TRIBUNNEWS.COM – Tawar menawar terus terjadi antara Israel dan Hamas demi kesepakatan gencatan senjata tercapai.
Namun, tawar menawar tersebut tak pernah menemui titik terang agar perdamaian di Gaza terwujud.
Terbaru, Israel telah menolak tawaran Hamas untuk membebaskan seorang warga negara ganda Amerika-Israel.
Hamas mengatakan pihaknya telah mengajukan tawaran untuk membebaskan Edan Alexander, warga asli New Jersey, seorang prajurit berusia 21 tahun dalam tentara pendudukan Israel.
Tawaran dari Hamas ini dilakukan setelah menerima proposal dari mediator untuk negosiasi tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata.
Akan tetapi, kesepakatan ini berada dalam ketidakpastian karena Israel menolak untuk memulai negosiasi tahap kedua dan berupaya memberikan tekanan maksimum kepada Palestina untuk memaksa mereka menerima persyaratan barunya.
Dikutip dari Middle East Monitor, Hamas mengatakan pemimpin Gaza Khalil Al-Hayya tiba di Kairo, Mesir pada Jumat (14/3/2025).
Al-Hayya berada di Kairo untuk melakukan pembicaraan gencatan senjata dengan mediator Mesir.
Sejak fase pertama sementara gencatan senjata berakhir pada tanggal 2 Maret, Israel telah menutup perbatasan ke Gaza, melarang semua bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza, dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pabrik desalinasi di daerah kantong itu.
Israel mengatakan ingin memperpanjang fase pertama gencatan senjata sementara, sebuah usulan yang didukung oleh utusan AS Steve Witkoff.
Lalu Hamas mengatakan akan melanjutkan pembebasan tawanan hanya pada fase kedua.
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut tawaran pembebasan Alexander sebagai “manipulasi dan perang psikologis”.
“Meskipun Israel telah menerima usulan Witkoff, Hamas tetap pada penolakannya dan tidak bergeming sedikit pun,” kata kantor Netanyahu menambahkan.
Dikatakan bahwa ia akan bersidang dengan kabinetnya Sabtu (15/3/2025) malam untuk membahas situasi dan memutuskan langkah selanjutnya.
Witkoff mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih pada awal Maret bahwa pembebasan Alexander merupakan “prioritas utama”.
Negosiator penyanderaan AS Adam Boehler bertemu dengan para pemimpin Hamas dalam beberapa hari terakhir untuk meminta pembebasan Alexander.
Dua pejabat Hamas mengatakan kepada Reuters bahwa persetujuan mereka untuk membebaskan Alexander dan keempat jenazah itu bersyarat pada dimulainya perundingan mengenai gencatan senjata tahap kedua, pembukaan penyeberangan, dan pencabutan blokade Israel.
“Kami bekerja sama dengan para mediator agar kesepakatan ini berhasil dan memaksa pendudukan untuk menyelesaikan semua fase kesepakatan,” kata Abdel-Latif Al-Qanoua, juru bicara Hamas.
Hamas Disebut Buat Taruhan yang Buruk
Gedung Putih menuduh Hamas mengajukan tuntutan yang “sama sekali tidak praktis”.
Hamas juga disebut menunda kesepakatan untuk membebaskan sandera AS-Israel dengan imbalan perpanjangan gencatan senjata Gaza.
“Hamas bertaruh dengan sangat buruk bahwa waktu ada di pihaknya. Tidak demikian,” kata pernyataan dari kantor Steve Witkoff dan Dewan Keamanan Nasional AS, dikutip dari Arab News.
“Hamas sangat menyadari tenggat waktu itu, dan harus tahu bahwa kami akan menanggapinya dengan tepat jika tenggat waktu itu terlewati,” katanya lagi.
Witkoff menambahkan bahwa Trump telah bersumpah Hamas akan “membayar harga yang mahal” karena tidak membebaskan sandera.
Utusan Trump itu mengajukan proposal “jembatan” di Qatar pada hari Rabu untuk memperpanjang fase pertama gencatan senjata hingga pertengahan April jika Hamas membebaskan sandera yang masih hidup dengan imbalan tahanan Palestina.
“Hamas diberi tahu dengan tegas bahwa ‘jembatan’ ini harus segera diimplementasikan — dan bahwa warga negara AS-Israel Edan Alexander harus segera dibebaskan,” kata pernyataan itu.
“Sayangnya, Hamas telah memilih untuk menanggapi dengan secara terbuka mengklaim fleksibilitas sementara secara pribadi mengajukan tuntutan yang sama sekali tidak praktis tanpa gencatan senjata permanen,” tambahnya.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, ditanya apakah Amerika Serikat memprioritaskan pembebasan sandera Amerika, berkata: “Kami peduli dengan semua sandera”.
“Kami bertindak seolah-olah ini adalah pertukaran yang normal, ini adalah hal yang normal yang terjadi. Ini adalah kemarahan. Jadi mereka semua harus dibebaskan,” kata Rubio.
“Saya tidak akan mengomentari apa yang akan kami terima dan tidak terima, selain bahwa kita semua — seluruh dunia — harus terus mengatakan bahwa apa yang telah dilakukan Hamas adalah keterlaluan, konyol, sakit, menjijikkan,” katanya.
(*)