Lumajang (beritajatim.com) – Letusan Gunung Semeru pada Rabu (19/11/2025) siang kemarin menyisakan kepedihan mendalam bagi warga lereng gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Termasuk Tukiyem, penyintas yang tinggal di Dusun Sumbersari Umbulan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo.
Dengan suara bergetar, ibu empat anak itu menceritakan ulang detik-detik ketika awan panas guguran (APG) meluncur deras ke permukiman dan memaksanya berlari menyelamatkan diri tanpa sempat menyentuh barang berharga sedikit pun.
Saat letusan terjadi, Tukiyem sedang berada di dalam rumahnya. Ia hendak memasak untuk keluarganya yang sedang beristirahat setelah beraktivitas di ladang. Cuaca saat itu mendung, namun tak ada yang mengira bahwa beberapa menit kemudian suasana berubah mencekam.
“Awalnya saya di rumah mau masak. Tiba-tiba orang-orang teriak suruh keluar, katanya gunung meletus. Bersamaan dengan itu, suara alarm tanda bahaya juga tak kunjung berhenti,” tuturnya.
Tak lama setelah teriakan itu terdengar suara dentuman besar dari arah puncak Semeru. Material vulkanik bergemuruh menuruni lereng. “Begitu dengar suara ledakan, saya langsung panik dan nangis. Jam dua siang itu saya nggak mikir apa-apa, langsung lari. Nggak bawa baju, nggak bawa uang, hanya bawa diri,” katanya.
Ia menggambarkan kepanikan warga yang berhamburan ke jalan. Anak-anak menangis mencari orang tua, sementara orang dewasa saling berteriak mencoba mengarahkan evakuasi. Dalam situasi itu, Tukiyem hanya memikirkan keluarganya: suami, empat anak, serta beberapa cucu yang tinggal bersamanya. “Alhamdulillah semua keluar. Nggak ada yang tertinggal,” ucapnya penuh syukur.
Namun keselamatan itu harus dibayar mahal. Rumah yang ia tinggali bertahun-tahun kini hanya tersisa puing yang berlapis material vulkanik.
“Dua hari saya mengungsi, baru dengar kabar rumah saya habis. Barang-barang sudah nggak bisa diambil. Baju nggak ada, peralatan mandi nggak ada. Rumah rata, nggak ada yang bisa diselamatkan,” ujarnya.
Tidak hanya kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan Tukiyem juga ikut musnah. Ladang cabai dan padi yang beberapa hari lagi siap panen kini tertutup batu dan pasir panas.
“Saya sebelum meletus itu nanam cabai sama padi. Tinggal nunggu panen, tapi ya sudah, sekarang semua gagal. Banyak batu besar di ladang, tanamannya mati semua,” katanya.
Kerugian semakin membengkak setelah lima ekor kambing yang selama ini menjadi tabungan keluarga juga ditemukan mati. “Kambing lima ekor mati semua. Mau gimana? Itu tabungan saya. Rumah saja habis, panen hilang, kambing mati. Mau kerja apa? Nggak ada apa-apa lagi,” ungkapnya sambil menahan tangis.
Tukiyem mengaku bahwa erupsi kali ini bukan yang pertama ia alami. “Ini sudah empat kali saya terdampak. Tapi ya tetap saja, setiap kejadian pasti panik. Nggak pernah ada waktu untuk siap,” tuturnya. Menurutnya, alarm peringatan yang berbunyi saat itu membuat warga semakin cemas. “Alarm bunyi terus. Orang-orang langsung lari semua.”
Kini, Tukiyem bersama ratusan warga lain bertahan di pengungsian. Kebutuhan dasar mulai menipis, terutama pakaian dan bahan-bahan harian. “Saya butuh baju, alat mandi, minyak, beras. Semua sudah habis. Mau pulang juga nggak bisa, karena di rumah sudah nggak ada apa-apa,” jelasnya.
Meski demikian, ia tetap menyisakan sedikit harapan. Yang terpenting, kata dia, keluarganya selamat. “Alhamdulillah anak empat, cucu, suami semua selamat. Harta habis nggak apa-apa, yang penting keluarga lengkap,” kata Tukiyem menutup ceritanya—sebuah kisah tentang kehilangan, kepanikan, dan ketangguhan warga lereng Semeru menghadapi bencana yang berulang. (ada/kun)
