Jakarta, Beritasatu.com – Perjalanan manusia di dunia merupakan perjalanan untuk menerima segala sesuatu yang hadir pada hidupnya. Baik dan buruk, manis dan pahitnya kehidupan bak gerigi arloji yang senantiasa berdetak memutar jarum jamnya merotasi waktu, mengalihkan satu ukuran kehidupan kepada kehidupan lainnya.
Manusia senantiasa berhadap-hadapan dengan kenyataan yang seperti itu. Yakni, kenyataan yang silih berganti. Hidupnya yang penuh dengan kegembiraan di siang hari, bisa saja kemudian berubah seketika pada saat malam berganti.
Bahkan tanpa hitungan hari atau jam sekali pun, nikmat seseorang dapat hilang seketika sirna, pun dengan kesedihannya yang dapat sekejap terangkat. Kehidupan manusia sejatinya adalah kehidupan yang terus berada dalam dua persimpangan ini.
Dan sebaik-baiknya muslim adalah mereka yang mampu berdamai pada dua kondisi ini. Sebab, dengan cara menerima kedua kondisi tersebutlah maka, seorang muslim akan mendapatkan kebaikan, baik ketika menerima nikmat atau menghadapi ujian.
Hal ini menggambarkan situasi ideal bagi seorang muslim, yakni bahwa kondisi yang terjadi pada hidup seorang muslim hendaknya tidak mempengaruhi dirinya. Kesadaran untuk menautkan diri pada ketuhanan menjadi kunci dari menjalani hidup ini. Rasul secara lebih rinci menampilkan posisi ideal tersebut, beliau bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ.
“Alangkah menakjubkannya keadaan seorang (muslim) yang beriman, karena semua urusan (yang hadir dalam hidupnya) merupakan kebaikan, dan ini hanya ada pada seorang (muslim) yang beriman; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.” (HR Muslim).
Terkadang seorang muslim harus menerima segala sesuatu yang datang ke dalam hidupnya dengan penuh kesadaran. Selain kesadaran yang dibangun oleh dua nilai sebelumnya tadi, yaitu syukur dan sabar. Kesadaran lainnya ialah rasa penerimaan atas kenyataan tersebut secara penuh keikhlasan.
Kesadaran yang dihayati sebagai bentuk penerimaan atas takdir yang telah Allah tetapkan semata kepadanya. Kesadaran yang berangkat dari kepercayaan pada Keagungan dan Ketunggalan-Nya. Tidak ada suatu peristiwa tanpa izin-Nya, dan tiada kenyataan yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya.
Allah berfirman:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَاۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Hadid: 22)
Maka alangkah pentingnya setiap muslim untuk menanamkan kesadarannya yang bersandar kepada keimanan akan segala takdir-Nya. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai tawakal, yaitu konsep berserah diri kepada Allah.
Tawakal bukanlah sifat pasrah tanpa usaha, bukan sikap fatalisme buta, menganggap bahwa segala keadaan secara mutlak merupakan urusan Allah saja. Padahal, tawakal memiliki titik tolak pemahaman yang berbanding terbalik dengan pasrah tanpa usaha tersebut.
Seorang pengendara unta pernah bertanya kepada Rasul, tatkala dirinya hendak meninggalkan untanya, lelaki itu berkata:
قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُرْسِلُ نَاقَتِي وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Apakah aku membiarkan unta ini lalu (cukuplah) bertawakal kepada Allah? Rasul menjawab, “Tambatkanlah (tali) pada unta tersebut dan bertawakallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Hadis lain yang memiliki resonansi yang sama dengan hadis sebelumnya, yakni:
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya kalian diberi rizki seperti rizkinya burung, pergi dengan perut kosong di pagi hari dan pulang di sore hari dengan perut terisi penuh.” (HR.Tirmidzi).
