Tren KPK Pamer Duit Miliaran Hasil Sitaan, Dulu Jadi “Showroom” Mobil Mewah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan uang hasil rampasan senilai Rp 300 miliar dari kasus korupsi investasi fiktif PT Taspen (Persero) pada Kamis, 20 November 2025.
Tumpukan uang miliaran ini merupakan bagian dari total uang lebih dari Rp 883 miliar yang dirampas dari eks Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM) Ekiawan Heri Primaryanto.
Dalam kasus ini, Eki divonis sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta, serta denda uang pengganti senilai 253.660 dollar Amerika Serikat (AS) subsider dua tahun penjara.
Vonis terhadap Eki sudah berkekuatan hukum tetap karena terdakwa tidak mengajukan banding. Oleh karenanya, perampasan sudah dilakukan sebagaimana vonis hakim.
Penampakan tumpukan uang miliar tersebut menjadi pemandangan yang berbeda dari
KPK
.
Sebab, uang sebanyak Rp 300 miliar tersebut menjadi yang terbanyak dipamerkan KPK ke hadapan awak media.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, aksi memamerkan uang rampasan ini merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas komisi antirasuah kepada masyarakat.
“Yang pertama, tentu sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik sehingga masyarakat bisa betul-betul melihat bahwa barang rampasannya,” kata Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
KPK memang sering memamerkan hasil sitaannya. Tapi, dalam beberapa kesempatan sebelumnya, KPK lebih sering memamerkan aset dan barang mewah yang mereka amankan dari para tersangka.
Terbukti, gedung Merah Putih KPK pernah disulap menjadi showroom pada 21 Agustus 2025.
Saat itu, KPK tengah memamerkan hasil sitaan kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Pameran mobil dan motor mewah ini dilakukan tidak lama setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Immanuel Ebenezer yang sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker).
Lapangan parkir KPK penuh dari depan hingga belakang karena diisi dengan tujuh motor dan 15 mobil mewah.
Merek-merek besar menghiasi area parkir. Mulai dari mobil Toyota Corolla Cross, Nissan GT-R, Hyundai Palisade, Suzuki Jimny, Honda CR-V, Jeep, Toyota Hilux, Mitsubishi Xpander, Hyundai Stargazer, CR-V, hingga BMW 330i.
Sejumlah motor mewah juga tak mau kalah. Sebut saja motor pabrikan Ducati Scrambler, Ducati Hypermotard 950, Ducati Xdiavel, dan Vespa.
Perhitungan sementara KPK, Immanuel Ebenezer dan 10 tersangka lainnya telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 81 miliar.
Dari jumlah itu, setidaknya Rp 3 miliar diduga mengalir ke kantong Immanuel Ebenezer.
Pameran uang hasil rampasan dari koruptor lebih sering dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Lembaga yang dipimpin oleh ST Burhanuddin ini memang punya kebiasaan untuk memamerkan tumpukan uang miliaran usai menyelesaikan penanganan perkara.
Uang sitaan terbanyak yang pernah ditampilkan oleh Kejaksaan Agung senilai Rp 2 triliun pada 17 Juni 2025 lalu.
Saat itu, Kejagung baru saja menerima penitipan uang yang diduga berasal dari kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menyeret Wilmar Group.
“Barang kali, hari ini merupakan konferensi pers terhadap penyitaan uang, dalam sejarahnya, ini yang paling besar (angka penyitaan dan jumlah barang buktinya),” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Harli Siregar, saat konferensi pers di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, saat itu.
Angka uang yang dititipkan ini sebenarnya mencapai Rp 11,8 triliun lebih. Namun, jumlah ini tidak mungkin seluruhnya ditampilkan ke hadapan publik karena keterbatasan ruang di Kejagung.
Selain kasus CPO, Kejagung juga sering menampilkan uang sitaan untuk kasus lain. Misalnya, untuk kasus korupsi importasi gula yang menyeret nama Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Pada kasus ini, Tom Lembong tidak menerima uang suap. Uang yang dipajang berasal dari sembilan perusahaan swasta yang diuntungkan dari kebijakan importasi gula.
Kejagung memamerkan uang tunai senilai Rp 565,3 miliar dari kasus importasi gula pada 25 Februari 2025 .
“Pada hari ini, Selasa 25/2/2025, tim penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah melakukan penyitaan uang sebanyak Rp 565.339.071.925,25,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus saat itu, Abdul Qohar, saat konferensi pers di Gedung Kartika kawasan Kejagung, Jakarta.
Uang bundelan yang dikemas per Rp 1 miliar itu dianggap sebagai pengembalian uang dari para pengusaha yang kini sudah divonis bersalah dan dihukum empat tahun penjara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Tom Lembong
-
/data/photo/2025/11/20/691eb975deb0d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Tren KPK Pamer Duit Miliaran Hasil Sitaan, Dulu Jadi "Showroom" Mobil Mewah Nasional
-
/data/photo/2025/10/14/68edd920b925e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Nadiem Tunjuk Pengacara Tom Lembong untuk Bela di Sidang Kasus Chromebook Nasional
Nadiem Tunjuk Pengacara Tom Lembong untuk Bela di Sidang Kasus Chromebook
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menunjukkan tim pengacara Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong untuk membelanya dalam persidangan di kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook.
Pengacara Tom Lembong
, Ari Yusuf membenarkan telah menerima surat kuasa dari pihak
Nadiem Makarim
.
“Iya benar kami sudah diberikan surat kuasa secara resmi,” ujar Ari Yusuf saat dihubungi
Kompas.com
, Jumat (21/11/2025).
Ari mengatakan, pihaknya akan mewakili Nadiem Makarim di persidangan. Saat ini, berkas diketahui sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk penyusunan surat dakwaan.
Adapun, surat kuasa ini resmi diberikan kepada tim Ari Yusuf pada tanggal 17 November 2025.
“Sudah P21. Tinggal menunggu waktu sidang,” kata Ari lagi.
Sebelumnya, berkas perkara Nadiem Makarim dan terdakwa lainnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (10/11/2025).
Selain Nadiem Makarim, tiga tersangka lainnya adalah Sri Wahyuningsih (SW) selaku Direktur SD Direktorat PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020–2021, Mulyatsyah (MUL) selaku Direktur SMP Direktorat PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020, dan Ibrahim Arief (IBAM) selaku konsultan perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah di Kemendikbudristek.
Sementara tersangka Jurist Tan (JT) selaku Staf Khusus Mendikbudristek tahun 2020–2024 belum dilimpahkan ke JPU lantaran masih buron.
Untuk selanjutnya, tim JPU Kejari Jakarta Pusat akan mempersiapkan surat dakwaan serta melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor.
Pada kasus ini, Nadiem disebutkan sudah mulai membahas soal pengadaan Chromebook sebelum ia dilantik menjadi menteri.
Bahkan, Nadiem sudah membuat satu grup WhatsApp khusus bersama Jurist Tan dan Fiona Handayani yang kemudian ditunjuk sebagai staf khususnya.
Grup bernama “Mas Menteri Core” ini dibuat pada Agustus 2019. Sementara, Nadiem baru resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Mendikbud pada 19 Oktober 2019.
Dalam grup WA ini, Nadiem bersama dua stafsusnya ini sudah membahas rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek.
Setelah resmi dilantik, Nadiem pun melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia. Pertemuan ini dilakukan agar produk Google masuk dalam pengadaan tahun berjalan.
Pertemuan antara Nadiem dengan pihak Google Indonesia pernah terjadi pada Februari 2020.
Saat itu, mereka membicarakan program-program dari Google yang akan digunakan, termasuk program google for education dengan menggunakan Chromebook yang bisa digunakan oleh Kementerian terutama kepada peserta didik.
Kemudian, hasil pertemuan ini ditindaklanjuti hingga produk Google dimenangkan dalam pengadaan TIK di lingkungan Kemendikbud Ristek.
Mulatsyah dan Sri Wahyuningsih disebutkan mengarahkan sejumlah pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk memastikan produk Chromebook dipilih dalam pengadaan TIK ini.
Dalam kasus ini, kelima tersangka diduga telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun.
Saat ini, satu tersangka bernama Jurist Tan masih buron dan berkasnya masih di tahap penyidikan, belum dilimpahkan ke JPU.
Para Tersangka disangkakan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Andi Arief: Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Korban Kezaliman Pemberantasan Korupsi
Bisnis.com, JAKARTA — Politisi partai Demokrat Andi Arief menilai mantan Direktur Utama (Dirut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi korban dari penindakan korupsi.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Ira Puspadewi 4,5 tahun penjara terkait perkara akuisisi PT JN yang dilakukan saat dia menjabat sebagai Dirut ASDP.
Andi menyatakan penilaiannya itu berdasarkan jalannya sidang yang tidak mampu membuktikan Ira menerima keuntungan dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
“Eks Dirut ASDP, menurut saya, korban kezaliman pemberantasan korupsi. Persidangan tidak bisa membuktikan yang bersangkutan korupsi,” tulus Andi dalam postingannya di X @Andiarief_ pada Jumat (21/11/2025).
Kemudian, dia menyarankan agara Presiden Prabowo Subianto bisa menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan abolisi seperti yang dilakukan terhadap eks Mendag Tom Lembong.
“Sebaiknya Pak Prabowo kembali menggunakan kewenangannya seperti dalam kasus Tom Lembong,” pungkas Andi.
Sekadar informasi, Ira telah divonis 4,5 tahun dan denda Rp500 juta dalam perkara akuisisi PT JN oleh ASDP. Hakim mencatat terdapat sejumlah hal yang meringankan dalam vonis itu.
Secara terperinci, perbuatan Ira dkk dalam akuisisi ini bukan murni untuk melakukan korupsi. Namun, perbuatan yang dinilai merugikan negara ini karena dianggap lalai tanpa memperhatikan kehati-hatian dalam prosedur tata kelola aksi korporasi.
Hal yang meringankan lainnya yakni, Ira telah memberikan warisan untuk PT ASDP; memiliki tanggungan keluarga; dan aksi korporasi dalam akuisisi ini dilakukan untuk kepentingan publik.
Selain itu, Nur Sari menegaskan bahwa Ira Dkk tidak terbukti menerima aliran dana maupun keuntungan finansial dari perkara rasuah ini.
“Para terdakwa tidak terbukti menerima keuntungan finansial,” ujar Hakim Anggota Nur Sari di PN Tipikor, Kamis (20/11/2025).
Sementara itu, hal yang memberatkan vonis Ira yaitu tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi atau KKN.
Selanjutnya, menyalahgunakan kepercayaan sebagai direksi BUMN dan perbuatan para terdakwa juga dinilai telah mengakibatkan PT ASDP terbebani hutang dan kewajiban yang besar atas akusisi PT JN.
-
/data/photo/2025/11/13/6915d0cc8a39a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Yusril Perkirakan Jumlah Penerima Amnesti dan Abolisi Jilid II Akan Lebih Banyak
Yusril Perkirakan Jumlah Penerima Amnesti dan Abolisi Jilid II Akan Lebih Banyak
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan kemungkinan jumlah penerima amnesti dan abolisi jilid II bakal lebih banyak dari jilid I pada bulan Agustus 2025.
Diketahui, pemerintah berencana kembali memberikan
abolisi
,
amnesti
, dan rehabilitasi kepada sejumlah pihak yang terjerat perkara pidana. Sedangkan, pada Agustus 2025, Presiden Prabowo memberikan
amnesti dan abolisi
kepada 1.179 orang.
Menurut
Yusril
, perkiraan jumlah penerima bertambah karena akan terdapat beberapa kriteria terbaru dan ada wacana penambahan pemberian rehabilitasi.
“Nanti barangkali lebih dari jumlah sebelumnya. Harapan kami seperti itu,” kata Yusril dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/11/2025), dikutip dari
Antaranews
.
Namun, Yusril mengaku, belum bisa mengungkapkan perihal jumlah pasti narapidana yang akan diberikan amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi. Sebab, pihaknya akan melakukan kajian dan verifikasi sebelum nama-nama calon penerima diserahkan ke Presiden Prabowo.
Selain itu, keputusan juga berada di tangan Presiden Prabowo, serta hasil pertimbangan dari DPR RI.
“Mungkin sejumlah nama akan diajukan kepada Pak Presiden tapi kan tentu beliau akan pertimbangkan mana yang mungkin ada yang beliau setuju, mungkin tidak setuju. Itu sepenuhnya adalah kewenangannya Pak Presiden dalam mengambil keputusan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusril mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji rencana pemberian amnesti kepada narapidana yang merupakan pengguna dan pengedar narkoba dalam skala kecil.
Sementara untuk penerima abolisi, menurut dia, terdapat kemungkinan diberikan kepada tersangka maupun terdakwa yang masih dalam proses hukum atau dalam putusan yang belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, Yusril menyebut, kemungkinan pemberian rehabilitasi terhadap para narapidana yang telah menerima amnesti sebelumnya.
“Jadi, kemungkinan orangnya diberi amnesti sekaligus dikasih rehabilitasi, itu mungkin,” kata Yusril.
Sebagaimana diketahui, pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada 1.178 orang. Salah satunya, terdakwa kasus suap Harun Masiku, Hasto Kristiyanto.
Usai mendapat amnesti, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut resmi dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih.
Sebelumnya, Hasto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus suap Harun Masiku.
Kemudian, pada hari yang sama, Prabowo memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Sama seperti Hasto, Tom Lembong langsung bebas dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur, usai mendapatkan abolisi dari Prabowo.
Sebelumnya, Tom Lembong diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dijatuhi hukuman pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 miliar subsidair enam bulan kurungan.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait kebijakan importasi Gula di Kemendag, sebagaimana dakwaan primair jaksa penuntut umum, yakni Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hanya saja, dalam putusannya, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti karena Tom Lembong dinilai menikmati hasil tindak pidana korupsi dari kebijakan importasi gula di Kemendag tahun 2015-2016.
“Kepada terdakwa tidak dikenakan ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Huruf b UU Tipikor karena faktanya terdakwa tidak memeroleh harta benda dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” kata hakim anggota Alfis Setiawan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 18 Juli 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pledoi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi di Kasus Akusisi PT JN
Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi menyatakan kasus yang menjeratnya merupakan upaya kriminalisasi terhadap profesional Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Berdasarkan dokumen pleidoi yang diterima Bisnis, Ira memaparkan pembelaan dirinya dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022 oleh ASDP. Ira disangkakan merugikan negara Rp893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi.
Mulanya, Ira mempertanyakan soal kerugian negara Rp1,25 triliun negara yang didakwakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya.
“Kerugian negara Rp1,253 triliun itu sama sekali tidak benar. Nilai kerugian keuangan itu dibuat sendiri oleh auditor internal berdasar perhitungan dosen konstruksi perkapalan,” tulis Ira dalam pledoinya yang dibacakan pada hari ini, Kamis (6/11/2025).
Ira mengatakan dirinya tidak pernah ditunjukkan KPK bukti adanya tindakan korupsi yang dilakukan pihaknya. Lebih lanjut, Ira mengatakan hal dianggap sebagai bukti baru ada dalam Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, LHA-AF-08/DNA/05/2025. Namun, laporan itu bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Justru, bukti-bukti tersebut hanya datang dari KPK sendiri yang dikeluarkan pada 28 Mei 2025 atau tiga bulan setelah dirinya ditahan.
Dia juga mengatakan ada perhitungan keliru dari dosen perkapalan yang dibawa KPK saat menghitung valuasi perusahaan. Menurut Ira, ada tiga poin yang diabaikan saat menghitung nilai perusahaan.
Pertama, kapal-kapal JN dianggap sebagai benda mati tidak produktif seperti kursi atau meja, padahal kapal-kapal ini Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. Kedua, setelah diakuisisi, bisnis ASDP dan JN dapat diintegrasikan hingga akan mengefisienkan biaya operasional seperti untuk pembelian suku cadang yang tentu lebih murah karena dibeli dalam jumlah besar secara gabungan.
Ketiga, karena ada pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial, maka izin tidak dikeluarkan lagi. Kapal JN seluruhnya adalah kapal dengan izin komersil. Pihak Ira menilai korupsi dan kerugian negara yang didakwakan KPK itu hanya framing hasil rekayasa sesuai penggambaran berikut ini:
“Suatu keluarga peternak baru saja membeli peternakan tetangganya Rp1,272 miliar. Tiba-tiba sang anak yang mengelola usaha itu ditahan petugas. Ia dituduh korupsi merugikan keluarganya sendiri untuk memperkaya tetangganya itu Rp1,253 miliar atau 98,5% dari harga beli itu. Semua bingung. Apa salah dia? Di mana kerugiannya?” Peternakan yang dibeli itu tetap utuh 100%. Ayam-ayamnya terus bertelur, dan terus menghasilkan pendapatan Rp600 miliar setiap tahun,”
Padahal, kata dia, kapal yang telah diakuisisi ASPD Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. Kemudian, hasil dari akuisisi bisnis JN oleh ASDP telah bisa memberikan efisiensi biaya operasional. Adapun, nilai kapal JN yang seluruhnya memiliki izin komersil bisa mendobrak pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial.
Ira juga mengungkap pembelaan bahwa akuisisi PT JN justru telah menguntungkan ASDP. Pasalnya, kata Ira, dari aset utuh perusahaan bernilai Rp2,09 triliun, ASDP hanya membayar dengan dana Rp1,27 triliun.
“Namun, perusahaan ini bisa dibeli seharga Rp1,272 triliun atau hanya 60% dari nilai kapal. Secara nominal pun ASDP dan negara untung dari akuisisi ini,” imbuhnya.
Selain itu, Ira mengemukakan manfaat lain dari akuisisi ini telah membuat keberlangsungan layanan perintis di daerah terdepan, terluar dan tertinggal atau 3T.
Dia menuturkan pada saat ini 70% operasional ASDP telah dimandatkan pemerintah untuk layanan perintis. Namun, subsidi untuk kebutuhan operasional disebut kerap kurang. Alhasil, ASDP selalu mengeluarkan subsidi untuk kekurangan itu dari usaha komersial.
Oleh karena itu, Ira menilai penambahan armada komersial bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan itu. Hanya saja, penambahan armada komersial ini diklaim sulit.
Sebagai gambaran, jelas Ira, ASDP hanya bisa mendatangkan 10 unit kapal lama, namun hal itu sempat diperkarakan. Kemudian, pengadaan kapal makin sulit sejak berlaku pembatasan/moratorium izin operasional pada tahun 2017.
Alhasil, Ira berkeyakinan bahwa proses akuisisi merupakan salah satu langkah tepat untuk mengatasi persoalan di ASDP.
“Ini adalah kesempatan langka yang sulit terjadi lagi di masa depan, hingga sebut now or never. Lonjakan 70% unit kapal komersil itu tidak ternilai harganya,” pungkasnya.
Bahkan, kata Ira, tokoh bisnis Renald Kasali, yang berstatus sebagai saksi ahli, justru mengapresiasi akuisisi yang dilakukan ASDP sebagai langkah sangat strategis pengembangan usaha yang semestinya juga dilakukan banyak BUMN lain.
“Sangat menyedihkan akuisisi menguntungkan itu malah dikriminalisasi, dianggap merugikan negara Rp 1,253 triliun memakai harga scrap yang tidak benar itu,” imbuhnya.
Akuisisi Berujung Kriminalisasi
Kepada majelis hakim, Ira mengatakan akuisisi merupakan aksi besar korporasi sehingga wajar jika ada beberapa mispersepsi yang timbul hingga perlu dijernihkan. Mispersepsi tersebut diantaranya ASDP mempercantik kinerja JN dalam KSU dengan membiayai operasional perusahaan itu. Namun, dia menegaskan dalil tersebut tidak benar.
Pasalnya, biaya operasi JN dibayar dari hasil penjualan tiket JN sendiri yang memakai sistem milik Nota Pembelaan Terdakwa I Ira Puspadewi |7ASDP. Fasilitas Ecopay bank dipakai sebagai dana talangan dua bulan. Sementara sisa usaha dibagi ASDP-JN.
Menurutnya, kedua pihak pun diuntungkan dalam kerja sama ini, sebagaimana prinsip kerja sama apapun dalam bisnis.
Namun, lanjutnya, ada kesan ASDP belum berusaha maksimal mendapatkan harga termurah untuk akuisisi. Padahal, kata dia, harga akuisisi perusahaan JN sebesar Rp1,272 triliun wajar bahkan sangat murah karena hanya 60% dari harga kapalnya saja Rp2,092 triliun.
Bila dihitung dari harga akuisisi itu, nilai kapal JN hanya Rp12,7 juta per GT, jauh lebih rendah dari nilai kapal ASDP Rp23,1 juta per GT. Semua kapal itu adalah feri komersil.
“Dengan akuisisi ini, ASDP juga mendapat 53 izin operasi sekaligus, pasar, serta pendapatan tunai langsung. Kesempatan tersebut sangat langka serta tidak ternilai harganya jika harus dinominalkan,” imbuhnya.
Ira mengatakan kriminalisasi tersebut telah menghancurkan hidup Ira dalam satu setengah tahun terakhir belakangan. Dalam persidangan, Ira juga mengungkapkan kriminalisasi oleh penyidik juga telah mengorbankan hidup para profesional BUMN dan seperti RJ Lino di Pelindo, Nur Pamuji di PLN, Karen Agustiawan di Pertamina, Hotasi Nababan di Merpati, hingga Milawarma di Bukit Asam, termasuk Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Menurutnya, akibat kriminalisasi begitu sangat fatal. Dampaknya bukan semata pada kehidupan orang yang diperkarakan seperti saya sekarang. Dampaknya harus pula ditanggung bangsa secara menyeluruh. Dunia profesional yang semestinya terus dikembangkan menjadi mati suri; terobosan serta prakarsa-prakarsa baik akan terhenti; iklim bisnis menjadi tidak sehat lagi, bahkan hukum pun akan rusak karena praktiknya malah merancukan kebenaran dan kejahatan.
Di akhir pledoi, Ira kembali menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi dan mengambil uang sepeserpun dalam akuisisi ini. Sampai sekarang dia memastikan tidak ada seorang pun yang sudah terbukti diperkaya karena hal ini.
“Nilai kerugian negara Rp 1,253 triliun atau 98,5% dari harga akuisisi Rp 1,272 triliun itupun sengaja dibuat dengan perhitungan berdasar harga scrap yang jelas tidak benar. Kerugian negara itu juga tidak masuk akal karena JN yang diakuisisi masih utuh, beroperasi, dan telah memberi kontribusi pendapatan Rp2,1 triliun pada ASDP selama tiga setengah tahun setelah diakuisisi. Apakah orang seperti saya ini memang penjahat, Yang Mulia?”
Sekadar informasi, Ira bersama eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono telah didakwa merugikan negara Rp1,25 triliun dalam proses akuisisi PT JN itu.
Adapun, ketiganya telah dituntut dalam perkara ini. Ira telah dituntut 8,5 tahun penjara. Sementara itu, Yusuf Hadi dan Harry Adhi Caksono dituntut 8 tahun penjara.
-

KY Periksa 3 Hakim yang Vonis Tom Lembong di Kasus Impor Gula
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Yudisial (KY) menyatakan telah memeriksa tiga hakim yang memutus perkara eks Mendag Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula.
Tiga hakim yang menangani perkara Tom adalah Hakim Dennie Arsan Fatrika selaku hakim ketua. Sementara dua hakim anggotanya, yakni Alfis Setyawan dan Purwanto S Abdullah.
Juru Bicara KY Mukti Fajar mengatakan pemeriksaan Hakim Dennie itu berlangsung pada Selasa (28/10/2025).
“KY sudah memeriksa 3 orang hakim kasus Tom Lembong,” ujar Mukti saat dikonfirmasi, Senin (3/11/2025).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik tiga hakim saat memutuskan perkara Tom Lembong. Hanya saja, hasil pemeriksaan ini tidak bisa diungkap ke publik.
Namun demikian, Fajar mengemukakan bahwa hasil pemeriksaan ini bakal dibawa ke sidang pleno kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).
“Hasil pemeriksaan akan dibawa ke sidang pleno untuk ditentukan apakah terbukti atau tidak adanya pelanggaran KEPPH,” tuturnya.
Sekadar informasi, Tom Lembong sempat terjerat dalam kasus korupsi importasi gula di Kemendag periode 2015-2016. Pada intinya, perbuatan Tom dalam perkara ini yaitu telah memberikan persetujuan impor kepada perusahaan swasta. Hanya saja praktik itu dinilai menyalahi sejumlah aturan hingga menyebabkan kerugian negara.
Adapun, Tom telah dinyatakan secara sah bersalah dan divonis pidana 4,5 tahun serta denda Rp750 juta. Setelah itu, Tom telah dibebaskan dari Rutan Klas I Cipinang, Jakarta Timur usai menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.
Tom Laporkan Hakim
Usai bebas, Tom Lembong langsung melayangkan laporan terhadap hakim yang telah memvonis dirinya dalam kasus impor gula ke KY.
Tom menekankan bahwa dirinya tidak memiliki niat melaporkan hakim dengan sifat destruktif. Oleh karena itu, dia mengklaim bahwa laporannya itu memiliki niat konstruktif 100%.
Dia menambahkan, laporan ini juga merupakan momentum yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin lantaran telah mendapatkan atensi dari masyarakat.
“Kami menyampaikan bahwa tujuan kami dalam mengajukan laporan termasuk para hakim Komisi Yudisial itu 100% motivasi kami adalah konstruktif. Tidak ada 0,1% pun niat destruktif,” ujar Tom di KY, Jakarta, Senin (11/8/2025).
-

Tok! 9 Bos Perusahaan Swasta Divonis 4 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula Tom Lembong
Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim PN Tindak Pidana Korupsi telah memvonis sembilan bos perusahaan swasta selama empat tahun pidana dalam kasus korupsi importasi gula di Kemendag periode 2015-2016.
Pada hari ini Kamis (30/10/2025), majelis hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan pidana empat tahun terhadap Direktur Utama PT Angels Products, Tony Wijaya; Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca.
Selanjutnya, Direktur PT Duta Sugar International, Hendrogianto Antonio Tiwon; Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur, Hans Falita Hutama; dan Direktur Utama PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo.
Ketua Majelis Hakim, Dennie Arsan Fatrika menilai lima terdakwa ini secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer jaksa penuntut umum.
“Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” kata Dennie, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/10/2025).
Selain vonis pidana, Tony Wijaya Cs juga telah divonis membayar denda Rp200 juta. Namun, apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama empat bulan penjara.
Sebelumnya, majelis hakim PN Tipikor Jakarta Pusat juga telah memberikan vonis dengan denda yang sama dengan Tony Wijaya Cs pada Rabu (30/10/2025).
Namun, hal yang membedakan dari hukuman sembilan terdakwa ini yaitu dari pembebanan uang pengganti. Berikut rincian tambahan hukuman sembilan terdakwa:
1. Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat dibebankan uang pengganti Rp60,9 miliar.
2. Direktur Utama PT Medan Sugar Industry, Indra Suryaningrat dibebankan uang pengganti Rp77,2 miliar.
3. Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan dibebankan uang pengganti Rp41,3 miliar.
4. Dirut PT Kebun Tebu Mas, Ali Sandjaja Boedidarmo dibebankan uang pengganti Rp47,8 miliar.
5. Direktur Utama PT Angels Products, Tony Wijaya dibebankan uang pengganti Rp150,8 miliar.
6. Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca dibebankan uang pengganti Rp32 miliar.
7. Direktur PT Duta Sugar International, Hendrogianto Antonio Tiwon dibebankan uang pengganti Rp41,2 miliar.
8. Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur, Hans Falita Hutama dibebankan uang pengganti Rp74,5 miliar.
9. Direktur Utama PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo dibebankan uang pengganti Rp39,2 miliar.
Adapun, Hakim mengemukakan seluruh terdakwa telah menyetorkan seluruh uang pengganti itu ke Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) penitipan Kejaksaan Agung RI. Setoran itu kemudian diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti.
“Telah dilakukan penyitaan secara sah, maka diperhitungkan sebagai uang pengganti terhadap terdakwa,” pungkasnya.
Sekadar informasi, sembilan bos perusahaan swasta didakwa terlibat dalam praktik korupsi dalam perkara importasi gula periode 2015-2016. Pada intinya, perkara ini berkaitan dengan persetujuan izin impor gula yang dikeluarkan eks Mendag Tom Lembong.
Namun dalam pelaksanaan impor gula itu dinilai telah melanggar sejumlah aturan seperti persetujuan impor itu dilakukan tanpa rapat koordinasi antar kementerian. Alhasil, perbuatan itu telah merugikan negara sebesar Rp578 miliar.
-

Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara
JAKARTA – Sebanyak empat petinggi perusahaan gula swasta divonis pidana penjara masing-masing selama 4 tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.
Keempat terdakwa yakni Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur Utama (Dirut) PT Medan Sugar Industry Indra Suryaningrat, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan, serta Dirut PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.
“Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 29 Oktober dilansir ANTARA.
Hakim Ketua menyatakan keempat terdakwa terbukti menerima uang hasil korupsi dalam kasus tersebut, sehingga merugikan keuangan negara secara total dalam kasus korupsi importasi gula sebesar Rp578,1 miliar.
Selain pidana penjara, keempat terdakwa juga dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Keempatnya turut dihukum pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai besaran uang korupsi yang dinikmati, dengan perincian Wisnu sebesar Rp60,99 miliar, Indra Rp77,21 miliar, Hansen Rp41,38 miliar, serta Ali Rp47,87 miliar.
“Uang pengganti telah disetorkan para terdakwa kepada Kejagung dan telah disita secara sah,” ungkap Hakim Ketua.
Dengan demikian, keempat terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam menjatuhkan vonis, Majelis Hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang telah dilakukan, sebagai alasan pemberat.
Sementara, pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu para terdakwa belum pernah dihukum serta telah menitipkan uang kepada Kejagung, yang telah ditetapkan sebagai uang pengganti.
Vonis majelis hakim tersebut sama beratnya dengan tuntutan jaksa, yakni masing-masing dituntut pidana penjara selama 4 tahun serta besaran uang pengganti yang sama. Namun untuk besaran dendanya lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam kasus korupsi gula, keempat terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar dengan cara melakukan tindak pidana korupsi, yang memperkaya delapan terdakwa, di antaranya melalui korporasi masing-masing.
Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan terdakwa Tom Lembong, terdakwa Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.
-

Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara
JAKARTA – Sebanyak empat petinggi perusahaan gula swasta divonis pidana penjara masing-masing selama 4 tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.
Keempat terdakwa yakni Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur Utama (Dirut) PT Medan Sugar Industry Indra Suryaningrat, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan, serta Dirut PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.
“Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 29 Oktober dilansir ANTARA.
Hakim Ketua menyatakan keempat terdakwa terbukti menerima uang hasil korupsi dalam kasus tersebut, sehingga merugikan keuangan negara secara total dalam kasus korupsi importasi gula sebesar Rp578,1 miliar.
Selain pidana penjara, keempat terdakwa juga dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Keempatnya turut dihukum pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai besaran uang korupsi yang dinikmati, dengan perincian Wisnu sebesar Rp60,99 miliar, Indra Rp77,21 miliar, Hansen Rp41,38 miliar, serta Ali Rp47,87 miliar.
“Uang pengganti telah disetorkan para terdakwa kepada Kejagung dan telah disita secara sah,” ungkap Hakim Ketua.
Dengan demikian, keempat terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam menjatuhkan vonis, Majelis Hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang telah dilakukan, sebagai alasan pemberat.
Sementara, pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu para terdakwa belum pernah dihukum serta telah menitipkan uang kepada Kejagung, yang telah ditetapkan sebagai uang pengganti.
Vonis majelis hakim tersebut sama beratnya dengan tuntutan jaksa, yakni masing-masing dituntut pidana penjara selama 4 tahun serta besaran uang pengganti yang sama. Namun untuk besaran dendanya lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam kasus korupsi gula, keempat terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar dengan cara melakukan tindak pidana korupsi, yang memperkaya delapan terdakwa, di antaranya melalui korporasi masing-masing.
Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan terdakwa Tom Lembong, terdakwa Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.
