Tag: Tito Karnavian

  • Gubernur Mualem: 4 Pulau Itu Milik Aceh, Wajib Kita Pertahankan!

    Gubernur Mualem: 4 Pulau Itu Milik Aceh, Wajib Kita Pertahankan!

    Aceh, Beritasatu.com – Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh serta anggota DPR/DPD asal Aceh sepakat untuk menyelesaikan polemik status kepemilikan empat pulau yang oleh pemerintah pusat dimasukkan ke wilayah Sumatera Utara (Sumut) melalui jalur non-litigasi atau di luar proses peradilan.

    “Empat pulau itu milik Aceh dan menjadi hak yang harus kita perjuangkan,” ujar Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) seusai rapat koordinasi di Banda Aceh pada Jumat (13/6/2025) malam dikutip dari Antara.

    Rapat tersebut melibatkan unsur pimpinan DPR Aceh, Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD Dapil Aceh, bupati Aceh Singkil, tokoh agama, serta kalangan akademisi yang turut membahas langkah penyelesaian sengketa wilayah empat pulau di Aceh Singkil.

    Mualem menjelaskan penyelesaian akan ditempuh melalui tiga pendekatan, yakni secara kekeluargaan, administratif, dan politis. Ia menegaskan keputusan Kemendagri harus dikaji ulang dan pulau-pulau tersebut dikembalikan kepada Aceh.

    “Aceh menolak menyelesaikan persoalan ini melalui jalur hukum, dalam hal ini gugatan ke PTUN,” tegasnya.

    Dalam rapat itu juga diputuskan untuk menyampaikan surat resmi kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang berisi keberatan atas keputusan penetapan status keempat pulau.

    “Kita akan sampaikan bukti-bukti historis, geografis, serta data kependudukan yang mendukung bahwa pulau-pulau itu milik Aceh,” kata Mualem.

    Selain itu, Mualem dijadwalkan mengikuti pertemuan dengan mendagri pada 18 Juni 2025 guna membahas polemik tersebut. Jika tak membuahkan hasil, langkah berikutnya adalah menyampaikan langsung permasalahan ini kepada Presiden Prabowo Subianto.

    “Pertemuan dengan presiden adalah opsi terakhir. Saya yakin presiden akan berpihak pada Aceh,” katanya.

    Di sisi lain, Mualem menyatakan tidak akan bertemu dengan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, untuk membicarakan masalah tersebut.

    “Kita tidak perlu duduk bersama gubernur Sumut. Ini hak kita, tak bisa ditawar,” ujarnya.

    Sementara itu, anggota Forbes DPR/DPD asal Aceh, TA Khalid, menyebut data historis dan dokumen yang dimiliki mendukung klaim keempat pulau tersebut merupakan wilayah Aceh.

    “Kami sepakat tidak membawa ini ke PTUN. Kita akan menempuh langkah administratif dan politis,” ujarnya.

    Untuk diketahui, sengketa empat pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek antara Aceh dan Sumut telah berlangsung lama. Namun pada 25 April 2025, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

    Pemerintah Aceh hingga kini terus melakukan langkah advokasi agar empat pulau itu kembali diakui sebagai bagian dari wilayah Aceh.

  • Kalau 4 Pulau Diklaim, Akan Picu Konflik Besar antara Aceh dan Sumut bahkan Indonesia

    Kalau 4 Pulau Diklaim, Akan Picu Konflik Besar antara Aceh dan Sumut bahkan Indonesia

    GELORA.CO – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Malik Mahmud Alhaytar turut menolak kebijakan Kemendagri yang ingin mengalihkan pengelolaan empat pulau milik Aceh ke Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut).

    Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Dia tak mau keputusan ini malah memicu gejolak masyarakat Aceh.

    “Aceh sudah konflik 30 tahun, kita sudah berdamai. Secara teritorial, pulau itu milik Aceh,” tegas Malik Mahmud kepada wartawan, dikutip di Jakarta, Jumat (13/6/2025).

    Ia menegaskan, secara sejarah keempat pulau tersebut telah lama menjadi bagian wilayah Aceh sejak berabad-abad lalu, baik pada masa Kesultanan Aceh, era penjajahan Belanda, hingga era Indonesia merdeka. “Kalau ini diklaim, maka akan ada ketegangan hingga picu konflik besar antara Sumut dan Aceh, bahkan dapat melibatkan Indonesia,” ujarnya.

    Ia mendesak pemerintah pusat untuk segera mengembalikan kepemilikan keempat pulau tersebut kepada Aceh. “Fokus saja pada pembangunan Aceh, hormati pada sejarah yang ada, jangan picu konflik baru,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf juga menegaskan pihaknya memiliki bukti kuat bahwa keempat pulau yang sedang bersengketa itu adalah milik Aceh. Dia menolak pengalihan pengelolaan.

    “Ya empat pulau itu sebenarnya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, bukti kuat, data kuat, zaman dahulu kala, itu memang punya Aceh,” katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Jumat (13/6/2025).

    Kata Mualem, sapaan akrabnya, hak Aceh atas keempat pulau itu bukan saja terbuktikan dari segi sejarah, tetapi dari segi iklim pun keempat pulau itu mengikuti kawasan Aceh.

    “Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh, dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu, itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tuturnya.

    Polemik ini bermula dari terbitnya SK Kemendagri bernomor  Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait. Dia mengaku proses ini sudah berlangsung lama, bahkan sebelum dirinya menjadi menteri.

    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” kata dia di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.

    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.

    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.

    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.

    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.

  • Kalau 4 Pulau Diklaim, Akan Picu Konflik Besar antara Aceh dan Sumut bahkan Indonesia

    Kalau 4 Pulau Diklaim, Akan Picu Konflik Besar antara Aceh dan Sumut bahkan Indonesia

    GELORA.CO – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Malik Mahmud Alhaytar turut menolak kebijakan Kemendagri yang ingin mengalihkan pengelolaan empat pulau milik Aceh ke Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut).

    Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Dia tak mau keputusan ini malah memicu gejolak masyarakat Aceh.

    “Aceh sudah konflik 30 tahun, kita sudah berdamai. Secara teritorial, pulau itu milik Aceh,” tegas Malik Mahmud kepada wartawan, dikutip di Jakarta, Jumat (13/6/2025).

    Ia menegaskan, secara sejarah keempat pulau tersebut telah lama menjadi bagian wilayah Aceh sejak berabad-abad lalu, baik pada masa Kesultanan Aceh, era penjajahan Belanda, hingga era Indonesia merdeka. “Kalau ini diklaim, maka akan ada ketegangan hingga picu konflik besar antara Sumut dan Aceh, bahkan dapat melibatkan Indonesia,” ujarnya.

    Ia mendesak pemerintah pusat untuk segera mengembalikan kepemilikan keempat pulau tersebut kepada Aceh. “Fokus saja pada pembangunan Aceh, hormati pada sejarah yang ada, jangan picu konflik baru,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf juga menegaskan pihaknya memiliki bukti kuat bahwa keempat pulau yang sedang bersengketa itu adalah milik Aceh. Dia menolak pengalihan pengelolaan.

    “Ya empat pulau itu sebenarnya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, bukti kuat, data kuat, zaman dahulu kala, itu memang punya Aceh,” katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Jumat (13/6/2025).

    Kata Mualem, sapaan akrabnya, hak Aceh atas keempat pulau itu bukan saja terbuktikan dari segi sejarah, tetapi dari segi iklim pun keempat pulau itu mengikuti kawasan Aceh.

    “Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh, dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu, itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tuturnya.

    Polemik ini bermula dari terbitnya SK Kemendagri bernomor  Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait. Dia mengaku proses ini sudah berlangsung lama, bahkan sebelum dirinya menjadi menteri.

    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” kata dia di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.

    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.

    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.

    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.

    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.

  • Mahasiswa Aceh Geruduk Gedung Kemendagri, Peringatkan Tito Jangan Memicu Konflik di Tanah Rencong

    Mahasiswa Aceh Geruduk Gedung Kemendagri, Peringatkan Tito Jangan Memicu Konflik di Tanah Rencong

    GELORA.CO – Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025). Mereka menolak pengalihan pengelolaan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

    Dalam orasinya, salah satu orator mengingatkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian unutk tidak memicu konflik  Ia juga menyinggung terkait Memorandum of Understanding (MoU) atau Kesepakatan Helsinki adalah perjanjian damai yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

    Perjanjian ini menandai berakhirnya konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun di Aceh. Mereka berharap kejadian serupa tak terulang kembali.

    “Agar tidak semena-mena dengan Aceh, ini gampang sekali menjadi pemicu di lapangan, pemicu di daerah, itu wilayah konflik saudara-saudaraku,” kata salah satu orator.

    Ia mengingatkan bahwa Aceh merupakan wilayah yang pernah perang untuk menuntut kemerdekaan sebelum akhirnya berdamai.

    “Kita harus sama-sama melihat bahwa persoalan amAceh itu bukan persoalan sederhana, ini yang perlu kami sampaikan kepada Mendagari jangan sampai kita rakyat Aceh yang sudah menikmati damai ini terusik lagi,” ucap orator.

    Adapun dalam aksi ini Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya menuntut sejumlah hal, di antaranya:

    1. Mendesak Presiden Prabowo Subianto mencopot Mendagri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syafrizal 

    2. Meminta Gubernur Aceh dan DPRA segera mengambil sikap terkait empat pulau tersebut

    3. Meminta Presiden Prabowo mencabut SK Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau di Aceh.

    Polemik ini bermula dari terbitnya SK Kemendagri bernomor  Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menegaskan pihaknya mempunyai bukti kuat bahwa Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek memang punya Aceh sejak dulu. Ia menolak dengan tegas pengalihan empat pulau itu ke Sumatera Utara (Sumut).

    “Ya empat pulau itu sebenarnya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, bukti kuat, data kuat, zaman dahulu kala, itu memang punya Aceh,” kata Muzakir kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

    Sementara, Mendagri Tito Karnavian bersikeras, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait. Dia mengaku proses ini sudah berlangsung lama, bahkan sebelum dirinya menjadi menteri.

    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” kata dia di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.

    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.

    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.

    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.

    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.

  • Pak Tito, Kenapa Sih Hal-Hal Kecil Gitu Mesti Bohong?

    Pak Tito, Kenapa Sih Hal-Hal Kecil Gitu Mesti Bohong?

    GELORA.CO -Sengketa Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang (Mangkir Besar), dan Mangkir Ketek (Mangkir Kecil) yang dialihkan dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara tak kunjung mereda.

    Sengketa ini dipicu oleh keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang meneken Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau pada 25 April 2025.

    Dalam Kepmendagri ini, empat pulau milik Aceh tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

    Sontak, keputusan Menteri Tito ini menuai reaksi keras dari Pemprov Aceh yang hingga kini masih meyakini empat pulau tersebut masuk bagian wilayahnya.

    Pemprov Aceh telah membangun sejumlah tugu di pulau-pulau tersebut. Selain itu, sengketa empat pulau itu juga sudah selesai melalui kesepakatan bersama antara Gubernur Aceh dan Sumut pada tahun 1992.

    Dalam kesepakatan bersama itu, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek masuk wilayah Aceh.

    Namun belakangan, Menteri Tito justru kembali menyampaikan pernyataan kontroversial. Ia menyebut, sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut sudah berlangsung sejak tahun 1982.

    “Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga,” ujar Tito di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 10 Juni lalu.

    Tak pelak, pernyataan ini menuai beragam kritik dari publik. Tito dinilai mengada-ada dan berkilah. Sebab Provinsi Sumut baru terbentuk di tahun 1948, dan Provinsi Aceh berdiri tahun 1949. Sengketa empat pulau ini pun menjadi gaduh setelah Tito meneken Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 yang diupdate Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025.

    “Coba cek deh, provinsi kita di tahun 1928 apa aja? Perasaan belum merdeka deh, merdeka saja 1945, apa iya waktu itu sudah ada Provinsi Sumut?” kritik akun sir.egiandra mengomentari pernyataan Tito yang kembali diunggah media massa di Instagram baru-baru ini.

    Mengenal 4 Pulau yang Disengketakan Aceh dan Sumut

    Pulau Panjang

    Pulau ini memiliki luas sekitar 47,8 hektare dan terletak 2,4 kilometer dari daratan utama Kabupaten Tapanuli Tengah. Pulau ini tidak berpenghuni namun sejumlah infrastruktur seperti rumah singgah dan musala dibangun Pemkab Singkil, Aceh tahun 2012. Ada pula dermaga yang dibangun tahun 2015.

    Pulau Lipan

    Luas pulau ini sekitar 0,38 hektare dan terletak sejauh 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah. Berdasarkan surat konfirmasi Gubernur Aceh pada 2009 setelah hasil verifikasi pulau, diketahui bahwa Pulau Lipan semula bernama Pulau Malelo.

    Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil)

    Pulau ini semula bernama Pulau Rangit Kecil dengan luas 6,15 hektare. Jaraknya sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Pulau ini terdapat tugu dan prasasti Pemerintah Aceh meski tidak berpenghuni.

    Ada tugu “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” yang dibangun tahun 2008.

    Mangkir Gadang (Mangkir Besar)

    Pulau ini memiliki luas sekitar 8,16 hektare yang letaknya berada sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Pulau ini juga tidak berpenghuni namun ada tugu batas wilayah yang dibangun Pemerintah Aceh. 

  • 1
                    
                        JK Sebut Keputusan Mendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Cacat Formil
                        Nasional

    1 JK Sebut Keputusan Mendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Cacat Formil Nasional

    JK Sebut Keputusan Mendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Cacat Formil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Presiden ke-10 dan ke-12
    Jusuf Kalla
    (JK) menilai Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmen) yang menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut) cacat formil.
    Sebab, kata JK, keempat pulau itu secara historis masuk wilayah Aceh jika merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumut.
    “Jadi, kemarin juga saya berdiskusi dengan Pak Menteri Mendagri, Pak Tito Karnavian mengenai hal ini. Wah, tentu karena ini didirikan dengan Undang-Undang, tidak mungkin (dipindahkan),” ujar JK saat diwawancarai di kediamannya, Jumat (13/6/2025).
    “Itu tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen, karena Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepmen,” kata dia melanjutkan.
    JK mengingatkan bahwa pemindahan empat pulau tersebut dari wilayah Aceh ke Sumut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada analisis jarak dan efektivitas.
    Sebab, Kepmen yang diteken Tito itu jelas bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 1956 yang telah mengatur batas wilayah Aceh dengan daerah di sekitarnya.
    “Kepmen tidak bisa mengubah Undang-Undang, ya kan. Walaupun undang-undangnya tidak menyebut pulau itu. Tapi secara historis,” kata JK.
    “Iya. Sekali lagi, Anda benar (cacat formil), bahwa ini Aceh itu termasuk kabupaten-kabupatennya dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 1956,” ujar dia.
    Dengan demikian, JK mengingatkan bahwa pemerintah harus juga merevisi UU Nomor 24 Tahun 1956 jika ingin memindah wilayah administrasi keempat pulau tersebut ke Sumut.
    “Kalau mau mengubah itu dengan Undang-Undang juga. Bukan hanya karena analisis perbatasan. Selama ini orang di sana pulau itu bayar pajaknya ke Singkil. Nanti ada teman yang akan membawakan bukti pajak dia ke Singkil,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan karena diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
    Hal itu dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
    Pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Keputusan tersebut direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendagri Perbolehkan Rapat di Hotel, PHRI Probolinggo Bahagia

    Kemendagri Perbolehkan Rapat di Hotel, PHRI Probolinggo Bahagia

    Probolinggo, Beritasatu.com – Kabar baik datang dari sektor pariwisata dan perhotelan di kawasan wisata Gunung Bromo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengizinkan kembali Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menggelar rapat dan kegiatan di hotel serta restoran.

    Kebijakan ini disambut antusias pelaku usaha di kawasan Bromo, yang selama ini terdampak oleh pembatasan kegiatan pemerintah akibat kebijakan efisiensi anggaran.

    Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Probolinggo Digdoyo Jamaludin menyampaikan apresiasinya terhadap keputusan ini.

    “Kami menyambut baik kembalinya izin bagi pemerintah untuk menggelar rapat dan kegiatan di hotel dan restoran,” ujar Digdoyo kepada wartawan, Jumat (13/6/2025).

    Menurutnya, sejak diberlakukannya larangan tersebut, puluhan hotel dan ratusan homestay di kawasan Bromo mengalami penurunan drastis dalam jumlah pengunjung.

    Ia mengaku, terpaksa merumahkan sejumlah karyawan akibat minimnya kegiatan yang biasanya digelar oleh instansi pemerintah.

    “Karena sepinya pengunjung dan kegiatan, kami terpaksa merumahkan beberapa karyawan untuk sementara waktu,” jelasnya.

    Penurunan drastis ini tak hanya berdampak pada hotel, tetapi juga restoran, homestay, dan UMKM yang bergantung pada aktivitas wisata dan agenda pemerintah.

    Dengan diberlakukannya kebijakan baru dari Mendagri, pelaku usaha berharap adanya kegiatan rapat dan kunjungan kerja dari Pemda, BUMN, hingga lembaga negara lainnya dapat kembali dilakukan di kawasan wisata seperti Bromo.

    “Kami berharap kebijakan ini dapat segera diimplementasikan, sehingga industri perhotelan dan restoran bisa bangkit kembali,” tutupnya.

  • Bangkang Mendagri, Kebijakan Dedi Mulyadi Bikin Hotel di Jabar Sekarat

    Bangkang Mendagri, Kebijakan Dedi Mulyadi Bikin Hotel di Jabar Sekarat

    Jakarta, Beritasatu.com – Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi mengambil langkah berbeda dari kebijakan pemerintah pusat. Saat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memperbolehkan pemerintah daerah (pemda) menggelar rapat di hotel dan restoran demi menghidupkan industri perhotelan, Dedi justru bersikukuh menolak.

    Lewat unggahan Instagram pribadinya, Dedi Mulyadi, yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) menegaskan agar seluruh kepala daerah di Jawa Barat tetap melaksanakan rapat di kantor pemerintahan masing-masing.

    Baginya, kantor-kantor yang sudah tersedia cukup representatif untuk digunakan tanpa harus mengeluarkan dana tambahan.

    “Pemerintah Provinsi Jawa Barat tetap memutuskan dan meminta seluruh bupati, wali kota, kita rapat menggunakan kantor-kantor kita yang ada karena kantor yang ada pun sudah cukup untuk kita rapat,” kata Dedi Mulyadi, dikutip Beritasatu.com pada Jumat (13/6/2025).

    Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya efisiensi penggunaan APBD. Namun, langkah ini menimbulkan dampak serius terhadap industri hotel dan restoran di Jawa Barat yang menggantungkan pendapatan dari kegiatan rapat dan kunjungan dinas.

    Hotel dan Restoran di Jawa Barat Sekarat

    Sejak diberlakukan larangan menggelar rapat di hotel, industri perhotelan di berbagai daerah Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur mengalami penurunan okupansi secara signifikan.

    Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bandung Barat, Eko Suprianto menyebut tingkat hunian hotel selama Januari hingga Mei 2025 tak pernah menyentuh angka 50%. Bahkan pada Maret hanya 18%.

    Menurut Eko, momentum liburan bersama dan hari besar keagamaan tidak mampu mengangkat tingkat okupansi. Saat libur Kenaikan Isa Almasih, tak satu pun hotel yang mencapai okupansi 100%.

    Hal serupa juga terjadi di Cianjur. Ketua PHRI setempat, Nano Indra Praja mengungkapkan, saat libur panjang Iduladha 2025, okupansi hotel di wilayahnya hanya mencapai 20%.

    Kondisi ini memaksa banyak pengusaha hotel mengurangi jam kerja karyawan demi mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Ketua PHRI Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, turut mengungkapkan bahwa selama masa cuti bersama Iduladha 2025, okupansi rata-rata hanya menyentuh 52,4%, jauh dari angka ideal.

    Mendagri Izinkan Rapat di Hotel dan Restoran

    Sikap Dedi Mulyadi berseberangan dengan kebijakan Mendagri Tito Karnavian. Dalam pernyataannya di Mataram, Tito menegaskan bahwa pemda tetap boleh melakukan kegiatan rapat di hotel dan restoran, sebagai bagian dari upaya membantu industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition).

    Tito menambahkan, pemerintah pusat hanya memotong anggaran sekitar Rp 50 triliun dari total dana untuk 552 daerah. Artinya, masih ada ruang bagi daerah untuk tetap melaksanakan kegiatan yang memberi efek ekonomi.

    “Jangan terlalu kaku. Kalau pun ingin efisiensi, lakukan secara rasional. Hotel dan restoran juga menyerap tenaga kerja dan punya rantai pasok yang panjang,” ucap Tito.

    Meski Mendagri membuka peluang, Dedi Mulyadi tetap kukuh menerapkan efisiensi sebagai langkah prioritas, termasuk larangan study tour bagi pelajar. Kebijakan ini, meski bermaksud baik, dinilai banyak pihak sebagai penyebab utama kelesuan sektor perhotelan dan restoran di Jawa Barat.

  • Wamendagri: Damkar diapresiasi masyarakat karena cepat dan responsif

    Wamendagri: Damkar diapresiasi masyarakat karena cepat dan responsif

    Begitu ada kejadian di tengah masyarakat, masyarakat mendapatkan pelayanan langsung cepat seperti kerampokan, kemalingan, kebakaran, ….

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa institusi pemadam kebakaran (damkar) banyak mendapat apresiasi dari masyarakat karena cepat dan responsif dalam melayani masyarakat.

    Hal itu disampaikannya saat meninjau Markas Besar (Mabes) Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Damkarmat) Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Jumat.

    “Saat ini masyarakat sangat mengapresiasi damkar karena kerjanya cepat dan responsif, dan salah satu damkar terbaik di Indonesia adalah Kota Makassar. Kami mengamati, mendapatkan informasi, dan bahkan juara satu nasional ya,” kata Bima.

    Selain menjadi Damkar yang berprestasi di Indonesia, Bima juga memuji peran penting Kepala Dinas Damkarmat Kota Makassar yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemadam Kebakaran Indonesia (APKARI).

    Bima mengunjungi Markas Damkarmat Makassar dengan didampingi Wali Kota Makassar menggunakan transportasi umum khas Makassar, yakni angkot lokal yang disebut pete-pete.

    “Saya sengaja mendadak saja tadi, pagi-pagi ingin diantar Pak Wali Kota untuk menengok ke sini,” ujarnya.

    Bima juga memuji kenyamanan dan tarif terjangkau dari transportasi pete-pete.

    Ia berharap Pemerintah Kota Makassar dapat terus melakukan inovasi dan perbaikan transportasi publik, tidak hanya pada pete-pete, tetapi juga moda lain seperti bus kota.

    Selain itu, Bima mengungkapkan bahwa Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian meminta agar Kota Makassar siap menjadi percontohan sistem darurat satu atap. Sistem ini diharapkan mampu merespons dan mendeteksi berbagai keluhan masyarakat secara cepat dan terintegrasi.

    “Jadi, begitu ada kejadian di tengah masyarakat, masyarakat mendapatkan pelayanan langsung cepat seperti kerampokan, kemalingan, kebakaran, kriminalitas, apa pun semua, itu langsung ada sistemnya. Sekarang ‘kan walaupun cepat, bagus, masih ada proses tadi ya,” ujarnya.

    Bima menjelaskan bahwa sistem satu atap ini akan dibangun di beberapa kota, dan salah satu yang diproyeksikan oleh Pemerintah adalah Kota Makassar.

    Menurut Bima, sistem layanan satu atap ini nantinya akan melibatkan koordinasi lintas sektor seperti kepolisian, layanan kesehatan (ambulans), dan unit layanan publik lainnya. Kota Makassar disebut sebagai salah satu kota yang potensial menjadi percontohan nasional.

    “Ini kami mulai jajaki karena kami dialog dahulu, dari Makassar ini kesiapan seperti apa? Akan tetapi, saya kira sangat siap untuk menjadi percontohan,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemendagri Kaji Ulang 4 Pulau yang jadi Sengketa Aceh vs Sumut

    Kemendagri Kaji Ulang 4 Pulau yang jadi Sengketa Aceh vs Sumut

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan memberi perhatian penuh terhadap sengketa wilayah 4 pulau yang melibatkan Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). 

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya mengatakan bahwa penyelesaian sengketa 4 pulau Aceh vs Sumut ini tak bisa hanya mengandalkan peta geografis semata, melainkan harus mempertimbangkan dimensi historis dan realitas kultural yang berkembang di lapangan. 

    “Penyelesaian persoalan ini memerlukan data dan informasi yang akurat dan lengkap dari semua pihak terkait. Penting untuk tidak saja melihat peta geografis tetapi juga sisi historis dan realita kultural,” ujar Bima kepada wartawan, Jumat (13/6/2025). 

    Untuk menindaklanjuti persoalan ini, Bima mengatakan bahwa Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi akan menggelar kajian ulang menyeluruh pada Selasa (17/6/2025). 

    Menurutnya, pertemuan itu akan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG) dan unsur internal Kemendagri yang menangani penataan wilayah dan batas administratif

    Bima meyakini bahwa langkah ini menjadi bagian dari upaya penyusunan solusi berbasis legalitas spasial yang kuat, sekaligus menghindari konflik sosial di tingkat akar rumput. 

    Setelah kajian teknis dilakukan, Mendagri Tito Karnavian berencana untuk mengundang para kepala daerah, anggota DPR, serta tokoh masyarakat dari kedua provinsi yang bersengketa. 

    “Kemudian Menteri Dalam Negeri setelah itu, mungkin pada hari berikutnya berencana akan mengundang para kepala daerah, anggota DPR, tokoh masyarakat dari Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara untuk mendengar pandangan, saran dan masukan dalam rangka mencari titik temu dan solusi yang terbaik untuk para pihak,” pungkas Bima.