Tag: Xi Jinping

  • China Tidak Takut Lawan Trump Habis-habisan: “Langit Tak Akan Runtuh”

    China Tidak Takut Lawan Trump Habis-habisan: “Langit Tak Akan Runtuh”

    Jakarta, CNBC Indonesia – China telah meremehkan risiko ‘kerusakan’ ekspornya akibat tarif yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Pasalnya, Beijing telah memiliki cara sendiri untuk menguatkan perekonomiannya.

    Melansir The Guardian, Juru Bicara Administrasi Bea Cukai Lyu Daliang, dalam komentar yang dilaporkan oleh badan milik negara Xinhua, mengatakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah mendiversifikasi perdagangannya dari AS dalam beberapa tahun terakhir.

    Laporan bea cukai menyoroti “pasar domestik China yang luas”, dan mengatakan “negara itu akan mengubah kepastian domestik menjadi penyangga terhadap volatilitas global”. China pun makin berupaya untuk merangsang konsumsi swasta.

    “Langit tidak akan runtuh” untuk ekspor China,” kata Lyu. “Upaya-upaya ini tidak hanya mendukung pembangunan mitra kami tetapi juga meningkatkan ketahanan kami sendiri”.

    Presiden China Xi Jinping sempat mengkritik tarif AS selama kunjungan ke Vietnam. Vietnam dalam beberapa dekade terakhir telah tumbuh menjadi sumber barang terbesar kedelapan bagi konsumen AS, tetapi menghadapi ancaman tarif 46% ketika jeda 90 hari Trump berakhir.

    Dalam sebuah laporan di surat kabar Vietnam, Xi mengatakan bahwa “perang dagang dan perang tarif tidak akan menghasilkan pemenang, dan proteksionisme tidak akan menghasilkan apa-apa”.

    China sebelumnya telah membalas dengan tegas tarif Washington untuk Beijing sebesar 145%, dengan pungutan 125% atas impor AS.

    Perang dagang telah memicu kekacauan di pasar keuangan sejak Trump pertama kali mengungkapkan tarif pada setiap negara di dunia pada tanggal 2 April. Sejak saat itu, ia telah menarik sebagian pungutan tertinggi pada sebagian besar mitra dagang selama setidaknya 90 hari, tetapi telah menggandakan pertengkarannya dengan China.

    Gedung Putih menawarkan keringanan lebih lanjut selama akhir pekan dengan pengecualian dari tarif tertinggi untuk barang elektronik termasuk telepon pintar, laptop, dan semikonduktor.

    Pejabat Trump kemudian tampaknya menarik kembali pernyataan tersebut melalui menteri perdagangan, Howard Lutnick, yang mengatakan bahwa perangkat tersebut akan “dimasukkan dalam tarif semikonduktor yang mungkin akan berlaku dalam waktu satu atau dua bulan”.

    Trump mengatakan pada Minggu malam di jejaring sosialnya, Truth Social, bahwa “TIDAK ADA YANG ‘lepas dari tanggung jawab’”, dengan menekankan bahwa telepon pintar masih dikenakan pungutan sebesar 20% dan mengisyaratkan harganya masih bisa naik lebih tinggi.

    (luc/luc)

  • Ngebet Bikin Sendiri, Trump Bakal Berlakukan Tarif Cip Semikonduktor

    Ngebet Bikin Sendiri, Trump Bakal Berlakukan Tarif Cip Semikonduktor

    Jakarta

    Presiden AS Donald Trump pada hari Minggu (13/04) menyatakan, bakal mengumumkan besaran tarif terhadap semikonduktor impor dalam waktu sepekan ke depan. Trump lebih jauh menyebutkan, pengecualian tersebut telah disalahpahami dan hanya bersifat sementara, karena timnya akan mengejar tarif baru untuk banyak barang dalam daftar tersebut.

    “Tidak ada yang akan ‘bebas’… terutama Cina yang, jauh lebih buruk, memperlakukan kami dengan cara yang paling buruk!” tulisnya di platform Truth Social.

    Pernyataan ini menegaskan pengecualian terhadap produk seperti ponsel pintar dan komputer dari kebijakan tarif timbal balik terhadap Cina, kemungkinan hanya bersifat sementara dan singkat.

    “Kami ingin menyederhanakan persoalan ini dari banyak perusahaan lainnya, karena kami ingin membuat cip dan semikonduktor serta produk-produk lainnya di negeri kami sendiri,” ujar Trump kepada para wartawan di atas pesawat Air Force One dalam perjalanan pulang ke Washington dari kediamannya di West Palm Beach, AS.

    Ketika ditanya apakah produk seperti ponsel pintar mungkin tetap dikecualikan, Trump enggan memberikan kepastian. Namun ia menambahkan, “Kita harus menunjukkan kelenturan. Tak seorang pun seharusnya bersikap terlalu kaku.”

    Sebelumnya pada hari yang sama, Trump juga mengumumkan penyelidikan perdagangan atas dasar keamanan nasional terhadap sektor semikonduktor.

    Saham bergejolak

    Gedung Putih sebelumnya telah mengumumkan pengecualian terhadap tarif timbal balik yang tinggi pada hari Jumat(11/04), yang membangkitkan secercah harapan bahwa industri teknologi mungkin dapat lolos dari jerat konflik perdagangan yang memanas antara kedua negara. Harapan itu juga mencakup kemungkinan agar produk-produk konsumen sehari-hari seperti ponsel dan laptop/komputer tetap terjangkau.

    Pekan lalu, sikap Trump yang plintat-plintut terkait tarif memicu gejolak paling liar di Wall Street sejak masa pandemi COVID-19 tahun 2020. Indeks acuan Standard & Poor’s 500 (.SPX) telah turun lebih dari 10% sejak Trump mulai menjabat pada 20 Januari.

    Lutnick menyebutkan,Trump akan menerapkan “jenis tarif khusus yang berfokus” pada ponsel pintar, komputer, dan produk elektronik lainnya dalam waktu satu hingga dua bulan, bersamaan dengan tarif sektoral yang menyasar semikonduktor dan farmasi.

    Tarif-tarif baru ini akan berada di luar skema tarif timbal balik yang disebut-sebut Trump—di mana tarif atas impor asal Cina melonjak hingga lebih dari seratus persen pada pekan lalu.

    “Ia mengatakan produk-produk itu dikecualikan dari tarif timbal balik, tetapi akan dimasukkan ke dalam tarif semikonduktor, yang kemungkinan mulai berlaku dalam satu atau dua bulan mendatang,” ujar Lutnick dalam wawancara di acara “This Week” di ABC.

    Ia memperkirakan, kebijakan ini akan mendorong relokasi produksi produk-produk tersebut ke Amerika Serikat.

    Menanggapi langkah tersebut, Beijing pekan lalu turut menaikkan tarif atas barang-barang impor dari Amerika Serikat menjadi 125%.

    Dan pada hari Minggu (13/04), sebelum pernyataan Lutnick, Cina mengatakan sedang mengevaluasi dampak dari pengecualian terhadap produk-produk teknologi yang diumumkan menjelang akhir pekan.

    “Lonceng yang tergantung di leher harimau, hanya dapat dilepaskan oleh tangan yang pernah mengikatnya,” demikian Kementerian Perdagangan Cina “mengaum” dengan pernyataannya, menandai bahwa tanggung jawab untuk meredakan konflik dagang kini kembali ke tangan pihak yang memulainya.

    Penundaan tiga bulan?

    Investor miliarder Bill Ackman, yang mendukung pencalonan Donald Trump sebagai presiden namun mengkritisi kebijakan tarifnya, pada hari Minggu (13/04) menyerukan agar Trump menunda penerapan tarif timbal balik yang luas dan tinggi terhadap Cina selama tiga bulan—sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap sebagian besar negara lain pekan lalu.

    Jika Trump menangguhkan tarif terhadap negeri tirai bambu itu selama 90 hari dan menurunkannya secara sementara menjadi 10%, menurut Ackman, ia akan tetap mencapai tujuan yang sama—yakni mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk memindahkan rantai pasokan mereka dari Cina—tanpa menimbulkan kekacauan dan risiko besar.

    Perubahan setiap hari

    Sven Henrich, pendiri sekaligus kepala strategi pasar di NorthmanTrader, dengan tajam mengecam cara isu tarif ini ditangani oleh pemerintah. “Sentimen pasar hari ini: Reli saham terbesar tahun ini akan terjadi pada hari Lutnick dipecat,” tulis Henrich di platform X. “Saya sarankan pemerintahan ini segera menentukan siapa yang memegang kendali atas pesan publik mereka—apa pun pesannya—karena berubah setiap hari. Dunia usaha di Amerika tak bisa merencanakan atau berinvestasi jika arahnya selalu berubah-ubah.”

    Senator AS Elizabeth Warren dari Partai Demokrat turut mengkritisi revisi terbaru dalam kebijakan tarif Trump, yang menurut para ekonom bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memicu inflasi. “Ini bukanlah kebijakan tarif, melainkan kekacauan dan korupsi,” ujar Warren dalam program “This Week” di ABC, sebelum Trump membuat pernyataan terbaru di media sosialnya.

    Dalam pemberitahuan kepada para pengirim barang yang dirilis Jumat (11/04) malam, Badan Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan AS menerbitkan daftar kode tarif yang dikecualikan dari pungutan pajak impor. Daftar tersebut mencakup 20 kategori produk, termasuk komputer, laptop, cakram keras (disc drive), perangkat semikonduktor, cip memori, dan panel layar datar.

    Sementara itu, dalam wawancara dengan NBC di acara “Meet the Press”, penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro menyampaikan, Amerika Serikat telah membuka undangan kepada Cina untuk bernegosiasi. Namun, ia juga mengkritik hubungan Cina dengan rantai pasokan fentanil yang mematikan, dan tidak memasukkan negara itu ke dalam daftar tujuh negara—yakni Inggris, Uni Eropa, India, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan Israel—yang sedang dijajaki kerja sama oleh pemerintahan Trump.

    Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, dalam acara “Face the Nation” di CBS menyatakan, sejauh ini belum ada rencana bagi Trump untuk berbicara langsung dengan Presiden Cina, Xi Jinping, mengenai isu tarif. Ia menuding Cina sebagai pihak yang memicu friksi dagang, karena membalas dengan tarif-tarif baru mereka sendiri. Meski demikian, ia menyatakan harapan untuk menjalin kesepakatan dagang dengan negara-negara lain.

    “Tujuan saya adalah mencapai kesepakatan yang berarti sebelum 90 hari berakhir, dan saya yakin kita akan mencapainya dengan beberapa negara dalam beberapa pekan ke depan,” kata Greer.

    Ray Dalio, miliarder pendiri hedge fund (dana lindung nilai) terbesar di dunia, menyampaikan kekhawatirannya dalam wawancara dengan NBC bahwa Amerika Serikat sedang berada di ambang resesi—atau bahkan sesuatu yang lebih buruk—akibat kebijakan tarif tersebut. “Saat ini kita berada pada titik pengambilan keputusan yang krusial, sangat dekat dengan resesi,” ujarnya. “Dan saya khawatir, bila ini tidak ditangani dengan tepat, akibatnya bisa lebih parah dari sekadar resesi,” pungkasnya.

    Editor:Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Eddy Soeparno penuhi undangan Pemerintah China bahas energi terbarukan

    Eddy Soeparno penuhi undangan Pemerintah China bahas energi terbarukan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno memenuhi undangan pemerintah China untuk menghadiri pertemuan dengan unsur pemangku kepentingan di bidang pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di Beijing, China.

    Eddy menjelaskan, rangkaian agenda memenuhi undangan pemerintah China ini dilaksanakan pada tanggal 13-17 April 2025 mendatang di Kota Beijing dan Shenzen.

    “Tentu kami menyambut gembira negara-negara sahabat yang bertekad mendukung Indonesia dari aspek investasi, transfer teknologi dan pendanaan. Tujuannya agar tercapai dua hal: pertama, transisi energi menuju energi terbarukan dan terbangunnya industri dalam negeri yang mendukung pembangunan proyek-proyek energi terbarukan,” kata Eddy dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

    Kehadiran Eddy Soeparno di Beijing International Aiport pada Minggu (13/4) disambut langsung oleh Pimpinan Komisi Luar Negeri dari National Committee of Nasional Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC)/Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China Wang Min.

    Dalam kunjungan tersebut Eddy Soeparno dijadwalkan akan bertemu dengan antara lain Ketua Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China Wang Huning, yang merupakan pejabat struktural tertinggi ke-4 di Partai Komunis China (CCP), setelah Xi Jinping, Li Qiang, dan Zhao Leji.

    Doktor Ilmu Politik UI ini menjelaskan, perkembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di China sangat pesat dalam 20 tahun terakhir. Eddy menjelaskan, ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2008, para ofisial masih mengkhawatirkan polusi Beijing dan sekitarnya akan mempengaruhi kesehatan para atlet.

    “Namun kurang dari 20 tahun kemudian, Beijing merupakan kota dengan Air Quality Index yang sangat baik, bahkan lebih baik dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Asia. Beijing berhasil meningkatkan “hari udara baik” dari 13 hari di tahun 2013 menjadi 300 hari di tahun 2023. Ini capaian yang luar biasa dan perlu menjadi success story yang diikuti oleh Indonesia,” jelasnya.

    Eddy memaparkan, saat ini di China pembangkit listrik berbasis energi terbarukan digunakan secara masif di seluruh negeri, meskipun pembangkit tenaga fosil juga masih dimanfaatkan demi ketahanan energi.

    “Di samping itu, penggunaan kendaraan listrik, baik kendaraan umum maupun pribadi sudah sangat luas dengan dukungan ekosistem yang lengkap dan insentif yang diberikan pemerintah untuk para penggunanya,” ujar Eddy.

    “Hal ini sangat mempengaruhi perbaikan kualitas udara di Beijing dan kota-kota lainnya di China. Saya ingin memetik pelajaran dari transformasi energi terbarukan China untuk diterapkan di Indonesia,” tambahnya.

    Eddy juga direncanakan akan mengunjungi pusat teknologi kendaraan listrik dan industri panel surya di Kota Shenzhen pada akhir kunjungannya. Menurut Anggota Komisi XII DPR RI ini perkembangan pesat China di berbagai bidang menjadi lesson learned penting untuk Indonesia.

    “Kita tidak perlu ragukan perkembangan pesat dari teknologi China di berbagai bidang yang bahkan mengungguli negara-negara barat. Pemanfaatan teknologi dan pendayagunaan merupakan kunci keberhasilan China melakukan transisi energi secara swadaya, sekaligus membangun sektor manufaktur di dalam negeri. Pelajaran ini juga sangat penting untuk dapat kita terapkan di Indonesia,” kata Eddy.

    Eddy berharap kunjungannya tidak hanya akan mempererat hubungan Indonesia dan China, tetapi semakin meningkatkan investasi China di sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik di Indonesia. Apalagi Indonesia membutuhkan investasi besar serta alih teknologi untuk melakukan transisi energi menuju Net Zero Emmission 2060.

    “Hal ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk memperkuat ketahanan energi, sekaligus membangun sektor industri nasional,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Perang Tarif AS-China Bisa Jadi Berkah bagi Pasar Modal Indonesia

    Perang Tarif AS-China Bisa Jadi Berkah bagi Pasar Modal Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Chief Investment Officer (CIO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), Pandu Sjahrir, menilai ketegangan perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China memberikan dampak luas terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Namun, di balik tantangan perang tarif AS-China tersebut, tersimpan peluang besar bagi pasar modal dan investasi nasional.

    Pandu menjelaskan penerapan tarif timbal balik oleh AS, termasuk tarif sebesar 32% terhadap sejumlah produk asal Indonesia, memang menimbulkan tantangan tersendiri. Namun, pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengecualikan produk elektronik dari daftar tarif, serta rencana pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping, menjadi sinyal positif bagi stabilitas pasar global.

    “Pasar modal Indonesia langsung merespons positif. Indeks harga saham gabungan (IHSG) naik hampir 1% pada keesokan harinya. Ini seperti blessing in disguise bagi Indonesia,” ujar Pandu saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (14/4/2025).

    Ia menambahkan tensi geopolitik akibat perang tarif AS-China menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mempercepat pembenahan struktural, termasuk deregulasi dan penciptaan iklim investasi yang lebih kondusif. Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional dinilai sebagai strategi yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian global.

    Menurut Pandu, ketidakpastian ekonomi global juga mendorong minat investor asing, terutama dari Amerika Serikat, untuk melirik peluang di Indonesia. Banyak investor besar, baik di sektor publik maupun privat, saat ini sedang menjajaki peluang kerja sama investasi.

    “Mereka mulai mencari return menarik di tengah situasi global yang tidak menentu akibat perang tarif AS-China. Indonesia dinilai memiliki stabilitas politik yang baik serta kebijakan ekonomi yang cukup kuat. Fokus pemerintah pada ketahanan pangan dan energi juga menjadi daya tarik tersendiri,” pungkas Pandu.

  • Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Bisnis.com, JAKARTA – China telah mengubah haluan dari diplomasi menjadi retaliasi dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.

    Di balik layar, para pejabat sipil di Beijing kini diperintahkan bersiaga layaknya dalam masa perang, dan para diplomat dikerahkan dalam ofensif global guna menggalang penolakan terhadap tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, menurut informasi dari sejumlah sumber yang dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Dalam strategi yang kini digerakkan oleh mesin propaganda Partai Komunis, narasi perlawanan digelorakan melalui media sosial dengan potongan pidato Mao Zedong: “Kami tidak akan pernah menyerah.”

    Seruan itu menjadi simbol perlawanan China dalam menghadapi gelombang kebijakan dagang Trump yang tak menentu.

    Sejumlah kementerian, termasuk luar negeri dan perdagangan, diperintahkan membatalkan seluruh jadwal liburan dan siaga penuh 24 jam. Unit-unit khusus ditugaskan kembali, sebagian besar berasal dari tim yang sebelumnya menangani respons terhadap kebijakan Trump di periode pertama.

    Langkah tegas ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump mengguncang dunia dengan pengumuman tarif besar-besaran pada 2 April yang dijuluki “Hari Pembebasan.”. Kebijakan tarif Trump yang semula ditujukan ke banyak negara, kini hanya diberlakukan untuk China, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

    Hubungan dagang antara kedua negara pun praktis membeku, dengan China mulai menutup akses terhadap jasa dan hiburan AS.

    Padahal sebelumnya, hubungan awal AS-China berjalan cukup lancar usai Trump menjabat pada akhir 2024 lalu. Trump bahkan mengundang Presiden Xi Jinping ke pelantikannya, yang akhirnya diwakili oleh Wakil Presiden Han Zheng.

    Namun, masa tenang itu tak berlangsung lama. Selama pemerintahan Trump yang pertama, China memiliki sejumlah jalur komunikasi tingkat tinggi yang aktif—salah satunya antara Duta Besar Cui Tiankai dan Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump.

    Kini, jalur sejenis tidak tersedia. Seorang pejabat di Beijing mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu pasti siapa yang menjadi “penanggung jawab” hubungan bilateral di pihak Trump.

    Seorang pejabat pemerintahan Trump menjawab pertanyaan Reuters dengan menyatakan bahwa AS ingin menjaga komunikasi di tingkat kerja, namun tidak akan melanjutkan dialog yang tidak memberikan keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

    Sebelum pemilu, Duta Besar China Xie Feng dilaporkan mencoba menghubungi Elon Musk, salah satu sekutu penting Trump, namun upaya tersebut gagal, menurut seorang akademisi AS yang baru-baru ini melakukan kunjungan informal ke China. Musk belum memberikan tanggapan atas hal ini.

    Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga tidak berhasil bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio—yang dikenal sebagai pengkritik keras China dan dikenai sanksi oleh Beijing—saat berkunjung ke New York pada Februari lalu untuk memimpin sidang PBB.

    Tidak ada pertemuan resmi antara diplomat tertinggi kedua negara, kecuali satu panggilan telepon dingin pada akhir Januari.

    Upaya Wang untuk bertemu Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz juga menemui jalan buntu, meskipun ia sebelumnya menjalin komunikasi erat dengan Jake Sullivan—termasuk dalam negosiasi pertukaran tahanan yang langka.

    Gedung Putih menganggap bahwa jika pembicaraan ingin diarahkan pada isu perdagangan, maka China seharusnya mengirimkan pejabat ekonomi tingkat tinggi, bukan Menteri Luar Negeri.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan komunikasi dengan China dan menyatakan bahwa Trump ingin langsung berbicara dengan Xi Jinping.

    Trump mengatakan pekan ini bahwa ia bersedia bertemu Xi, yang disebutnya sebagai “teman.” Namun, tidak ada rincian kesepakatan yang dipaparkan.

    Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya telah berulang kali bertanya apakah Xi bersedia menghubungi Trump melalui telepon—jawaban yang diterima selalu “tidak.”

    Pakar hubungan internasional Universitas Fudan Zhao Minghao mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak sesuai dengan pola pembentukan kebijakan China.

    “Biasanya, diperlukan kesepakatan terlebih dahulu di tingkat teknis, baru kemudian bisa dirancang pertemuan puncak,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Kepala Ekonom ING untuk China Lynn Song menambahkan bahwa cara negara-negara yang mencoba bernegosiasi diperlakukan sejauh ini, justru memperkuat alasan bagi China untuk menjauh dari meja perundingan.

    Meskipun beberapa komunikasi masih berlangsung di level teknis, menurut satu pejabat China dan tiga pejabat AS, banyak forum kerja sama yang dibentuk di era Biden—termasuk di bidang perdagangan, keuangan, dan militer—kini dibekukan sepenuhnya.

  • Peringatan 75 Tahun China-RI: Ini Janji Xi Jinping ke Prabowo

    Peringatan 75 Tahun China-RI: Ini Janji Xi Jinping ke Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden China Xi Jinping berjanji untuk memperdalam kemitraan strategis antara China dengan Indonesia, melalui panggilan telepon dengan Presiden Prabowo Subianto. 

    Mengutip kantor berita resmi China Xinhua, Xi Jinping menyatakan bahwa China dan Indonesia telah berdiri bersama dalam suka dan duka, serta mencapai kemajuan dalam hubungan bilateral dan memiliki persahabatan yang kuat. 

    “China  dan Indonesia telah berdiri bersama dalam suka dan duka dan terlibat dalam kerja sama yang tulus selama 75 tahun terakhir, mencapai kemajuan luar biasa dalam hubungan bilateral dan membina persahabatan yang mengakar kuat antara kedua bangsa,” tulis kantor berita tersebut, Minggu (13/4/2025). 

    Lewat peringatan 75 tahun kerja sama China-Indonesia, Xi Jinping mengaku akan sangat mementingkan perkembangan hubungan China dan Indonesia. 

    Hal-hal yang akan diperdalam lagi adalah dalam kerja sama strategis komprehensif bilateral, memperkuat koordinasi strategis multilateral, serta terus memperkaya dimensi masyarakat Tiongkok-Indonesia dengan masa depan bersama yang bercirikan era baru.

    Xi Jinping juga menyebut hubungan kedua negara dapat menjadi contoh solidaritas dan saling percaya di antara negara-negara berkembang utama, model pembangunan bersama, serta pelopor kerja sama Selatan-Selatan. 

    “Sehingga dapat memberikan sumbangsih bersama bagi perjuangan kemajuan manusia,” tulis keterangan tersebut. 

    Kemudian, diinformasikan bahwa Presiden Prabowo atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia menyampaikan ucapan selamat kepada Xi Jinping dan seluruh rakyat China atas peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia–China.

    Prabowo menuturkan bahwa Indonesia dan China telah menjalin persahabatan yang lama dan memiliki kemitraan yang kuat dan dinamis. Kedua negara juga telah membuat kemajuan pesat dalam kerja sama bilateral pada lima pilar, yakni politik, ekonomi, pertukaran antar masyarakat dan budaya, urusan maritim dan keamanan.

    Kemudian, Prabowo menyatakan harapan agar kedua negara dapat terus mempererat kerja sama dan memperdalam persahabatan, demi memberi kontribusi positif bagi perdamaian dan stabilitas dunia.

  • Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mewanti-wanti krisis ekonomi global 1930 atau yang dikenal dengan Great Depression bisa kembali terulang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, menjelaskan bahwa Great Depression terjadi karena retaliasi negara lain akibat kebijakan tarif di AS (Smoot-Hawley Tariff Act). Akibat negara lain membalas dengan menaikkan tarif atas produk AS, volume perdagangan global turun drastis sehingga memperlambat perekonomian global.

    Pada saat Great Depression 1930, lanjutnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam terutama di negara-negara maju.

    “Global trade-nya [perdagangan global] jatuh, ekspor turun. Karena ekspor turun, investasi turun. Investasi turun, GDP turun, consumption [konsumsi] turun, terjadilah Great Depression pada waktu itu,” jelas Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2025).

    Masalahnya, dia melihat pola serupa bisa terjadi dalam kasus penerapan tarif resiprokal Trump belakangan ini. Apalagi usai Trump mengumumkan kebijakan tarif tersebut, sejumlah negara melakukan retaliasi terutama China.

    Belakangan, China menaikkan tarif impor untuk barang dari AS menjadi 125%. Tarif tersebut merupakan respons Negeri Tirai Bambu setelah AS menaikkan tarif impor terhadap barang asal China menjadi 145%.

    Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu pun berharap Trump akan melunak, dengan membuka opsi negosiasi zehingga Great Depression tidak terulang. Menurutnya, jika China melihat keraguan Trump maka Xi Jinping juga akan membuka opsi negosiasi.

    “Jadi upaya untuk mengatasi retaliasi itu menjadi sangat penting,” ujarnya.

    Dampak Tarif Trump ke RI

    Lebih lanjut, Chatib menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi.

    “Jadi yang harus dilakukan adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujarnya. 

    Menurutnya, deregulasi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986. Kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • Wamenlu: Trump Langgar Aturan WTO!

    Wamenlu: Trump Langgar Aturan WTO!

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dianggap telah melanggar sistem multilateral dan berbagai aturan World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pelanggaran itu menyusul kenaikan tarif barang impor puluhan negara yang masuk ke AS.

    Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arrmanatha Christiawan Nasir mengungkap, proteksionisme yang diadopsi Trump menimbulkan ketidakpastian pada sistem perdagangan dunia.

    “Satu lagi building blocks yang ditaruh untuk meng-undermind sistem multilateral. Kebijakan Presiden Trump melanggar berbagai aturan WTO,” kata Arrmanatha dalam acara The Yudhoyono Institute di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Diketahui, eskalasi perang dagang kian meningkat usai Trump menetapkan tarif tambahan ke puluhan negara. Perang dagang kembali memanas kala tarif Trump dibalas oleh Presiden China Xi Jinping, di mana Tiongkok menetapkan tarif impor untuk barang AS sebesar 125%, setelah Trump menetapkan tarif 145% ke Negeri Tirai Bambu tersebut.

    Sementara di ASEAN, tercatat beberapa negara yang dipatok tarif tinggi oleh AS, yakni Kamboja 49%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Indonesia 32%, dan Malaysia 24%. Namun, Arrmanatha mengatakan tidak ada negara yang hendak melaporkan kebijakan Trump ke WTO.

    “Tidak ada negara yang niat untuk membawa Amerika, kecuali China, Kanada, dan EU, ke WTO. Justru negara-negara lain ramai-ramai ingin memberikan over kepada Donald Trump untuk tidak dikenakan tarif yang memang secara aturan akan melanggar WTO,” tegasnya.

    Arrmanatha menilai, saat ini sistem multilateral gagal menjaga stabilitas dunia sebagaimana menjadi komitmen dari perang dunia kedua. “Liga Bangsa-Bangsa yang dibentuk paska perang dunia pertama yang bertujuan untuk mencegah perang dunia kembali, justru gagal dan berakibat pada perang dunia kedua. Ini yang tidak kita harapkan terjadi,” tegasnya.

    Ia menambahkan, Global Risk Report World Economic Forum 2025 mencatat ancaman bagi stabilitas dunia berkaitan erat dengan geo-ekonomi, resesi, stagnansi ekonomi, inflasi, pengangguran, perubahan iklim, hingga krisis pangan.

    Di sisi lain, Arrmanatha menyebut dunia juga terancam kemajuan teknologi, di mana saat ini terjadi berbagai macam bias informasi dan polarisasi sosial. Sementara konflik bersenjata kian memanas karena beberapa negara mulai mengadopsi senjata nuklir.

    Arrmanatha mengatakan, negara-negara ASEAN sendiri menempatkan perubahan iklim sebagai ancaman utama. Setelahnya, persoalan dan persaingan ekonomi antara negara-negara besar dunia.

    “Mayoritas ancaman terhadap stabilitas dunia di masa depan tidak hanya bersumber dari konflik bersenjata,” tutupnya.

    (rrd/rrd)

  • Presiden China Xi Jinping Ternyata Kalah Telak dari Donald Trump Soal Ini – Page 3

    Presiden China Xi Jinping Ternyata Kalah Telak dari Donald Trump Soal Ini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Siapa yang lebih kaya antara Donald Trump dan Xi Jinping? Pertanyaan ini memicu rasa penasaran banyak orang. Berdasarkan victormochere.com, perbedaan kekayaan keduanya sangat signifikan.

    Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk fluktuasi pasar, metode penilaian aset, dan terutama, transparansi informasi mengenai kekayaan masing-masing individu.

    Di tengah memanasnya perang dagang AS dan China, salah satu yang juga mencuri perhatian adalah kekayaan yang dimiiliki kedua kepala negara yang terlibat dalam sengitnya perang dagang yaitu Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.

    Kekayaan Xi Jinping

    Dikutip dari victormochere.com, Xi Jinping adalah seorang politikus Tiongkok yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT), Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Ketua Komisi Militer Pusat (CMC). Xi telah menjadi pemimpin tertinggi, pejabat berpangkat tertinggi di Tiongkok, sejak 2012 dan ia secara resmi menerima gelar “inti kepemimpinan” dari PKT pada 2016.

    Xi adalah sekretaris jenderal pertama yang lahir setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Sebagai seorang nasionalis Tiongkok, ia telah memperketat pembatasan atas masyarakat sipil dan wacana ideologis dengan meningkatkan penyensoran dan pengawasan massal. 

    Sebagai tokoh utama generasi kelima kepemimpinan Republik Rakyat, Xi telah memusatkan kekuasaan kelembagaan dengan mengambil berbagai posisi kepemimpinan, termasuk memimpin Komisi Keamanan Nasional yang baru dibentuk, serta komite pengarah baru untuk reformasi ekonomi dan sosial, restrukturisasi dan modernisasi militer, dan Internet. Pemikiran politik Xi telah dituangkan dalam konstitusi partai dan negara. Masa jabatannya juga telah melihat kembalinya kultus kepribadian dan penghapusan batasan masa jabatan untuk jabatan presiden pada tahun 2018.

    Xi Jinping diperkirakan memiliki kekayaan bersih USD 1,5 miliar atau sekitar Rp 25 triliun (kurs 16.798 per dolar AS).

    Harta Kekayaan Donald Trump

    Dikutip dari victormochere.com, Donald John Trump atau biasa dikenal dengan Donald Trump adalah seorang politikus Amerika yang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 dari tahun 2017 hingga 2021. Sebelum terjun ke dunia politik, ia adalah seorang pengusaha dan tokoh televisi.

    Donald Trump menjadi presiden bisnis real estat milik ayahnya pada tahun 1971, yang kemudian ia beri nama The Trump Organization; ia memperluas operasi perusahaan tersebut dengan membangun dan merenovasi gedung pencakar langit, hotel, kasino, dan lapangan golf.

    Posisi politik Trump digambarkan sebagai populis, proteksionis, isolasionis, dan nasionalis. Ia memasuki pemilihan presiden 2016 sebagai seorang Republikan dan terpilih dalam kemenangan mengejutkan atas calon Demokrat Hillary Clinton meski kalah dalam pemungutan suara rakyat. Ia menjadi presiden AS pertama yang tidak pernah dinas militer atau pemerintahan sebelumnya. Pemilihan dan kebijakannya telah memicu banyak protes.

    Total kekayaan bersih Donald Trump diperkirakan mencapai USD 7,8 Miliar atau sekitar Rp 131 triliun (kurs 16.798 per dolar AS)

     

  • Kenapa Trump Incar China dalam Perang Dagang dan Apa yang Akan Terjadi?

    Kenapa Trump Incar China dalam Perang Dagang dan Apa yang Akan Terjadi?

    Jakarta

    Tiba-tiba fokus perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin mengerucut. Alih-alih membuka front perang dengan seluruh dunia, Trump membawa ketegangan ini pada teritori yang lebih familiar: AS melawan China.

    Puluhan negara bisa bernapas karena Trump menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari pada Kamis (10/04). Kendati begitu, negara-negara tersebut masih dikenakan tarif universal sebesar 10%.

    Tapi China yang mengekspor mulai dari iPhone sampai mainan anak dan menyumbang 14% dari total impor Amerika jadi satu-satunya negara yang dikenakan tarif ‘gila-gilaan’ sebesar 125%.

    Trump mengatakan kenaikan ini akibat sinyal Beijing yang bersiap membalas dengan tarif 84% untuk barang-barang ekspor dari Amerika. Trump bilang aksi ini “kurang menghormati.”

    Menurut politikus yang melenggang ke Gedung Putih dengan kampanye anti-China ini, ini bukanlah sekedar aksi balasan biasa.

    Buatnya, ini adalah urusan yang belum kelar pada masa kepresidenannya yang pertama.

    “Kita belum sempat melakukan hal yang benar, dan itulah yang kita lakukan sekarang sekarang,” katanya kepada para wartawan.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Untuk memahami motif utama presiden AS ini, kita perlu kembali ke momen sebelum semua orang berpikir Trump punya kesempatan buat jadi kandidat presiden, apalagi sebagai pemenangnya.

    Pada 2012, saat saya menulis laporan pertama dari Shanghai, ibukota bisnis China, hampir semua orang pemimpin bisnis global, pejabat-pejabat China, delegasi pemerintah, delegasi bisnis, koresponden asing, ekonom berpendapat meningkatkan perdagangan dengan China adalah keputusan yang tidak perlu dipikirkan lagi.

    Kerja sama ini akan meningkatkan pertumbuhan global, menyediakan suplai barang tanpa batas dan murah, pasokan tenaga kerja untuk pabrik dalam rantai suplai global, dan menyediakan kesempatan yang menarik buat perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjual produk mereka kepada kelas menengah yang baru.

    ReutersSaat ini China memproduksi 60% mobil-mobil listrik di dunia sebagian besar adalah produksi jenama dalam negeri.

    Beberapa tahun setelah kedatangan saya, China telah melampaui AS dan menjadi pasar terbesar di dunia untuk produk Rolls Royce, General Motors, dan Volkswagen

    Lantas ada justifikasi yang lebih mendalam juga.

    Ketika China semakin kaya, kalau menurut teori, rakyat China akan mulai menginginkan reformasi politik.

    Kebiasaan belanja mereka juga akan membantu transisi China menjadi masyarakat yang konsumtif.

    Tapi prediksi pertama itu tidak pernah terjadi. Partai Komunis China yang berkuasa memegang erat-erat kekuasaan mereka.

    Baca juga:

    Sementara prediksi yang kedua ternyata tidak terjadi dengan cepat. China tidak cuma bergantung pada ekspor, tapi secara terbuka juga berencana untuk jadi semakin dominan.

    Cetak biru kebijakan yang terkenal dan diterbitkan pada 2015, “Made in China 2025”, pemerintah China mencanangkan visi besar yang ditopang negara untuk jadi pemimpin global dalam beberapa sektor manufaktur, dari kedirgantaraan, produksi kapal, hingga kendaraan listrik.

    Setahun berikutnya, seorang di luar sistem yang tak begitu paham politik memulai pencalonannya sebagai presiden AS.

    Retorika kampanyenya berulang kali memuat pesan kebangkitan China yang telah menggembosi ekonomi Amerika, membuat industri berat Amerika mundur, dan merugikan kehidupan para pekerja kerah biru.

    Baca juga:

    Perang Dagang Trump pada periode pemerintahan pertamanya segera menghancurkan segala konsensus.

    Penerusnya, Presiden Joe Biden, mempertahankan sebagian besar tarifnya pada China.

    Meski telah menyebabkan China sakit kepala, tapi aksi-aksi ini tidak mengubah banyak model ekonomi.

    Saat ini China memproduksi 60% mobil-mobil listrik di dunia sebagian besar diproduksi jenama lokal dan 80% baterai yang menggerakkannya.

    Dan sekarang Trump kembali, dengan kenaikan tarif.

    Bisa dibilang, ini akan jadi kejutan terbesar yang menggoncang sistem perdagangan dunia yang telah mapan yang pernah dikeluarkan presiden AS.

    Apa yang akan terjadi berikutnya bergantung pada dua pertanyaan.

    Pertama, apakah China akan menerima tawaran untuk negosiasi.

    Kedua, dengan asumsi China menerima tawaran negosiasi, apakah China bersedia membuka konsesi besar seperti yang diinginkan AS, termasuk perombakan total model ekonominya yang berorientasi pada ekspor.

    Jawabannya, yang paling pokok adalah kita berada di wilayah yang sama sekali belum terpetakan.

    Jadi kita harus mencurigai siapa pun yang mengaku tahu bagaimana Beijing akan bereaksi.

    Tetapi tentu ada alasan untuk waspada.

    Visi China mengenai kekuatan ekonominya yang berbasis pada kekuatan ekspor dan perlindungan pasar domestik sekarang terkait erat dengan ide kebangkitan nasional dan supremasi sistem satu partai.

    Kontrol ketatnya terhadap informasi tampaknya masih akan jadi hambatan yang sulit ditembus oleh perusahaan-perusahaan teknologi Amerika, sebagai contohnya.

    Tapi ada pertanyaan berikutnya yang harus dijawab AS.

    Apakah AS masih ingin perdagangan bebas? Donald Trump kerap kali menyebut tarif adalah hal perkara yang bagus, bahkan meski tarif tidak memiliki tujuan tertentu.

    Trump kerap bicara tentang keuntungan proteksionisme bagi AS untuk merangsang investasi domestik, mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk membawa rantai suplai mereka kembali ke dalam negeri, dan meningkatkan pajak pendapatan.

    Dan kalau Beijing percaya hal-hal itu yang menjadi tujuan pengenaan tarif, mungkin saja mereka memutuskan tidak ada yang perlu dinegosiasikan.

    Alih-alih mendorong kerja sama ekonomi, kedua kekuatan super ekonomi dunia ini akan terjebak dalam situasi perang di mana pemenang mendapatkan semua keuntungan ekonomi.

    Jika demikian, itu akan menjadi penanda hancurnya tatanan lama, dan akan membuat masa depan yang mungkin tidak hanya berbeda, tapi juga berbahaya.

    Lihat juga Video Trump soal Perang Tarif dengan China: Saya Menghormati Xi Jinping, Dia Teman

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini