Tempat Fasum: Masjid Istiqlal

  • Iqra dalam Ramadan

    Iqra dalam Ramadan

    Saat ini, Indonesia berada pada peringkat rendah dalam hal minat membaca. Hasil Programme for International Student Assesment (PISA) yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada 2022 menunjukkan Indonesia mendapatkan skor 359 dalam aspek membaca. Skor tersebut tergolong rendah karena skor rata-rata membaca 476. 

    Data lain menunjukkan pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai angka 87,2 persen. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim. Menariknya, dalam Islam, membaca sangat dianjurkan. Hal ini bisa dilihat dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu iqra (bacalah). 

    Secara teori, umat muslim seharusnya gemar membaca, tetapi kenyataannya minat baca di Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, Ramadan hendaknya menjadi momentum untuk mulai membangun kebiasaan baru, yaitu membaca buku.

    Ramadan merupakan bulan yang penuh kemuliaan. Pada Ramadan, Al-Qur’an diturunkan dari lauhulmahfuz ke baitul izzah. Oleh karena itu, Ramadan juga dikenal sebagai syahrul Qur’an atau bulan Al-Qur’an. Ayat pertama yang diturunkan melalui perantara Jibril kepada Nabi Muhammad adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5:

    اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

    Secara literal, iqra menunjukkan betapa pentingnya membaca dalam Islam. Apa yang dimaksud dengan membaca di sini? Menurut Muhammad Abduh, iqra adalah membaca dengan berulang-ulang. Penafsiran ini didasarkan pada kronologi penerimaan wahyu pertama, yakni ketika Jibril mengulang wahyu pertama sebanyak tiga kali kepada Nabi Muhammad. Ini berarti untuk mengamalkan iqra, seseorang tidak bisa membaca selama satu atau dua kali, tetapi dijadikan kebiasaan.

    Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi, iqra diartikan sebagai membaca, memahami, merenungi, melakukan refleksi, serta mengamalkan hal-hal yang telah dipelajari dalam kehidupan. Wahyu pertama merupakan fondasi manusia untuk sadar akan urgensi ilmu pengetahuan secara teori yang darinya terciptalah peradaban. Maka, umat muslim seharusnya senantiasa membaca, sehingga bisa menciptakan peradaban yang maju, beradab, dan penuh kebijaksanaan, seperti masa kejayaan Islam pada masa lalu.

    Namun, iqra tidak hanya terbatas pada membaca buku dan hal-hal yang berbau ilmiah. Lebih dari itu, iqra juga berarti membaca keadaan sekitar, membaca perasaan orang lain, memahami situasi, dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Seorang muslim diajarkan untuk hidup dengan kesadaran penuh–akan diri sendiri, Tuhan, lingkungan, serta keadaan orang lain–yang pada akhirnya melatih diri untuk lebih berempati.

    Ketika ingin mengamalkan iqra dalam kehidupan sehari-hari, perlu dilakukan setidaknya tiga hal:

    1. Membiasakan membaca Al-Qur’an dengan pemahaman yang lebih mendalam.

    2. Membaca buku-buku yang menambah wawasan dan meningkatkan kualitas diri.

    3. Mempraktikkan “membaca” dalam arti yang lebih luas, yakni memahami lingkungan, kondisi sosial, dan keadaan orang lain.

    Memulai membiasakan iqra sangat ideal dilakukan saat Ramadan. Selama Ramadan banyak ditemui tadarus Al-Qur’an setiap hari, kajian keislaman, serta halakah, yang merupakan jalan mengamalkan iqra. Tidak hanya itu, saat Ramadan hendaknya dibiasakan membaca buku saat menunggu sahur, menunggu buka puasa, atau saat luang pada siang hari.  

    Ramadan juga dapat mengasah skill iqra dengan menumbuhkan kepekaan sosial. Orang yang berpuasa tidak hanya merasakan haus dan lapar semata, juga belajar berempati terhadap mereka yang tidak memiliki privilese. Namun, empati saja tidak cukup. Harus ada aksi nyata, seperti memperbanyak sedekah dan membantu sesama. 

    Mungkin selama ini ada yang telah menjalani kehidupan sebagai muslim, tetapi belum menjalankan kandungan wahyu pertama ini. Oleh karena itu, Ramadan merupakan waktu ideal untuk membangun kebiasaan yang mengarahkan umat muslim pada perintah iqra. Setidaknya ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan:

    1. Membaca satu halaman Al-Qur’an setiap hari dengan tafsirnya.

    2. Mengalokasikan waktu khusus untuk membaca buku yang bermanfaat. Cukup dengan 15 menit sehari dan lakukan setiap hari hingga membaca menjadi kebiasaaan baru dalam keseharian.

    3. Meningkatkan kepekaan sosial dengan “membaca” kondisi masyarakat dan aktif membantu sesama.

    Dengan demikian, Ramadan bukan hanya menjadi bulan menahan lapar dan dahaga, juga bulan untuk merefleksikan dan membangun kebiasaan intelektual serta spiritual yang lebih baik. Ayo, mulai sekarang biasakan iqra dalam arti sesungguhnya!

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI). 
     

  • 6 Amalan Sunah yang Bisa Dilakukan pada Bulan Ramadan

    6 Amalan Sunah yang Bisa Dilakukan pada Bulan Ramadan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan adalah bulan suci yang memegang posisi khusus dalam ajaran Islam. Sebagai salah  satu pilar Islam, puasa Ramadan tidak hanya ritual penghormatan sepanjang tahun, tetapi  juga mencakup dimensi spiritual yang mendalam dari semua muslim. Allah SWT menyoroti  hak istimewa bulan ini dalam Al-Qur’an: 

    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

    “Bulan Ramadan adalah (bulan) diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan  sebagai penjelas berupa petunjuk dan pembeda (al-haq dengan al-bathil)”. 

    Bulan Ramadan adalah bulan investasi. Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat Istimewa, bulan untuk investasi pahala, Di mana setiap amal saleh yang kita kerjakan akan  dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. Bulan penuh Rahmat, berkah, dan  pengampunannya yang harus kita manfaatkan semaksimal mungkin dengan cara  memperbanyak amalan-amalan sunnah di bulan Ramadan. 

    Ramadan adalah waktu berkat dan peluang yang meningkatkan ibadat dan menarik Allah Swt lebih dekat. Selain puasa wajib, ada banyak praktik dari sunah yang dapat  meningkatkan hadiah dan berkah. Beberapa praktik sunah yang dapat dilakukan selama  Ramadan adalah: 

    1. Salat Tarawih 

    Salat tarawih merupakan ibadah sunah yang dilakukan umat muslim pada bulan  Ramadan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW.  

    من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة  

    “Barang Siapa yang ikut melaksanakan shalat tarawih berjamaah Bersama imam  sampaia selesai maka baginya akan dicatat seperti shalat semalam penuh.” (HR. abu  Daud dan Tirmidzi).  

    2. Memperbanyak membaca Al-Qur’an (Tadarus) 

    Keutamaan membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan dijelaskan pada hadis Nabi SAW: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka ia akan mendapat satu  kebaikan dan dari satu kebaikan itu berlipat menjadi sepuluh kebaikan”.  

    Oleh karena itu, sangat tepat ketika membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan yang suci.  Karena, selain Al-Qur’an itu diturunkan di bulan Ramadan juga Al-Qur’an sebagai kitab  suci, dan membacanya juga akan menjadi suci, dan juga pahalanya akan dilipat  gandakan ketika membacanya.  

    3. Bersedekah dengan berbagi sesama 

    Di bulan yang penuh berkah ini sangat dianjurkan untuk bersedekah dengan sesama,  ini didasarkan kepada hadis Rasulullah yang menyebutkan bahwa pahala bersedekah  di bulan Ramadan lebih besar dibandingkan bulan-bulan lainnya, dan ini merupakan  investasi untuk akhirat.  

    “Pahala bersedekah di bulan Ramadan itu pahalanya lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.” (HR At-Tirmidzi).  

    Dan disebutkan juga dalam hadis keutamaan memberikan makanan kepada orang  di saat berpuasa:

    حَدَّثَنَا هَنَّادِ، حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحِيمِ عَن عَبْدِ الْمَلِكِ بْن أبي سُلَيْمَانَ – عَن عَطَاء عَن زيد بن خالد الجهني قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم – مَن فَطَّر صَائِمًا كَان لَهُ مِثْل أَجْرِه غَيْر أَنه لَ يَنْقُصُ مِن أَجْرٍ الصائم

    “Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abdurrahim dari Abdul Malik bin Abu Sulaiman dari ‘Atha` dari Zaid bin Khalid Al  Juhani berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang  memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang  berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa”.

    4. Melaksanakan Sahur 

    Melaksanakan sahur juga termasuk dalam ibadah-ibadah sunah pada bulan Ramadann, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di dalam hadisnya:  

    من أراد أن يصوم فليتسحر بشيء 

    “Barangsiapa yang berpuasa, maka hendaknya dia bersahur.” (HR. Ahmad). 

    Sahur dapat dilaksanakan dengan makan ataupun minum walaupun hanya sedikit  bahkan hanya dengan seteguk air. Waktu untuk sahur dimulai dari pertengahan malam  hingga masuknya waktu subuh. Makanan sahur tersebut termasuk keberkahan. 

    5. Memperbanyak salat sunah 

    Selain salat tarawih, perbanyak juga shalat sunnah lainnya seperti salat duha, salat  tahajud, salat tobat, serta salat witir.  

    Keutamaan salat-salat sunnah ini apabila dilakukan pada bulan Ramadan  pahalanya akan berlipat-lipat, dan juga dapat menutupi kekurangan salat wajib,  sebagaimana penjelasan pada hadis Rasulullah SAW:

    إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا في صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّع فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

    “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti  adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang  lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah  tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna.  Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah,  apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah,  Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan  amalan sunnahnya. Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini”.  

    6. Menyegerakan berbuka 

    Berbuka puasa memiliki keutamaan tersendiri dalam islam. Orang-orang selalu dalam  kebaikan apabila mereka menyegerakan berbuka puasa. Salah satu keutamaannya  adalah dicintai oleh Allah Swt. Sebagaimana hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra:

    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَقُولُ اللَّهُ ، عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعجِلُهُم فِطْرًا

    Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. yang bersabda: Allah Swt berfirman,  “Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku adalah mereka yang paling segera berbuka”. 

    Menyegerakan berbuka puasa ini juga merupakan salah satu sunnah Nabi SAW. Jadi  jika sudah masuk waktu berbuka puasa maka segerakanlah untuk berbuka, walaupun  hanya dengan segelas air minum. 

    Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • PLN imbau warga Jakarta cek keamanan instalasi listrik sebelum mudik

    PLN imbau warga Jakarta cek keamanan instalasi listrik sebelum mudik

    Jakarta (ANTARA) – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya mengimbau warga Jakarta untuk mengecek keamanan instalasi listrik di rumah sebelum berangkat mudik Lebaran 2025 untuk mencegah terjadinya korsleting listrik yang dapat menimbulkan kebakaran.

    “Jadi memang kemungkinan adanya potensi-potensi bahaya itu pasti selalu ada, saya yakin. Kami lebih cenderung mengimbau para pelanggan kami untuk lebih baik menjaga daripada mengatasi atau mengobati ya. Jadi, kami mengimbau para pelanggan kami yang sebelum mudik tolong dicek dulu listriknya,” kata Senior Manager Komunikasi dan Umum (SRM KU) PLN UID Jakarta Raya Haris Andika dalam acara media briefing kesiapan pasokan listrik Idul Fitri 2025 PLN UID Jakarta Raya di Jakarta Pusat, Senin.

    Dia juga meminta warga Jakarta untuk bisa mengecek terlebih dahulu listrik di rumahnya dengan memilah pemakaian listrik yang diperlukan. Seperti mencabut penanak nasi hingga mematikan lampu yang tidak diperlukan.

    “Sehingga, yang menyala di rumah atau yang dipakai di rumah itu memang perlengkapan yang memang perlu. Contoh lampu atau kulkas yang memang untuk menjaga keawetan dari makanan,” ujar Haris.

    Selain itu, dia juga mengingatkan warga Jakarta untuk mengisi token listrik terlebih dahulu dan membayar listrik untuk memastikan listrik bisa tetap menyala sampai balik dari mudik.

    “Jadi, tolong diisi dulu listriknya dengan token sehingga nanti listriknya bisa tetap nyala sampai balik mudik kembali. Begitu juga untuk yang pascabayar. Silahkan bayar listriknya dulu. Jangan sampai nanti mati karena ada petugas yang datang,” ucap Haris.

    Warga Jakarta juga diingatkan untuk meletakkan perlengkapan yang berkaitan dengan listrik seperti colokan, kabel roll, kulkas, dan lain sebagainya di posisi yang tinggi. Hal ini untuk memitigasi terjadinya banjir saat pemilik rumah sedang mudik.

    Lalu, lampu hias yang berada di luar atau di taman halaman rumah juga bisa dimatikan terlebih dahulu untuk menghindari kaca pecah dan korsleting listrik.

    “Nah, untuk lokasi-lokasi yang berbahaya yang mungkin kita tahu beberapa minggu atau beberapa satu bulan yang lalu ada potensi banjir juga. Karena kita kan tidak tahu ini besok, dua atau tiga hari lagi ada hujan deras hingga banjir. Jadi, perlengkapan yang posisi awalnya di bawah bisa diamankan ditaruh di atas lebih tinggi,” jelas Haris.

    PLN UID Jakarta Raya fokus memantau pasokan listrik di 14 lokasi mulai dari masjid hingga pusat keramaian di Jakarta selama Idul Fitri 1446 Hijriah/2025.

    Ke-14 lokasi tersebut, antara lain pantauan utama Sholat Idul Fitri 2025 seperti di Masjid Istiqlal dan 519 masjid di wilayah Jakarta.

    Lalu pusat keramaian libur lebaran seperti di Monumen Nasional (Monas), Bundaran HI, Pantai Festival Ancol, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan kawasan Kota Tua.

    Kemudian zona transportasi seperti di Bandara Halim Perdanakusuma, Stasiun Gambir, Stasiun Pasar Senen, Stasiun KCIC Halim, Terminal Pulo Gebang, dan Pelabuhan Tanjung Priok.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • PLN Jakarta pantau pasokan listrik di 14 lokasi selama Lebaran

    PLN Jakarta pantau pasokan listrik di 14 lokasi selama Lebaran

    Jakarta (ANTARA) – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya fokus memantau pasokan listrik di 14 lokasi mulai dari masjid hingga pusat keramaian di Jakarta selama Idul Fitri 1446 Hijriah/2025.

    “Jadi, dalam rangka siaga listrik Idul Fitri 2025 ini memang banyak tempat yang harus kita kawal pasokan listriknya. Kami ploting jaga 14 lokasi yang jadi prioritas untuk kami kawal seperti tempat keramaian hingga masjid,” kata Senior Manager Komunikasi dan Umum (SRM KU) PLN UID Jakarta Raya Haris Andika dalam acara media briefing kesiapan pasokan listrik Idul Fitri 2025 PLN UID Jakarta Raya di Jakarta Pusat, Senin.

    Ke-14 lokasi tersebut, antara lain, pantauan utama Sholat Idul Fitri 2025 seperti di Masjid Istiqlal dan 519 masjid di wilayah Jakarta.

    Lalu pusat keramaian libur lebaran seperti di Monumen Nasional (Monas), Bundaran HI, Pantai Festival Ancol, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan kawasan Kota Tua.

    Kemudian, zona transportasi seperti di Bandara Halim Perdanakusuma, Stasiun Gambir, Stasiun Pasar Senen, Stasiun KCIC Halim, Terminal Pulo Gebang, dan Pelabuhan Tanjung Priok.

    “Tempat-tempat keramaian yang kita tahu masyarakat kita mendekati lebaran yang ramai bukan hanya wilayah masjid, tapi mal dan wisata juga. Itulah beberapa tempat yang harus kita kawal kelistrikannya,” ujar Haris.

    Kendati demikian, kata dia, pihaknya tetap akan menjaga pasokan listrik di lokasi lain. Namun, 14 lokasi tersebut menjadi prioritas karena menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat selama arus mudik dan balik Lebaran 2025.

    PLN UID Jakarta Raya menyediakan pasokan daya listrik sekitar 1.900 MegaWatt (MW) untuk wilayah Jakarta selama Idul Fitri 1446 Hijriah.

    Pasokan listrik tersebut merupakan selisih dari total “load” enam subsistem PLN UID Jakarta Raya (Jaya) sebesar 7.500 MW dan beban puncak UID Jaya sebesar 5.600 MW.

    “Untuk pasokan listrik Jakarta Raya kita pastikan aman. Itu ada total 1.900 MegaWatt daya listrik yang tersedia. Dengan kata lain kita mempunyai cadangan daya hampir 40 persen dari beban total. Artinya, bahwa PLN UID Jaya siap melayani pasokan listrik dalam rangka bulan Ramadhan sampai nanti dengan Idul Fitri,” jelas Haris.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

    Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

    Tulisan ini mengangkat fenomena sosial keagamaan tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah, dan menganalisisnya menggunakan pendekatan fenomenologi agama dari Mircea Eliade (1907-1986). 

    Tradisi ini menjadi contoh bagaimana agama tidak hanya berfungsi sebagai fenomena sosial, tetapi juga mencakup aspek yang lebih dalam, yaitu penghayatan terhadap yang sakral. Eliade, sebagai sarjana yang mengkritik pandangan reduksionis terhadap agama, memberikan pendekatan yang lebih holistik dalam melihat fenomena keagamaan, yang tidak hanya mengandalkan analisis sosial, ekonomi, atau psikologis, tetapi juga memperhatikan esensi agama itu sendiri.

    Pandangan Reduksionis terhadap Agama

    Sejumlah sarjana klasik, seperti Karl Marx (1883), Émile Durkheim (1917), dan Sigmund Freud (1939), memiliki pendekatan reduksionis terhadap agama. Marx melihat agama sebagai akibat dari ketidakadilan ekonomi-politik, sedangkan Durkheim dan Freud melihat agama sebagai hasil dari kebutuhan sosial dan psikologis manusia. 

    Meskipun pandangan ini memberikan kontribusi dalam memahami fungsi agama, mereka memandang agama hanya sebagai fenomena sosial yang dapat dijelaskan melalui struktur dan dinamika sosial tertentu. Eliade mengkritik pandangan ini dan menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang agama, yakni sebagai sesuatu yang sui generis (unik) dan memiliki aspek sakral yang tidak dapat direduksi.

    Eliade dan Pendekatan Fenomenologi Agama

    Menurut Mircea Eliade, agama bukanlah sekadar akibat dari struktur sosial atau faktor psikologis, melainkan fenomena yang berdiri sendiri dan memiliki dimensi sakral yang khas. Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama, kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih ranscende dan fenomenologis. 

    Agama tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, tetapi juga berhubungan dengan pengalaman spiritual yang lebih tinggi, yakni pengalaman tentang yang sakral. Eliade memandang bahwa dalam agama terdapat dua dimensi utama: yang sakral dan yang profan. Yang sakral adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki makna lebih tinggi dan ranscendental, sedangkan yang profan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja.

    Eliade juga menekankan pentingnya pendekatan fenomenologi dalam studi agama, yaitu pendekatan yang berfokus pada pengalaman keagamaan itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya mencoba menjelaskan agama dari perspektif luar, seperti sosiologi atau psikologi, tetapi berusaha memahami esensi agama berdasarkan pengalaman subjektif mereka yang menjalankan agama tersebut. Dalam hal ini, Eliade menolak reduksionisme yang cenderung melihat agama hanya sebagai hasil dari faktor sosial atau psikologis.

    Konsep Hierophany dan Transformasi yang Sakral

    Salah satu konsep penting yang diajukan oleh Eliade adalah hierophany, yaitu manifestasi dari yang sakral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangannya, segala sesuatu yang tampak profan atau biasa dalam kehidupan manusia bisa menjadi manifestasi dari yang sakral jika diberi makna yang lebih tinggi, terutama dalam konteks ritual keagamaan. 

    Hierophany ini dapat ditemukan dalam berbagai objek atau peristiwa, seperti batu, pohon, atau bahkan makanan. Bagi masyarakat tradisional, dunia ini selalu terbuka untuk pengalaman yang sakral, di mana setiap objek bisa menjadi tempat berdiamnya kekuatan ilahi atau roh leluhur.

    Namun, masyarakat modern seringkali melakukan desakralisasi, di mana mereka memisahkan yang sakral dari yang profan. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat tradisional yang melihat bahwa kehidupan mereka selalu terhubung dengan dimensi yang lebih tinggi dan sakral. 

    Dalam masyarakat modern, ada kecenderungan untuk melihat hal-hal sakral sebagai tak relevan atau bahkan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama dengan lebih baik, kita harus masuk ke dalam perspektif orang yang menjalani agama tersebut dan melihat dunia dengan mata mereka.

    Tradisi Kondangan Maleman dan Fenomenologi Agama Eliade

    Tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah memberikan gambaran yang jelas mengenai pemahaman Eliade tentang transformasi yang sakral. Tradisi ini melibatkan prosesi doa bersama yang dihadiri oleh tetangga terdekat, di mana makanan berupa berkat dibagikan sebagai simbol berkah dan doa kepada arwah leluhur. Dalam hal ini, makanan dan objek sehari-hari, seperti tumpeng, ayam ingkung, dan jajanan pasar, memiliki makna sakral yang lebih dalam.

    Eliade menekankan bahwa objek-objek ini tidak hanya sekadar benda biasa. Tumpeng, misalnya, melambangkan harapan agar doa terkabul, sementara ingkung (ayam utuh) melambangkan kesucian dan ketulusan, serundeng sebagai perantara doa, dan jajanan pasar melambangkan berkat yang diberikan oleh Tuhan. 

    Dalam konteks ini, makanan yang tadinya bersifat profan bisa diubah menjadi sesuatu yang sakral berkat pemberian makna dan konteks dalam prosesi ritual. Dengan kata lain, objek-objek profan ini mengalami transfigurasi menjadi yang sakral melalui upacara dan doa-doa yang dipanjatkan dalam tradisi kondangan maleman.

    Menurut Eliade, dialektika antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari pengalaman keagamaan. Dalam tradisi kondangan maleman, hal-hal yang tampak sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti makanan dan doa, dapat menjadi sarana untuk menghubungkan dunia profan dengan yang sakral. 

    Makanan yang dibagikan dalam tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai konsumsi fisik, tetapi juga sebagai simbol doa dan harapan agar diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Proses ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami bahwa yang sakral dapat hadir dalam dunia yang profan melalui ritual dan simbolisme yang dihidupkan dalam prosesi keagamaan.

    Kesimpulan

    Pendekatan fenomenologi agama Mircea Eliade memberikan wawasan yang mendalam dalam memahami tradisi kondangan maleman di Pantura Jawa Tengah. Melalui konsep-konsep seperti hierophany, dialektika sakral-profan, dan pengalaman keagamaan yang tidak dapat direduksi, Eliade menawarkan perspektif yang lebih luas untuk memahami fenomena keagamaan.

    Tradisi ini menunjukkan bagaimana objek-objek yang tampaknya biasa dan profan dapat menjadi sarana untuk mengalami yang sakral, serta bagaimana ritual dan simbolisme dalam agama menjadi jembatan untuk menghubungkan dunia manusia dengan yang transendental. Dalam hal ini, fenomenologi agama Eliade memberikan landasan yang kuat untuk memahami esensi agama dalam konteks budaya dan pengalaman umat beragama.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
     

  • Filosofi Puasa Berdasarkan Pemikiran Syaikh Ibn ‘Arabi

    Filosofi Puasa Berdasarkan Pemikiran Syaikh Ibn ‘Arabi

    Ramadan menjadi salah satu bulan istimewa yang ditunggu kaum muslim setiap tahun. Banyak sekali momentum Ramadan yang dirindukan umat Islam, seperti sahur, salat tarawih, bertadarus di masjid atau musala,  berburu takjil, dan kegiatan lainnya yang hanya terjadi selama Ramadan.  

    Allah juga mengistimewakan Ramadan dengan menjadikannya sebagai waktu diturunkannya Al-Qur’an. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 185 

    ِِۚناَقرُْفْالَى وٰدُهْالَِن ٍتمٰنِ يَبَِسواَِّ لن ى لًدُهُنٰارُْقِْهالِْفيِلَزْنُآِْذيَّْالَانضََمَررُْهَش 

    Pembahasan mengenai Ramadan tidak akan terlepas kaitannya dengan puasa. Berpuasa pada Ramadan menjadi kewajiban yang harus dijalankan semua umat muslim. Hal ini sudah sangat jelas dipaparkan dalam QS Al-Baqarah: 185 

    ُهْمصَُيْلَفَرْهَّالشُمُكِْمنَِ دهَشْنَمَف 

    “Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan  musafir) pada bulan itu, berpuasalah”.

    Berpuasa juga termasuk salah satu rukun islam yang wajib dilaksanakan umat muslim. Makna puasa secara harfiah berarti al-imsak atau menahan. Dari makna etimologi inilah puasa didefinisikan secara terminologi sebagai kegiatan menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa, mulai waktu sahur hingga terbenamnya matahari. Pengertian inilah yang banyak dipahami  oleh mayoritas umat muslim di berbagai penjuru dunia. 

    Pemaknaan lahir ini menimbulkan kekhawatiran tentang  makna sejati dari ibadah puasa. Banyak umat muslim yang akhirnya melakukan ibadah puasa sebatas untuk menggugurkan kewajiban. Mereka yang tidak terlalu  merenungi pemaknaan puasa yang sebenarnya hanya akan mendapatkan rasa lapar dan  haus tanpa merasakan hikmah dan nikmat di balik ibadah tersebut. 

    Pendekatan yang bisa digunakan dalam permasalahan tersebut adalah mencoba memahami makna yang tersirat dari perintah berpuasa. Pemahaman makna dengan lebih detail dan mendalam bisa diperoleh melalui pendekatan filosofi.  Berfilsafat merupakan sebuah kegiatan berpikir secara mendetail dan mendalam,  bahkan hingga batas rasio yang tidak mampu lagi untuk diselesaikan. 

    Mengkaji suatu ilmu keislaman dengan menggunakan pendekatan filosofi mengakibatkan segala sesuatu akan dititikberatkan kepada suatu konteks. Faedah dilakukannya kajian filosofi dalam rumpun keagamaan Islam adalah agar hakikat, hikmah, dan pokok ajaran agama bisa memberikan makna dan manfaat bagi siapa pun  yang memahaminya. Dengan demikian, seseorang yang bisa memahami filosofi puasa tidak akan mengeluh dan bosan menjalankannya. 

    Salah satu ulama sekaligus filsuf Islam yang sangat terkenal adalah Syaikh Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Arabi at-Tamimi atau yang masyhur dikenal sebagai Syaikh ibn ‘Arabi. Beliau merupakan seorang sufi terkemuka yang  dianggap mampu berfilsafat tentang pengalaman kehidupan spiritual dalam  pandangan metafisika. 

    Syaikh ibn ‘Arabi banyak sekali membahas kajian-kajian agama melalui pendekatan filsafat dan sufistik. Salah satu pembahasannya bisa dilihat dalam karya fenomenal berjudul Al-Futuhat Al-Makkiyyah. 

    Syaikh ibn ‘Arabi mengartikan puasa sebagai irtafa’ (meninggikan). Puasa  dianggap sebagai ibadah yang lebih tinggi daripada ibadah lainnya. Puasa secara  hakikat menurut ibn ‘Arabi diungkapkan sebagai tark la ‘amal (tiada tindakan dan  bukan juga sebuah tindakan). 

    Jika dilihat dari definisi tersebut, puasa memang pada  hakikatnya merupakan ibadah. Ketika seseorang melakukan salat, dia  akan melakukan pergerakan mulai dari takbirah al-ihram sampai salam. Ibadah puasa  tidaklah demikian, sehingga ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai tark la ‘amal. 

    Pengertian ini kemudian disandarkan kepada firman Allah kepada Zat-Nya  dalam QS Asy-Syura  11,“Laysa ka mitslih sya’un” (tidak ada sesuatu pun yang  menyeruapi-Nya). 

    Syaikh ibn ‘Arabi mengutip sebuah hadis Rasulullah yang di-takhrij oleh Imam Nasa’i,”’alaik bi as-sawm, fa innahu la mitsla lahu.” Hadis inilah kemudian bisa disimpulkan bahwa ibadah puasa adalah suatu ibadah yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya yang tidak ada padanannya. Penisbatan ini juga disebutkan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim: 

     كل عمل ابن آدم له إال الصيام فإنه لي و أنا أجزي به  

    “Semua amal perbuatan anak turun Nabi Adam adalah miliknya kecuali puasa, karena  amal puasa adalah milik-Ku dan aku yang akan membalasnya.” 

    Syaikh ibn ‘Arabi juga menyebutkan bahwa orang yang berpuasa itu laksana terilhami sifat Allah As-Samadaniyyah. Sifat ini merupakan sifat puncak Allah yang menjadi tempat untuk meminta segala sesuatu dan tidak ada lagi yang ada diatas-Nya. 

    Orang yang berpuasa dianalogikan sebagaimana sifat  tersebut. Pada hakikatnya orang yang berpuasa berada pada puncak ibadah dan  tidak membutuhkan apa-apa lagi. Sederhananya, saat seorang muslim sedang melakukan puasa, dia sudah tanzih (membersihkan diri) dari kebutuhan dunianya, seperti makan, minum, bersetubuh dengan istri/suami, dan sifat hewan lainnya. 

    Penisbatan sifat ini melahirkan pernyataan baru bahwa orang yang berpuasa  sama dengan melakukan zuhud. Sebagaimana diungkapkan: 

    9 إن الصوم يشمل كل الطريقة ألنه في حقيقته زهد  

    “Puasa pada hakikatnya adalah zuhud.”

     Syaikh Ibn ‘Arabi menggubah syair yang  mendeskripsikan zuhud: 

    و سراج نفسك نوره متعلق بجميع ما في الكون من أمر 

    فاطف السراج يزول كل تعلق فالزهد فيك كليلة القدر  

    Syaikh Ibn ‘Arabi mengungkapkan bahwa dalam diri manusia ada sebuah pelita  yang cahayanya akan selalu bergantung pada semua yang ada. Cara  menghilangkan ketergantungan itu dengan memadamkan pelita tersebut. Dari  sinilah muncul sifat zuhud. Zuhud digambarkan oleh Syaikh ibn ‘Arabi laksana keutamaan Lailatulqadar yang cahayanya tidak akan pernah padam. 

    Dari pemaparan tersebut, terlihat bagaimana keutamaan puasa dikaji dari  pendekatan filosofi. Seseorang yang berpuasa berarti melaksanakan ibadah yang tiada padanannya dengan hikmah zuhud yang didapatkannya. Bahkan, Allah  mengistimewakannya dengan menisbatkan sifat-Nya dan menyamakannya dengan  firman-Nya,”Laysa kamitslihi syai’un.”  Oleh karena itu, tidak  akan ada lagi keluhan dari kaum muslimin yang melaksanakan ibadah puasa. 

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

      

  • Keutamaan Memperbanyak Membaca Al-Qur’an pada Bulan Ramadan

    Keutamaan Memperbanyak Membaca Al-Qur’an pada Bulan Ramadan

    Jakarta, Beritasatu.com – Al-Qur’an merupakan sumber dan panduan kepada umat Islam dalam menjalani arus kehidupan. Tuntutan terhadap Al-Qur’an perlu dititikberatkan oleh setiap manusia karana di dalamnya telah tersedia manual dalam memahami ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Zaid bin Tsabit beliau berkata, Rasulullah SAW telah bersabda:

    “Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka; kitabullah dan ahli baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya bertemu denganku di hawd (telaga)”. (Hadith Zaid bin Thabit, No 22067).

    Pada bulan Ramadan banyak umat muslim yang mengisi waktu dengan membaca Al-Qur’an. Selain karena Ramadan adalah bulan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi pada bulan mulia ini semua amal ibadah pahalanya berlipat ganda. Membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadan adalah suatu kebiasaan dan aktivitas ibadah yang diajarkan oleh syariat. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam pada bulan Ramadan. Sebagaimana hadis berikut:

    وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

    “Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan Ramadan, dan dia (Jibril) bertadarus Al-Qur’an bersamanya.” (HR Bukhari No. 3220)

    Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah yang pahalanya berlipat sebagaimana yang dijelaskan di dalam surah Faatir ayat 29:

    اِنَّ الَّذِيۡنَ يَتۡلُوۡنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنۡفَقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰهُمۡ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرۡجُوۡنَ تِجَارَةً لَّنۡ تَبُوۡرَۙ‏  ٢٩

    “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (Faatir: 29).

    Keutamaan Membaca Al-Qur’an pada Bulan Suci Ramadan 

    Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali (w1393 M), ulama besar yang dalam bidang aqidah bermazhab Asy’ariyah dan dalam bidang fiqih bermazhab Hanbali, menuturkan bahwa hadis ini menunjukkan kesunahan bertadarus Al-Qur’an pada malam bulan Ramadan secara berjemaah. Dalam kitab Bughyah al-Insan fi Wadza’if Ramadhan, Ibnu Rajab menyatakan:

    و دل الحديث أيضا على استحباب دراسة القرآن في رمضان والاجتماع على ذلك، وعرض القرآن على من هو أحفظ له، وفيه دليل على استحباب الإكثار من تلاوة القرآن في شهر رمضان

    Artinya: Hadis ini juga menunjukan kesunahan bertadarus Al-Qur’an pada bulan Ramadan secara berjemaah. Menyetorkan Al-Qur’an kepada orang yang lebih hafal darinya. Hadis ini sekaligus menunjukkan kesunahan memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadan (Ibnu Rajab, Bughyah al-Insan fi Wadza’if Ramadhan, halaman 42). Ibnu Rajab melanjutkan, hadis Ibnu Abbas di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW setor Al-Qur’an kepada Malaikat Jibril pada malam hari di bulan Ramadan. Oleh sebab itu, memperbanyak baca Al-Quran disunahkan pada malam hari di bulan Ramadan.

    Selain daripada itu, ada banyak keutamaan Ketika membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadan, antara lain:

    Pemberi syafaat di hari kiamat

    Masih dalam sumber yang sama, keutamaan bagi umat yang membaca Al-Quran dengan mengingat makna dan kandungannya kemudian mengamalkan isinya, maka orang tersebut akan mendapatkan syafaat di hari kiamat.

    عن أبي أمامة رضي الله عنه قال سمعتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقولُ اقْرَوُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمِ القِيامَةِ شَفِيعاً لأصحابه رواه مسلم

    Artinya: Dari Abu Umamah r.a., katanya “Saya mendengar Rasulullah SAW  bersabda: Bacalah olehmu semua akan Al-Qur’an itu, sebab Al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat sebagai sesuatu yang dapat memberikan syafaat, yakni pertolongan kepada orang-orang yang mempunyainya.” (HR Muslim).

    Kemudian dalam hadis lain turut disebutkan.

    وعَن النَّوَّاسِ بنِ سمعان رضي الله عنه قال سمِعتُ رسول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقولُ يُؤْتِي يَوْمَ القِيامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الذين كانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ في الدُّنْيَا تَقَدُمهُ سورة البَقَرَةِ وَآلَ عِمْرَانَ تحَاجَّانِ عَنْ صاحِبِهِمَا رواه مسلم

    Artinya: Dari An-Nawwas bin Sam’an r.a., katanya “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Al-Qur’an itu akan didatangkan pada hari kiamat nanti, demikian pula ahli-ahli Al-Qur’an, yaitu orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an itu di dunia didahului oleh surat Al-Baqarah dan surat Ali-Imran. Kedua surat ini menjadi hujjah untuk keselamatan orang yang mempunyainya, yakni membaca, memikirkan, dan mengamalkan.” (HR Muslim).

     Al-Qur’an Datangi Orang yang Membaca dan Mengamalkannya

    عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الْكِلَابِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ يَقُولُ يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ قَالَ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْقٌ أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا

    Dari Jubair bin Nufair ia berkata, saya mendengar An Nawwas bin Saman Al Kilabi berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Al Qur`an akan didatangkan pada hari kiamat bersama Ahlinya yang telah beramal dengannya, dan yang pertama kali adalah surat Al Baqarah dan Ali Imran.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan tiga permisalan terkait dengan keduanya, aku tidak akan melupakannya setelah itu. yakni: “Seperti dua tumpuk awan hitam yang diantara keduanya terdapat cahaya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya.” ( HR. Muslim ) [ No.805 Syarh Shahih Muslim] Shahih.

    Memperoleh Ketenangan dan Dinaungi Malaikat

    Keutamaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Hurairah Ra.

    وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ الله، يَتلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكينة، وغَشِيتْهُمُ الرَّحْمَةَ وَحَفَتُهُمُ الْمَلَائِكَةَ، وَذَكَرَهُمُ الله فيمَنْ عِنْدَهُ. رواه مسلم

    Artinya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah di antara rumah-rumah Allah (masjid), kemudian mereka membaca kitab Allah (Al-Qur’an) dan saling mempelajarinya, melainkan akan turun atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah meliputi mereka dengan rahmat, mereka akan dinaungi para malaikat, dan Allah akan membanggakan mereka di hadapan para malaikat.” (HR Muslim).

    Pahala Satu Huruf Dibalas 10 Kebaikan

    Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam salah satu riwayat hadis berikut:

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
     

    Artinya: “Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الٓمٓ (Alif Lam Mim) satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR Tirmidzi).

    Ditempatkan oleh Allah Swt di Surga

    Dikutip dari buku Ramadan Ensiklopedis karya Prof Dr Abdul Pirol dan Abdul Mutakabbir, orang yang senantiasa membaca Al-Qur’an akan diberikan jaminan oleh Allah Swt di surga-Nya. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah berikut.

    أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من قرأ القرآن واستظهره وحفظه أدخله الله الجنة وشفعه في عشرة من أهل بيته كلهم قد وجبت لهم النار
     

    Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, barangsiapa membaca Al-Qur’an, menampakkannya dan menghafalnya, maka Allah akan memasukkannya ke surga dan memberikan syafaat sepuluh penghuni rumahnya sekaligus melindungi mereka dari neraka.” (HR Ibnu Majah).

    Kini, umat muslim dapat dengan mudah mengamalkan Al-Qur’an di bulan Ramadan untuk meraih keutamaan-keutamaan tersebut. Cara terbaik saat mengamalkan Al-Qur’an, yaitu dengan membaca dan memahami isi kandungannya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI). 

     

  • Kajian Tasawuf dalam Islam: Makna Salat dan Puasa

    Kajian Tasawuf dalam Islam: Makna Salat dan Puasa

    Islam merupakan salah satu agama yang menjanjikan kesejahteraan umatnya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam ajaran Islam ada dua hal yang sering kali dianggap bertolak belakang, padahal saling beriringan, yakni tasawuf dan fiqh. 

    Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dia meyakini bahwa tasawuf merupakan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, dengan senantiasa tulus dan ikhlas dalam bertakwa kepada-Nya. Pada dasarnya tasawuf merupakan suatu perjalanan atau sebuah metode yang dilakukan oleh seseorang untuk memahami nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji, sehingga kemudian dididik supaya dapat terwujud sifat-sifat terpuji. 

    Dengan demikian, tasawuf merupakan substansi Islam yang mengedepankan aspek-aspek moral yang melatih jiwa manusia menjadi lebih berkualitas.

    Sedangkan fiqh merupakan pemahaman tentang aturan-aturan dasar agama Islam, yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, yang kemudian dituangkan dalam sebuah kitab-kitab, dan menjadi acuan dalam ritual ibadah umat. Pengertian tersebut didapat dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa definisi. 

    Seperti Al-Ghazali misalnya, menurutnya, fiqh bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). Sedang mayoritas ulama memberikan pengertian fiqh secara istilah yaitu pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî). Praktik (amaliyyah ) yang merupakan bagian dari fiqh hakikatnya mengandung sisi tasawuf yang mampu meningkatkan kekayaan spiritual dan kemuliaan hati. 

    Salat dan puasa merupakan di antara contoh praktik (amaliyyah) fiqh sekaligus tasawuf. Karena salat dan puasa dapat mengantarkan pada kebersihan rohani manusia. Menurut definisinya, dalam kitab Fathul Muin disebutkan bahwa salat merupakan doa, sedang secara syara’, salat adalah ucapan dan perbuatan yang di mulai dengan takbiratul ihram, dan diakhiri dengan salam. Salat disebut doa karena dalam serangkaian pelaksanaanya, shalat mengandung doa-doa yang memiliki esensi mengagungkan Allah swt. 

    Seseorang yang mampu memahami dan menggapai esensi dari shalat inilah yang dapat mencapai jalan tasawuf. Pasalnya, salat dapat juga dikatakan sebagai adalah mi’rajul mukminin, yaitu mi’raj bagi orang yang beriman. Karena saat kita salat, artinya kita berkomunikasi dengan Allah swt, atau bisa disebut dengan komunikasi transendental. 

    Selain itu, ibadah salat bagi seorang muslim dianggap sebagai tangga menuju hakikat yang tinggi di sisi Allah. Sehingga ketika seseorang tersebut telah mampu mencapai shalat tasawuf, kualitas jiwa spiritualnya lebih mulia daripada mereka yang hanya salat sekedar menggugurkan kewajiban.

    Salat dengan esensi tasawuf selanjutnya akan mewujudkan akhlak dan perilaku yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Ankabut ayat 45.

    اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ

    Artinya: “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut: 45)

    Dalam istilah tasawuf, ada 2 istilah yang berhubungan dengan shalat. Yang pertama adalah salat langit, dan yang kedua salat bumi. Istilah yang pertama merupakan istilah shalatnya orang-orang yang mampu mencapai dan merasakan komunikasi transendental dengan Allah Swt. Sedang yang kedua merupakan istilah bagi mereka yang hanya shalat secara fisik dan sekedar menggugurkan kewajiban.

    Selain itu, esensi lainnya yakni saalat dapat menjadikan ketenangan hati. Ketenangan hati dalam kehidupan sehari-hari, dapat terwujud dari saalat yang dilakukan dengan tenang dan bijaksana. Saalat yang tenang adalah salat yang telah mencapai pada ruh salat. 

    Adapun ruh salat terdiri dari, khusyuk, hadir hati, ikhlas, dan takut. Khusyuk sendiri merupakan suatu kondisi yang memberikan pengaruh pada jiwa, yang kemudian menjadi tampak dalam anggota badan. Sedangkan hadir hati ketika salat yaitu suatu kondisi dimana hati dan fikiran hanya terfokus pada apa yang sedang diucapkan dan dikerjakan sewaktu saalat. 

    Yang ketiga, yaitu ikhlas, yakni semata-mata mempersembahkan ibadah tersebut kepada Allah. Yang terakhir adalah takut, maksudnya benar-benar merasakan kebesaran dan kehebatan Allah yang melebihi apa yang dilihat dan digambarkan oleh panca indera. Keempat ruh shalat tersebut dapat tumbuh ketika seseorang dapat meresapi shalatnya.

    Selain salat, puasa adalah bagian dari kewajiban umat Islam, yang apabila dilakukan dengan hati yang murni akan memberikan manfaat untuk jiwa. Puasa bagi tasawuf merupakan ibadah yang paling efektif untuk menundukkan hawa nafsu. Karena puasa puasa merupakan separuh dari sabar, dan sabar adalah separuh iman. 

    Menurut Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak yang rendah.

    Puasa dalam perspektif tasawuf mempunyai tiga bagian sesuai dengan kemampuan tingkatannya.  Yang  pertama yaitu tingkat yang paling rendah, yakni puasa yang hanya menahan lapar, haus, jimak, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa menurut syariah dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. 

    Yang kedua yaitu tingkatan yang lebih tinggi adalah tingkatan yang kedua, yaitu puasanya orang tidak hanya menahan diri dari lapar, haus, dan jimak saja. Namun menahan diri dari pandangan yang  merendahkan,  memandang  yang  dapat  menghantarkan  kepada  Allah,  serta  menahan mulut  untuk  tidak  mengeluarkan  kata-kata  yang  dapat  menyakiti  perasaan  orang  lain. 

    Sedang  tingkatan  yang  tertinggi  adalah  puasanya para  wali  Allah  yang  berpuasa  dari melupakan Tuhan atau lalai mengingat-Nya. Sepanjang para wali Allah senantiasa berusaha untuk mengingat Allah. Para   sufi memahami  tujuan  puasa  adalah  bersikap  hidup  atau  berakhlak  dengan sebagian  akhlak Allah, yaitu dengan hanya bergantung kepada kekuasaan Allah, serta berusaha memerangi dan menahan nafsu supaya dapat meraih derajat yang mulia di sisi-Nya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Puasa, Perjalanan Spiritual Menuju Kedekatan Ilahi

    Puasa, Perjalanan Spiritual Menuju Kedekatan Ilahi

    Puasa Ramadan sebagai salah satu rukun Islam tidak hanya dipandang sebagai ibadah yang bersifat lahiriah, juga memiliki dimensi batiniah yang sangat dalam. Dalam khazanah tasawuf, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, juga merupakan  perjalanan spiritual yang mendalam menuju kedekatan dengan Allah Swt. 

    Dalam tasawuf, puasa dipandang sebagai sarana untuk membersihkan diri dari segala sifat tercela dan penyakit hati yang dapat menghalangi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, seorang muslim belajar untuk mengendalikan hawa nafsu, menundukkan ego, serta membersihkan hati  dari segala bentuk iri, dengki, dan sifat-sifat buruk lainnya. 

    Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: 

     َهاَح َم ْن َز ّٰكىلَقَدْ اَفْ 

    “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (QS Asy-Syams: 9) 

    Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu kunci keberuntungan adalah menyucikan jiwa.  Puasa sebagai salah satu bentuk ibadah dapat menjadi sarana untuk membersihkan dan  menyucikan jiwa dari segala kotoran yang dapat menghalangi seorang hamba untuk  mendekatkan diri kepada Allah Swt. Puasa menjadi perjalanan transformatif yang membantu seorang muslim membersihkan diri  dari sifat-sifat tercela, mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi. 

    Manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna sering kali terjerumus dalam perbuatan dosa  dan maksiat. Sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki, sombong, ria, dan lainnya, dapat mengotori  hati dan jiwa, menjauhkan manusia dari rahmat Allah Swt. Puasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan dapat membantu seorang muslim mengendalikan hawa nafsu dan  menundukkan ego yang sering kali menjadi pendorong perbuatan dosa. 

    Rasulullah SAW bersabda,”Puasa itu adalah perisai.” (HR Bukhari dan Muslim) 

    Hadis ini menjelaskan bahwa puasa dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari segala perbuatan dosa dan maksiat. Dengan berpuasa, seorang muslim diharapkan dapat lebih mampu mengendalikan diri dari segala godaan yang dapat menjerumuskan ke dalam perbuatan yang  tidak diridai oleh Allah Swt. 

    Puasa juga merupakan latihan rohani yang intensif. Dalam Ramadan, seorang muslim diajak  untuk memperbanyak ibadah, seperti salat tarawih, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa.  Semua amalan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas spiritualitas seseorang, sehingga ia dapat merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta.

    Ramadan merupakan waktu yang tepat bagi seorang muslim untuk melakukan introspeksi diri. Dengan berpuasa, seseorang memiliki kesempatan untuk merenungi perbuatan-perbuatan yang  telah dilakukan, mengevaluasi diri, serta memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik. Puasa menjadi momentum untuk bertobat kepada Allah Swt atas segala dosa dan kesalahan  yang telah diperbuat. 

    Puasa juga merupakan manifestasi cinta seorang hamba kepada Allah Swt. Dengan berpuasa, seorang muslim menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan perintah Allah Swt daripada segala kenikmatan duniawi. Puasa menjadi bukti bahwa seorang hamba rela menahan lapar dan  haus demi meraih rida Allah Swt. 

    Dalam tasawuf, puasa dapat menjadi jalan menuju makrifatullah, yaitu pengenalan yang  mendalam tentang Allah Swt. Dengan berpuasa, seorang hamba diharapkan dapat merasakan kehadiran Allah Swt dalam setiap aspek kehidupannya. Puasa membantu seseorang untuk membuka hijab yang menutupi hatinya, sehingga ia dapat melihat kebesaran dan keindahan  Allah Swt. 

    Tingkatan Puasa 

    1. Puasa awam. Puasa ini adalah tingkatan puasa yang paling dasar, yaitu menahan diri  dari makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga  terbenam matahari. 

    2. Puasa khawas. Puasa ini adalah tingkatan puasa yang lebih tinggi, yaitu tidak hanya  menahan diri dari makan dan minum, juga menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa dan maksiat. 

    3. Puasa khawasulkhawas. Puasa ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, yaitu menjaga hati dari segala pikiran yang buruk dan hanya fokus kepada Allah SWT. 

    Selain berpuasa, setidaknya ada empat amalan lain yang sangat dianjurkan untuk dilakukan dalam Ramadan, yakni: 

    1. Membaca Al-Qur’an. Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Oleh karena itu,  umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan ini. 

    2. Salat tarawih. Salat tarawih adalah salat sunah yang hanya dilakukan selama Ramadan. Salat ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan karena memiliki keutamaan  yang besar. 

    3. Bersedekah. Ramadan adalah bulan yang tepat untuk memperbanyak sedekah. Dengan  bersedekah, seorang muslim tidak hanya membantu sesama, juga mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

    4. Memperbanyak zikir dan doa: Zikir dan doa adalah amalan yang sangat dianjurkan selama Ramadan. Dengan memperbanyak zikir dan doa, seorang muslim akan semakin  dekat dengan Allah Swt. 

    Kesimpulan 

    Puasa Ramadan adalah ibadah yang sangat istimewa. Selain memiliki dimensi lahiriah, puasa  juga memiliki dimensi batiniah yang sangat dalam. Dalam tasawuf, puasa dipandang sebagai  perjalanan spiritual yang mendalam menuju kedekatan dengan Allah Swt. Dengan memahami makna puasa dari sudut pandang tasawuf, seorang muslim dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan meraih hikmahnya secara optimal.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

     

  • Bank Mega Syariah menyalurkan 4.000 paket sembako di bulan Ramadhan

    Bank Mega Syariah menyalurkan 4.000 paket sembako di bulan Ramadhan

    Melalui program ini diharapkan kehadiran Bank Mega Syariah dapat dirasakan di tengah masyarakat.

    Jakarta (ANTARA) – Bank Mega Syariah menyalurkan sekitar 4.000 paket sembako kepada masyarakat yang berada di sekitar kantor pusat dan kantor cabang di berbagai kota pada bulan Ramadhan 1446 Hijriah.

    Direktur Risk & Compliance Bank Mega Syariah Marjana dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, menyampaikan kegiatan bertajuk Mega Syariah Berbagi 2025 ini merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat yang membutuhkan.

    “Dengan melibatkan kantor cabang Bank Mega Syariah di seluruh Indonesia, melalui program ini diharapkan kehadiran Bank Mega Syariah dapat dirasakan di tengah masyarakat,” katanya.

    Selain program Mega Syariah Berbagi, pada bulan Ramadhan tahun ini, Bank Mega Syariah kembali berpartisipasi dalam Gerakan Berbagi (GEBRAG) Pangan dengan mendistribusikan paket makanan berbuka puasa bersama CT Arsa Foundation.

    Bank Mega Syariah juga mendukung program Amaliyah Masjid Istiqlal dengan membagikan 1.500 paket berbuka puasa bagi jamaah di Masjid Istiqlal.

    “Melalui kolaborasi dengan CT Arsa Foundation, Bank Mega Syariah dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat, memastikan bahwa bantuan yang diberikan tepat sasaran dan memiliki dampak yang lebih luas bagi masyarakat yang membutuhkan,” ujar Marjana.

    Bank Mega Syariah juga melaksanakan berbagai kegiatan CSR lainnya, seperti program berbagi hewan kurban, donor darah, serta layanan kesehatan gratis yang menjangkau masyarakat di berbagai daerah.

    Bank Mega Syariah juga mendukung sektor pendidikan dan kesehatan melalui kerja sama strategis dengan berbagai instansi, seperti Muhammadiyah dan universitas lainnya. Kolaborasi ini diwujudkan melalui program pembiayaan, pendanaan, dan bantuan sosial yang bertujuan meningkatkan akses pendidikan dan layanan kesehatan.

    Sejumlah program yang telah dilaksanakan di 2024, antara lain penyaluran beasiswa untuk mahasiswa Muhammadiyah Aceh dan Muhammadiyah Riau melalui program Beasiswa Generasi Berkah. Bank Mega Syariah juga mendukung pengembangan institusi pendidikan dengan menyalurkan pembiayaan sebesar Rp203 miliar kepada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

    Selain itu, di sektor kesehatan, Bank Mega Syariah turut berkontribusi dengan memberikan bantuan satu unit ambulans kepada Yayasan Kusuma Husada Surakarta, yang menaungi Universitas Kusuma Husada Surakarta.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025