Tag: Tom Lembong

  • Hotman Paris: Nadiem Tak Terima Sepeser pun dalam Kasus Chromebook

    Hotman Paris: Nadiem Tak Terima Sepeser pun dalam Kasus Chromebook

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengacara Hotman Paris menegaskan bahwa mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, tidak menerima keuntungan pribadi dalam pengadaan Chromebook yang kini menjeratnya sebagai tersangka.

    Hotman menilai kasus yang menimpa Nadiem mirip dengan pengalaman Thomas Lembong, yang juga sempat diseret dalam dugaan korupsi namun tanpa bukti aliran dana.

    “Tidak ada satu rupiah pun jaksa menemukan ada uang masuk ke kantong Nadiem,” ujarnya kepada wartawan melalui sambungan telepon, Jumat (5/9/2025).

    Lebih lanjut, Hotman Paris menjelaskan, pengadaan Chromebook dilakukan melalui vendor resmi dengan harga yang tercantum di e-katalog pemerintah. Google, kata Hotman, hanya memberi dukungan berupa tenaga ahli dan pelatihan untuk vendor, bukan dana tunai.

    “Jadi, yang menjual laptop itu adalah vendor. Uangnya ke vendor, bukan ke Nadiem. Google pun tidak pernah memberi uang sepeser pun,” tegasnya.

    Hotman juga membantah klaim bahwa ada pertemuan khusus antara Nadiem dan Google untuk menyepakati penggunaan Chromebook. Menurutnya, sekalipun pertemuan itu terjadi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan praktik korupsi.

    “Kalau ketemu, terus kenapa? Saya ketemu wartawan tiap hari, apakah itu berarti saya menyuap wartawan?” katanya retoris.

    Terkait tuduhan pelanggaran peraturan presiden dalam proses pengadaan, Hotman menegaskan tidak ada aturan yang dilanggar. Chromebook justru dianggap lebih murah dibandingkan laptop berbasis Windows dan sesuai kebutuhan saat pandemi Covid-19.

    “Kalau harganya sesuai e-katalog dan tidak ada yang diperkaya, korupsinya di mana?” ujarnya.

    Dia juga menyinggung investasi Google di Gojek yang kerap dikaitkan dengan kasus ini. Menurut Hotman, investasi itu dilakukan jauh sebelum Nadiem menjabat menteri, serta melalui mekanisme pasar.

    “Google itu perusahaan raksasa dunia. Tidak mungkin main sogok-sogokan,” katanya.

    Hotman menambahkan, Nadiem menghadapi status tersangka dengan tenang dan tanpa kekhawatiran berlebih. Keluarga pun, kata dia, yakin karena tidak ada bukti korupsi yang ditemukan.

    “Ibunya sempat bertanya, salahnya di mana? Saya jawab, tidak ada. Tidak ada unsur memperkaya diri maupun orang lain,” ungkapnya.

    Kasus ini, menurut Hotman, seharusnya tidak dilanjutkan karena tidak ada kerugian negara maupun keuntungan pribadi.

    “Nasib Nadiem sama seperti Tom Lembong. Tidak ada satu sen pun yang dinikmati,” pungkas Hotman.

  • 8
                    
                        Mahfud MD Nilai Kasus Hukum Tak Tuntas Jadi Pemicu Kericuhan
                        Nasional

    8 Mahfud MD Nilai Kasus Hukum Tak Tuntas Jadi Pemicu Kericuhan Nasional

    Mahfud MD Nilai Kasus Hukum Tak Tuntas Jadi Pemicu Kericuhan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai persoalan hukum yang tak kunjung tuntas menjadi salah satu pemicu kericuhan dalam aksi demonstrasi besar beberapa waktu lalu.
    Mahfud menyinggung sederet kasus hukum yang menurutnya menunjukkan lemahnya penegakan hukum.
    Salah satunya adalah kasus Ketua Umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina, yang sudah divonis 1,5 tahun penjara sejak 2019 karena kasus fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, tetapi tak kunjung ditahan.
    “Bidang hukum (persoalan) banyak. Misalnya, masalah sederhana saja, orang berteriak sudah tiga minggu ini, Silfester, itu kan masalah sederhana, itu Silfester inkrah 1,5 tahun (penjara) lalu lalang di depan hidung kita, enggak ada yang berani nangkap,” kata Mahfud, dikutip dari tayangan YouTube Mahfud MD Official dengan judul “Mahfud MD Soal Demo, Sikap Pemerintah dan Lemahnya Penegakan Hukum”, Selasa (2/9/2025).
    “Menurut saya, enggak ada yang berani nangkap itu bukan orang tidak tahu, tapi ada sesuatu di balik itu yang mungkin dikompromikan, atau mungkin telanjur dikompromikan, mungkin,” tambahnya.
    Kompas.com
    telah mendapatkan izin dari tim Mahfud MD untuk mengutip tayangan tersebut.
    Mahfud juga menyinggung kasus abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong yang dinilai masyarakat tidak adil.
    Menurut dia, kebijakan presiden memang sah, tetapi publik tetap mempertanyakan mengapa penegakan hukum terhadap pihak lain dalam kasus yang sama terkesan berjalan tidak konsisten.
    “Tom Lembong abolisi oke bagus, tapi yang lain bagaimana? Apakah kasus itu menjadi hilang atau tidak? Lho kan sudah ada mulai terdakwa lain di luar Tom Lembong terkait kasus itu. Menteri-menteri yang lainnya bagaimana yang sebelum sesudahnya?” sambung dia.
    Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menyoroti kasus besar yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar hingga kasus pagar laut sebagai contoh lain lemahnya keberanian pemerintah dan aparat hukum.
    “Pagar laut yang paling parah misalnya. Ini jelas kata Kejaksaan Agung korupsi, tapi polisi enggak mau (mengusut), sampai sekarang kasusnya hilang. Itu kejahatan luar biasa, bukan hanya melanggar Undang-undang, bukan hanya melanggar kebijakan pemerintah, tapi melanggar ketentuan Pasal 33 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara,” nilai Mahfud.
    Dia menilai pemerintah selama ini lebih sering memberi pidato normatif ketimbang jawaban substantif terhadap persoalan yang mencuat.
    Padahal, menurutnya, publik butuh pertanggungjawaban dan penjelasan yang konkret.
    “Tapi apa coba? Apa jawaban pemerintah tentang ini? Wong setiap pidato semua bagus-bagus saja,” ungkapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rivalitas Jokowi vs Prabowo Semakin Nyata

    Rivalitas Jokowi vs Prabowo Semakin Nyata

    ENAM bulan lalu, tepatnya tanggal 10 Februari 2025, saya menulis dan merilis artikel dengan judul “Rivalitas Prabowo vs Jokowi”.

    Di hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto pidato di acara Muktamar Muslimat NU di Surabaya. Kata Prabowo: “ada yang berusaha memisah-misahkan saya dengan Pak Jokowi. Lucu juga. Sebagai bahan ketawaan boleh”.

    Beberapa hari berikutnya, Prabowo pidato di HUT Gerindra. Salah satu kalimat yang disampaikan Prabowo dalam pidato itu adalah “hidup Jokowi”.

    Publik awam bertanya-tanya: “Kok Prabowo masih terintervensi oleh Jokowi”

    Sebagai politisi, narasi Prabowo harus dipahami sebagai narasi politik. Prabowo, tentu tidak ingin hubungannya dengan Jokowi rusak.

    Apalagi, kursi kekuasaannya baru berusia kurang dari empat bulan. Prabowo perlu membangun kekuatan. Merangkul semua simpul kekuatan, dan menghindari potensi benturan, termasuk dengan Jokowi.

    Prabowo tidak perlu berhadap-hadapan dengan kekuatan dari luar, termasuk dengan pihak Jokowi yang masih cukup kuat.

    Tapi, keadaan pada akhirnya akan memaksa Prabowo berhadap-hadapan dengan Jokowi. Sebagaimana Jokowi vs Megawati. Suka tidak suka, fakta ini akan terjadi.

    Kenapa Prabowo harus berhadapan dengan Jokowi? Bukankah tanpa Jokowi, Prabowo diprediksi tidak akan menang di Pilpres 2024 kemarin?

    Menghindari terjadinya bias, analisis psikologis dan moral harus dikesampingkan. Sebab, urusan Jokowi vs Prabowo bukan soal moral.

    Ini tidak ada kaitannya dengan “kewajiban” balas budi. Juga bukan soal psikologis, karena ini tidak ada hubungannya dengan empati dan urusan terima kasih. Ini soal “satu kursi” dan “pengaruh politik” yang diperebutkan.

    Prabowo ingin jadi presiden seutuhnya. Presiden yang mandiri tanpa intervensi. Di sisi lain, nasib dan masa depan Gibran Rakabuming Raka ada di pundak Jokowi. Sang ayah sekaligus mentor Gibran.

    Tanggung jawab ini yang memaksa Jokowi untuk melakukan intervensi pada kekuasaan. Ini satu-satunya cara untuk memastikan adanya peluang buat masa depan Gibran.

    Saat ini, Gibran sebagai wapres. Langkah berikutnya tentu ingin menjadi presiden. Kapan? Setelah Prabowo. Bisa setelah satu periode, atau dua periode. Bisa jadi sebelum genap satu periode. Semua serba mungkin terjadi.

    Prabowo pasti ingin dua periode. Adakah jaminan Prabowo akan bergandengan dengan Gibran di Pemilu 2029? Tidak ada. Kecuali jika Jokowi ikut mengawal dan mengendalikan Prabowo di periode pertama. Di sinilah masalah krusial itu muncul.

    Jokowi ingin kendalikan, minimal intervensi terhadap Prabowo. Ini untuk memberi kepastian dan jaminan bagi putra sulungnya, yaitu Gibran. Sementara Prabowo, pasti menolaknya. Tidak ada kekuasaan yang ingin diintervensi, apalagi dikendalikan.

    Tak ada matahari kembar. Matahari Indonesia hanya satu, yaitu Prabowo. Jokowi, apalagi Gibran, tidak boleh menjadi matahari tandingan. Pemimpin itu tunggal. Raja itu hanya satu. Tidak ada raja yang lain.

    Rivalitas Prabowo vs Jokowi merupakan kondisi objektif yang tidak bisa dihindari. Prabowo akan membentengi kekuasaannya dengan membatasi, bahkan menghindari sama sekali terhadap intervensi Jokowi.

    Jokowi, untuk memenuhi tanggung jawab bagi masa depan putranya, ia akan melawan Prabowo. Rivalitas itu sedang berjalan.

    Sejumlah pengusaha yang dianggap dekat dekat dengan Jokowi, sebut saja Mohammad Riza Chalid, Wilmar, Aguan, Tomy Winata, pemilik bank swasta terbesar yaitu BCA, mulai disingkirkan Prabowo. Prabowo sedang bersihkan para taipan yang dianggap dekat dengan Jokowi.

    Di sisi lain, dua tokoh yang menjadi rival Jokowi yaitu Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mendapatkan abolisi dan amnesti, hanya hitungan hari setelah vonis.

    Dalam kasus ini, banyak pakar hukum pidana yang menganggap Prabowo off side. Langkah out of the box Prabowo dibaca publik sebagai bentuk nyata genderang perlawanan kepada Jokowi.

    Minggu siang, 31 Agustus 2025, Prabowo melakukan konferensi pers bersama para pimpinan partai. Bahkan, Megawati yang notabene bukan bagian dari partai koalisi ikut hadir.

    Sementara Gibran, sang wapres tidak terlihat mendampingi Prabowo. Padahal, konferensi pers ini terkait dengan sesuatu yang sangat krusial yaitu adanya ancaman stabilitas keamanan bangsa.

    Konferensi pers ini seperti memberi sinyal kuat ke publik bahwa Prabowo tidak sedang bersama Jokowi.

    Apakah kerusuhan sistemik tanggal 27-31 Agustus 2025 yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia merupakan panggung rivalitas Jokowi vs Prabowo?

    Banyak spekulasi mengarah kesana.rmol news logo article

    *Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

  • Jhon Sitorus Blak-blakan Terkait Susahnya Kejaksaan Tangkap Silfester: Kayak Kucing-kucingan

    Jhon Sitorus Blak-blakan Terkait Susahnya Kejaksaan Tangkap Silfester: Kayak Kucing-kucingan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Jhon Sitorus, menyinggung lambannya proses hukum terkait penangkapan Silfester Matutina. Ia mempertanyakan keseriusan Kejaksaan dalam mengeksekusi putusan pengadilan terhadap terpidana tersebut.

    “Dimana marwah hukum negara ini kalo hanya untuk menangkap Silfester Matutina saja begitu sulit? Keseriusan Kejaksaan patut dipertanyakan,” ujar Jhon di X @jhonsitorus_19 (27/8/2025).

    Dikatakan Jhon, jika menangkap ketua relawan saja sudah seperti main kucing-kucingan, wajar publik meragukan wibawa hukum.

    “Jangan dulu muluk-muluk menangkap Riza Chalid, menangkap ketua relawan saja kayak kucing-kucingan,” sebutnya.

    Ia juga menyinggung praktik hukum yang terkesan tebang pilih.

    “Prihatin dengan hukum yang lembek dan tebang pilih. Siapa sih yang kalian takutkan?” Jhon menuturkan.

    Sebagai pembanding, ia menyebut nama Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong.

    “Hasto dan Tom Lembong ga susah ditangkap, mereka langsung ditahan, langsung dipenjara begitu divonis. Itu karena mereka menghargai dan patuh hukum,” jelasnya.

    Jhon pun menegaskan, Silfester seharusnya menunjukkan itikad baik dengan mematuhi hukum.

    “Silfester yang anda bela-bela itu, harusnya ada itikad baik untuk mematuhi hukum. Udah Kejaksaannya takut, terpidananya juga sok berkuasa,” kuncinya.

    Sebelumnya, pakar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD pun turut terpanggil untuk memberikan pandangannya pada perkara tersebut.

    “Banyak yang heran, seorang yang sudah divonis pidana penjara 1,5 tahun sejak tahun 2019 tidak dijebloskan ke penjara sampai sekarang,” kata Mahfud di X @mohmahfudmd (5/8/2025).

  • Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
    Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

    Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
    ” – Farah Peterson (2020).
    PETERSON
    tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
    Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
    Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
    Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
    Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
    Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
    Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
    Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
    Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
    Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
    Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
    living constitution
    yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
    Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
    Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
    Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
    Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
    Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
    Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
    Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
    Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
    Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
    Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
    Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
    Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
    Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
    Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
    Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
    Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
    Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
    Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
    Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
    Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
    Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
    Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
    Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
    Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
    Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
    Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
    Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
    Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Survei: Abolisi dan Amnesti Tak Guncang Hubungan Prabowo-Jokowi – Page 3

    Survei: Abolisi dan Amnesti Tak Guncang Hubungan Prabowo-Jokowi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Hasil survei nasional Polling Institute menunjukkan mayoritas publik tidak percaya bahwa hubungan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), retak usai kebijakan pemberian abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.

    Dalam survei yang digelar pada 4–7 Agustus 2025 itu, sebanyak 52,1 persen responden menyatakan tidak percaya (28,3 persen kurang percaya dan 23,8 persen tidak percaya sama sekali) terhadap anggapan bahwa hubungan Prabowo–Jokowi tidak harmonis pasca kebijakan tersebut. 

    Sementara itu, yang menyatakan percaya hanya 23,2 persen (3,6 persen sangat percaya dan 19,6 persen cukup percaya). Adapun sisanya, 24,8 persen, memilih tidak tahu atau tidak menjawab.

    “Temuan ini mengindikasikan bahwa publik melihat hubungan Prabowo dan Jokowi relatif stabil, meskipun muncul kebijakan yang berpotensi menimbulkan tafsir politik seperti pemberian abolisi dan amnesti,” ujar Kennedy Muslim, Peneliti Utama Polling Institute, saat memaparkan rilis survei bertajuk ‘Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Negara dan Isu-Isu Politik Terkini’ secara virtual, Minggu (24/8).

    Menurut Kennedy, mayoritas publik menilai kebijakan Prabowo tersebut lebih sebagai langkah politik yang berorientasi pada rekonsiliasi, bukan pemicu disharmoni. 

    “Responden cenderung menilai keputusan Presiden justru memperluas ruang politik inklusif, sehingga isu retaknya hubungan Prabowo–Jokowi tidak terlalu dipercaya,” jelasnya.

     

  • Noel Tersangka KPK Minta Amnesti ke Prabowo Bikin Warganet Geleng-geleng

    Noel Tersangka KPK Minta Amnesti ke Prabowo Bikin Warganet Geleng-geleng

    Jakarta

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel kembali jadi sorotan publik. Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Noel mendadak meminta amnesti kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Momen itu terjadi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025) saat Noel dimasukkan ke mobil tahanan. “Semoga saya dapat amnesti dari Presiden Prabowo,” ucap pria berkacamata itu.

    Alih-alih mengabulkan permintaan amnesti, Presiden Prabowo justru bergerak cepat. Pada malam yang sama, ia menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) untuk memberhentikan Noel dari jabatannya sebagai Wamenaker.

    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan keputusan itu diambil demi menjaga integritas pemerintahan.

    “Selanjutnya, kami serahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat penegak hukum,” ujar Prasetyo.

    Reaksi Warganet

    Selain meminta amnesti, Noel sempat menangis saat digelandang ke kantor KPK. Kedua momen ini langsung jadi bahan perbincangan panas di media sosial.

    Bahkan hingga Sabtu pagi (23/8/2024) nama Noel masih bertengger di puncak trending topic. Banyak netizen menyindir perubahan sikap Noel yang sebelumnya vokal menyerukan hukuman berat bagi koruptor.

    “kalau tom lembong terbukti gk bersalah/ cuman di tuduh korupsi jadi pantas dapat Amnesti, tapi noel terbukti bersalah/ korupsi jadi wajib di hukum mati🤣🤣🤣sesuai permitax sendiri sewaktu manjabat,” ujar @AyatulH86561504.

    “Kl Noel ini sampai dpt Amnesti dari Presiden @prabowo berarti janji Prabowo berantas korupsi cuma omon2 doang,” tulis @putra_merbabu.

    “Kenapa cuma minta amnesti, sekalian saja minta abolisi. Sesudah itu minta lagi jabatan Komisaris di BUMN supaya bisa korupsi sebanyak-banyaknya. NOEL, kalo mau jadi maling jangan tanggung-tanggung,” ujar @MalewaBurh39890.

    “Noel-Noel 😂😂😂 dasar bajingan kurap. Waktu peras para pengusaha tertawa lebar pas di tangkep, NANGIS. Jangan SESUMBAR doang kalo korupsi siap di hukum mati,” kata @WinDjalil.

    “Dah ga usah nangis noel, semoga tangisan mu didengar sama aparat penegak hukum supaya mengabulkan keinginanmu utk HUKUM MATI para koruptor…,” ujar @AntoniusCDN.

    (afr/afr)

  • Ngemis Minta Amnesti Usai Ditangkap KPK, Noel Malah Dipecat Prabowo

    Ngemis Minta Amnesti Usai Ditangkap KPK, Noel Malah Dipecat Prabowo

    GELORA.CO – Presiden RI Prabowo Subianto resmi menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberhentian Immanuel Ebenezer (Noel) sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Pemberhentian ini diteken usai Noel ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pemerasan sertifikasi K3 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sore ini.

    Kabar ini disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi kepada wartawan, Jakarta, Jumat (22/8/2025) malam.

    “Baru saja untuk menindaklanjuti hal tersebut bapak presiden telah menandatangani Keputusan Presiden tentang pemberhentian saudara Immanuel Ebenezer dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan,” kata Prasetyo.

    Prasetyo menjelaskan pemberhentian Noel dari jajaran Kabinet Merah Putih merupakan respons atas penetapan status tersangka oleh KPK.

    “Dalam hal ini ingin menyampaikan berkenaan dengan perkembangan terhadap kasus yg menimpa saudara Immanuel Ebenezer yang pada sore hari ini tadi telah ditetapkan tersangka oleh KPK,” jelasnya.

    Prasetyo menyatakan Prabowo akan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap Noel.

    “Selanjutnya kami menyerahkan seluruh proses hukum untuk dijalankan sebagaimana mestinya,” ucapnya.

    Prasetyo juga berharap agar seluruh pihak dapat memetik pelajaran terhadap kasus yang menimpa Noel. Di mana, Prabowo selalu menekankan kepada jajaran Kabinet Merah Putih dan pejabat pemerintah lainnya dalam memerangi korupsi di Tanah Air.

    “Dan kami berharap ini menjadi pembelajaran bagi kita semuanya, terutama bagi seluruh anggota Kabinet Merah Putih dan seluruh pejabat pemerintahan untuk sekali lagi benar-benar pak presiden ingin kita semua bekerja keras berupaya keras di dalam memberantas tindak-tindak pidana korupsi,” paparnya.

    Minta Amnesti

    Pemberhentian ini tentu pukulan telak untuk Noel. Sebab dia sempat meminta diberikan amnesti seperti yang didapat sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, eks terpidana kasus suap, serta abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong yang sempat terseret kasus importasi gula.

    “Semoga saya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo,” kata Noel kepada awak media saat digiring masuk ke mobil tahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).

    Noel juga menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh pihak, termasuk Presiden Prabowo.

    “Saya ingin sekali pertama saya meminta maaf kepada Presiden Pak Prabowo. Kedua saya minta maaf kepada anak dan istri saya. Ketiga saya minta maaf terhadap rakyat Indonesia,” ujarnya.

    Noel membantah terlibat dalam operasi tangkap tangan (OTT) maupun melakukan pemerasan. “Kasus saya bukan kasus pemerasan, agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” ucapnya.

    Ia hanya menjawab singkat sejumlah pertanyaan wartawan, termasuk soal pernyataannya terdahulu mengenai menteri korup harus dihukum mati dan apakah dirinya merasa terjaring OTT. “Ya nggak, nggak. Terima kasih kawan-kawan,” kata Noel sebelum masuk ke mobil tahanan.

    Diketahui, OTT dilakukan sejak Rabu (20/8/2025). KPK mengamankan 14 orang, termasuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG) atau Noel. Dalam operasi itu, penyidik juga menyita barang bukti berupa uang tunai dan 22 kendaraan yang terdiri atas 15 mobil dan 7 sepeda motor. Selain itu, turut diamankan uang tunai sekitar Rp170 juta dan USD 2.201.

    KPK kemudian menetapkan 11 orang sebagai tersangka, termasuk Noel, dan menahan mereka selama 20 hari pertama, terhitung 22 Agustus hingga 10 September 2025, di Rutan KPK Gedung Merah Putih.

    Dalam konstruksi perkara, KPK mengungkap adanya praktik dugaan korupsi berupa pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 di Kemnaker periode 2019–2025 dengan nilai mencapai Rp81 miliar.

    Padahal, biaya resmi sertifikasi K3 hanya Rp275 ribu sesuai tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, pekerja atau buruh diminta membayar hingga Rp6 juta dengan modus memperlambat atau mempersulit proses bila tidak ada pembayaran tambahan.

    Aliran dana Rp81 miliar itu juga diduga mengalir kepada Noel. Ia disebut menerima Rp3 miliar pada Desember 2024 serta satu unit motor Ducati Scrambler berwarna biru hitam yang diduga bodong.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • 7
                    
                        Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer
                        Nasional

    7 Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer Nasional

    Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer
    Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada
    SAAT
    menyaksikan retreat Kabinet Merah Putih pada Oktober 2024 lalu, saya membatin, “Siapa gerangan menteri yang akan digaruk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling pertama?”
    Berselang empat bulan kemudian, hati saya mengajukan pertanyaan serupa, “Dari ratusan kepala daerah yang menyimak pidato penutupan retreat oleh Presiden Prabowo Subianto, siapa yang akan dijadikan KPK sebagai kasus ‘pecah telur’?”
    Dua pertanyaan di atas kini terjawab sudah: Bupati Kolaka Timur dan Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker).
    Khusus pada kasus Wamenaker Immanuel Ebenezer, tampaknya ia tidak perlu terlalu khawatir. Presiden Prabowo memang pernah melontarkan sejumlah ancaman retributif terhadap para koruptor.
    Misalnya, Prabowo menginginkan para koruptor dihukum penjara selama lima puluh tahun. Tidak sebatas dibui, koruptor juga akan dikirim ke penjara khusus di pulau paling pelosok. Bahkan, para penggangsir uang negara yang kabur ke Antartika pun akan Presiden buru.
    Namun pada sisi lain, Presiden juga mempertonton watak santunnya. Presiden katakan, ia siap memaafkan para koruptor seandainya bandit-bandit itu mengembalikan kekayaan yang telah mereka keruk dengan cara ilegal.
    Yang mutakhir, halusnya budi pekerti Presiden terhadap mereka yang diperkarakan terkait kasus tindak pidana korupsi (tipikor) juga tampak pada pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hastyo Kristiyanto.
    Klaim Presiden, abolisi dan amnesti sedemikian rupa dilatarbelakangi oleh semangat persatuan, harmoni, dan restorasi. Diksi-diksi tersebut sesungguhnya bersayap, multitafsir, bahkan membingungkan.
    Terkait restorasi, misalnya, kata ini lazimnya dimaknai sebagai penataan ulang relasi antara pelaku dan korban pidana.
    Masalahnya, dalam kasus tipikor, para koruptor akan dirukunkan dengan siapa? Juga tidak ada kejelasan tentang individu maupun lembaga yang merepresentasikan para korban, terlebih jika dianggap bahwa korupsi merupakan kejahatan tanpa korban (
    victimless crime
    ).
    Restorasi pun mensyaratkan adanya permintaan maaf oleh pelaku, diiringi kesediannya untuk memulihkan hak-hak yang telah dirampas dari korban.
    Pada kenyataannya, di persidangan, Tom dan Hasto menyangkal seluruh dakwaan jaksa. Penyangkalan itu menjadi dasar bagi mereka untuk tidak menyampaikan permohonan maaf.
    Pengembalian kerugian negara yang dianggap jaksa telah Tom dan Hasto akibatkan pun serta-merta menjadi tidak relevan. Alhasil, semakin sulit diterima nalar: di mana sisi restorasinya?
    Dalam dunia pemasyarakatan, peringanan sanksi pidana didahului oleh penakaran risiko (
    risk assessment
    ). Lewat penakaran tersebut, akan diperoleh ramalan terukur tentang kadar kebahayaan seorang pesakitan, potensinya mengulangi pidana, dan tingkat responsnya terhadap program pembinaan selama yang bersangkutan berada di dalam penjara.
    Amnesti dan abolisi sangat mungkin menihilkan penyelanggaraan
    risk assessment
    itu. Sehingga, pemerintah sesungguhnya tidak memiliki data pemasyarakatan untuk memperhitungkan ketenteraman masyarakat pascadiberikannya amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom.
    Konsekuensinya, tidak hanya amnesti dan abolisi terkesan sebagai penyikapan yang amat subjektif, tapi juga menomorsekiankan hak masyarakat akan kehidupan yang lebih baik.
    Amnesti dan abolisi sepertinya memang tidak bisa dicermati dengan kacamata hukum dan pemasyarakatan. Memahami amnesti dan abolisi sebagai hak presiden, maka sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa politik merupakan pertimbangan utama—jika bukan satu-satunya—di balik keputusan Presiden Prabowo itu.
    ‘Layanan istiimewa’ bagi Tom dan Hasto disebut-sebut diberikan sebagai upaya Presiden mempersatukan kubu-kubu politik.
    Jika demikian adanya, maka hitung-hitungan di atas kertas Immanuel Ebenezer alias Noel pun berpeluang besar mendapatkan amnesti, bahkan abolisi.
    Presiden Prabowo tentu mempunyai catatan lengkap tentang rekam jejak Noel. Setelah menjadi pendukung loyal Joko Widodo semasa menjabat Presiden, Noel kemudian menjelma sebagai pendukung garis keras Prabowo-Gibran.
    Di belakang Noel ada ratusan ribu warga, bahkan jutaan warga yang dimobilisasi untuk mencoblos duet Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
    Begitu bekilaunya jasa-jasa baik Noel, sehingga Prabowo—selaku individu pemaaf dan pemersatu itu—tentu tidak akan mengalami amnesia politik terhadap segala kebaikan Noel.
    Jadi, terlepas proses pembuktian hukum nantinya, dan apa pun tindak perangai yang akan Noel peragakan di ruang-ruang penegakan hukum, Noel sejak sekarang sudah dapat membangun siasat politik agar kelak masuk dalam radar Presiden Prabowo sebagai penerima abolisi atau pun amnesti.
    Sampai di situ, Noel boleh tenang. Namun, tidak demikian dengan tersangka-tersangka lain pada kasus tipikor yang sama. Apa pasal?
    Saya memahami abolisi dan amnesti sebagai keputusan politik presiden sebatas bagi individu yang tengah berperkara hukum. Keputusan presiden itu sama sekali tidak berimplikasi terhadap perkara hukum individu dimaksud.
    Perkara hukumnya tidak sirna seiring dengan pemberian amnesti atau pun abolisi. Dengan kata lain, perkara hukumnya tetap bisa diaktifkan dan terus dilanjutkan.
    Memaknai amnesti dan abolisi terhadap individu sebagai penghentian perkara hukum secara keseluruhan akan sama artinya dengan penghapusan suatu kasus tipikor sebagai kejahatan serius yang bersifat sistemik.
    Dasar bagi keharusan untuk mengembalikan kerugian yang telah diakibatkan oleh para pelaku juga akan hilang begitu saja.
    Tafsiran terkait abolisi dan amnesti di atas sepatutnya dipandang sebagai sikap keberpihakan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang telah bersusah payah menggerakkan mekanisme pidana guna meminta pertanggungjawaban para pelaku tipikor.
    Berkas-berkas yang telah lembaga-lembaga itu susun tidak sepatutnya masuk ke dalam laci dan teronggok di situ selama-lamanya.
    Oleh karenanya, seluruh dokumen penegakan hukum atas perkara tipikor tersebut semestinya terus ditindaklanjuti terhadap individu-individu lainnya yang tersangkut perkara hukum yang sama dan tidak mendapat amnesti maupun abolisi.
    Dengan berpijak pada tafsiran tersebut, seluruh institusi dalam sistem peradilan pidana tidak usah berkecil hati jika Presiden Prabowo mempersembahkan amnesti maupun abolisi kepada Noel.
    Berkas hukum untuk keperluan persidangan harus terus dimaksimalkan penuntasannya. Sembari masyarakat mempertanyakan ulang sikap mendua Presiden Prabowo terkait pemberantasan tipikor di Tanah Air: hukum seberat-beratnya ataukah maafkan setulus-tulusnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tahun Pertama Penuh Gejolak, Prabowo Beruntung Punya ‘Tangan Kanan’ Dasco

    Tahun Pertama Penuh Gejolak, Prabowo Beruntung Punya ‘Tangan Kanan’ Dasco

    GELORA.CO – Situasi politik, ekonomi, maupun sosial pada setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bukannya sepi dari gejolak. Namun, hal itu bisa diredam berkat komunikasi yang baik.

    Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul satu nama yang dinilai menjadi aktor kunci: Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.

    Politisi senior Gerindra ini disebut-sebagai ‘tangan kanan’ dan komunikator andalan yang menerjemahkan visi politik Prabowo ke panggung legislatif dan publik.

    Pengamat dari Swarna Dwipa Institute (SDI), Frans Immanuel Saragih, menilai Dasco telah menjelma menjadi figur sentral.

    Dasco, kata dia, adalah sosok yang memastikan kebijakan strategis presiden dapat diimplementasikan dengan resistensi minimal.

    Kehadirannya di berbagai momen krusial pemerintahan Prabowo-Gibran memperkuat citranya sebagai jembatan politik yang efektif.

    “Kita bisa melihat banyak peristiwa di mana Dasco mampu menerjemahkan keinginan Presiden secara tepat. Prabowo adalah sosok terbuka, demokratis, dan tidak anti kritik,” kata Frans, Rabu (20/8/2025).

    Menurut Frans, peran Dasco tidak hanya terbatas pada tugas-tugas legislatif formal.

    Ia menjadi representasi simbolik dari gaya kepemimpinan Prabowo yang akomodatif.

    Hal ini tercermin dari manuver-manuver politik penting, seperti perannya dalam mengawal dinamika pilkada Serentak.

    Lalu, Dasco menjadi fasilitator pertemuan strategis antara Prabowo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Ketua DPR RI, Puan Maharani.

    Pertemuan ini dianggap sebagai langkah besar dalam mencairkan ketegangan politik pasca-Pilpres.

    Lebih jauh, Frans menyoroti peran kunci Dasco dalam isu-isu sensitif yang berpotensi menimbulkan polemik besar.

    Misalnya, dalam proses pemberian abolisi kepada Tom Lembong serta amnesti bagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    “Keterlibatan Dasco dalam momen-momen ini menunjukkan kematangan Prabowo dalam mendelegasikan tugas lobi politik kepada orang kepercayaannya,” kata dia.

    Banyak pihak, kata Frans, sempat mempertanyakan mengapa sosok sekuat Dasco tidak masuk dalam jajaran Kabinet Merah Putih.

    Namun, ia berpendapat bahwa Prabowo secara sadar menempatkan Dasco di luar lingkaran eksekutif untuk menjalankan misi-misi khusus.

    Terutama tugas-tugas yang membutuhkan fleksibilitas dan jaringan politik luas di parlemen maupun di luar pemerintahan.

    Perannya sebagai Ketua Harian Partai Gerindra juga memberinya otoritas lebih untuk bergerak lincah.

    “Kehadiran Dasco mampu mengubah dinamika politik nasional. Prabowo pintar menilai orang dekatnya untuk mengemban tugas penting. Langkah ini terbukti efektif menjaga iklim demokrasi di Indonesia,” tegasnya.

    Sebagai jembatan antara Istana dan parlemen, Dasco kerap menjadi juru runding utama, terutama saat Prabowo menjabat sebagai Ketua Gugus Transisi Pemerintahan pasca-kemenangan di Pilpres 2024.

    Ia juga sering tampil ke publik untuk meredam isu-isu kebijakan yang kontroversial, seperti penyesuaian tarif PPN dan distribusi gas elpiji 3 kg, memastikan aspirasi masyarakat didengar oleh pemerintah.

    Kemampuannya membangun dialog dengan berbagai kelompok, termasuk kalangan aktivis yang kritis terhadap pemerintah, dinilai turut menciptakan stabilitas politik yang lebih kondusif.