Tak ada Pemilu Seharga Nyawa

24 February 2024, 20:00

Sejumlah saksi memantau proses rekapitulasi suara(MI/Susanto)

GUGURNYA petugas ad hoc yang bekerja di tempat pemungutan suara (TPS) masih terjadi pada penyelenggaraan Pemilu serentak 2024. Fenomena tersebut dinilai mesti menjadi pintu masuk evaluasi keserentakan pemilu. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengaku sedih atas meninggalnya 60 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada Pemilu 2024.

“Mahal harga satu nyawa. Perlu evaluasi menyeluruh karena dua (edisi) pemilu memakan korban. The devil is the detail. Kita perlu fokus perbaiki bisnis prosesnya,” kata Mardani kepada Media Indonesia, Sabtu (24/2).

Menurutnya, semua pihak mesti bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Dalam hal ini, perlu dilakukan investigasi secara terbuka khususnya mengenai detail di lapangan untuk mengetahui proses mana yang paling menguras tenaga dan pikiran terbesar petugas ad hoc.
Baca juga : KPU Sumbar: 6 Petugas Pemilu Meninggal dan 50 Orang Sakit

“Tidak manusiawi memang seorang bertugas sejak jam 4 subuh hingga jam 2 dini hari,” ujarnya.

Bagi Mardani, evaluasi juga dapat dilakukan dengan melihat ulang desain keserentakan pemilu. Ia berpendapat, keserentakan pemilu bisa saja dipisah antara tingkat nasional dan lokal. Di samping itu, ia juga membuka opsi lain dengan memperpanjang waktu penghitungan suara.

“Bisa juga waktu penghitungan tidak sehari, tapi dibuat dua hari,” tandas Mardani. Baca juga : 16 Petugas Pengawas Pemilu Jawa Barat Meninggal, 390 Orang Rawat Jalan

Terpisah, pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini meminta agar pembentuk undang-undang mengubah desain keserentakan pemilu, mengingat beban tugas KPPS yang berat. Ia menyarankan, pemilu harusnya dibagi antara tingkat pusat dan lokal dengan jeda dua tahun.

Di tingkat pusat, pemilih hanya diberikan kesempatan mencoblos surat suara presiden-wakil presiden, DPR RI, serta DPD. Sementara pemilu tingkat lokal terdiri dari pemilu DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

Ia berpendapat, perubahan keserentakan pemilu itu tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/2019. Baca juga : 84 Petugas Pemilu Meninggal, Baru 4 Orang Dikirim Santunan

KPU Sempat Mengusulkan

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya sempat mengusulkan kepada DPR terkait metode dua panel saat proses penghitungan suara untuk mengurangi beban kerja petugas KPPS. Lewat model itu, petugas KPPS yang berjumlah tujuh orang akan dibagi ke dalam dua tim untuk menghitung surat suara Pemilu 2024 secara berbarengan.

Panel A menghitung surat suara Pemilu Presiden dan Pemilu DPD. Sedangkan Panel B menghitung perolehan suara Pemilihan DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bahkan, KPU sudah melakukan simulasi penghitungan suara dua penel tersebut.

Namun, rencana KPU itu ditolak oleh DPR RI dalam rapat konsultasi pada 20 September 2023 lalu. Saat itu, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai NasDem Saan Mustopa berpendapat fokus masyarakat saat penghitungan surat suara bakal condong ke pemilihan presiden dan wakil presiden, ketimbang calon anggota legislatif.

Sementara itu, Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menerangkan kelemahan model penghitungan dua panel berada pada sisi pengawasan. Sebab, pengawas Bawaslu hanya ditempatkan seorang di tiap TPS.

“Kalau dia (pengawas) mengawasi dua panel sekaligus kan akan terjadi kerumitan juga. Belum tentulah semua orang punya kemampuan yang sama mengawasi dua hal,” terangnya. (Tri/Z-7)

Partai

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi