam penggunaan teknologi. Gunakan media sosial secara bijak, dan manfaatkan teknologi hanya untuk hal-hal yang mendukung ibadah, seperti membaca Al-Qur’an digital atau mengikuti kajian keislaman.  

    Kedua, biasakan menghindari konten-konten yang tidak bermanfaat. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajarkan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri  dari perkataan sia-sia dan perbuatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah. Dengan hadis Rasulullah  صلى الله عليه وسلم :

    مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

    “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak  butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)  

    Dari hadis ini, jelas bahwa keberhasilan puasa tidak hanya diukur dari aspek fisik, tetapi juga dari pengendalian diri terhadap hal-hal yang sia-sia, termasuk distraksi digital. Dengan memahami hakikat puasa sebagai bentuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), seorang Muslim diharapkan mampu mengendalikan godaan digital yang bisa mengurangi esensi ibadah Ramadan. 

    Oleh karena itu, mari kita gunakan waktu di bulan Ramadan ini dengan lebih banyak membaca Al-Qur’an, berzikir, bersedekah, dan memperbanyak doa. Jangan sampai gadget kita  justru menjadi penghalang bagi kita untuk meraih pahala yang besar di bulan yang mulia ini.  

    Ketiga, jadikan Ramadan sebagai momentum untuk membentuk kebiasaan baru yang lebih baik. Setelah bulan suci ini berlalu, kita harus tetap mempertahankan pola hidup yang  lebih islami, termasuk dalam cara kita menggunakan teknologi. Kurangi ketergantungan pada media sosial, perbanyak interaksi langsung dengan keluarga dan lingkungan, serta teruslah menjaga ibadah agar tetap istikamah.  

    Era digital menghadirkan tantangan dan peluang bagi umat Islam dalam menjalani Ramadan. Sementara teknologi dapat menjadi alat yang memperkaya ibadah, ia juga bisa menjadi penghalang bagi kesalehan jika tidak dikelola dengan baik. 

    Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan strategi untuk tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan  fokus ibadah. Dengan cara ini, Ramadan dapat menjadi bulan yang benar-benar membawa  peningkatan spiritual tanpa teralihkan oleh distraksi digital. 

    Sebagai penutup, marilah kita jadikan Ramadan ini sebagai ajang refleksi dan  transformasi diri. Jangan biarkan teknologi menguasai waktu kita, tetapi gunakanlah ia sebagai alat untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian, kita dapat menjalani  Ramadan dengan penuh keberkahan, tanpa kehilangan esensi spiritual yang seharusnya kita  raih di bulan yang mulia ini.  

    Lebih dari itu, Ramadan bisa menjadi momentum bagi umat Islam untuk membentuk kebiasaan digital yang lebih sehat. Dengan mengendalikan konsumsi media sosial, menyaring informasi yang bermanfaat, serta menjadikan teknologi sebagai alat pendukung ibadah, umat Islam dapat menjadikan Ramadan sebagai bulan pembelajaran spiritual yang berdampak  jangka panjang dalam kehidupan sehari-hari. 

    Semoga Allah جل جلاله memberikan kita kekuatan untuk menjalani ibadah dengan khusyuk  dan menjadikan Ramadan sebagai momentum perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.  

    *Penulis adalah mahasiswa/i Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • WarTakjil Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam

    WarTakjil Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam

    Kata war dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan perang, berperang, peperangan. Istilah war dalam bahasa gaul sosial media di Indonesia sering diartikan dengan merebutkan sesuatu dalam transaksi online. Adapun takjil berasal dari Bahasa Arab akar kata dari ‘ajjala-yu’ajjilu-ta’jīlan yang berarti cepat-cepat, bergegas, mempercepat, mendesak, berlari, bersegera. 

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata takjil berarti mempercepat dalam berbuka puasa, atau makanan untuk berbuka puasa. Maka dari definisi tersebut war takjil dapat diartikan dengan merebutkan makanan ringan untuk berbuka puasa yang dilakukan ketika sore hari atau menjelang waktu Maghrib.

    Ketika bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi para pedagang untuk mengais keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berjualan beraneka macam jajanan. Mereka berdagang di pinggiran jalan, di pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Para pedagang war takjil biasanya menjual makanan minuman siap santap dan siap saji, seperti kolak, bubur, gorengan, es buah, es cendol, es campur dan lain-lain. 

    Target penjualan mereka seluruh kalangan status sosial, mulai dari para pejabat, budak corporate, hingga orang rumahan atau para ibu rumah tangga. Selain bagi seluruh kalangan status sosial, target market mereka pun tidak memandang ras, suku bahkan agama. Karena umumnya mereka menjual makanan dan minuman yang boleh atau halal dikonsumsi bagi agama apapun. 

    Sebagaimana yang telah digambarkan terkait target market serta makanan dan minuman yang dijual, maka orang-orang non-Islam pun sering ikut ngewar takjil ini meski tidak berpuasa. Sebab umumnya orang non-Islam pun suka mengonsumsi makanan yang halal karena lebih bersih dan highienis. 

    Terlebih lagi jam-jam di sore hari adalah waktu orang-orang selesai beraktivitas atau pulang dari kerja. Maka untuk mengobati rasa lelah dan laparnya ketika perjalanan pulang mereka membeli makanan ringan atau takjil untuk sekedar mengganjal perut. 

    Ribuan warga Kota Malang berwisata sembari berburu makanan tradisional untuk berbuka puasa di pasar takjil Kota Malang, Jawa Timur yang terletak di Jalan Surabaya, Minggu, 9 Maret 2025. – (Beritasatu.com/Didik Fibrianto)

    Walaupun dari segi penggunaan bahasa takjil ini dikhususkan untuk umat muslim yang sedang melakukan puasa Ramadan. Karena Negeri Indonesia mayoritas muslim, maka istilah war takjil sering digunakan untuk kalangan umum . 

    Tren war takjil ini ramai di sosial media jika dilakukan oleh non Islam dengan jokes mengucapkan kalimat syahadat atau login terlebih dahulu sebelum membeli makanan atau minuman ketika war takjil. Tidak jarang pula dari kalangan umat muslim sering kehabisan atau tidak kebagian makanan minuman war takjil untuk berbuka puasa.

    Meski demikian, tidak pantas jika umat Islam geram dengan umat non-Islam perihal makanan minuman war takjil yang kehabisan. Karena umumnya tiap-tiap manusia butuh asupan makanan untuk bertahan hidup. Dalam Islam pun tidak begitu detail menjelaskan terkait macam-macam jenis makanan untuk berbuka. 

    Islam hanya menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa jika di wilayah tersebut sudah masuk waktu Magrib, agar tidak menunda-nunda untuk berbuka puasa. Menyegerakan berbuka puasa dengan apa saja yang ada, namun dianjurkan atau disunnahkan dengan kurma atau yang manis-manis, jika tidak ada maka dengan air putih.  Jadi tidak ada ketentuan khusus terkait makanan atau minuman yang harus ada untuk takjil.

    Tren war takjil yang dilakukan oleh seluruh kalangan dan seluruh umat beragama ketika bulan Ramadhan adalah bentuk kerukunan antar umat beragama. Indonesia terkenal negeri yang harmonis, damai walau hidup berdampingan dengan bermacam-macam ras, suku dan agama. Selain bentuk kerukunan antar umat beragama, tren war takjil juga menjadi bentuk toleransi dan saling menghormati dalam momen Ramadhan.

    Hidup rukun antarumat beragama yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar budaya atau tradisi saja. Melainkan hal demikian memang sudah diatur dalam al-Qur`an untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat agama lain. Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Mumtaḥanah ayat 8. 

    لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

    Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

    Diriwayatkan bahwa Aḥmad bin Ḥanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari ‘Abdullāh bin Zubair, ia berkata, “Telah datang ke Medinah (dari Mekah) Qutailah binti ‘Abdul ‘Uzzā, bekas istri Abu Bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui putrinya Asmā’ binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asmā’ enggan menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya. 

    Kemudian Asmā’ mengutus seseorang kepada ‘Aisyah agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asmā’ menerima hadiah dan mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya.

    Kegiatan berbagi takjil gratis dan buka bersama di Kampus II Universitas Negeri Surabaya (Unesa). – (Beritasatu.com/Agung Dharma Putra)

    Allah tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong, dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak mengusir itu.

    Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.

    Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.

    Di Makkah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah, mereka pun dimusuhi oleh orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. 

    Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan. Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula. 

    Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak. Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Berislam dari Ritual hingga Intelektual: Bagaimana Puasa Membentuk Diri Seorang Muslim

    Berislam dari Ritual hingga Intelektual: Bagaimana Puasa Membentuk Diri Seorang Muslim

    Berislam pada tahap keempat atau rukun Islam keempat adalah puasa, dalam bahasa Arab yaitu saum. Puasa yakni menahan lapar dengan tidak makan dan minum dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Sedangkan di Indonesia umumnya dilakukan sebanyak 12 jam sehari selama bulan Ramadan, durasi waktu berpuasa pun berbeda-beda tiap belahan dunia lain, hal itu tergantung dengan perbedaan letak geografis yang memengaruhi.

    Jika ditelisik lebih jauh, ternyata amalan berlapar-lapar bukan hanya ajaran Islam saja. Tetapi juga ajaran umat terdahulu dan amalan beberapa bangsa-bangsa. Misalnya di dalam aliran Kejawen terdapat puasa mutih, artinya tidak makan kecuali hanya nasi putih. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa amalan puasa merupakan amalan umat-umat terdahulu:

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ 

    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu sekalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu, agar engkau sekalian bertakwa.” Surah Al-Baqarah ayat (183).

    Jika di-ta’bir-kan ayat tersebut kira-kira maksudnya, “Berpuasalah kalian wahai umat Muhammad SAW dan kerjakanlah perintah ini sebab umat terdahulu juga telah diperintahkan untuk berpuasa.”

    Bukti bahwasanya perintah puasa dijalani umat terdahulu terdapat dalam Al-Qur’an, tentang Nabi Adam AS yang diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi (QS Al-Baqarah: 35). Juga Nabi Musa As berpuasa dengan tidak makan dan minum selama 40 hari 40 malam pada saat menerima sepuluh Firman (The Ten Comamandments). Namun ternyata kaumnya tidak mau mengikutinya dan mengganti dengan puasa sehari dalam setahun, kemudian diganti 5 hari dalam setahun. Dalam perjanjian lama dijelaskan dalam Imamat 16:29, Maryam bunda Isa pun berpuasa hingga tidak bicara pada siapa pun, (QS Maryam: 26).

    Jika ditelusuri dari sejarah bangsa dan agama-agama terdahulu, bangsa Mesir kuno pun telah mempraktikkan amalan berpuasa selama 5.000 tahun. Begitu pula bangsa Romawi dan Yunani kuno sebelum Kristen biasa melakukan amalan puasa ketika akan menghadapi peperangan besar. Dengan harapan mereka akan mendapatkan perlindungan dari para dewa. 

    Bukan hanya itu, berpuasa atau berlapar-lapar menahan hawa nafsu adalah jalan menuju penyucian universal. Selain itu puasa juga sebagai pertahanan nafsu birahi yang efektif. Meskipun terdapat sedikit kesamaan dalam ritual berpuasa, namun perlu diingat ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidaklah meniru-niru ibadah umat terdahulu. 

    Hal yang betul, sebenarnya Islam datang menyempurnakan ibadah ini dengan memerintahkan puasa selama sebulan lamanya pada bulan suci Ramadan. Jadi ritual puasa dalam Islam bukan sekedar memenuhi syarat dan rukunnya saja yang hanya menahan lapar dan dahaga dari terbit hingga terbenamnya matahari.

    Puasa, pertama-tama harus disertai dengan keimanan. Artinya berpuasa bagi seorang muslim haruslah disertai dengan keimanan pada Allah dengan hati yang Ikhlas. Bukan untuk menguruskan badan, mengikuti tren, mencari kekuatan magis dan sebagainya. 

    Makna berpuasa dengan iman adalah berlapar-lapar sekaligus mengerjakan amalan-amalan layaknya orang yang beriman. Tanda orang beriman adalah orang yang menghindari perbuatan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar; orang beriman adalah orang yang menghormati tamunya, menjaga mulutnya, menjaga matanya, menahan hatinya, menjaga matanya, menjaga nafsu syahwatnya, menjaga telinganya dan seterusnya dari segala dosa. Jika tidak, maka puasanya tidak berguna.

    “Banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala kecuali lapar, dan banyak orang yang salat (malam) tidak mendapat pahalanya kecuali berjaga.”

    Jika salat adalah berkonsentrasi dan bermunajat pada sang Ilahi, maka puasa adalah pengosongan diri dari kecenderungan fisik manusia yang umumnya didominasi oleh nafsu hewani (nafsu al-ammarah bi as-su’). Maka dari itu, memberhentikan konsumsi makanan dan minumannya dalam sehari maka kekuatan fisiknya akan melemah dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani tersebut. 

    Maka Ketika jiwa hewani melemah makan jiwa yang tenang (nafsu al-muthmainnah) akan menguat dan dominan. Menurut teori imam Ghazali, Ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh nafsu hewani kemudian diganti dengan dominasi akalnya, maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.

    Selain untuk penyucian diri, puasa juga menjadi perisai dari godaan internal maupun eksternal manusia. Godaan internal maksudnya adalah godaan setan melalui syahwat manusia itu bisa menguat dengan makan dan minum, sedangkan alat untuk mengendalikannya adalah dengan berpuasa. 

    Dalam sebuah riwayat Nabi menyebutkan, “Keleluasaan setan dalam beroperasi pada manusia hanya bisa dipersempit dengan lapar,” (dalam Ihya’ulumuddin, 274). Sementara godaan eksternal adalah godaan dari musuh yang menyerang atau melukai kita. Dalam sebuah hadis disebutkan:

    “Sesungguhnya puasa itu perisai. Maka jika salah seorang dari kamu berpuasa, jangan berkata keji dan kasar. Kalau dia dicela atau hendak diperangi seseorang hendaklah ia berkata ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’.”

    Di balik kalimat sesungguhnya ‘aku sedang berpuasa’ tersimpan makna yang kuat. Yakni ‘jangan main-main dengan saya, sebab saya berpuasa’, atau boleh jadi terkandung sikap yang lembut ‘saya sedang berpuasa dan tidak mempunyai kekuatan seimbang dengan kalian, maka urungkanlah usaha kalian memerangi saya’.

    Maka dari beberapa uraian diatas, puasa secara tidak langsung sebuah pelatihan kepada jiwa atau hawa nafsu agar ia menjadi tenang. Tentunya seorang pemuda dengan memiliki ketenangan jiwa ia akan mampu membuat Keputusan-keputusan yang tidak terpengaruh oleh nafsu syahwatnya. 

    Begitu pula puasa, dalam diri manusia sedang melakukan pelatihan jiwa dan dalam Islam puasa adalah perintah dari Allah Swt kepada hambanya. Maka antar keduanya dapat dikaitkan benang merahnya, bahwasanya sesungguhnya Islam selalu menyeru kepada hambanya dalam hal kebaikan, baik terhadap diri sendiri maupun kepada sesama. 

    *Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Meningkatkan Spiritualitas Generasi Z Selama Ramadan

    Meningkatkan Spiritualitas Generasi Z Selama Ramadan

    Belakangan ini, perbincangan mengenai generasi Z semakin populer, mulai dari pandangan positif hingga stigma negatif yang beredar di masyarakat. Generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012 ini menarik perhatian generasi-generasi sebelumnya.  

    Sebagian memandang generasi Z sebagai generasi yang lemah, sementara yang lain  melihatnya sebagai generasi yang kreatif, inovatif, dan suportif. Hal ini tidak  mengherankan, mengingat generasi Z tumbuh pada era perkembangan digital yang pesat,  sehingga mereka lebih melek teknologi dan mampu mengakses informasi dengan mudah. Namun, bagaimana tingkat spiritualitas generasi Z? 

    Prof Dr Abdul Mu’ti dalam acara pengajian menyambut Tahun Baru Hijriah 1445 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengajian Studi Islam (LPSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, menyatakan berdasarkan penelitian, tingkat spiritualitas generasi Z relatif lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan transformasi digital yang sangat cepat yang membuat mereka cenderung lebih terbuka dan  longgar dalam relasi antarteman, bahkan antarumat beragama, serta lebih menerima nilai-nilai universal daripada nilai-nilai yang memisahkan mereka. Oleh karena itu, penting untuk menjaga spiritualitas generasi muda, terutama generasi Z sebagai salah satu generasi penerus (rijalul ghod). 

    Ramadan menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan spiritualitas generasi Z. Ramadan adalah bulan suci yang penuh makna dan disambut penuh sukacita oleh umat muslim di seluruh dunia sebagai bulan yang dipenuhi  dengan limpahan pahala, ampunan, dan terkabulnya doa-doa. Rasulullah SAW bersabda:

    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَا نَا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari  dan Muslim) 

    Banyak aktivitas dan amalan yang dapat dilakukan untuk meraih berbagai pahala dan  ganjaran tersebut. Lalu, bagaimana generasi Z dapat menemukan makna ibadah pada Ramadan? Berikut beberapa tip yang dapat dilakukan generasi Z untuk menemukan makna ibadah dengan tetap kreatif dan inovatif, tetapi tetap bernilai ibadah. 

    1. Memanfaatkan teknologi untuk ibadah dan belajar 

    Ibadah dan belajar merupakan amalan yang memiliki keutamaan besar pada Ramadan, sebagaimana disebutkan dalam hadis: 

    Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Apabila telah masuk bulan Ramadan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan  setan-setan dibelenggu. Selain itu, ada satu seruan yang terdengar dari Allah Swt ‘Hai  orang-orang yang beriman, dekatkanlah diri kalian kepada-Ku dengan memperbanyak  amal ibadah pada bulan ini, dan belajarlah di dalamnya karena sesungguhnya  pelajaran pada bulan Ramadan lebih afdal daripada pelajaran di bulan-bulan  lainnya’.” (HR Ibnu Majah) 

    Generasi Z dapat memanfaatkan berbagai platform digital untuk beribadah dan belajar, seperti  aplikasi Muslim Pro, Qur’an.com atau Tafsir Kemenag. Platform ini memudahkan generasi Z mengisi waktu dengan produktif, seperti membaca Al-Qur’an, mempelajari tafsir,  melafalkan doa-doa, atau sebagai pengingat waktu salat. Selain itu, generasi Z juga dapat menggunakan Zoom atau media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook, atau  TikTok, untuk mengikuti kajian-kajian keagamaan secara daring yang diselenggarakan oleh ulama atau komunitas keagamaan. Pengetahuan  keagamaan juga bisa didapat melalui podcast tokoh-tokoh agama dan dai inspiratif. 

    2. Membuat konten kreatif bernilai ibadah 

    Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104:

    وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ​ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏ ١٠٤ 

    “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka  itulah orang-orang yang beruntung.”

    Pada era digital, berdakwah tidak harus dilakukan secara konvensional, seperti dari pintu ke  pintu atau tampil di hadapan publik. Semua orang dapat menyampaikan pesan kebaikan melalui konten kreatif. Generasi Z yang familier dengan dunia konten digital dapat  memanfaatkan media sosial seperti untuk membuat  konten-konten Ramadan yang menarik dan bermanfaat. Misalnya, video tentang amalan-amalan selama bulan puasa, tip menghadapi godaan, resep sahur sederhana, tata cara salat  tarawih, doa-doa mustajab, atau challenge berbuat baik dalam Ramadan. Dengan cara  ini, generasi Z dapat melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan konsep yang unik dan  modern. 

    3. Bergabung dengan komunitas online 

    Banyak komunitas online yang dapat ditemukan di platform media sosial. Komunitas-komunitas ini menyediakan ruang bagi generasi Z untuk terlibat dalam kegiatan produktif dan bernilai ibadah, seperti forum diskusi  keagamaan, tadarus Al-Qur’an, menghafal Al-Qur’an, atau menjadi relawan di berbagai  daerah di Indonesia. Bergabung dengan komunitas online dapat membantu generasi Z tetap terhubung dengan nilai-nilai spiritual, meskipun berada di dunia digital. 

    4. Ibadah secara personal

    Ramadan membuka lebar ladang pahala, sehingga memotivasi umat muslim  untuk memperbanyak amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Untuk mengukur keberhasilan ibadah selama Ramadan, generasi Z dapat membuat jurnal refleksi  harian, mencatat target ibadah, atau hal-hal yang disyukuri. Selain  itu, bisa dibuat target spiritual, seperti one day one juz atau membaca buku-buku keagamaan secara konsisten. Hal ini dapat membantu menjaga keistikamahan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: 

    أَحَبَنُ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ 

    “Amal (kebaikan) yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.” (HR Muslim) 

    5. Menjadi inisiator kegiatan sosial 

    Bersedekah pada Ramadan memiliki keutamaan yang luar biasa, sebagaimana  disebutkan dalam hadis:

    عَنْ أَنَسٍ قِيْلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

    “Dari sahabat Ibnu Abbas: Rasulullah SAW adalah orang paling dermawan di  antara manusia lainnya, dan ia semakin dermawan saat berada di bulan Ramadan.”  (HR Bukhari dan Muslim) 

    Generasi Z, dengan pengaruhnya yang besar di media sosial, memiliki peluang untuk menginisiasi kegiatan sosial secara online maupun offline. Misalnya, bagi-bagi takjil gratis, pemberian donasi, atau kampanye online untuk mengajak orang lain bersedekah. Kegiatan ini tidak hanya bernilai sosial, juga merupakan ibadah. 

    Kesimpulan 

    Generasi Z  sebagai generasi digital dapat menemukan makna ibadah dengan cara yang  unik dan modern. Dengan memadukan tradisi dan teknologi, kreativitas dan spiritualitas,  serta personalisasi dan kebersamaan, generasi Z dapat menjadikan Ramadan sebagai  momentum untuk tumbuh secara spiritual, intelektual, dan kreatif. 

    Meskipun tantangan lingkungan sekitar tidak dapat diabaikan, semangat dalam menjalankan ibadah puasa harus tetap dijaga. Dengan memanfaatkan platform digital untuk berkolaborasi dan berbagi kebaikan, generasi Z dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas dengan cara yang inspiratif. Mari jadikan Ramadan tahun ini sebagai momentum untuk  meningkatkan kualitas diri dalam segala aspek kehidupan.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Mau Itikaf di Masjid Istiqlal Ramadan 2025? Ini Waktu dan Cara Daftarnya

    Mau Itikaf di Masjid Istiqlal Ramadan 2025? Ini Waktu dan Cara Daftarnya

    Jakarta: Masjid Istiqlal kembali menggelar itikaf terpadu Ramadan 1446 H/2025 Masehi. Bagi kamu yang ingin ikutan itikaf di Istiqlal bisa daftar secara online.

    Melansir Instagram resmi Masjid Istiqlal, pendaftaran online itikaf Ramadan 2025 di Masjid Istiqlal ini sudah dibuka sejak 7 Maret 2025. Pendaftaran ini terbuka untuk umum dengan kuota 300 jamaah (150 laki-laki dan 150 perempuan). Adapun itikaf dilaksanakan selama 10 hari penuh.

    “Itikaf terpadu hanya diperuntukkan bagi jamaah yang akan mengikuti rangkaian itikaf di Masjid Istiqlal full 10 hari tanpa pulang-pergi,” tulis masjidistiqlal.official seperti dikutip Jumat, 14 Maret 2025.
    Syarat Pendaftaran Itikaf di Masjid Istiqlal Ramadan 2025

    Berikut syarat mengikuti itikaf terpadudi Masjid Istiqlal Ramadan 2025:

    Sehat jasmani & Rohani
    Berniat mengikuti program I’tikaf hingga akhir
    Ramadhan (diutamakan bagi peserta yang dapat mengikuti kegiatan selama 10 hari penuh)
    Bagi peserta yg berusia di atas 60 tahun  wajib menyertakan surat keterangan sehat dan didampingi oleh anak/saudara
    Mengikuti rangkaian kegiatan yang telah disusun oleh panitia peserta minimal usia 12 tahun
    Bersedia mengikuti peraturan selama mengikuti program I’tikaf

     

     

    Pendaftaran Online Itikaf Masjid Istiqlal Ramadan 2025

    Pendaftaran dilakukan melalui tautan bit.ly/Itikafistiqlal2025, berikut langkah-langkahya:

    Buka bit.ly/Itikafistiqlal2025
    Lengkapi formulir dengan data yang diminta
    Unggah foto diri dan KTP
    Peserta yang berumur 60 – 65 tahun, wajib mengunggah foto surat keterangan sehat dari dokter.

    Jakarta: Masjid Istiqlal kembali menggelar itikaf terpadu Ramadan 1446 H/2025 Masehi. Bagi kamu yang ingin ikutan itikaf di Istiqlal bisa daftar secara online.
     
    Melansir Instagram resmi Masjid Istiqlal, pendaftaran online itikaf Ramadan 2025 di Masjid Istiqlal ini sudah dibuka sejak 7 Maret 2025. Pendaftaran ini terbuka untuk umum dengan kuota 300 jamaah (150 laki-laki dan 150 perempuan). Adapun itikaf dilaksanakan selama 10 hari penuh.
     
    “Itikaf terpadu hanya diperuntukkan bagi jamaah yang akan mengikuti rangkaian itikaf di Masjid Istiqlal full 10 hari tanpa pulang-pergi,” tulis masjidistiqlal.official seperti dikutip Jumat, 14 Maret 2025.
    Syarat Pendaftaran Itikaf di Masjid Istiqlal Ramadan 2025

    Berikut syarat mengikuti itikaf terpadudi Masjid Istiqlal Ramadan 2025:

    Sehat jasmani & Rohani
    Berniat mengikuti program I’tikaf hingga akhir
    Ramadhan (diutamakan bagi peserta yang dapat mengikuti kegiatan selama 10 hari penuh)
    Bagi peserta yg berusia di atas 60 tahun  wajib menyertakan surat keterangan sehat dan didampingi oleh anak/saudara
    Mengikuti rangkaian kegiatan yang telah disusun oleh panitia peserta minimal usia 12 tahun
    Bersedia mengikuti peraturan selama mengikuti program I’tikaf

     

     

    Pendaftaran Online Itikaf Masjid Istiqlal Ramadan 2025

    Pendaftaran dilakukan melalui tautan bit.ly/Itikafistiqlal2025, berikut langkah-langkahya:

    Buka bit.ly/Itikafistiqlal2025
    Lengkapi formulir dengan data yang diminta
    Unggah foto diri dan KTP
    Peserta yang berumur 60 – 65 tahun, wajib mengunggah foto surat keterangan sehat dari dokter.

    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (RUL)

  • Berkah Ramadan: Rezeki Melimpah bagi UMKM dan Ekonomi

    Berkah Ramadan: Rezeki Melimpah bagi UMKM dan Ekonomi

    Ramadan dengan keberkahannya memberikan pengaruh yang kuat bagi kaum Muslimin khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Jika kita analisa kata berkah atau barokah atau keberkahan, ini merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab dari “baroka-yabruku” yang artinya adalah unta ketika akan duduk untuk beristirahat. Kata ini juga diambil dari “birkah” yang berarti mata air atau oase di gurun pasir yang luas.

    Secara bahasa, hal ini dikaitkan secara filosofis bahwa ketika unta duduk beristirahat karena ada sumber air, maka unta itu akan minum dan mendapatkan kebaikan. Oleh karena itu, ulama bahasa menyebutkan bahwa berkah adalah kebaikan yang banyak.

    Barokah juga berasal dari kata “baaroka-yubaariku-barokatan-mubaarokan” yang memiliki banyak padanan dalam bahasa Arab. Kata ini sering muncul dalam doa-doa, seperti doa Rasulullah kepada pengantin baru agar diberikan keberkahan hingga doa makan yang diajarkan oleh para ulama kepada kita.

    Dari segi istilah, seorang ulama bernama Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa berkah adalah “tetapnya suatu kebaikan ilahi pada setiap sesuatu.” Imam al-Ghazali pun menyebutkan definisi yang masyhur bahwa berkah adalah bertambahnya kebaikan demi kebaikan.

    Permintaan parsel lebaran di toko Humpers Berkah, yang menyajikan aneka produk UMKM lokal di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, meningkat pada pekan pertama Ramadan 2025. – (Beritasatu.com/Jamaah)

    Bulan Ramadan sendiri disebut sebagai “Syahrun Mubaarok” sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

    قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ 

    Artinya: “Telah datang bulan Ramadan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu. Saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.” (HR Ahmad).

    Rasulullah SAW sendiri yang menjelaskan Syahrun Mubaarok atau bulan yang penuh keberkahan beserta keistimewaannya. Namun, apakah keberkahan Ramadan hanya berkaitan dengan aspek spiritual dan uhrawi saja? Tentu tidak! Keberkahan Ramadan juga menyentuh berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pertumbuhan ekonomi keumatan.

    Sebagai indikator riil keberkahan Ramadan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, bulan ini membawa manfaat besar bagi pelaku UMKM dan para pengusaha, baik Muslim maupun non-Muslim. Bahkan, dalam perspektif kesehatan, puasa juga memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia.

    Ada sebuah cerita nyata tentang seorang pengusaha tekstil di Jakarta yang memiliki toko di Tanah Abang. Ia berkata kepada seorang Muslim,”Saya sangat suka kalau bulan Ramadan tiba. Kira-kira bisa enggak bulan Ramadan dibuat beberapa kali dalam setahun, jangan hanya sekali?” Muslim yang mendengarnya heran dan bertanya, “Kenapa, Koh?” Si pengusaha pun menjawab, “Karena saya mendapatkan banyak kebaikan di dalamnya, terutama dalam bisnis saya.”

    Pedagang melayani pembeli buah kurma di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (5/3/2025). – (Berita Satu Photo/Joanito De Saojoao)

    Hal ini membuktikan bahwa keberkahan Ramadan tidak hanya dirasakan oleh umat Islam, tetapi juga oleh pemeluk agama lain. Secara ekonomi, bulan Ramadan dan Lebaran memang selalu membawa peningkatan dalam berbagai sektor, terutama dari sisi konsumsi masyarakat.

    Saat bulan Ramadan dan Lebaran, ekonomi mengalami peningkatan signifikan akibat meningkatnya permintaan barang dan jasa. Efek musiman ini terlihat dari meningkatnya konsumsi masyarakat untuk makanan, minuman, pakaian, dan transportasi. Adanya tunjangan hari raya (THR), tunjangan kinerja, serta pencairan gaji ke-13 lebih awal bagi PNS semakin mendorong daya beli masyarakat.

    Tahun 2023, sekitar 132 juta orang melakukan perjalanan mudik dengan perputaran ekonomi mencapai Rp 240 triliun. Tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan melonjak hingga 193,6 juta orang. Jika rata-rata setiap orang menghabiskan Rp 1,5 juta – Rp 1,7 juta untuk berbagai keperluan, maka total perputaran uang selama Lebaran 2024 bisa mencapai Rp 320 triliun.

    Bank Indonesia juga telah menyiapkan uang tunai sebesar Rp 197,6 triliun untuk kebutuhan Lebaran 2024, meningkat 4,65% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan tingginya permintaan uang tunai untuk transaksi dan penukaran uang menjelang Idul Fitri.

    Efek ekonomi dari Ramadan dan Lebaran ini berdampak pada kuartal I dan II tahun 2024. Dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, momen ini diprediksi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga lebih dari 5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Konsumsi rumah tangga yang meningkat selama periode ini menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    Pada Ramadan dan Lebaran 2023, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,23% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2023 mencapai 5,17% (yoy), yang merupakan angka tertinggi sepanjang tahun tersebut. Lonjakan konsumsi rumah tangga selama periode ini menyumbang 53,31 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran.

    Perputaran ekonomi selama Ramadan dan Lebaran membawa keuntungan besar bagi UMKM. Sejak awal bulan puasa, fenomena “war takjil” menjadi bukti bahwa pasar UMKM, terutama sektor makanan dan minuman, mengalami peningkatan pesat. Tradisi berburu takjil tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim yang berpuasa, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia secara umum.

    Pesanan hantaran Lebaran, kebutuhan perayaan, serta mobilitas masyarakat selama mudik turut mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. UMKM lokal dan sektor wisata mendapat manfaat besar dari tingginya arus pemudik yang membawa dampak ekonomi positif bagi kampung halaman mereka.

    Menjelang hari raya, kebutuhan akan makanan, pakaian, serta produk perawatan dan kesehatan meningkat pesat. Dalam beberapa tahun terakhir, tren belanja daring semakin mendominasi, didorong oleh berbagai promo menarik dari e-commerce dan marketplace. Namun, belanja langsung di pusat perbelanjaan seperti Tanah Abang tetap ramai, membuktikan bahwa baik transaksi daring maupun luring sama-sama memiliki pasar yang kuat.

    Meski demikian, tantangan tetap ada, terutama kenaikan harga barang dan potensi inflasi. Data Bank Indonesia (2024) menunjukkan bahwa indeks kepercayaan konsumen turun pada Februari 2024 ke level 123,11 dari 124,05 pada Januari 2024. Namun, indeks ekspektasi konsumen justru meningkat dari 134,5 di Januari menjadi 135,3 di Februari, menunjukkan optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan.

    Dengan semangat menyambut hari raya dan ekspektasi ekonomi yang positif, transaksi belanja masyarakat diprediksi terus meningkat. Momentum ini menjadi peluang emas bagi UMKM untuk mengembangkan usaha dan meraih keuntungan selama Ramadan dan Lebaran 2024. 

    Ilustrasi pawai obor menyambut Ramadan. – (AP/Tatan Syuflana)

    Meski tantangan seperti kenaikan harga bahan baku tetap ada, kebijakan stabilisasi harga dari pemerintah sangat diperlukan agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan keberkahan Ramadan benar-benar dapat dirasakan oleh semua pihak.

    Meski peluang besar menanti, UMKM tetap harus menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kenaikan harga bahan pangan. Lonjakan harga ini terjadi akibat supply shock dan meningkatnya permintaan menjelang hari raya, yang bisa berdampak pada naiknya biaya produksi bagi pelaku usaha kecil.

    Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas harga pangan. Jika harga bahan baku terus melonjak, potensi keuntungan UMKM bisa tergerus. Namun, dengan adanya kebijakan stabilisasi harga dan bantuan sosial, daya beli masyarakat bisa tetap terjaga, sehingga tetap ada antusiasme dalam berbelanja menjelang Lebaran, meskipun inflasi meningkat.

    Meski begitu, upaya menjaga harga tetap stabil, terutama untuk pangan dan energi, harus terus dilakukan. Hal ini tidak hanya untuk meringankan beban masyarakat, tetapi juga untuk membantu UMKM tetap bersaing dan memperluas pasarnya. Apalagi, di tengah persaingan dengan barang impor yang harganya lebih murah, dukungan terhadap UMKM lokal sangat diperlukan agar mereka bisa tetap bertahan dan berkembang di pasar domestik.

    Sehingga baik Pemerintah harus memperhatikan masyarakatnya atas setiap kebijakan dan pengawasan yang ditetapkan, dan semoga Keberkahan Ramadan ini bukan hanya menjadikan seseorang insan yang saleh individu tetapi juga saleh secara sosial dan bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ingatkan Pejabat Tak Pakai Fasilitas Negara, Menag: Mudik Pakai Kendaraan Pribadi

    Ingatkan Pejabat Tak Pakai Fasilitas Negara, Menag: Mudik Pakai Kendaraan Pribadi

    Ingatkan Pejabat Tak Pakai Fasilitas Negara, Menag: Mudik Pakai Kendaraan Pribadi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Agama (
    Menag
    )
    Nasaruddin Umar
    mengingatkan para pejabat agar tidak memanfaatkan fasilitas negara saat hendak pulang ke kampung halaman pada hari raya Idul Fitri 2025 atau Lebaran.
    Menag sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengimbau agar para pejabat atau penyelenggara negara menggunakan kendaraan pribadi masing-masing untuk mudik.
    “Menjelang momentum lebaran, saya mengimbau kepada pejabat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Kalau pulang kampung, gunakan kendaraan pribadi saja,” kata Nasaruddin, dalam keterangan resminya, Rabu (12/3/2025).
    Nasaruddin mengatakan, sejak awal menjadi pejabat negara, dia berjanji tidak akan menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarganya.
    “Selama 12 tahun menjadi pejabat di Kementerian Agama, termasuk sebagai Dirjen dan Wamen (wakil menteri),” ujarnya.
    Bahkan, Nasaruddin memilih tidak tinggal di rumah dinas karena khawatir tamu-tamu pribadinya menggunakan fasilitas negara seperti listrik dan air.
    “Saya selalu berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara, tidak menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi, termasuk membawa keluarga atau saudara,” katanya.
    Nasaruddin mengingatkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup bukanlah harta melimpah atau jabatan tinggi, melainkan keberkahan.
    “Apa gunanya kekayaan jika keluarga kita bermasalah, anak terjerumus narkoba, istri selingkuh, atau hidup penuh penyakit? Itu seperti neraka sebelum waktunya,” ujarnya.
    Untuk itu, Nasaruddin berpesan kepada para pejabat agar mencari keberkahan dengan hidup sederhana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendidik Nafsu di Bulan Ramadan dengan Makanan yang Halal

    Mendidik Nafsu di Bulan Ramadan dengan Makanan yang Halal

    Berangkat dari ayat surat Abasa 80:24: 

    فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓۙ

    “Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” 

    Jika ditelisik, Kata makanan (tha’am/ طعام (dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 48 kali. Kata makan (akl/أكل) disebutkan sebanyak 78 kali. Kata memakan (bentuk kata kerja) disebutkan sebanyak  118 kali. Tanaman dan buah-buahan disebutkan 20 kali. Dan 11 kali untuk buah-buahan dan daging.  

    Hal ini menunjukkan bahwa makanan yang masuk ke dalam perut seseorang merupakan sesuatu yang penting dan tidak boleh dianggap remeh. 

    Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah: 168:

    يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

    “Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”

    Menurut Quraish Shihab, Pada surah Al-Baqarah ayat (168) ini seluruh manusia diajak untuk memakan makanan halal dan bergizi (baik). Karena itu baik bagi tubuh mereka dalam jangka panjang dan dapat menunjang berbagai aktivitas harian mereka di dunia. Menurut sebagian ulama, kata kulu pada ayat ini tidak bersifat wajib, tetapi bersifat anjuran yang sebaiknya dilaksanakan (mendekati posisi wajib), (Quraisy Shihab, 2003). 

    Di dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan dulu seseorang memakan makanan yang halal baru diperintahkan jangan mengikuti langkah-langkah setan. Seakan-akan memakan yang haram lebih buruk dari kemaksiatan apa pun. Sebab makanan adalah bahan bakar nafsu, bila nafsu tidak terkendali seseorang akan jatuh sendiri kepada kubangan dosa tanpa harus dirayu-rayu setan. 

    Karena itu asas tarbiyah dimulai dari makanan, bukan dari mengaji, bukan dari wirid, bukan dari mengikuti majlis taklim, tetapi, dimulai dari makanan yang halal. Bahkan seorang ulama pun tak  akan bisa mengontrol nafsunya bila uang yang dimakannya selalu berasal dari pemberian yang  haram dan syubhat. 

    Disebutkan dalam hadis Nabi SAW: 

    “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani). 

    Dari hadis ini dapat dipahami, semua yang tumbuh, berkembang pada diri manusia, sampai kepada anak keturunannya, kalau berasal dari konsumsi yang haram, maka dengan berbagai sebab  dan perilaku, niscaya akan terjatuh dan disiksa di dalam neraka.

    You are What You Eat 

    Analogi ini menggambarkan secara jelas bahwa setiap yang kita makan akan berkembang menjadi sifat dan perilaku, Seperti hewan karnifora yang notabene makanannya adalah daging, memiliki perilaku agresif, buas, dan suka menyerang. Sebaliknya, hewan herbivora yang memakan dedaunaan dan tumbuh-tumbuhan relatif lebih jinak dan tidak agresif. 

    Maka dapat dipahami, bahwa Allah telah mengharamkan makanan yang jelek/haram seperti daging babi, karena makanan memiliki pengaruh terhadap akhlak dan watak, sifat dan sikap serta  perilaku seseorang. Harta dan makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging  yang baik. Perilaku dan perbuatannya pun (insyaallah) cenderung pada yang baik juga.

    Demikian juga sebaliknya. Kalau mengonsumsi makanan yang buruk, atau diharamkan dalam agama, maka akan berdampak sifat dan watak pun menjadi buruk pula. Cenderung pada perilaku dan perbuatan yang diharamkan. Maka, bisa disimpulkan dengan  ungkapan, “You Are What You Eat”. Watak dan perilaku Anda itu relatif sangat dipengaruhi oleh apa yang anda makan. 

    Oleh karena itu kita mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah harta dan makanan untuk diri  kita dan keluarga. Jangan sampai memakan barang dan makanan-minuman yang haram, baik  berupa daging ataupun yang lainnya. Termasuk tentunya adalah yang diharamkan agama seperti daging babi.

    اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِۚ

    “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173). 

    Bulan Ramadan merupakan masa pembersihan spiritual yang menekankan pengendalian diri,  termasuk pengendalian nafsu makan. Islam mengajarkan bahwa konsumsi makanan halal tidak  hanya sekadar kewajiban syariat, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam, terutama  di bulan suci Ramadan. 

    Menurut al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, makanan halal memiliki pengaruh langsung  terhadap kebersihan jiwa dan pengendalian nafsu (Al-Ghazali, t.th.). Makanan yang masuk ke  dalam tubuh tidak hanya memengaruhi aspek fisik, tetapi juga aspek spiritual. Ibn Qayyim al Jauziyyah menegaskan bahwa konsumsi makanan halal meningkatkan ketakwaan dan memperkuat ibadah puasa (Al-Jauziyyah, 1994). 

    Penelitian kontemporer menunjukkan korelasi antara pola makan dan kondisi psikologis. Dr Muhammad al-Hawari dalam studinya menyimpulkan bahwa makanan halal yang dikonsumsi dengan kesederhanaan selama Ramadan berperan dalam mengendalikan kecenderungan nafsu  berlebihan [Al-Hawari; 2018]. 

    Ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Perut adalah wadah terburuk yang dipenuhi manusia.” (At-Tirmidzi, t.th.) 

    Al-Qur’an, dalam surah Al-Baqarah ayat (168), secara eksplisit menghubungkan konsumsi makanan halal dengan ketakwaan. 

    يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ

    “Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.”

    Ayat ini menegaskan bahwa pilihan makanan merupakan  refleksi ketaatan spiritual. 

    Dalam konteks Ramadan, pilihan makanan halal saat berbuka dan sahur bukan sekadar memenuhi  kebutuhan nutrisi, tetapi juga merupakan latihan spiritual untuk mengendalikan keinginan  berlebihan. Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam memilih makanan, terutama di bulan Ramadan sebagai momentum pengendalian nafsu. (Al-Qaradawi,  2011)

    Melalui perpaduan antara perintah syariat dan pemahaman mendalam tentang dampak makanan terhadap spiritualitas, umat Muslim dapat mengoptimalkan Ramadan sebagai sarana efektif untuk menundukkan nafsu dan meningkatkan ketakwaan. 

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)