Bisnis.com, SURABAYA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyambut positif kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) menjadi 7,5%, meski industri berharap PE dapat turun lebih jauh lagi.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa pelaku usaha menyadari tarif PE penting untuk pendanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Eddy pun mengaku Gapki mendorong untuk membantu percepatan PSR ini.
Mengutip laman resmi BPDP, Kamis (21/11/2024), program PSR membantu pekebun rakyat memperbaharui perkebunan kelapa sawit dengan kelapa sawit yang lebih berkualitas dan berkelanjutan sehingga produktivitas lahan milik pekebun rakyat bisa ditingkatkan tanpa melalui pembukaan lahan baru.
“Memang terus terang, kalau kita berharap [tarif pungutan ekspor CPO] bisa turun lagi. Tetapi kan kita juga melihat bahwa pemerintah juga butuh untuk dana PSR,” kata Eddy saat ditemui di sela-sela acara Sosialisasi Pelaksanaan Eksportasi dan Pungutan Ekspor atas Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya di Hotel Ciputra World Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/11/2024).
Hanya saja, Eddy menyebut, jika tarif pungutan ekspor CPO kembali turun, maka akan timbul permasalahan lain di industri kelapa sawit. Imbasnya, produktivitas kelapa sawit tidak bertumbuh.
“Kalau nanti kita minta turun lagi, nanti problem lagi. Jadi gimana mau PSR ditingkatkan, sebenarnya dananya juga berkurang. Jadi kita bersyukur dengan sudah penurunan di angka ini tidak ada masalah,” terangnya.
Eddy menjelaskan, jika permasalahan kelapa sawit tidak segera diselesaikan maka akan membahayakan industri. Hal ini mengingat Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, di samping juga menjadi konsumen minyak sawit terbesar di dunia.
Apalagi, lanjut dia, Presiden Prabowo Subianto akan menerapkan program biodiesel 40% (B40) pada awal 2025 dan disusul B50 di tahun berikutnya.
“Apapun tidak ada alasan kata lain bahwa kita harus kejar peningkatan produktivitas, utamanya adalah untuk meningkatkan PSR,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyampaikan, perkebunan kelapa sawit yang sudah berusia lebih dari 25 menjadi salah satu biang kerok produktivitas sawit Indonesia masih rendah.
“Masih rendahnya tingkat produktivitas dari perkebunan kelapa sawit khususnya disebabkan oleh umur tanaman yang relatif sudah tua, ini sudah lebih dari 25 tahun,” ungkap Eddy.
Eddy juga mengungkap manajemen kebun yang tidak optimal turut serta menjadi penyebab rendahnya produktivitas perkebunan sawit, termasuk tidak menyelenggarakan praktik-praktik perkebunan yang baik (good agriculture practices) di perkebunan sawit rakyat.
Meski begitu, Eddy menegaskan pemerintah berkomitmen untuk mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional dan backbone perekonomian. Salah satunya melalui program PSR, yakni peningkatan produktivitas perkebunan rakyat menggunakan bibit bersertifikat.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO dan turunannya mengalami peningkatan signifikan pada Oktober 2024.
Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti mengatakan bahwa ekspor CPO dan turunannya mencapai US$2,37 miliar pada Oktober 2024, atau mengalami peningkatan sebesar 70,90% (month-to-month/mtm) dibanding bulan lalu sebesar US$1,38 miliar.
“Ekspor CPO dan turunanya secara bulanan meningkat 70,90%,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jumat (15/11/2024).
Di samping itu, kinerja ekspor CPO dan turunannya juga mengalami peningkatan secara tahunan. BPS mencatat ekspor komoditas ini mengalami peningkatan sebesar 25,35% (year-on-year/yoy) dari Oktober 2023 yang hanya senilai US$1,89 miliar.