Tag: Yusuf Rendy Manilet

  • Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk menahan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai dapat memicu stagnasi penerimaan negara. Apalagi, kontribusi cukai dari rokok terbilang besar dalam beberapa tahun terakhir. 

    Ekonom Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, keputusan ini memang memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri. Sebab, utilitas produksi industri hasil tembakau tengah mengalami efisiensi produksi imbas permintaan yang melemah. 

    “Namun, tanpa kenaikan cukai, potensi penerimaan negara dari sektor ini akan stagnan sehingga manfaat fiskal yang diterima pemerintah menjadi terbatas,” kata Yusuf kepada Bisnis, Senin (6/10/2025). 

    Merujuk data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun atau naik dari tahun sebelumnya Rp213,49 triliun. Namun, angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2022 lalu yang mencapai Rp218,62 triliun. 

    Sementara itu, dalam catatan Bisnis, realisasi penerimaan CHT pada periode Januari-Juli 2025 mencapai Rp121,98 triliun atau naik dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu Rp111,23 triliun. 

    Kendati demikian, Yusuf menilai kebijakan cukai rokok bukan merupakan instrumen utama pemerintah dalam mendongkrak penerimaan negara, melainkan juga berfungsi sebagai alat pengendali konsumsi, khususnya bagi kelompok usia rentan seperti anak muda. 

    “Karena itu, jika tidak ada kenaikan cukai dan tidak diiringi dengan langkah pengendalian konsumsi, kebijakan ini dapat bertolak belakang dengan semangat yang telah dibangun pemerintah sebelumnya dalam menekan prevalensi perokok,” tuturnya. 

    Namun, dia tak menampik langkah menahan kenaikan cukai juga dapat menjaga stabilitas harga sehingga menjaga daya saing dan menyerap tenaga kerja di sektor padat karya. 

    Hanya saja, kebijakan menahan kenaikan cukai juga tidak serta-merta akan menekan peredaran rokok ilegal. Menurut Yusuf, potensi rokok ilegal akan selalu ada karena konsumen cenderung mencari harga yang lebih murah. 

    Dia menilai efektivitas pengendalian rokok ilegal sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum oleh Bea dan Cukai di lapangan, bukan semata pada besaran tarif cukai.

    “Ke depan, pemerintah perlu memastikan keseimbangan antara kepentingan penerimaan negara, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, dia juga mendorong evaluasi terhadap desain kebijakan cukai harus terus dilakukan, termasuk memperkuat edukasi publik, pengawasan peredaran rokok ilegal, serta sinkronisasi lintas kementerian agar tujuan fiskal dan kesehatan dapat tercapai secara beriringan.

    Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, tidak adanya kenaikan cukai rokok tahun depan menjadi terobosan yang menarik. Namun, tidak cukup untuk mendukung kinerja industri. 

    “Tetapi hal tersebut tidak cukup, harusnya juga didorong dengan tidak adanya kenaikan HJE. Jadi tidak adanya kenaikan cukai maupun tidak adanya kenaikan HJE,” tuturnya, dihubungi terpisah. 

    Untuk itu, pihaknya menilai keputusan untuk tidak menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) lokal juga penting, sekaligus dengan melakukan pemberantasan secara menyeluruh untuk rokok ilegal. 

    “Dalam hal ini, saya ingin mengingatkan bahwa dirjen bea cukai tidak hanya melakukan razia di lingkup retail saja. Menteri Keuangan harus mengerti dalam hal ini bahwa peredaran dari rokok ilegal itu sudah cukup masif,” jelasnya. 

    Bahkan, dia menilai peredaran rokok ilegal membuat potensi kerugian ke penerimaan negara cukup tinggi. Menurut Andry, pemberantasan rokok ilegal tidak hanya dari sisi hilir seperti dari sisi retail atau toko, tetapi juga harus dari sisi hulunya. 

    “Di mana keterlibatan dari industri dan juga para oknum, aparat penegak hukum terkait yang berusaha untuk melindungi industri rokok ilegal tersebut,” tambahnya. 

    Dalam hal ini, dia menekankan urgensi moratorium kenaikan cukai dan HJE yang juga diiringi dengan pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan secara komprehensif. 

    “Jadi jika kita melakukan itu ya tentu saja kita menambal setidaknya kebocoran anggaran yang terjadi akibat excess tax avoidance dan juga tax avoidance yang dilakukan oleh para pelaku rokok ilegal tersebut,” pungkasnya. 

  • Cabai Merah hingga Beras Dorong Inflasi Harga Bergejolak Tembus 6,44% YoY

    Cabai Merah hingga Beras Dorong Inflasi Harga Bergejolak Tembus 6,44% YoY

    Bisnis.com, JAKARTA — Inflasi harga bergejolak (volatile goods) menjadi komponen inflasi tertinggi pada September 2025 yakni sebesar 6,44% secara tahunan atau year-on-year (yoy). Kenaikan harga cabai merah, bawang merah, daging ayam ras serta beras turut berkontribusi dalam meningkatnya Indeks Harga Konsumen (IHK). 

    Adapun inflasi tahunan September 2025 sebesar 2,65% (yoy), sedangkan 0,21% secara bulanan atau month-to-month (mtm). Terdapat tiga komponen inflasi untuk tahunan yakni berdasarkan harga diatur pemerintah 1,10% (yoy), inflasi inti 2,19% (yoy), serta harga bergejolak 6,44% (yoy).

    Secara terperinci, inflasi berdasarkan komponen harga bergejolak yang mencapai hingga 6,44% (yoy) memiliki andil sebesar 1,03%. Inflasi harga bergejolak menyentuh level tertinggi sejak Juni 2024.

    “Komoditas yang dominan memiliki andil terhadap inflasi adalah cabai merah, bawang merah, beras dan ayam daging ras,” jelas Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah pada konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/10/2025). 

    Komponen lain yang juga mengalami inflasi secara tahunan yakni inflasi inti sebesar 2,19% (yoy) dengan andil terbesar yaitu 1,41%. Komoditas yang menyumbang inflasi inti adalah emas dan perhiasan, minyak goreng, hingga kopi bubuk.

    Selanjutnya, komponen inflasi harga diatur pemerintah tercatat sebesar 1,10% (yoy) dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21%. Komoditas yang dominan adalah tarif air minum PAM di 13 wilayah, sigaret kretek mesin (SKM) serta bahan bakar rumah tangga. 

    Mengenai inflasi harga bergejolak yang melesat hingga 6,44% (yoy), Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memandang bahwa cabai merah dan daging ayam ras memiliki peran yang paling signifikan mendorong inflasi komponen harga bergejolak tersebut.  

    Sementara itu, kendati memiliki bobot besar pada keranjang IHK, beras justru tidak menjadi penyumbang utama pada kelompok inflasi tersebut. 

    “Hal ini karena meskipun harga beras masih lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, secara bulanan justru beras mengalami deflasi sehingga berperan sebagai peredam inflasi pada bulan tersebut,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (1/10/2025). 

    Artinya, lanjut Yusuf, meskipun beras tetap berkontribusi, justru komoditas yang secara historis lebih bergejolak seperti cabai dan ayam lebih menentukan kenaikan inflasi tahunan kali ini.

    Adapun bawang merah justru tercatat menekan inflasi di periode bulanan. Oleh sebab itu, Yusuf menilai gambaran yang lebih utuh menunjukkan bahwa beras bukan komoditas paling dominan dalam mendorong inflasi volatile food pada September 2025. 

    Berbeda dengan inflasi tahunan, harga komoditas beras justru menjadi peredam inflasi bulanan September 2025 sebesar 0,21% month-to-month (mtm). Pada bulan lalu, harga beras secara bulanan justru mengalami deflasi 0,13% pada September 2025 dari harga pada Agustus 2025. Andilnya juga sebesar 0,01%. 

    “Deflasi [beras] secara bulanan di September adalah deflasi kedua di 2025, sebelumnya terjadi deflasi untuk beras di April 2025,” jelas Habibullah. 

  • Menakar Efek Guyuran Dana Negara Rp200 Triliun ke Manufaktur

    Menakar Efek Guyuran Dana Negara Rp200 Triliun ke Manufaktur

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri sangsi guyuran dana pemerintah senilai Rp200 triliun ke sistem perbankan dapat efektif menggenjot pertumbuhan sektor riil, terutama manufaktur, di tengah lesunya permintaan pasar.

    Adapun, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyalurkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank milik negara. Tujuannya untuk meningkatkan likuiditas di sistem perbankan agar bisa menggerakkan sektor riil.

    Pelaku usaha menilai likuiditas tersebut tak serta-merta dapat langsung diserap industri. Sebab, saat kondisi daya beli lemah, baik domestik maupun global, dunia usaha pun kesulitan untuk melakukan ekspansi.

    Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, kemampuan serapan kredit dari para pelaku usaha sektor manufaktur saat ini terhambat oleh sejumlah persoalan struktural. 

    “Ada kendala struktural, seperti daya beli global yang masih melemah akibat perlambatan ekonomi AS [Amerika Serikat] dan Eropa,” ujar Sobur kepada Bisnis, Selasa (16/9/2025).

    Adapun, industri furnitur merupakan sektor padat karya yang didominasi pengusaha berorientasi ekspor. Artinya, ekspansi bisnis juga sangat tergantung pada permintaan global.

    Kedua, dia juga menyoroti biaya produksi yang tinggi, terutama untuk energi, logistik, dan bahan baku. Ketiga, terkait akses kredit furnitur yang selama ini rendah.

    “Karena UMKM yang menjadi mayoritas pelaku sulit memenuhi syarat agunan dan dokumentasi perbankan,” tuturnya.

    Oleh karena itu, dia menekankan bahwa tanpa mekanisme yang lebih spesifik, tambahan likuiditas ini justru berpotensi lebih banyak terserap ke sektor konsumtif atau korporasi besar, bukan ke sektor padat karya.

    “Jadi memang uang itu hanya akan efektif kalau diarahkan targeted ke sektor padat karya dengan skema pembiayaan yang sesuai karakter UMKM-ekspor,” tambahnya.

    Pengusaha juga melihat bahwa kondisi ini dapat memicu dana tersebut yang akan berputar di sektor keuangan tanpa memberi multiplier effect yang nyata pada penyerapan tenaga kerja.

    Menurut Sobur, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan yakni terkait skema penyaluran berbasis purchase order ekspor. Banyak pelaku furnitur memiliki order dari buyer luar negeri, tetapi terhambat modal kerja.

    “Jika kredit bisa diberikan berbasis PO atau kontrak ekspor, ini langsung menambah produksi dan jam kerja,” jelasnya.

    Kemudian, dia juga menyoroti subsidi bunga khusus padat karya, seperti bunga kredit usaha rakyat (KUR) yang relatif masih tinggi bila dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam. Menurut Sobur, dengan adanya subsidi tambahan, maka biaya modal akan lebih kompetitif.

    Di sisi lain, simplifikasi persyaratan kredit juga menjadi urgensi. Sebab, pelaku usaha furnitur yang sebagian besar UMKM sering kesulitan karena agunan. Untuk itu, diperlukan skema penjaminan pemerintah (credit guarantee) agar dana benar-benar terserap.

    “Selanjutnya, sinkronisasi dengan kebijakan pasar, artinya kredit akan efektif bila ada kepastian permintaan. Itu sebabnya kebijakan fiskal ini harus diikuti langkah diplomasi dagang seperti tarif AS, percepatan IEU-CEPA, dan perbaikan logistik/energi domestik,” pungkasnya.

    Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, ekspansi di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) masih sulit selama pasar dalam negeri dipenuhi barang impor.

    Menurut Redma, guyuran dana baru di perbankan ini bisa jadi pendorong untuk kembali meningkatkan utilisasi kapasitas yang saat ini idle melalui dorongan modal kerja di sektor hilir khususnya di IKM.

    “Tapi modal kerja ini harus diberikan sebagai bahan baku yang juga diproduksi di dalam negeri, jadi modalnya terus berputar secara optimal di rantai ekosistem secara keseluruhan,” jelasnya.

    Dalam hal ini, dia juga mendorong perbaikan tata kelola industri sebab persoalan saat ini bukan hanya berkenaan dengan pembiayaan usaha, melainkan kepastian dan jaminan usaha.

    Butuh Reformasi Struktural 

    Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Akhmad Ma’ruf Maulana  mengatakan bahwa likuiditas Rp200 triliun harus diimbangi dengan kebijakan yang dapat mendorong dari sisi permintaan. Untuk itu, HKI mendorong kebijakan pendukung seperti kepastian regulasi, efisiensi biaya, dan stabilitas pasar domestik. 

    “Dengan demikian, dana stimulus tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga memperkuat daya saing industri nasional secara berkelanjutan,” ujar Akhmad. 

    Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa bagi pengusaha kawasan industri, guyuran dana Rp200 triliun ke perbankan merupakan peluang sekaligus tantangan. Pasalnya, masalah utama yang dihadapi bukan semata-mata ketersediaan usaha, melainkan kepastian iklim usaha. 

    “Banyak industri manufaktur padat karya masih berhadapan dengan biaya produksi yang tinggi, mahalnya energi dan logistik, serta lemahnya kepastian hukum,” jelasnya. 

    Dalam hal ini, pihaknya menekankan reformasi struktural yang konsisten mencakup kepastian regulasi lewat sinkronisasi antar kementerian/lembaga, serta koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk kelancaran investasi.

    Kedua, investasi biaya lewat perbaikan infrastruktur, biaya logistik, penurunan biaya energi, serta ketersediaan utilitas dasar yang terjangkau agar daya saing industri dapat meningkat. 

    Ketiga yaitu linkage dengan UMKM, dia menilai investasi baru harus memberi ruang bagi UMKM untuk masuk dalam rantai pasok sehingga manfaatnya menyebar lebih luas. 

    Keempat, penguatan SDM yang dibutuhkan dunia usaha yakni tenaga kerja vokasi dan digital yang sesuai kebutuhan industri generasi baru agar transformasi manufaktur tidak tertinggal. 

    “Kami menekankan bahwa dana Rp200 triliun ini harus dibarengi dengan percepatan perizinan, khususnya pada proyek strategis nasional [PSN] dan investasi yang sudah siap bergerak namun masih menemui hambatan birokrasi,” pungkasnya. 

    Ma’ruf menuturkan, tanpa perbaikan mendasar tersebut, dana besar tersebut berisiko hanya akan ‘parkir’ di perbankan tanpa memberikan efek riil ke dunia usaha. 

    Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengatakan, tanpa reformasi struktural di sektor manufaktur maka dana likuiditas tersebut sulit untuk mengalir ke sektor produktif yang menyerap banyak pekerjaan itu. 

    “Sehingga pembenahan menyeluruh diperlukan agar likuiditas benar-benar mengalir ke investasi produktif, memperkuat daya saing ekspor, serta menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja berkelanjutan dari pembenahan di sektor manufaktur tersebut,” kata Yusuf kepada Bisnis, Rabu (17/9/2025). 

    Adapun, pembenahan struktural industri manufaktur yang dimaksud yaitu peningkatan produktivitas dan kompleksitas ekonomi, penyederhanaan regulasi, penguatan SDM berbasis Industri 4.0. 

    Tak hanya itu, menurut dia, perluasan akses pasar dan pendalaman pasar keuangan juga perlu didalami. Jika tak ada pembenahan manufaktur, maka dari kebijakan ini berisiko terbatas. 

    Di sisi lain, Yusuf menyebutkan salah satu tantangan utama dari kebijakan injeksi likuiditas terletak pada sisi permintaan. Lambatnya pertumbuhan permintaan dalam perekonomian berdampak pada perlambatan penyaluran kredit. 

    “Akibatnya, injeksi likuiditas yang dimaksudkan untuk mendorong pembiayaan pembangunan melalui perbankan menjadi kurang optimal,” imbuhnya. 

    Hal ini terlihat, misalnya, pada perkembangan kredit bulan Juli yang justru mengalami perlambatan dibandingkan periode sebelumnya. Terlebih, beberapa sektor utama, seperti industri manufaktur, juga menghadapi kondisi serupa, yaitu pertumbuhan kredit yang melemah. 

    Namun, laporan terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit perbankan tumbuh 7,56% secara tahunan (year on year/yoy) sebesar Rp8.075 triliun per Agustus 2025.

    Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau Juli 2025 sebesar 7,03% yoy, maka terdapat peningkatan usai melambat dari Juni 2025 yang sebesar 7,77% yoy.

    Meski begitu, menurut Yusuf, tanpa adanya kebijakan yang mampu mendorong sisi permintaan, injeksi likuiditas yang diharapkan dapat disalurkan melalui peningkatan permintaan kredit pada akhirnya tidak akan memberikan hasil maksimal.

    “Menurut kami, kebijakan injeksi likuiditas perlu diimbangi dengan kebijakan fiskal, khususnya stimulus yang dapat meningkatkan permintaan,” tuturnya. 

    Selain itu, dia juga menyoroti dukungan kebijakan moneter, misalnya melalui instrumen insentif makroprudensial, yang juga penting untuk dikombinasikan agar tujuan kebijakan dapat tercapai secara lebih optimal.

  • Ekonom Sangsi Dana Likuiditas Rp200 Triliun Mampu Gairahkan Manufaktur

    Ekonom Sangsi Dana Likuiditas Rp200 Triliun Mampu Gairahkan Manufaktur

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri manufaktur disebut harus melakukan reformasi struktural agar mampu memanfaatkan dana likuiditas Rp200 triliun yang digelontorkan pemerintah ke bank himbara. 

    Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, tanpa reformasi struktural di sektor manufaktur maka dana likuiditas tersebut sulit untuk mengalir ke sektor produktif yang menyerap banyak pekerjaan itu. 

    “Sehingga pembenahan menyeluruh diperlukan agar likuiditas benar-benar mengalir ke investasi produktif, memperkuat daya saing ekspor, serta menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja berkelanjutan dari pembenahan di sektor manufaktur tersebut,” kata Yusuf kepada Bisnis, Rabu (17/9/2025). 

    Adapun, pembenahan struktural industri manufaktur yang dimaksud yaitu peningkatan produktivitas dan kompleksitas ekonomi, penyederhanaan regulasi, penguatan SDM berbasis Industri 4.0. 

    Tak hanya itu, menurut dia, perluasan akses pasar dan pendalaman pasar keuangan juga perlu didalami. Jika tak ada pembenahan manufaktur, maka dari kebijakan ini berisiko terbatas. 

    Di sisi lain, Yusuf menyebutkan salah satu tantangan utama dari kebijakan injeksi likuiditas terletak pada sisi permintaan. Lambatnya pertumbuhan permintaan dalam perekonomian berdampak pada perlambatan penyaluran kredit. 

    “Akibatnya, injeksi likuiditas yang dimaksudkan untuk mendorong pembiayaan pembangunan melalui perbankan menjadi kurang optimal,” imbuhnya. 

    Hal ini terlihat, misalnya, pada perkembangan kredit bulan Juli yang justru mengalami perlambatan dibandingkan periode sebelumnya. Terlebih, beberapa sektor utama, seperti industri manufaktur, juga menghadapi kondisi serupa, yaitu pertumbuhan kredit yang melemah. 

    Namun, laporan terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit perbankan tumbuh 7,56% secara tahunan (year on year/yoy) sebesar Rp8.075 triliun per Agustus 2025.

    Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau Juli 2025 sebesar 7,03% yoy, maka terdapat peningkatan usai melambat dari Juni 2025 yang sebesar 7,77% yoy.

    Meski begitu, menurut Yusuf, tanpa adanya kebijakan yang mampu mendorong sisi permintaan, injeksi likuiditas yang diharapkan dapat disalurkan melalui peningkatan permintaan kredit pada akhirnya tidak akan memberikan hasil maksimal.

    “Menurut kami, kebijakan injeksi likuiditas perlu diimbangi dengan kebijakan fiskal, khususnya stimulus yang dapat meningkatkan permintaan,” tuturnya. 

    Selain itu, dia juga menyoroti dukungan kebijakan moneter, misalnya melalui instrumen insentif makroprudensial, yang juga penting untuk dikombinasikan agar tujuan kebijakan dapat tercapai secara lebih optimal.

  • Purbaya Ingin Naikkan Anggaran ke Pemda di Tengah Efisiensi, Realistis?

    Purbaya Ingin Naikkan Anggaran ke Pemda di Tengah Efisiensi, Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dinilai bisa tetap menjaga disiplin fiskal di tengah keinginannya untuk menaikkan anggaran transfer ke daerah (TKD) tahun depan. Ada beberapa pos belanja pemerintah yang dinilai bisa ditunda maupun dipertimbangkan lebih lanjut kenaikannya.  

    Sebagaimana diketahui, anggaran TKD pada RAPBN 2026 dirancang sebesar Rp650 triliun atau lebih rendah dari outlook APBN 2025 sebesar Rp864 triliun.

    Saat itu, pendahulu Purbaya yakni Sri Mulyani Indrawati, merancang anggaran TKD yang lebih rendah karena sejumlah belanja ditarik ke pusat. Utamanya terkait dengan program-program prioritas pemerintah.  

    Di tengah pemangkasan TKD untuk 2026 hingga 24% lebih dari tahun ini, pemerintah menyebut belanja dialihkan ke pos anggaran yang langsung diterima masyarakat daerah.

    Nilainya mencapai Rp1.376,9 triliun, meliputi program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih hingga Cek Kesehatan Gratis. 

    Kini, Purbaya telah menyatakan keinginan untuk menaikkan anggaran TKD tahun depan guna meredam keresahan para kepala daerah. Dia mengakui turunnya TKD turut memicu penaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) oleh pemda, akibat semakin sempitnya ruang fiskal daerah. 

    Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengamini perlunya penyesuaian anggaran TKD. Namun, dia memandang defisit anggaran berpotensi meningkat apabila kebijakan itu tidak diimbangi oleh realokasi belanja lain.

    Sebagai informasi, RAPBN 2026 yang telah disepakati pemerintah dan Komisi XI DPR memasang target defisit sekitar 2,48% terhadap PDB. 

    Untuk itu, Yusuf mendorong pemerintah merealokasi belanja terutama dari program-program yang bisa ditunda terlebih dahulu atau disesuaikan. Apalagi, jika belanja TKD naik tanpa dibarengi penerimaan negara yang bertambah. 

    “Misalnya, program fleksibel seperti koperasi daerah, bantuan makanan/nutrisi gratis, maupun inisiatif lain yang bisa dijalankan secara bertahap [pilot project] di daerah prioritas terlebih dahulu,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025).

    Yusuf mendorong belanja tahun depan memiliki output yang jelas dan terukur sehingga setiap rupiah anggaran dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. 

    Alokasinya juga dinilai perlu fokus ke pos-pos dengan dampak besar terhadap perekonomian. Khususnya, belanja untuk mendukung daya beli kelas menengah yang selama ini relatif kurang tersentuh dibandingkan dengan kelompok dengan pendapatan bawah maupun atas. 

    Adapun untuk penerimaan, pemerintah juga dinilai perlu meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan tanpa mendistorsi perekonomian.

    “Salah satu opsi adalah menggali sumber baru seperti pajak karbon, serta mengevaluasi kembali berbagai insentif atau diskon pajak yang sudah berjalan. Dengan begitu, target penerimaan dapat naik tanpa mengganggu aktivitas ekonomi,” paparnya. 

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang Purbaya juga perlu mengevaluasi anggaran pertahanan, keamanan dan ketertiban. Dia menilai fokus justru perlu dialihkan ke anggaran perlindungan sosial dan ekonomi.

    Dia mencatat bahwa alokasi belanja pertahanan naik 166,5% dan keamanan tumbuh 52,4% dalam kurun waktu 2021-2026. Sementara itu, anggaran perlindungan sosial hanya naik 2,5% pada periode yang sama.

    Apabila penaikan anggaran TKD terwujud sejalan dengan penghematan sejumlah pos anggaran, Bhima meyakini Purbaya masih dapat menerapkan target defisit sesuai koridor UU yakni di bawah 3% terhadap PDB.

    “Dengan pengaturan pos anggaran yang bisa dihemat maka disiplin fiskal bisa terjaga dengan defisit di bawah 3% dari PDB pada 2026,” ujarnya.

    Wanti-wanti Ekonom soal Defisit Fiskal 

    Menurut Kepala Ekonom PT Bank Permata (Tbk.) Josua Pardede, penaikan anggaran TKD bisa dinilai tepat apabila tujuan utamanya untuk menjaga layanan dasar, meredam tekanan daya beli masyarakat daerah, serta mempercepat realisasi program prioritas pemda. 

    Namun, dia mewanti-wanti agar gebrakan itu tidak menggerus disiplin fiskal. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di DPR Agustus 2025 lalu, bahwa target defisit APBN 2,48% terhadap PDB adalah bagian dari strategi pembiayaan yang hati-hati. 

    Josua memandang bahwa target defisit yang naik dari rancangan sebelumnya yakni 2,48% terhadap PDB bisa berimplikasi pada sensitivitas pasar keuangan. 

    Untuk itu, dia mendorong agar penyesuaian defisit dibingkai sebagai tindakan terukur, sementara sinyal kebijakan tetap konsisten dengan jangkar disiplin fiskal. Koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia (BI) juga harus dilakukan guna menjaga stabilitas nilai tukar. 

    “Pengumuman perombakan fiskal dan ketidakpastian desain kebijakan cenderung melemahkan rupiah, menahan arus portofolio, dan menekan imbal hasil SBN, terutama jika pasar menilai pelebaran defisit tidak dibarengi peta jalan konsolidasi,” terangnya.  

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pemerintah tinggal menunggu keputusan Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk memberikan restu dalam menaikkan anggaran TKD pada RAPBN 2026. Dengan begitu, dia memastikan ada perubahan postur hingga defisit APBN tahun depan.

    “Karena anggarannya terlalu terpotong banyak, sehingga mereka menaikkan PBB [Pajak Bumi dan Bangunan] jadi enggak kira-kira. Kita menyadari hal itu, saya dengan Pak Misbakhun [Ketua Komisi XI DPR], dengan izin Pak Misbakhun, ngomong sedikit izin ya Pak ya, mungkin akan memberi pelonggaran sedikit kepada transfer ke daerah,” ungkapnya saat memberikan keynote speech pada acara Great Lecture Transfromasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

    Purbaya berharap dengan anggaran TKD yang ditingkatkan nantinya bisa meredam keresahan pemda sekaligus mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Dia mengaku belum menentukan besaran kenaikan anggaran TKD yang tadi disampaikannya. 

    Pada kesempatan terpisah, yakni usai rapat di Komisi XI DPR pada hari yang sama, Purbaya menyebut akan mengumumkan detail kenaikan anggaran TKD itu usai disetujui di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Dia juga tak menampik bahwa postur dan asumsi RAPBN 2026 bisa berubah, salah satunya target defisit.

    “Nanti kalau diketuk Banggar baru kita umumin. Ada perubahan sedikit pasti,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

  • Rupiah menguat dipicu ekspektasi pelonggaran moneter AS

    Rupiah menguat dipicu ekspektasi pelonggaran moneter AS

    Isu pergantian Menkeu memunculkan keraguan investor terhadap kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia, sehingga memicu aksi wait and see di pasar keuangan,

    Jakarta (ANTARA) – Research and Development Indonesia Commodity and Derivatives Exchange ICDX Taufan Dimas Hareva di Jakarta, Rabu mengatakan, penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipicu ekspektasi pelonggaran moneter Amerika Serikat (AS).

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Rabu sore menguat sebesar 12 poin atau 0,07 persen menjadi Rp16.470 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.482 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini juga menguat ke level Rp16.457 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.462 per dolar AS.

    “Rupiah pada perdagangan Rabu, 10 September 2025, dibuka menguat di kisaran Rp16.432–Rp16.463 per dolar AS dan bahkan sempat menjadi mata uang terkuat di Asia pada awal sesi. Penguatan ini terutama dipicu oleh ekspektasi pelonggaran moneter Amerika Serikat yang menekan dolar global,” ucapnya.

    Rupiah juga memperoleh sentimen positif dari harapan penurunan suku bunga The Fed seiring data tenaga kerja AS yang melemah, kendati rilis data inflasi AS malam ini berpotensi mengubah arah sentimen global.

    Meninjau sentimen dari dalam negeri, intervensi Bank Indonesia (BI) dinilai mampu menenangkan volatilitas. Namun, kepercayaan pasar tetap menunggu konsistensi kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan baru Menteri Keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa.

    “Isu pergantian Menkeu memunculkan keraguan investor terhadap kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia, sehingga memicu aksi wait and see di pasar keuangan,” kata Taufan.

    Pada kesempatan lain, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai Menkeu terpilih menghadapi sejumlah pekerjaan rumah yang belum sempat dituntaskan pendahulunya.

    Dalam jangka panjang, tantangan utama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ialah upaya meningkatkan rasio pajak.

    Hal itu mengingat rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif stagnan, bahkan lebih rendah dibandingkan sejumlah negara di Asia selama beberapa tahun terakhir.

    Jika melihat rekam jejak, ujar Yusuf, Purbaya bukanlah sosok baru dalam dunia kebijakan ekonomi. Namun, apa yang ditunggu oleh pasar adalah sejauh mana pengalaman Purbaya di berbagai posisi selama ini dapat benar-benar diterjemahkan untuk menjawab tantangan konkret dan menyelesaikan masalah Kemenkeu.

    Apalagi, kata dia, lingkup tugas di Kemenkeu jelas berbeda karena cenderung lebih luas dan kompleks, serta menuntut kapasitas koordinasi fiskal yang jauh lebih tinggi dibandingkan peran sebelumnya.

    Menurut Yusuf, terlalu dini untuk memberikan penilaian terhadap Purbaya. Biasanya, pasar disebut akan menunggu tindak lanjut dan arah kebijakan Menkeu baru melalui proses yang tidak instan

    “Pasar akan menakar apakah kebijakan fiskal tetap dijalankan secara prudent, sekaligus menilai langkah-langkah jangka pendek, misalnya sejauh mana strategi baru mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi,” ujar Yusuf.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom: Menkeu diganti berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah

    Ekonom: Menkeu diganti berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah

    Pergantian menkeu dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa dalam reshuffle Kabinet Merah Putih menandai potensi pergeseran pendekatan fiskal pemerintah.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pergantian menteri keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah.

    “Pergantian menteri keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa dalam reshuffle Kabinet Merah Putih menandai potensi pergeseran pendekatan fiskal pemerintah,” kata Yusuf Rendy, di Jakarta, Selasa.

    Selama ini, ujarnya pula, Sri Mulyani dikenal dengan kebijakan pengelolaan defisit secara ketat dan reformasi pajak bertahap.

    Adapun Purbaya, dengan pengalaman di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan sektor keuangan, diperkirakan lebih menekankan pada aspek stabilitas sistem keuangan.

    Seiring pergantian yang terjadi, respons awal pasar disebut menunjukkan kehati-hatian. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah sekitar 1,3 persen usai pengumuman pergantian menkeu, sedangkan kurs rupiah relatif stabil di kisaran Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

    “Pasar obligasi berpotensi menghadapi kenaikan yield apabila disiplin anggaran tidak dijaga. Kondisi ini menunjukkan bahwa arah kebijakan fiskal yang konsisten akan menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan investor,” ujar Yusuf.

    Dia menerangkan bahwa reshuffle berlangsung di tengah tekanan publik terhadap kebijakan fiskal, termasuk tuntutan efisiensi anggaran, transparansi pajak, serta subsidi lebih adil.

    Dengan defisit 2,5-3 persen Produk Domestik Bruto (PDB), subsidi energi dan pangan yang mencapai Rp500 triliun per tahun, serta utang mendekati 40 persen PDB, ruang kebijakan fiskal dinilai semakin terbatas.

    Menurut dia, menkeu terpilih perlu menyeimbangkan antara mendukung program prioritas pemerintah dan menjaga keberlanjutan fiskal.

    “Ke depan, keberhasilan pergantian ini akan sangat bergantung pada konsistensi kebijakan dalam merespons dinamika pasar dan aspirasi publik. Keseimbangan antara pembiayaan program pembangunan dan pengelolaan risiko fiskal akan menentukan stabilitas ekonomi makro Indonesia,” ujar dia pula.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak Bisa Bikin Penerimaan PPh Berkurang, tapi…

    Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak Bisa Bikin Penerimaan PPh Berkurang, tapi…

    Jakarta

    Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diminta untuk dinaikkan ambang batasnya, dari semula Rp 4,5 juta per bulan, menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Usulan ini paling kencang disuarakan oleh serikat buruh dan diungkapkan langsung saat bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat beberapa waktu yang lalu.

    Menaikkan PTKP jelas akan berdampak ke penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi ke kantong negara. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan ketika PTKP dinaikkan pada 2013, penerimaan negara dari PPh orang pribadi anjlok Rp 13 triliun. Saat itu, PTKP hanya naik 53%.

    “Jelas kita perlu melihat sisi fiskalnya. Ada pengalaman menarik di 2013. Waktu itu pemerintah menaikkan PTKP cukup besar, sekitar 53%. Dampaknya? Penerimaan PPh orang pribadi turun sekitar Rp 13 triliun,” sebut Yusuf Rendy kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Nah, saat ini usulan kenaikan PTKP yang diberikan buruh jauh lebih ekstrem daripada 2013. Bila PTKP naik menjadi Rp 7,5 juta, artinya kenaikan itu sebesar 70%. Bila kenaikan PTKP 53% saja bisa menghilangkan Rp 13 triliun, potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh orang pribadi bisa jauh lebih besar jika usulan buruh diakomodir.

    Di tengah belanja pemerintah yang tinggi-tingginya, turunnya penerimaan dari PPh orang pribadi bisa membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar. Bisa jadi, terjadi kenaikan tarif pajak lain untuk menggantikan potensi pendapatan yang hilang dari kenaikan PTKP.

    “Potensi kehilangan penerimaan negara tentu jauh lebih besar. Padahal belanja pemerintah lagi tinggi-tingginya, subsidi energi, bantuan sosial, kesehatan, pendidikan. Kalau basis pajak formal menyempit terlalu drastis, risiko defisit melebar dan negara terpaksa menutup celah itu lewat utang atau dengan menaikkan pajak jenis lain, misalnya PPN atau cukai,” papar Yusuf Rendy.

    Di sisi lain, masih berkaca pada kenaikan PTKP pada 2013, Rendy mengatakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan kala itu menemukan pola data yang unik. Usai PTKP naik, turunnya penerimaan PPh orang pribadi hanya terjadi 1-2 tahun saja, setelahnya ekonomi bergerak dengan cepat dan penerimaan pajak secara keseluruhan kembali normal.

    “Namun kajian Badan Kebijakan Fiskal menemukan penurunan itu hanya berlangsung 1-2 tahun. Setelah ekonomi pulih, penerimaan pajak kembali naik normal, sementara di sisi lain konsumsi, investasi, bahkan penciptaan lapangan kerja justru terdorong,” kata Yusuf Rendy.

    Kenaikan PTKP Bisa Bertahap

    Namun secara prinsip, Rendy melihat usulan buruh menaikkan PTKP masuk akal dan punya dasar kuat, yaitu biaya hidup yang melonjak, sementara PTKP tak berubah bertahun-tahun. Namun, agar fiskal tetap sehat, lebih realistis kalau pemerintah menaikkan PTKP secara bertahap tak perlu sampai langsung menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

    “Hal itu dilakukan sambil memperluas insentif berbasis tanggungan keluarga atau kebutuhan hidup layak. Dengan begitu, tujuan melindungi daya beli tercapai, tetapi keberlanjutan keuangan negara juga tetap terjaga,” jelas Yusuf Rendy.

    Penerimaan PPN Bisa Meningkat

    Di sisi lain, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda justru menilai potensi turunnya penerimaan dari PPh orang pribadi karena kenaikan PTKP bisa digantikan penerimaan pajak yang lain.

    Sebab, menurut Huda, kenaikan PTKP akan memberikan penghasilan bersih kepada masyarakat sebagai pekerja jauh lebih besar. Dengan begitu daya beli meningkat dan masyarakat pun berbelanja. Pada ujungnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan terkerek imbas kenaikan belanja masyarakat.

    “Hasil bagi penerimaan negara memang bisa negatif di pajak penghasilan karyawan tapi bisa positif di pajak lainnya, salah satunya Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Dengan ada ruang konsumsi lebih besar, masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak. Harapannya adalah konsumsi rumah tangga meningkat dan penerimaan PPN juga melonjak. Jadi, penurunan di PPh 21 karyawan akan terkompensasi dengan kenaikan penerimaan PPN. Jadi, hasilnya tetap positif dan kebijakan ini bisa diterapkan,” sebut Huda ketika dihubungi detikcom.

    Tonton juga video “17+8 Tuntutan Rakyat Dijawab DPR, TNI, dan Polri” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (hal/ara)

  • Buruh Mau Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak, Ekonom Sebut Bisa Dongkrak Ekonomi

    Buruh Mau Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak, Ekonom Sebut Bisa Dongkrak Ekonomi

    Jakarta

    Kalangan pekerja meminta pemerintah untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Permintaan ini disampaikan langsung ke Presiden Prabowo Subianto saat beberapa serikat pekerja besar di Indonesia diundang ke Istana beberapa waktu lalu.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengusulkan agar batas PTKP yang awalnya cuma Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Lantas, seberapa besar urgensi permintaan buruh untuk meningkatkan penghasilan tidak kena pajak?

    Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menilai kebijakan reformasi pajak jelas dapat menggerakkan perekonomian, tak terkecuali peningkatan ambang batas PTKP.

    Dia menilai saat ini memang PTKP pekerja di Indonesia terlampau sangat rendah, yaitu Rp 4,5 juta per bulan. Hal ini membuat penghasilan masyarakat kelas menengah menjadi lebih banyak yang terpotong pajak.

    “Pajak sebagai instrumen yang tepat untuk menggerakkan perekonomian yang sedang lesu. Salah satunya adalah melalui peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). PTKP saat ini terbilang sangat rendah, Rp 54 juta selama setahun atau Rp 4,5 juta sebulan,” beber Huda ketika dihubungi detikcom, Senin (8/9/2025).

    Kenaikan PTKP Bisa Dongkrak Daya Beli

    Menurutnya, jika batas PTKP dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan, maka ruang bagi masyarakat sebagai pekerja untuk berbelanja bisa meningkat. Sebab, pendapatan masyarakat kelas menengah dapat menjadi lebih besar, pada akhirnya daya beli meningkat dan juga bisa menggerakkan perekonomian.

    “Pendapatan disposable masyarakat bisa meningkat. Perekonomian bisa berjalan lebih cepat,” sebut Huda.

    Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mendukung wacana kenaikan PTKP. Menurutnya, batas penghasilan bebas pajak terakhir kali disesuaikan 2016, sementara itu hingga kini biaya hidup sudah terus merangkak naik. Menurutnya, memang sudah saatnya PTKP disesuaikan.

    “Kalau kita bicara PTKP, batas penghasilan tidak kena pajak ini terakhir disesuaikan pada 2016 dan masih di Rp 4,5 juta per bulan. Padahal, biaya hidup di kota besar sekarang sudah jauh di atas itu. Jadi wajar kalau buruh mengusulkan kenaikan PTKP ke Rp 7,5 juta,” ungkap Rendy ketika dihubungi detikcom.

    Senada dengan Huda, Rendy menilai kenaikan PTKP jelas kabar baik bagi pekerja. Kenaikan PTKP artinya membuat pajak yang dipotong lebih kecil, take-home pay alias penghasilan bersih bertambah, daya beli ikut naik. Indonesia yang bertumpu pada konsumsi domestik sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi jelas akan mengalami pergerakan ekonomi yang begitu besar.

    “Mengingat konsumsi rumah tangga adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, efek ini bisa jadi stimulus yang cukup kuat,” pungkas Rendy.

    Tonton juga video “17+8 Tuntutan Rakyat Dijawab DPR, TNI, dan Polri” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (hal/ara)

  • Risiko di Balik Suntikan Dana Jumbo ke Himbara untuk Kopdes Merah Putih

    Risiko di Balik Suntikan Dana Jumbo ke Himbara untuk Kopdes Merah Putih

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah bakal menyuntikan dana senilai Rp83 triliun kepada bank Himbara untuk pembiayaan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Kebijakan itu menuai sorotan dan akan membebani keuangan negara.

    Adapun penempatan dana tersebut dilakukan dalam dua tahap, tahun 2025 senilai Rp16 triliun, sisanya atau sekitar Rp67 triliun bakal ditempatkan pada tahun 2026. Khusus tahun ini, sumber dana Rp16 triliun itu berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN 2025.

    Penggunaan SAL itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.63/2025 tentang Penggunaan Saldo Anggaran Lebih alias SAL Tahun Anggaran 2025 untuk Pemberian Dukungan Kepada Bank yang Menyalurkan Pinjaman Kepada Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

    “Penempatan dana sebesar Rp83 triliun itu adalah akumulasi dari tahun 2025 dan 2026, yang diperkirakan tahun 2025: Rp16 triliun dan 2026: Rp67 triliun,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kemenkeu Deni Surjantoro melalui keterangan tertulis kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).

    Adapun skema pembiayaan ke KopDes Merah Putih oleh himbara dengan bunga rendah sebesar 6%. “Skema pembiayaan ke KDMP oleh Himbara bunganya 6%, tenor 6 tahun dan waktu tenggang 6 sampai dengan 8 bulan,” lanjut Deni.

    Dia juga menjelaskan bahwa penempatan dana APBN ke himbara untuk membiayai pembentukan KopDes Merah Putih diarahkan untuk menyederhanakan rantai distribusi yang rumit, serta memberdayakan masyakat desa sehingga memutus rantai kemiskinan.

    “Untuk mendukung model bisnis KDMP yang efisien dan efektif, Pemerintah menempatkan Dana di Himbara agar dapat menyalurkan pembiayaan ke KDMP dengan bunga yang rendah,” ucapnya.

    Likuiditas Bank Himbara 

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa Rp83 triliun yang akan ditempatkan ke himbara untuk KopDes sejalan dengan penurunan anggaran Dana Desa tahun depan menjadi Rp60 triliun.

    Meski anggaran Dana Desa turun, Sri Mulyani menyebut anggaran bagi masyarakat desa untuk KopDes bakal digelontorkan melalui himbara.

    Dana Desa sendiri akan digunakan sebagai jaminan apabil KopDes mengalami gagal bayar utang. Pada rapat dengan DPD, Selasa (2/9/2025), mengatakan bakal berkoordinasi dengan Menteri Desa untuk penggunaan Dana Desa itu.

    “Untuk tadi dana desa kami juga bekerja sama dengan Menteri Desa. Untuk menjelaskan kalau dana desanya sekian X rupiah, jangan sampai nanti kalau sampai koperasinya enggak bisa nyici,” paparnya.

    Risiko Besar 

    Adapun ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai alokasi SAL untuk pembiayaan KopDes melalui himbara tampak ambisius sebagai upaya mendorong kemandirian desa. Namun, dia menilai timing dan risikonya justru menimbulkan kekhawatiran serius. 

    “Di tengah kondisi  perekonomian yang tidak baik-baik saja, serta defisit APBN yang sudah membengkak, penggunaan SAL untuk program berisiko tinggi berarti mengorbankan ruang fiskal yang semestinya bisa diarahkan ke subsidi energi, bantuan sosial, atau program lain yang lebih mendesak,” terang Yusuf kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025). 

    Yusuf bahkan menilai potensi gagal bayar aau default KopDes bisa memperburuk defisit APBN, apabila tata kelolanya lemah. Akibatnya, pemerintah bisa menambah utang dan memperlemah stabilitas sistem keuangan. 

    Dia menyoroti juga kondisi sosial politik Indonesia yang saat ini panas akibat gelombang demo besar-besaran. “Kebijakan ini rawan dipersepsikan sebagai proyek mercusuar yang menghambur-hamburkan dana negara, alih-alih solusi nyata untuk menjaga daya beli rakyat,” ujarnya