Tanggapi Surat Terbuka 7 Profesor ke Presiden, Kemenkes: UU Kesehatan Hilangkan Liberalisasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian
Kesehatan
(
Kemenkes
) buka suara ihwal surat terbuka dari tujuh profesor yang tergabung dalam Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa kepada Presiden Prabowo Subianto.
Diketahui dalam surat terbukanya, aliansi tersebut menyinggung soal profil
kesehatan
masyarakat yang belum memuaskan dan ketidakharmonisan antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dengan organisasi profesi (OP).
Begitu pun dengan UU Kesehatan yang dinilai tidak mendengar aspirasi organisasi profesi.
Namun menurut Kemenkes, UU Kesehatan justru dibuat untuk menghilangkan liberalisasi sektor kesehatan yang tadinya hanya disetir dan didominasi oleh organisasi massa maupun individu tertentu.
“UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 justru menghilangkan liberalisasi sektor kesehatan yang tadinya disetir dan didominasi oleh organisasi massa dan individu tertentu, yang mana sekarang diambil alih seluruhnya oleh pemerintah,” jelas perwakilan Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes menyampaikan klarifikasi kepada
Kompas.com
, Kamis (2/1/2025).
Kemenkes menyatakan, pihaknya akan melindungi kepentingan rakyat. Perubahan-perubahan dilakukan justru untuk kepentingan 280 juta warga Indonesia.
“Jadi bisa dipahami mengapa ada pihak-pihak dari tenaga medis atau tenaga kesehatan yang emosi dan menggugat pemerintah,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, tujuh orang profesor kesehatan yang tergabung dalam Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
Mereka adalah Djohansjah Marzoeki, Sukman Tulus Putra, Menaldi Rasmin, Muchtaruddin Mansyur, Zainal Muttaqin, Andi Asadul Islam, dan Hardyanto Soebono.
Mereka menyoroti profil kesehatan dalam negeri yang belum memuaskan. Misalnya, berbagai penyakit menular seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria dan demam berdarah, penanganannya belum maksimal.
Di sisi lain, prevalensi faktor risiko kardiovaskular dan penyakit metabolik seperti penyakit jantung dan diabetes terus meningkat dan belum menunjukkan hasil memuaskan.
Di samping itu, mereka juga menyoroti profil kesehatan Indonesia yang berada di posisi keempat dari bawah, dibandingkan 10 negara ASEAN lainnya. Terutama, dalam hal angka kematian bayi, ibu dan angka harapan hidup, yang berpotensi mengancam ketahanan kesehatan bangsa.
Kemenkes juga dinilai terlalu fokus melaksanakan proyek mercusuar, seperti pengadaan ratusan laboratorium kateterisasi (cath-lab) dan proyek genomik, yang menggunakan dana pinjaman luar negeri.
Aliansi beranggapan, proyek ini lebih berorientasi pada domain kuratif dan mengabaikan domain promotif dan preventif yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan kesehatan nasional.
Selain itu, proyek-proyek ini tidak mencerminkan keberpihakan pada persoalan kesehatan rakyat banyak dan lebih berorientasi dan menguntungkan kelompok tertentu.
“Jika proyek-proyek yang tidak pro-rakyat ini terus dilanjutkan, akan terjadi inefisiensi dan pemborosan sumber daya dengan target hasil yang tidak adekuat,” sebutnya.
Aliansi lantas menyinggung ketidakharmonisan Menkes dan profesi kesehatan.
Mereka menanggap telah terjadi disharmoni serius antara Menteri Kesehatan dengan organisasi profesi kesehatan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta organisasi lainnya.
“Banyak penyebab disharmoni ini. Ketidakharmonisan ini mengakibatkan kurangnya komunikasi, kerja sama dan inklusifitas antara kedua pihak, yang pada akhirnya menciptakan kondisi tidak kondusif bagi dunia kesehatan Indonesia,” ungkapnya.
Mereka pun beranggapan, ketidakharmonisan dalam komunikasi antara Menteri Kesehatan dan para profesi kesehatan di Indonesia kerap menjadi sorotan. Narasi yang terbangun di media sosial sering kali terkesan kurang mendukung dan menyudutkan profesi kesehatan.
Hal ini lanjutnya, menciptakan kesan seolah-olah terdapat jarak signifikan antara Menteri dengan profesi kesehatan.
Jika situasi ini terus berlanjut, program-program kesehatan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan sukses, mengingat organisasi profesi adalah pemangku kepentingan utama dalam pembangunan kesehatan Indonesia.
“Tanpa keterlibatan optimal organisasi profesi, program kesehatan yang direncanakan akan sulit memperoleh hasil maksimal,” jelasnya.
Tak cuma itu, Kemenkes dianggap mencampuri urusan yang seharusnya menjadi ranah organisasi profesi. Mereka menilai, Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dibuat tanpa melibatkan organisasi profesi yang sah.
Lebih lanjut, aliansi berpandangan terjadi krisis kepemimpinan.
“Dalam beberapa tahun terakhir, kepemimpinan bidang kesehatan dipegang oleh pejabat yang tidak memiliki wawasan maupun pengalaman adekuat di bidang kesehatan. Hal ini berdampak pada pola komunikasi yang kurang efektif serta kebijakan yang tidak menyentuh substansi utama persoalan kesehatan,” tandasnya.
Oleh karena itu, tujuh profesor ini mengusulkan Presiden dapat meninjau dan merevisi program-program serta kebijakan yang tidak pro-rakyat ini. Juga mempertimbangkan adanya kepemimpinan berbasis profesionalisme dan keahlian dalam bidang ini.
“Semoga usulan ini dapat menjadi masukan berharga dan menginspirasi langkah konstruktif bagi Bapak Presiden untuk menangani berbagai isu krusial ini,” harapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.