Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai target lifting minyak sebesar 610.000 barel per hari (bph) pada 2026, sukar dicapai.
Angka 610.000 bph itu merupakan target yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka tersebut meningkat dari target lifting minyak pada APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph.
Peningkatan target itu juga didasari optimisme pemerintah, di mana realisasi lifting minyak pada November 2025 diklaim telah mencapai level 610.000 bph.
Praktisi Migas Hadi Ismoyo berpendapat, upaya untuk mencapai target lifting tahun depan akan berat. Bahkan, jika pemerintah ikut menghitung Natural gas liquid (NGL) dalam lifting minyak.
“Menurut saya cukup berat untuk mencapai 610.000 bph, walau including NGL,” ucap Hadi kepada Bisnis, Rabu (3/12/2025).
Mantan sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) itu berpendapat, pada 2026 tidak ada Plan of Development (POD) yang menghasilkan minyak secara signifikan.
Menurutnya, pemerinath dan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya akan melakukan percepatan produksi sumur eksplorasi atau Put on Production (PoP). Selain itu, pemerintah juga akan mendorong Optimasi Pengembangan Lapangan (OPL).
“2026 tidak ada New POD dengan significant oil production. So far hanya mengandalkan well work program dan POP and OPL. Singkat kata, kurang nendang,” tutur Hadi.
Di samping itu, dia juga menilai pada tahun depan pemerintah akan mengandalkan produksi dari sumur rakyat atau sumur tua. Hal ini seiring terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.
Melalui aturan baru tersebut, KKKS dapat melakukan kerja sama pengolahan bagian wilayah kerja (WK), tata kelola, keamanan sosial, dan perlindungan investasi demi memberdayakan sumur ilegal itu.
Khusus sumur rakyat, kegiatan operasinya akan dinaungi BUMD, koperasi, atau UMKM yang bekerja sama dengan KKKS. Kelak, KKKS pun wajib membeli minyak dari sumur rakyat tersebut dengan harga 80% dari Indonesian Crude Price (ICP).
Lebih lanjut, Hadi mengingatkan agar pemerintah dalam jangka pendek segara melakukan Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR) di lapangan-lapangan Original Oil In Place (OOIP).
Lapangan OOIP adalah lapangan yang memiliki total volume minyak asli yang berada di dalam suatu reservoir sebelum produksi dimulai
“Segera lakukan massive CEO di lapangan2 high OOIP seperti di Rokan misalnya atau tempat-tempat lain yang punya OOIP more than 100 MMSTB [Million Standard Stock Tank Barrels],” ucapnya.
Sementara untuk jangka menengah dan panjang, peningkatan produksi yang signifikan hanya bisa dilakukan melalui program eksplorasi yang masif.
“Dan itu tidak bisa instant. Butuh 5 sampai 10 tahun fastrack project di new basin unexplored,” kata Hadi.
Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat lifting minyak pada tahun depan diproyeksi mandek di level 600.000 hingga 610.000 bph.
Menurutnya, untuk meningkatkan kinerja lifting minyak pemerintah perlu menyederhanakan perizinan. Hal ini juga untuk memperlancar eksekusi sejumlah program.
“Perlu perubahan sistem, mestinya bukan izin, tetapi persetujuan saja untuk melakukan kegiatan, yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sebagai leading sectornya,” kata Pri Agung.
Di samping itu, dia juga berpendapat bahwa perbaikan disharmoni regulasi seperti pajak tidak langsung, seperti tax loss carry forward untuk kontrak yang berubah dari kontrak bagi hasil (KBH) gross split ke KBH cost recovery, juga perlu dilakukan.
“Itu akan membantu KKKS dalam hal keekonomian proyek, sehingga akan lebih mendorong kegiatan eksplorasi produksi,” katanya.
