Tempat Fasum: Gedung Merah Putih KPK

  • KPK usut besaran tarif tidak resmi untuk urus izin kerja TKA

    KPK usut besaran tarif tidak resmi untuk urus izin kerja TKA

    Arsip – Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo saat memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (11/6/2025). ANTARA/Rio Feisal

    KPK usut besaran tarif tidak resmi untuk urus izin kerja TKA
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 13 Juni 2025 – 07:16 WIB

    Elshinta.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut besaran tarif tidak resmi untuk pengurusan izin kerja tenaga kerja asing (TKA) terkait kasus dugaan pemerasan di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa pengusutan itu dilakukan terhadap tiga orang agen pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang menjadi saksi dan diperiksa pada Kamis.

    “Ketiganya diperiksa terkait besaran tarif tidak resmi yang diminta oleh para tersangka agar proses pengurusan RPTKA dipercepat, serta apa yang akan dilakukan oleh para tersangka jika uang tarif tidak resmi tersebut tidak diberikan oleh para agen TKA,” ujar Budi dilansir dari ANTARA, Kamis.

    Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ketiga saksi tersebut adalah pekerja lepas jasa pengurusan RPTKA Erwin Yostinus, staf operasional di PT Indomonang Jadi Ety Nurhayati, dan staf operasional di PT Dienka Utama Purwanto.

    KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

    Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.

    KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

    Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

    Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.

    Sumber : Antara

  • KPK Dalami Besaran Tarif Tak Resmi yang Diminta Eks Pegawai Kemenaker ke TKA yang Urus Izin

    KPK Dalami Besaran Tarif Tak Resmi yang Diminta Eks Pegawai Kemenaker ke TKA yang Urus Izin

    KPK Dalami Besaran Tarif Tak Resmi yang Diminta Eks Pegawai Kemenaker ke TKA yang Urus Izin
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) mendalami besaran tarif yang diminta para tersangka
    kasus pemerasan
    pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (
    Kemenaker
    ) kepada para agen TKA.
    Materi tersebut didalami KPK saat memeriksa tiga saksi, yaitu Erwin Yostinus selaku wiraswasta (freelance jasa pengurusan RPTKA di Kemenaker); Ety Nurhayati selaku karyawan swasta (staf operasional PT Indomonang Jadi); dan Purwanto selaku staf operasional PT Dienka Utama.
    Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    “Ketiganya diperiksa terkait besaran tarif tidak resmi yang diminta oleh para tersangka agar proses pengurusan RPTKA dipercepat,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis.
    Budi mengatakan, penyidik juga mendalami tindakan yang dilakukan para tersangka jika tidak menerima uang yang diminta dari para agen TKA untuk pengurusan izin RPTKA.
    “KPK mendalami apa yang akan dilakukan oleh para tersangka jika uang tarif tidak resmi tersebut tidak diberikan oleh para agen TKA,” ujarnya.
    Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus pemerasan pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Kamis (5/6/2025).
    “Harus saya sampaikan bahwa per tanggal 19 Mei 2025, KPK telah menetapkan delapan orang tersangka terkait dengan tindak pidana korupsi yang saya sebutkan tadi di atas,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    Kedelapan tersangka adalah Suhartono (SH) selaku eks Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK); Haryanto (HY) selaku Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025.
    Kemudian Wisnu Pramono (WP) selaku Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019; Devi Angraeni (DA) selaku Koordinator Uji Kelayaan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA; Gatot Widiartono (GTW) selaku Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja; serta Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF) selaku staf.
    KPK mengatakan, para tersangka telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama periode 2019-2024.
    Budi merinci uang yang diterima para tersangka di antaranya, Suhartono (Rp 460 juta), Haryanto (Rp 18 miliar), Wisnu Pramono (Rp 580 juta), Devi Angraeni (Rp 2,3 miliar), Gatot Widiartono (Rp 6,3 miliar), Putri Citra Wahyoe (Rp 13,9 miliar), Alfa Eshad (Rp 1,8 miliar), dan Jamal Shodiqin (Rp 1,1 miliar).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK: Kasus Dana Operasional Gubernur Papua Era Lukas Enembe Rugikan Negara Rp1,2 Triliun

    KPK: Kasus Dana Operasional Gubernur Papua Era Lukas Enembe Rugikan Negara Rp1,2 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan korupsi berupa penggelembungan dan penyalahgunaan dana penunjang operasional serta program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah Provinsi Papua 2020-2022.

    Kasus tersebut merupakan pengembangan dari perkara suap dan gratifikasi serta pencucian uang yang menjerat mantan Gubernur Papua Lukas Enembe, yang telah meninggal dunia pada akhir 2023.

    “KPK sedang melakukan penyidikan terkait dengan penggelembungan dan penyalahgunaan dana penunjang operasional dan program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah Provinsi Papua tahun 2020 sampai dengan 2022 dengan perhitungan kerugian negara mencapai Rp1,2 triliun,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (11/6/2025). 

    Terkait dengan kasus tersebut, lembaga antirasuah telah menetapkan satu orang tersangka yakni Dius Enumbi. Dia merupakan mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu Kepala Daerah Provinsi Papua saat Lukas menjabat. 

    Pada proses penyidikan, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi salah satunya Willie Taruna, yang merupakan penyedia jasa money changer di Jakarta. Saksi itu diperiksa untuk menelusuri aset hasil dugaan korupsi tersebut. 

    “Penyidik menelusuri aliran uang yang berasal dari TPK dimaksud dalam rangka asset recovery (pemulihan aset). Nilai kerugian negara ini cukup besar, terlebih jika kita konversi untuk pembangunan fasiitas pendidikan dan kesehatan,” ujar Budi. 

    Sebelumnya, KPK menetapkan Lukas sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi sejumlah proyek bersumber dari APBD Papua. Dia juga lalu ditetapkan tersangka kasus dugaan pencucian uang.

    Pada perkara suap dan gratifikasi, mantan Gubernur Papua itu dijatuhi vonis delapan tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada November 2023. Kemudian, dia lalu mengajukan banding. 

    Atas putusan banding Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, pihak Lukas lalu tetap melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi. Namun, sebelum Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan putusan, Lukas meninggal dunia pada Desember 2023. 

  • Eks Anak Buah Hanif Dhakiri Diperiksa KPK Soal Pemerasan TKA Rp 53,7 M

    Eks Anak Buah Hanif Dhakiri Diperiksa KPK Soal Pemerasan TKA Rp 53,7 M

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus pemerasan dan gratifikasi dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) senilai Rp 53,7 miliar.

    Terbaru, KPK memeriksa dua pejabat era eks Menaker Hanif Dhakiri, yaitu Ruslan Irianto Simbolon (RIS) dan Heri Sudarmanto (HS) sebagai saksi.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Rabu (11/6/2025).

    RIS diketahui pernah menjabat sebagai staf ahli menaker bidang hubungan antarlembaga, sementara HS merupakan sekjen Kemenaker dan pernah menjadi direktur PPTKA sebelum 2017.

    Penyidikan Meluas

    Kasus ini tidak hanya berhenti pada era Hanif Dhakiri. KPK juga telah memeriksa staf khusus Menaker era Ida Fauziyah, yaitu Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dan Risharuydi Triwibowo terkait aliran dana hasil pemerasan terhadap pihak asing yang ingin mempekerjakan TKA di Indonesia.

    KPK menduga praktik pemerasan TKA di Kemenaker sudah berlangsung sejak 2012, dimulai saat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjabat menakertrans pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    Praktik ini terus berlanjut ke era Hanif Dhakiri (2014–2019) dan Ida Fauziyah (2019–2024), yang keduanya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

    Eks Menaker Segera Dipanggil KPK

    Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo menegaskan, Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah akan dipanggil dalam waktu dekat untuk mengklarifikasi dan mengonfirmasi manajerial mengingat keduanya merupakan pimpinan tertinggi di Kemenaker saat kasus berlangsung.

    “Jika pimpinannya bersih, maka ke bawah juga akan bersih. Namun, harus dibuktikan dengan alat bukti dan pemeriksaan mendalam,” tegas Budi Sukmo.

    Dalam kasus pemerasan TKA di Kemenaker ini, KPK telah menetapkan delapan tersangka yang diketahui telah membagi hasil pemerasan kepada berbagai pihak, termasuk 85 pegawai Direktorat PPTKA dengan total nilai Rp 8,94 miliar. Sisa dana lainnya digunakan dan dibagi ke beberapa pihak dengan proporsi yang masih didalami penyidik.

  • 2 Stafsus Ida Fauziyah Saat Jabat Menaker Diduga Tahu Aliran Duit Pemerasan TKA

    2 Stafsus Ida Fauziyah Saat Jabat Menaker Diduga Tahu Aliran Duit Pemerasan TKA

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga dua staf khusus Ida Fauziyah saat menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan periode 2019-2024 mengetahui aliran duit pemerasan terkait perizinan tenaga kerja asing (TKA).

    Permintaan keterangan sudah dilakukan terhadap keduanya pada Selasa, 10 Juni.

    Adapun dua staf khusus yang diperiksa adalah Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dan Risharyudi Triwibowo. Mereka dimintai keterangan penyidik di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan. 

    “Saksi didalami terkait tugas dan fungsinya, pengetahuan mereka terkait dengan pemerasan terhadap TKA dan pengetahuan mereka atas aliran dana dari hasil pemerasan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Selasa, 10 Juni.

    Budi tidak memerinci lebih lanjut perihal pemeriksaan yang dilakukan penyidik. Tapi, informasi sumber VOI menyebut penyidik KPK sudah mengendus peran staf khusus (stafsus) Menteri Tenaga Kerja (Kemnaker) periode 2019-2024 dalam kasus ini.

    Diketahui, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hanif Dhakiri menjabat sebagai Menaker pada periode 2013-2019. Posisi ini kemudian ditempati Ida Fauziyah dari partai yang sama pada 2019-2024.

     

     

    Diberitakan sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan delapan tersangka kasus pemerasan pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) periode 2019-2024.

    Dua di antaranya adalah Suhartono dan Haryanto yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka diduga ikut merasakan aliran duit pemerasan dari agen TKA yang nilainya mencapai Rp53,7 miliar. 

    Sementara untuk tersangka lainnya adalah Wisnu Pramono selaku Direktur PPTKA Kemnaker; Devi Anggraeni selaku Koordinator Uji Kelayakan PPTKA periode 2020-Juli 2024 kemudian jadi Direktur PPTKA periode 2024-2025; Gatot Widiartono selaku Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kementerian Ketenagakerjaan; serta Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad yang merupakan staf di Ditjen Binapenta dan PPK.

    Kasus ini bermula ketika perintah memeras pemohon disampaikan oleh Suhartono dan Haryanto selaku eks Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker serta dua eks Direktur PPTKA Kemnaker Wisnu Pramono dan Devi Angraeni. Permintaan ini kemudian dieksekusi Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad selaku verifikator.

    Modusnya disebut KPK dengan mengutamakan agen TKA yang memberi uang untuk mengurus berkas Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Sedangkan mereka yang tidak memberi uang diulur pengajuannya bahkan tidak diproses.

     

  • Dua Mantan Stafsus Menaker Dicecar KPK Soal Aliran Uang Hasil Peras Agen TKA – Page 3

    Dua Mantan Stafsus Menaker Dicecar KPK Soal Aliran Uang Hasil Peras Agen TKA – Page 3

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan identitas para tersangka kasus korupsi pengurusan perencanaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) pada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) 2019-2023.

    Total saat ini ada delapan orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Delapan orang tersebut yakni inisial SH, HYT, WP, DA, GW, PCW, JS, dan AE.

    “SH adalah Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja,” ungkap Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

    Lalu, tersangka HYT adalah Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang kemudian menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker. WP merupakan Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing,

    Kemudian, DA merupakan Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kemenaker.

    “Saudara GW selaku Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker,” ucap Budi.

    “Lalu tiga orang yang menjadi satu sprindik (surat perintah penyidikan) saja, yaitu saudara PCW, JS, dan AE. Semuanya adalah staf di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing,” tambah Budi.

    Dari informasi yang dihimpun, SH merupakan Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker pada 2020–2023.

    HYT adalah Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional. HYT sempat menjabat sebagai Direktur PPTKA Kemenaker pada 2019–2024, dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker pada 2024–2025.

    Berikutnya, Direktur PPTKA Kemenaker pada 2017–2019 Wisnu Pramono (WP), dan Direktur PPTKA Kemenaker pada 2024–2025 Devi Anggraeni (DA).

    Kemudian Koordinator Analisis dan PPTKA Kemenaker pada tahun 2021—2025 Gatot Widiartono (GW), dan Petugas Saluran Siaga RPTKA pada tahun 2019—2024 dan verifikatur pengesahan RPTKA di Direktorat PPTKA Kemenaker pada tahun 2024—2025 Putri Citra Wahyoe (PCW).

    Terakhir, Analis TU Direktorat PPTKA pada tahun 2019—2024 dan Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA Kemenaker pada tahun 2024—2025 Jamal Shodiqin (JS), serta Pengantar Kerja Ahli Muda Kemenaker pada tahun 2018—2025 Alfa Eshad (AE).

     

    Reporter: Rahmat Baihaqi

    Sumber: Merdeka.com

  • KPK Periksa Lagi Eks Pejabat BI di Kasus CSR, Dicecar Soal Anggaran Tahunan

    KPK Periksa Lagi Eks Pejabat BI di Kasus CSR, Dicecar Soal Anggaran Tahunan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan pejabat di lingkungan Bank Indonesia (BI) Irwan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dana corporate social responsibility (CSR), atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). 

    Irwan diperiksa untuk kedua kalinya setelah sebelumnya menjalani pemeriksaan pada 26 Mei 2025 lalu. Pada pemeriksaan hari ini, Selasa (10/6/2025), penyidik memeriksanya terkait dengan proses pembahasan anggaran tahunan bank sentral itu. 

    Irwan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Kepala Divisi Hubungan Kelembagaan BI. 

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama Irwan sebagai Mantan Kepala Divisi Hubungan Kelembagaan Bank Indonesia. Saksi hadir dan didalami terkait proses pembahasan anggaran tahunan Bank indonesia,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (10/6/2025). 

    Berdasarkan catatan Bisnis, belakangan ini KPK tengah fokus memanggil sejumlah saksi terkait dengan kasus tersebut dari lingkungan BI. Pada Senin (2/6/2025), penyidik KPK memeriksa mantan Kepala Departemen Komunikasi (Depkom) BI Erwin Haryono. 

    Saat itu, penyidik memeriksa Erwin ihwal proses dan prosedur dalam penganggaran, pengajuan, sampai dengan pencairan PSBI. 

    Untuk diketahui, kasus dugaan korupsi penyaluran dana CSR BI sudah naik ke tahap penyidikan sejak akhir 2024 lalu. Namun, surat perintah penyidikan (sprindik) yang diterbitkan bersifat umum sehingga belum ada pihak yang ditetapkan tersangka. 

    Penyidik KPK pun telah memeriksa berbagai saksi serta menggeledah sejumlah tempat. Beberapa di antaranya adalah kantor BI termasuk ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo, salah satu ruangan di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pusat dan rumah dua anggota DPR Komisi XI periode 2019-2024, Satori dan Heri Gunawan. 

    Satori dan Heri juga telah diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi. Satori, yang merupakan politisi Nasdem, serta Heri yang merupakan politisi Gerindra, diduga menerima dana CSR melalui yayasan milik mereka di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. 

    Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pada April 2025 lalu sempat mengungkap bahwa lembaganya tidak lama lagi akan menetapkan pihak tersangka dalam kasus tersebut. Hal itu diungkapnya saat ditanya ihwal status hukum anggota DPR Komisi XI 2019-2024 Fraksi Partai Nasdem, Satori, yang sudah beberapa kali diperiksa KPK. 

    Sejauh ini, terang Asep, lembaganya menduga bahwa yayasan penerima CSR BI yang dimiliki Satori dan Heri tidak menggunakan dana bantuan itu sesuai dengan fungsinya.   

    Misalnya, apabila awalnya dana CSR ditujukan untuk membangun rumah rakyat 50 unit, kenyataan di lapangan rumah yang dibangun tidak sampai jumlah tersebut.   

    “Tidak 50-nya dibangun. Tapi hanya misalkan 8 atau 10. Terus yang 40-nya ke mana? Ya itu tadi. Yang 40-nya dalam bentuk uangnya tidak dibangunkan rumah. Akhirnya dibelikan properti. Yang baru ketahuan baru seperti itu,” kata Asep.   

    Sementara itu, Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso memastikan bahwa penyaluran CSR BI dilakukan dengan tata kelola/ketentuan yang benar.  

    “Proses pemberian PSBI senantiasa dilakukan sesuai tata kelola/ketentuan yang benar, mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kemanfaatan,” tuturnya, Minggu (29/12/2024).

  • KPK Panggil Eks Pejabat Mohamad Haniv yang Diduga Terima Gratifikasi untuk Fashion Show Anaknya

    KPK Panggil Eks Pejabat Mohamad Haniv yang Diduga Terima Gratifikasi untuk Fashion Show Anaknya

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Mohamad Haniv selaku eks Direktorat Jenderal Pajak (Kakanwil DJP) Banten serta Jakarta Khusus pada hari ini, Selasa, 10 Juni. Dia diperiksa terkait dugaan penerimaan gratifikasi sebesar Rp 21,5 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk gelaran fashion show anaknya.

    “Pemeriksaan dilakukan di gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 10 Juni.

    Haniv disebut Budi sudah tiba di kantor komisi antirasuah sejak pukul 09.40 WIB. “KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap pihak terkait dugaan tindak pidana korupsi beruga gratifikasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan,” tegasnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan eks Pejabat Ditjen Pajak Muhamad Haniv sebagai tersangka dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp21.560.840.634. Permintaan ini dilakukannya saat menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus.

    Dari jumlah tersebut, komisi antirasuah memerinci Rp804 juta ditujukan untuk mensponsori fashion show merk pakaian pria milik anaknya yakni FH Pour Homme by Feby Haniv.

    Selain itu, Haniv diduga menerima gratifikasi lain dalam bentuk valuta asing senilai Rp6.665.006.000 dan penempatan pada deposito BPR Rp14.088.834.634. Sehingga total penerimaan yang dilakukannya mencapai Rp21.560.840.634.

    Meski sudah diumumkan sebagai tersangka, Haniv belum ditahan KPK. Saat ini KPK fokus mengumpulkan bukti dan pemeriksaan saksi-saksi sekaligus melakukan asset tracing atau pencarian aset dari hasil kejahatan yang dilakukan.

    Dalam kasus ini, penyidik dalam kasus ini sudah menggarap sejumlah saksi di antaranya General Manager PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), Irla Mugi Prakoso. Ia dicecar penyidik soal permintaan uang yang dilakukan Haniv terhadap para wajib pajak.

    Kemudian, turut digarap sejumlah pihak lainnya termasuk Sharif Benyamin selaku Direktur KSO Summarecon Serpong sebagai saksi pada Selasa, 4 Maret kemarin. Penyidik mendalami maksud pemberian uang kepada Haniv oleh perusahaannya.

  • KPK Panggil 3 Eks Staf Khusus Menaker di Kasus Pemerasan TKA

    KPK Panggil 3 Eks Staf Khusus Menaker di Kasus Pemerasan TKA

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil tiga orang mantan Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) era Ida Fauziyah (2019-2024) dan Hanif Dhakiri (2014-2019) sebagai saksi kasus dugaan pemerasan terkait dengan Rencana Penggunanan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

    Ketiganya dipanggil oleh tim penyidik hari ini, Selasa (10/6/2025). Dua dari tiga mantan staf khusus Menaker itu menjabat di era Ida Fauziyah. Mereka adalah Caswiyono Rusydie Cakrawangsa serta Risharyudi Triwibowo.

    Kemudian, satu orang lagi yakni Luqman Hakim yang menjabat Staf Khusus Menaker era sebelumnya, yakni Hanif Dhakiri. 

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama: CRCS Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, RT Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan dan LM Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Hanif Dhakiri),” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (10/6/2025). 

    Sebelumnya, KPK menyebut bakal memeriksa dua mantan Menaker sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan kementerian tersebut.

    Dua orang mantan menteri itu yakni Hanif Dhakiri, yang menjabat Menaker 2014-2019, serta Ida Fauziyah, yang menjabat selama 2019-2024. Keduanya kini merupakan anggota DPR periode 2024-2029 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 

    Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo mengakui, kedua mantan menteri itu bakal dimintai klarifikasi lantaran adanya dugaan penerimaan gratifikasi secara berjenjang dari staf hingga pimpinan tertinggi kementerian.

    Para tersangka yang ditetapkan mulai dari staf hingga selevel direktur jenderal (dirjen). 

    Untuk diketahui, KPK menjerat sebanyak delapan orang tersangka dari internal Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kemnaker, dengan pasal pemerasan dan gratifikasi. 

    “Tadi sudah saya sampaikan juga ya berjenjang dari Menteri HD sampai IF pasti akan kita klarifikasi terhadap beliau-beliau terhadap praktik yang ada di bawahnya, karena secara manajerial, beliau-beliau adalah pengawasnya,” terang Budi pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025). 

    Budi memastikan penyidik akan meminta klarifikasi apabila aliran uang hasil korupsi itu mencapai level paling atas Kemnaker.

    Penegak hukum juga akan mengklarifikasi semua bukti temuan saat penggeledahan. 

    Dia mengatakan pimpinan tertinggi kementerian bakal diklarifikasi guna mengusut apabila praktik pemerasan maupun penerimaan gratifikasi itu berdasarkan sepengetahuan mereka atau tidak. 

    “Apakah praktik ini sepengetahuan atau seijin atau apa, perlu kami klarifikasi. Hal tersebut sangat penting untuk dilaksanakan sehingga nanti apa yang kita lakukan ke depan upaya pencegahan juga in line dari atasnya sampai bawah satu perintah bahwa itu menteri bersih, InsyaAllah bawahnya bersih,” ujarnya. 

    Menurut Budi, penegak hukum turut menjerat para tersangka dengan pasal gratifikasi guna menjaga-jaga apabila bukti yang diperoleh tidak cukup untuk dugaan pemerasan.

    Pengenaan pasal gratifikasi juga diharapkan bisa menyasar ke pimpinan tertinggi kementerian apabila bukti terkait berhasil ditemukan. 

    “Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” papar Budi.

    Delapan orang tersangka yang dimaksud :

    1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;

    2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;

    3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;

    4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;

    5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat 

    Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025; 

    6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;

    7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta 

    8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.

    Lembaga antirasuah menduga kedelapan tersangka itu melakukan pemerasan terhadap calon tenaga kerja asing (TKA) yang ingin melakukan pekerjaan di Indonesia. 

    Untuk diketahui, agar bisa bekerja di Indonesia, calon pekerja migran dari luar negeri itu harus mendapatkan RPTKA. Sementara itu, RPTKA dikeluarkan oleh Ditjen Binapenta dan PKK. 

    Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.

    “Bahwa penelusuran aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” terang Budi.

  • Bungkam Usai Diperiksa KPK, Haniv Eks Pejabat Pajak Terobos Hujan Sambil Sibuk Telepon
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Juni 2025

    Bungkam Usai Diperiksa KPK, Haniv Eks Pejabat Pajak Terobos Hujan Sambil Sibuk Telepon Nasional 10 Juni 2025

    Bungkam Usai Diperiksa KPK, Haniv Eks Pejabat Pajak Terobos Hujan Sambil Sibuk Telepon
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus,
    Muhamad Haniv
    , bungkam usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ), Jakarta, pada Selasa (10/6/2025).
    Pantauan di lokasi, Haniv keluar dari ruang pemeriksaan Gedung Merah Putih pada pukul 14.53 WIB.
    Dia terlihat mengenakan kemeja batik coklat dilengkapi dengan peci dan masker.
    Haniv langsung bergegas meninggalkan Gedung Merah Putih KPK tanpa memberikan keterangan apa pun kepada wartawan.
    Saat dicecar pertanyaan mengenai materi pemeriksaannya, Haniv hanya sibuk menelepon, tetapi tidak mengeluarkan suara.
    Kemudian, dia terus berjalan cepat melewati kerumunan wartawan.
    Meski hujan deras, Haniv tetap menerobos keluar tanpa sempat menggunakan payung, didampingi seorang staf yang juga enggan berkomentar.
    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa eks Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Muhamad Haniv, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa.
    Muhamad Haniv adalah tersangka kasus dugaan gratifikasi.
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK. Hadir sekitar pukul 09.40 WIB,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa.
    KPK menetapkan Muhamad Haniv sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi pada 12 Februari 2025.
    Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan, Haniv disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
    Sejak tahun 2011, Haniv menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Provinsi Banten.
    Lalu, pada tahun 2015-2018, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus.
    Asep mengatakan anak Haniv memiliki latar belakang pendidikan mode bernama Feby Paramita dan sejak 2015 mempunyai usaha fashion brand untuk pakaian pria bernama
    FH POUR HOMME
    by FEBY HANIV yang berlokasi di Victoria Residence, Karawaci.
    “Selama menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, tersangka HNV diduga telah melakukan perbuatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya dengan menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk kepentingan dirinya dan usaha anaknya,” ujarnya.
    Pada 5 Desember 2016, Haniv disebut mengirimkan surat elektronik atau e-mail kepada Yul Dirga (Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3) berisi permintaan untuk dicarikan sponsorship
    fashion show
    FH POUR HOMME by FEBY HANIV yang akan dilaksanakan pada 13 Desember 2016.
    “Permintaan ditujukan untuk ‘2 atau 3 perusahaan yang kenal dekat saja’ dan pada bujet proposal tertera nomor rekening BRI dan nomor handphone an. FEBY PARAMITA dengan permintaan sejumlah Rp150.000.000,” tuturnya.
    Atas e-mail permintaan tersebut, terdapat transfer masuk ke rekening BRI milik Feby Paramita, yang diidentifikasi terkait dengan pemberian gratifikasi yang berasal dari wajib pajak Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus maupun dari pegawai KPP Penanaman Modal Asing 3 sebesar Rp300.000.000.
    Sepanjang tahun 2016-2017, keseluruhan dana masuk ke rekening BRI milik Feby Paramita berkaitan dengan pelaksanaan seluruh
    fashion show
    FH POUR HOMME by FEBY HANIV yang berasal dari perusahaan ataupun perorangan yang menjadi wajib pajak dari Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus adalah sebesar Rp387.000.000.
    Sementara dana yang masuk untuk acara tersebut yang berasal dari perusahaan ataupun perorangan yang bukan wajib pajak Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus adalah sebesar Rp417.000.000.
    Asep mengungkapkan seluruh penerimaan gratifikasi berupa
    sponsorship
    pelaksanaan
    fashion show
    FH POUR HOMME by FEBY HANIV adalah sebesar Rp804.000.000, di mana perusahaan-perusahaan tersebut menyatakan tidak mendapatkan keuntungan atas pemberian uang
    sponsorship
    untuk kegiatan
    fashion show
    (tidak mendapat eksposur ataupun keuntungan lainnya).
    “Bahwa pada periode tahun 2014-2022, Muhamad Haniv diduga beberapa kali menerima sejumlah uang dalam bentuk valas dollar Amerika dari beberapa pihak terkait melalui Budi Satria Atmadi,” kata dia.
    Budi Satria Atmadi selanjutnya melakukan penempatan deposito pada BPR menggunakan nama pihak lain dengan jumlah yang sudah diketahui sebesar Rp10.347.010.000 dan pada akhirnya melakukan pencairan seluruh deposito ke rekening Haniv sejumlah Rp14.088.834.634.
    Pada tahun 2013-2018, Haniv melakukan transaksi keuangan pada rekening-rekening miliknya melalui Perusahaan Valuta Asing dan pihak-pihak yang bekerja pada Perusahaan Valuta Asing keseluruhan sejumlah Rp6.665.006.000.
    “Bahwa Muhamad Haniv telah diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi untuk
    fashion show
    Rp804.000.000, penerimaan lain dalam bentuk valas Rp6.665.006.000, dan penempatan pada deposito BPR Rp14.088.834.634 sehingga total penerimaan sekurang-kurangnya Rp21.560.840.634,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.