Tag: Susilo Bambang Yudhoyono

  • Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mewanti-wanti krisis ekonomi global 1930 atau yang dikenal dengan Great Depression bisa kembali terulang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, menjelaskan bahwa Great Depression terjadi karena retaliasi negara lain akibat kebijakan tarif di AS (Smoot-Hawley Tariff Act). Akibat negara lain membalas dengan menaikkan tarif atas produk AS, volume perdagangan global turun drastis sehingga memperlambat perekonomian global.

    Pada saat Great Depression 1930, lanjutnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam terutama di negara-negara maju.

    “Global trade-nya [perdagangan global] jatuh, ekspor turun. Karena ekspor turun, investasi turun. Investasi turun, GDP turun, consumption [konsumsi] turun, terjadilah Great Depression pada waktu itu,” jelas Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2025).

    Masalahnya, dia melihat pola serupa bisa terjadi dalam kasus penerapan tarif resiprokal Trump belakangan ini. Apalagi usai Trump mengumumkan kebijakan tarif tersebut, sejumlah negara melakukan retaliasi terutama China.

    Belakangan, China menaikkan tarif impor untuk barang dari AS menjadi 125%. Tarif tersebut merupakan respons Negeri Tirai Bambu setelah AS menaikkan tarif impor terhadap barang asal China menjadi 145%.

    Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu pun berharap Trump akan melunak, dengan membuka opsi negosiasi zehingga Great Depression tidak terulang. Menurutnya, jika China melihat keraguan Trump maka Xi Jinping juga akan membuka opsi negosiasi.

    “Jadi upaya untuk mengatasi retaliasi itu menjadi sangat penting,” ujarnya.

    Dampak Tarif Trump ke RI

    Lebih lanjut, Chatib menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi.

    “Jadi yang harus dilakukan adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujarnya. 

    Menurutnya, deregulasi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986. Kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • SBY Ingatkan Isu Ini Tak Kalah Penting dari Perang Dagang AS Vs China

    SBY Ingatkan Isu Ini Tak Kalah Penting dari Perang Dagang AS Vs China

    Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden ke-6 RI yang juga Ketua The Yudhoyono Institute Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan bahwa isu dunia saat ini bukan hanya eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. 

    Akan tetapi ada sejumlah agenda global yang tidak kalah mendesak untuk diselesaikan, seperti krisis iklim dan kemiskinan global. SBY pun mengkritisi para pemimpin dunia yang dia nilai mulai abai terhadap isu-isu tersebut. 

    “Kita cemas, saya cemas, kalau perhatian para pemimpin dunia, tentu bukan hanya Amerika Serikat dan China, tapi semua pemimpin dunia, makin tidak peduli dari kewajiban internasional yang lain. Misalnya, menyelamatkan bumi kita dari climate disaster, yang menurut saya sekarang makin mencemaskan. No longer climate change, tapi climate crisis,” katanya dalam acara The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Ia mengingatkan bahwa isu ketimpangan dan kemiskinan dunia adalah pekerjaan rumah bersama umat manusia. Namun, bila perhatian global hanya terfokus pada konflik ekonomi dan kekuatan geopolitik, maka agenda-agenda besar lainnya akan terabaikan.

    “Pendekatan dalam mengatasi persoalan regional melalui geopolitics of power, melalui perang, melalui apa-apa yang merupakan hard power, power politics seperti itu, yang sebetulnya makin menjauh dari kewajiban global yang lain,” jelasnya.

    SBY mendorong agar Indonesia juga tidak tinggal diam. Ia menekankan, politik luar negeri bebas aktif bukan berarti pasif atau enggan bersuara.

    “Kita dari bumi Indonesia harus juga ikut bicara. Jangan diam, politik bebas aktif tidak berarti diam, tidak berarti tidak berpendapat. Tentu kita harus bisa dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan yang baik, ikut menyampaikan pikiran-pikiran kita,” pungkasnya.

    Adapun SBY menilai konflik ekonomi antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China memang berpotensi mengguncang perekonomian dunia dan menimbulkan dampak yang luas, terutama bagi negara-negara miskin.

    “Saya ingin menyampaikan, sekali terjadi guncangan ekonomi, tidak mudah untuk mengatasinya dan cost-nya sangat tinggi,” kata SBY.

    Ia mengingatkan, perang tarif dan perang dagang bukan sekadar urusan bilateral dua negara, melainkan isu global yang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, menaikkan angka pengangguran, bahkan memicu krisis kematian di negara-negara rentan.

    “Bagaimana kalau pertumbuhan global menurun, bagaimana kalau pengangguran meledak di mana-mana, bagaimana kalau inflasi terjadi di seluruh belahan dunia, bagaimana nasib negara-negara miskin, bagaimana kalau death crisis,” ujarnya prihatin.

    SBY juga mengajak dunia internasional untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya partisipasi global untuk meredam ketegangan dan mencari solusi bersama.

    “Mengapa tidak kalau kita menjadi bagian dari solusi. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, agar ini tidak makin menjadi-jadi,” ucap dia.

    Ia pun menyadari tidak semua negara memiliki kapasitas penuh untuk mengubah keadaan, tetapi baginya, upaya sekecil apapun tetap penting. “Paham, kita juga memiliki batas kemampuan, tapi kenapa kita tidak coba dengan sebaiknya? Untuk apa yang bisa kita lakukan menyelamatkan perekonomian dunia yang dipicu dari perang tarif dan perang dagang sekarang ini,” sambungnya.

    (mkh/mkh)

  • Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Jakarta

    Mantan Menteri Keuangan RI ke-28 yang juga Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan tarif timbal balik (Reciprocal Tarif) sebesar 32% ke Indonesia tidak akan memberikan dampak yang besar terhadap pasar obligasi Indonesia. Meskipun saat ini pengenaan tarif tersebut masih ditangguhkan oleh Presiden Trump.

    “Efek dari bond market (pasar obligasi) di Indonesia itu juga mungkin limited,” kata Chatib dalam Panel Discussion yang diselenggarakan oleh The Yudhoyono Institute di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Chatib menjelaskan pasar obligasi Indonesia masih dalam kondisi aman di tengah kebijakan tarif trump tersebut. Hal ini lantaran kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Indonesia hanya sekitar 14%.

    Ia menjelaskan, jika seluruh investor asing menarik dananya sekalipun, dampaknya sangat terbatas lantaran sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor domestik.

    Menurutnya, kondisi pasar obligasi saat ini berbeda dengan pada krisis global tahun 2008, di mana sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor asing. Sehingga akan keluarnya dana asing akan menimbulkan tekanan yang besar bagi pasar obligasi Indonesia.

    “Tidak seperti yang kita alami di tahun misalnya 2008, Pak. Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi. Dan saat itu Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%.

    Chatib menambahkan, dampak negatif kebijakan tarif Trump juga terbatas terhadap ekspor Indonesia. Ia mengatakan, kontribusi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sebesar 22%, di mana porsi ekspor ke AS juga hanya sekitar 10%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%, jadi kalau terhadap PDB itu berarti 10% dari 22%, berarti hanya 2,2%. Jadi meski dalam skenario terburuk pun, itu efeknya 2,2% dari GDP,” katanya.

    Meski begitu, ia menampik ada sejumlah sektor yang terdampak tarif trump. Misalnya ada sejumlah produk tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, dan udang.

    “Walaupun 2,2% itu punya dampak kepada sektor industri, terutama manufacturing, apakah itu tekstil dan produk tekstil, produk elektronik, dan alas kaki. Dan ini akan punya impack kepada kita,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • SBY Hati-hati “Ngetweet” di Medsos, AHY: Beliau Menghormati Presiden Prabowo
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 April 2025

    SBY Hati-hati “Ngetweet” di Medsos, AHY: Beliau Menghormati Presiden Prabowo Nasional 13 April 2025

    SBY Hati-hati “Ngetweet” di Medsos, AHY: Beliau Menghormati Presiden Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Demokrat
    Agus Harimurti Yudhoyono
    (AHY) menyebut tindakan hati-hati Presiden ke-6 RI
    Susilo Bambang Yudhoyono
    (SBY) dalam menulis cuitan (tweet) di media sosial untuk menanggapi kebijakan pemerintah bertujuan untuk menghormati Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Sebab, SBY tahu persis bahwa tidak mudah memimpin negara seluas Indonesia.
    “Yang dimaksudkan oleh Pak SBY lebih hemat berbicara, apalagi menyampaikan
    statement
    secara publik. Mengapa? Karena beliau sangat menghormati Bapak Presiden Prabowo Subianto,” kata AHY, usai acara diskusi panel terkait Perkembangan dan Dinamika Dunia Terkini di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2025).
    Menurut AHY, tak banyak yang bisa berempati secara penuh mengingat jabatan presiden hanya diisi oleh segelintir orang saja.
    Oleh karenanya, SBY sebagai seorang mantan presiden berupaya berempati kepada Prabowo yang saat ini memimpin.
    “Pak SBY tahu persis bahwa tidak mudah memimpin negeri sebesar Indonesia di tengah-tengah badai dan tantangan global yang juga menuntut kebijaksanaan, termasuk langkah-langkah kepemimpinan yang strategis dan juga berdampak positif langsung pada masyarakat kita,” ucap AHY.
    Di sisi lain, menurut putra SBY ini, Presiden ke-6 itu tidak ingin pendapat yang dikeluarkannya di ranah publik disalahartikan.
    Daripada menulis pernyataan secara publik, lanjut AHY, ayahnya lebih banyak memberikan masukan secara diam-diam kepada Presiden Prabowo.
    “Saya tahu persis beliau reguler cukup sering memberikan masukan-masukan kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto. Tentunya ini sebagai bentuk komitmen secara moral yang disampaikan sejak awal,” ujar AHY.
    Sebelumnya diberitakan, SBY mengaku lebih memilih berhati-hati menyampaikan pendapat sebagai mantan Presiden RI.
    Kehati-hatian ini juga dia terapkan saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal atau tarif impor kepada 180 negara, termasuk Indonesia, yang dikenakan sebesar 32 persen.
    Saat berita itu tersiar, SBY lebih memilih menulis tujuh butir pandangannya mengenai dinamika saat ini, meski tidak dipublikasikan.
    Menurut SBY, berhati-hati melemparkan pendapat di media sosial adalah etika.
    “Di tengah malam saya memanggil staf saya, Kolonel Tumpal, coba saya ingin menulis sesuatu. Tidak akan saya lepas dalam bentuk tweet, karena saya tahu sebagai seorang yang pernah memimpin negeri ini, saya harus hemat bicara dan berhati-hati dalam bicara,” kata SBY saat memberikan closing remarks dalam diskusi panel terkait Perkembangan dan Dinamika Dunia Terkini di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ini Kecemasan SBY Soal Perang Dagang AS Vs China

    Ini Kecemasan SBY Soal Perang Dagang AS Vs China

    Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden ke-6 RI yang juga Ketua The Yudhoyono Institute, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan kecemasannya terhadap eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terus memanas.

    Menurutnya, konflik ekonomi dua negara adidaya ini berpotensi mengguncang perekonomian dunia dan menimbulkan dampak yang luas, terutama bagi negara-negara miskin.

    “Saya ingin menyampaikan, sekali terjadi guncangan ekonomi, tidak mudah untuk mengatasinya dan cost-nya sangat tinggi,” kata SBY dalam acara The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Ia mengingatkan, perang tarif dan perang dagang bukan sekadar urusan bilateral dua negara, melainkan isu global yang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, menaikkan angka pengangguran, bahkan memicu krisis kematian di negara-negara rentan.

    “Bagaimana kalau pertumbuhan global menurun, bagaimana kalau pengangguran meledak di mana-mana, bagaimana kalau inflasi terjadi di seluruh belahan dunia, bagaimana nasib negara-negara miskin, bagaimana kalau death crisis,” ujarnya prihatin.

    SBY juga mengajak dunia internasional untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya partisipasi global untuk meredam ketegangan dan mencari solusi bersama.

    “Mengapa tidak kalau kita menjadi bagian dari solusi. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, agar ini tidak makin menjadi-jadi,” ucap dia.

    Ia pun menyadari tidak semua negara memiliki kapasitas penuh untuk mengubah keadaan, tetapi baginya, upaya sekecil apapun tetap penting. “Paham, kita juga memiliki batas kemampuan, tapi kenapa kita tidak coba dengan sebaiknya? Untuk apa yang bisa kita lakukan menyelamatkan perekonomian dunia yang dipicu dari perang tarif dan perang dagang sekarang ini,” sambungnya.

    Lebih jauh, SBY juga mengkritisi para pemimpin dunia yang menurutnya mulai abai terhadap agenda-agenda global yang tak kalah mendesak, seperti krisis iklim dan kemiskinan global.

    “Kita cemas, saya cemas, kalau perhatian para pemimpin dunia, tentu bukan hanya Amerika Serikat dan China, tapi semua pemimpin dunia, makin tidak peduli dari kewajiban internasional yang lain. Misalnya, menyelamatkan bumi kita dari climate disaster, yang menurut saya sekarang makin mencemaskan. No longer climate change, tapi climate crisis,” tegasnya.

    Ia mengingatkan bahwa isu ketimpangan dan kemiskinan dunia adalah pekerjaan rumah bersama umat manusia. Namun, bila perhatian global hanya terfokus pada konflik ekonomi dan kekuatan geopolitik, maka agenda-agenda besar lainnya akan terabaikan.

    “Pendekatan dalam mengatasi persoalan regional melalui geopolitics of power, melalui perang, melalui apa-apa yang merupakan hard power, power politics seperti itu, yang sebetulnya makin menjauh dari kewajiban global yang lain,” jelasnya.

    SBY mendorong agar Indonesia juga tidak tinggal diam. Ia menekankan, politik luar negeri bebas aktif bukan berarti pasif atau enggan bersuara.

    “Kita dari bumi Indonesia harus juga ikut bicara. Jangan diam, politik bebas aktif tidak berarti diam, tidak berarti tidak berpendapat. Tentu kita harus bisa dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan yang baik, ikut menyampaikan pikiran-pikiran kita,” pungkasnya.

    (mkh/mkh)

  • AHY Dorong Penguatan Struktur Ekonomi Hadapi Tarif Impor Trump

    AHY Dorong Penguatan Struktur Ekonomi Hadapi Tarif Impor Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan sekaligus Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menanggapi kebijakan tarif impor baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Dalam diskusi panel The Yudhoyono Institute di Jakarta, Minggu (13/4/2025), AHY menyerukan penguatan struktur ekonomi Indonesia agar tetap tangguh di tengah tekanan ekspor global.

    “Ketika ekspor tertekan, pertahanan terhadap pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas harga. Di samping itu, kita juga harus terus mendatangkan investasi untuk melanjutkan pembangunan dan membuka lapangan pekerjaan,” kata AHY.

    AHY juga mengutip pesan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa krisis global dapat menjadi peluang untuk mendorong transformasi ekonomi, mempercepat hilirisasi industri, digitalisasi ekonomi, dan transisi menuju ekonomi hijau.

    Menanggapi dampak tarif impor Trump terhadap perdagangan global, AHY mengajak Indonesia untuk aktif dalam diversifikasi pasar ekspor ke kawasan potensial seperti Eropa, Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara Global South. Menurutnya, sistem perdagangan global harus tetap nondiskriminatif dan saling menguntungkan.

    AHY juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang menerapkan diplomasi dua jalur (dual track diplomacy) dengan mengirim tim negosiasi ke Washington DC serta membangun komunikasi intensif dengan ASEAN dan pemimpin dunia lainnya.

    “Inilah wajah diplomasi strategis yang adaptif, dan juga tanggap diplomasi yang tidak reaktif, tetapi juga tidak pasif,” puji AHY.

    AHY memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis Amerika berpotensi menciptakan fragmentasi blok-blok ekonomi dan politik baru, yang tidak hanya memicu konflik dagang, tetapi juga ketegangan militer dan strategis di kawasan seperti Asia Pasifik, Ukraina, Gaza, Iran, hingga Laut Tiongkok Selatan.

    “Ini bisa menjadi jauh lebih berbahaya. Kita semua harus bersiap dengan skenario terburuk, yaitu pecahnya perang terbuka di sejumlah kawasan,” kata AHY terkait dampak tarif impor Trump.

  • SBY Ungkap Hati-hati “Ngetweet” di Media Sosial sebagai Mantan Presiden: Itu Bagi Saya Etika
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 April 2025

    SBY Ungkap Hati-hati “Ngetweet” di Media Sosial sebagai Mantan Presiden: Itu Bagi Saya Etika Nasional 13 April 2025

    SBY Ungkap Hati-hati “Ngetweet” di Media Sosial sebagai Mantan Presiden: Itu Bagi Saya Etika
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden ke-6 RI
    Susilo Bambang Yudhoyono
    (SBY) mengaku kerap berhati-hati ketika hendak menyampaikan pendapat terkait pemerintahan melalui cuitan (tweet) di media sosial.
    Kehati-hatian ini juga dia terapkan saat Presiden AS
    Donald Trump
    mengumumkan tarif resiprokal atau
    tarif impor
    kepada 180 negara, termasuk Indonesia, yang dikenakan sebesar 32 persen.
    Saat berita itu tersiar, SBY lebih memilih menulis tujuh butir pandangannya mengenai dinamika saat ini, meski tidak dipublikasikan.
    Menurut SBY, berhati-hati melemparkan pendapat di media sosial adalah etika.
    “Di tengah malam saya memanggil staf saya, Kolonel Tumpal, coba saya ingin menulis sesuatu. Tidak akan saya lepas dalam bentuk tweet, karena saya tahu sebagai seorang yang pernah memimpin negeri ini, saya harus hemat bicara dan berhati-hati dalam bicara,” kata SBY saat memberikan
    closing remarks
    dalam diskusi panel terkait Perkembangan dan Dinamika Dunia Terkini di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2025).
    SBY mengaku akan memastikan setiap yang ditulis maupun disampaikan dirinya tetap benar secara
    etika politik
    .
    “Dan itu bagi saya etika. Ditulislah tujuh butir bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi yang baru saja disampaikan oleh Presiden Donald Trump,” ucap dia.
    Setelah menulis pandangannya, SBY lalu mendengar langkah dan kebijakan pemerintah Indonesia untuk merespons
    tarif Trump
    dua hari kemudian.
    Setelah mendengar langkah tersebut, ia bersyukur lantaran yang dijelaskan oleh para menteri Indonesia dan Presiden Prabowo Subianto sekitar 80 persen sama dengan apa yang dia pikirkan.
    “Oleh karena itu saya melepas tweet, hanya beberapa butir tweet yang merupakan dukungan saya kepada pemerintah Indonesia ABC karena saya pandang tepat,” beber dia.
    Ia pun merekomendasikan Indonesia agar mampu mengetahui batas dan kemampuannya.
    SBY mengaku khawatir jika Indonesia terlalu reaktif, lebih emosional, dan kurang rasional.
    “Ketika kita menyadari kita ini siapa, dunia seperti apa, Amerika Serikat seperti apa, kita harus tahu kemampuan dan batas kemampuan kita. Kita harus tahu apa yang bisa Indonesia lakukan dan apa yang tidak bisa Indonesia lakukan,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • SBY Ingatkan Isu Ini Tak Kalah Penting dari Perang Dagang AS Vs China

    SBY Soal Respons Prabowo Atas Tarif Trump: 80% Sepemikiran

    Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kegundahan atas kondisi global saat ini. Dia menilai betapa kacau dunia akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. 

    SBY pun menyusun tujuh butir pandangan mengenai bagaimana Indonesia sebaiknya merespons kebijakan Trump. Meski tidak semua ia publikasikan, ia mengaku bersyukur ketika melihat bahwa langkah pemerintah Indonesia saat ini sejalan dengan pandangannya.

    “Saya bersyukur karena yang dijelaskan oleh para menteri Indonesia, tentu termasuk Presiden Prabowo Subianto, itu boleh dikatakan 80% sama dengan apa yang saya pikirkan,” ujarSBY dalam acara diskusi The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Ia pun mengingatkan agar Indonesia tidak bereaksi berlebihan. “Saya khawatir kalau Indonesia terlalu reaktif, lebih emosional dan kurang rasional. Kita harus tahu kemampuan dan batas kemampuan kita,” tegasnya.

    Meski kini lebih dikenal sebagai pelukis dan seniman, SBY mengaku masih mengikuti perkembangan ekonomi dan geopolitik global. Ia juga menyampaikan dukungan terhadap kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dalam meredam gejolak pasar.

    “Yang dilakukan memang diperlukan untuk menenangkan pasar, menenangkan masyarakat kita,” katanya.

    Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi situasi global yang tidak pasti. “Indonesia memang harus bergerak cepat, tapi siap-siap berlari jauh. Tidak ada yang tahu sampai kapan kehebohan, gonjang-ganjing, chaos, disorder ini akan berlangsung,” ungkapnya.

    Di akhir pernyataannya, SBY mendorong Indonesia agar tak hanya bersikap pasif. “Bukan hanya bergerak untuk yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk, tapi lebih dari itu. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, dan menjadi bagian dari solusinya. Saya yakin Indonesia bisa,” pungkasnya.

    (mkh/mkh)

  • Ini Kecemasan SBY Soal Perang Dagang AS Vs China

    Video: SBY & 7 Rekomendasi Sikap RI Hadapi Gejolak Perang Tarif Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia- CNBC Indonesia bersama The Yudhoyono Institute menggelar The Yudhoyono Institute Panel Discussion dengan tema “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” pada Minggu, 13 April 2025 sebagai forum untuk membahas berbagai isu global serta merumuskan rekomendasi dan pandangan strategis yang dapat menjadi referensi bagi para pembuat kebijakan dan pemimpin di kawasan Indo-Pasifik dan dunia pada umumnya.

    Presiden RI Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam The Yudhoyono Institute Panel Discussion menyampaikan pandangannya terhadap dinamika dan perkembangan dunia terkini.

    SBY menyampaikan 7 pandangannya dan rekomendasi kepada pemerintah RI terhadap respons Indonesia terhadap pengenaan tarif impor AS sebesar 32%. Pemerintah RI tidak disarankan untuk terlalu reaktif dan menyadari posisinya di dunia global sekaligus mendorong peran otoritas untuk menenangkan gejolak pasar keuangan nasional.

    Saat ini Indonesia harus berjaga-jaga, mempersiapkan antisipasi menghadapi hal terburuk serta melakukan sesuatu untuk melakukan sebuah solusi di kawasan ataupun dunia global baik di ekonomi maupun politik dan keamanan dunia.

    Selengkapnya saksikan dalam The Yudhoyono Institute Panel Discussion,CNBC Indonesia (Minggu, 13/04/2025)

  • Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) meyakini penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump tidak akan banyak berefek ke perekonomian nasional.

    Anggota DEN Chatib Basri menjelaskan kontribusi ekspor kepada pembentukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 22,18% pada 2024. Menurutnya, persentase tersebut masih terbilang kecil.

    Dede, sapaan Chatib Basri, pun membandingkan dengan negara lain, kontribusi ekspor ke PDB Singapore mencapai 180%, sementara Vietnam mencapai 78%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%. Jadi kalau terhadap PDB, itu berarti 10% dari 22%, berarti 2,2%. Jadi even in the worst case scenario [di skenario terburuk], itu [tarif Trump] efeknya 2,2% dari PDB,” ujar Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2024).

    Menurut perhitungannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa mencapai 4,3% sampai dengan 4,5% dalam situasi terburuk efek tarif Trump.

    Di samping itu, dia tidak menampik bahwa tarif Trump juga memberi dampak ke pasar keuangan global. Kendati demikian, Dede tetap melihat ketidakpastian pasar keuangan global tidak memiliki dampak besar ke pasar obligasi dalam negeri.

    Alasannya, besaran kepemilikan asing di surat utang yang diterbitkan pemerintah hanya sekitar 14%. Menurutnya, persentase tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan pada saat 2008 ketika terjadi krisis finansial global alias global financial crisis.

    “Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi [sekarang], dan saat itu [ekonomi] Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%,” jelas Dede.

    Senada, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengungkapkan pihaknya sudah melakukan sejumlah model perhitungan atas dampak tarif Trump ke perekonomian domestik.

    “Untuk Indonesia, all the models are showing relatively low [semua model perhitungan menunjukkan angka yang rendah], kira-kira 0,3% sampai 0,5% dampak kepada pertumbuhan kita,” kata Mari Elka pada kesempatan yang sama.