Tag: Susilo Bambang Yudhoyono

  • Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        2 Oktober 2025

    Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum Megapolitan 2 Oktober 2025

    Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Persaudaraan Bambang Sedunia (PBS) resmi menjadi organisasi berbadan hukum pada Rabu (1/10/2025).
    Momen ini menandai perjalanan panjang komunitas yang berdiri sejak sembilan tahun silam, berawal dari pertemuan santai sejumlah orang yang kebetulan bernama “Bambang”.
    PBS lahir pada 13 Mei 2016, Ketua Harian PBS Bambang Pahlawanto, menjelaskan, awalnya komunitas ini hanya berupa grup WhatsApp untuk mengumpulkan orang-orang bernama Bambang.
    “Pertama kita makan-makan, ketemu orang namanya Bambang. Dari situ kepikiran bikin grup. Namanya dulu Bambang Sedunia, lalu berkembang jadi Persaudaraan Bambang Sedunia,” kata Bambang Pahlawanto, kepada Kompas.com, Kamis (2/10/2025).
    Ia mengungkapkan, lebih dari sekadar sarana silaturahmi, PBS lahir sebagai wadah untuk menghadapi stigma yang kerap melekat pada nama Bambang.
    “Dulu nama Bambang itu sering diledek-ledekin. Tapi setelah ada PBS, sekarang kita bangga. Nama Bambang justru jadi perekat kebersamaan,” ujar dia.
    Seiring bertambahnya anggota, PBS mulai menapaki ranah sosial. Mereka turut bergerak membantu anggota yang tertimpa musibah.
    Seperti menggalang dana untuk anggota yang terkena musibah. PBS juga disebut pernah melakukan kegiatan sosial dengan mengirim bantuan air ke daerah kekeringan seperti Gunung Kidul.
    Bambang Pahlawanto menegaskan, setiap orang yang memiliki nama Bambang dapat bergabung, baik nama depan, tengah, maupun akhir.
    Semua anggota dipersilakan berpartisipasi tanpa memandang latar belakang, profesi, atau status sosial.
    Menurut dia, tujuan PBS adalah untuk mempererat persaudaraan antar-Bambang sekaligus menghadirkan manfaat bagi anggotanya dan masyarakat luas.
    “Hanya kebersamaan aja, juga jadi Bambang itu bisa untuk semua lah, berguna untuk semua gitu.” Kata dia
    Sementara, Sekretaris Jenderal PBS, R. Bambang Priatmono, menjelaskan, PBS berambisi membentuk jaringan yang lebih luas.
    Aspirasi itu tercermin dari rencana melibatkan tokoh nasional bernama Bambang, mulai dari Bambang Soesatyo, Bambang Brodjonegoro, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, upaya ini belum sepenuhnya terealisasi.
    “Sekarang memang tokoh nasional belum ada yang berhasil. Tadinya mau nunggu mereka, saya sudah hubungi orang-orang dekat Pak SBY. Tapi akhirnya kesepakatan, sudah lah. Kita jalan dulu, nanti kalau sudah jadi badan hukum, kepercayaan publik meningkat,” ujar Bambang Priatmono.
    Ia menjelaskan, landasan filosofi PBS tidak lepas dari Pancasila dan UUD 1945, menurut dia, nama Bambang dimaknai sebagai “satria”.
    Dari pemaknaan itu lahir enam nilai dasar PBS yang dirangkum dalam akronim SATRIA: santun, akuntabel, transparan, responsibel, inisiatif, dan afirmatif.
    “Itu pedoman etik PBS. Kesadaran rasionalnya menjaga budaya dan NKRI, tapi emosinya sederhana saja: ingin kumpul sesama Bambang,” kata Bambang Priatmono.
    Ke depannya PBS sudah memiliki rencana jelas, dimulai dari paguyuban, badan hukum, koperasi, perseroan terbatas (PT), hingga organisasi yang mampu mensejahterakan anggota sekaligus lingkungan sekitar.
    “Milestone kita ada lima. Pertama paguyuban, lalu badan hukum, kemudian koperasi, lalu PT. Tahap terakhir, PBS bukan hanya sejahtera untuk anggota, tapi juga mensejahterakan lingkungan,” ujar dia.
    Meski begitu, hingga saat ini kegiatan rutin belum sepenuhnya berjalan.
    Kegiatan yang dilakukan sejauh ini hanya menghadiri undangan dari media atau komunitas lain yang namanya juga dijadikan identitas, seperti Asep atau Agus.
    “So far ini tidak ada kegiatan. Kalau sebut rutin kan periodik. So far ini nggak ada. Tapi yang kita lakukan itu ya, misalnya kita menghadiri undangan dari TV, komunitas Bambang, komunitas Asep, komunitas Agus, seperti itu,” kata dia.
    Selain itu, bagi orang bernama Bambang yang ingin bergabung, ia menekankan partisipasi bukan hanya soal nama, tetapi juga soal kontribusi bagi komunitas dan masyarakat luas.
    “Kalau ngomong manfaat, itu juga menjadi pemikiran otak diri kami secara rasional. Kalau nggak ada manfaat, kita yang jadi anggota. Jadi kita akan balikkan kepada sosialitas publik yang bernama Bambang, kalau ingin merasa bermanfaat menjadi bagian daripada persaudaraan ini, sebetulnya merasa senang bangga punya komunitas,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Petugas Satpas Colombo Surabaya Kenakan Batik di Hari Batik Nasional 2025

    Petugas Satpas Colombo Surabaya Kenakan Batik di Hari Batik Nasional 2025

    Surabaya (beritajatim.com) – Sejumlah warga yang mengurus administrasi kendaraan di Satpas Colombo Jalan Kerapu 2, Krembangan, Surabaya, Kamis (2/10/2025), disambut dengan suasana berbeda. Para petugas yang biasanya tampil formal dengan seragam dinas, kali ini terlihat lebih santai dan hangat dengan balutan batik berbagai motif dari daerah-daerah di Nusantara.

    Nuansa mirip ‘kondangan’ terasa sejak pintu masuk gedung. Meski seluruh petugas mengenakan batik, bukan berarti Satpas Colombo beralih fungsi menjadi gedung pernikahan. Tidak ada dekorasi bunga, musik, ataupun pengantin. Pakaian batik yang dikenakan petugas merupakan bentuk peringatan Hari Batik Nasional 2025.

    Kanit Regident Satlantas Polrestabes Surabaya, AKP Tri Arda Meidiansyah, S.Tr.K., S.I.K., menjelaskan bahwa inisiatif penggunaan batik ini bertujuan untuk menumbuhkan kebanggaan masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap identitas bangsa.

    “Pemohon SIM ini kan kebanyakan anak-anak muda yang sering dipanggil GenZ. Mereka sering terpapar budaya luar karena hidup di dunia yang tidak memiliki batasan berkat internet. Sehingga perlu diingatkan bahwa kita bangsa Indonesia punya identitas dan budaya fashion sendiri yang keren,” kata Tri Arda.

    Ia menambahkan, momen Hari Batik Nasional menjadi kesempatan tepat untuk menguatkan identitas kebangsaan di lingkungan Satpas Colombo. Dengan mencintai budaya bangsa, diharapkan petugas semakin termotivasi memberikan pelayanan publik yang lebih baik.

    “Ketika rasa cinta dan bangganya terhadap bangsa ini besar, tentu petugas pelayanan publik seperti di Satpas Colombo Surabaya akan memiliki rasa tanggung jawab, motivasi untuk terus berinovasi sampai pada efisiensi dalam bekerja memberikan pelayanan terbaik demi kepentingan bangsa,” ujarnya.

    Selain memperkuat kebanggaan, para petugas juga diajak memahami filosofi dari setiap motif batik yang mereka kenakan. Tri Arda menekankan pentingnya edukasi budaya agar batik semakin dikenal luas oleh masyarakat dan dunia.

    “Setiap anggota kan memakai motif batik yang berbeda. Itu saya suruh untuk memahami nilai filosofis dari setiap corak. Agar apabila ada masyarakat yang bertanya mereka bisa menjawab. Ketika begitu maka mereka sudah turut serta dalam edukasi supaya batik semakin mendunia,” pungkasnya.

    Hari Batik Nasional diperingati setiap 2 Oktober sesuai Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peringatan ini juga menjadi pengingat akan pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan budaya tak benda dunia sejak tahun 2009. [ang/beq]

  • Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK Nasional 2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Suami menjabat kepala daerah, istri duduk di bangku parlemen Senayan.
    Anak menjadi wakil wali kota, ipar memerintah di daerah tetangga.
    Penguasaan politik di daerah oleh satu garis keturunan atau keluarga tertentu semakin lazim ditemukan di khazanah politik Indonesia.
    Mirisnya, pemandangan ini bukan hanya terjadi dalam satu atau dua periode kepemimpinan.
    Namun, sudah muncul ketika rakyat diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya sendiri pasca Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
    Politik dinasti yang begitu kental di beberapa daerah membuat sejumlah pihak cemas dan gerah.
    Indonesia pernah memiliki aturan untuk melarang merebaknya politik dinasti.
    Namun, larangan ini tumbang sebelum bisa memberikan jalan bagi rakyat untuk berpolitik dengan lebih sehat.
    Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode 2010–2014, Djohermansyah Djohan, merupakan salah satu tokoh yang menggagas larangan politik dinasti.
    Prof Djo, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa aturan ini berangkat dari kecemasan akan situasi di Indonesia pada tahun 2011.
    Saat itu, Djo yang masih menjabat sebagai Dirjen Otda Kemendagri mendapatkan paparan data sebaran politik dinasti di Indonesia.
    “Ketika pada tahun 2011, kita ingin menyusun UU Pilkada, maka kita menemukan data lapangan, 61 orang kepala daerah dari 524 kepala daerah atau sama dengan 11 persen itu terindikasi menerapkan politik dinasti yang tidak sehat,” kata Djo, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/9/2025).
    Berdasarkan data yang dimilikinya, Djo menemukan banyak daerah yang pemimpinnya berputar di satu keluarga.
    Misalnya, setelah suami menjabat kepala daerah selama dua periode, istrinya naik untuk mengisi posisi kepala daerah.
    Hal ini menjadi bermasalah ketika kepala daerah yang naik tidak memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan yang cukup.
     
    Dalam contoh yang disebutkan Djo, istri mantan kepala daerah ini hanya lulusan SLTA dan tidak memiliki pengalaman berorganisasi atau berpolitik.
    “Suaminya dua periode, kemudian (digantikan), istrinya itu cuma Ketua Tim Penggerak PKK, pendidikannya juga terbatas, cuma SLTA. Nah, banyak kasus itu banyak Ketua PKK jadi wali kota,” imbuh Djo.
    Jika bukan sang istri, justru anak kepala daerah yang baru lulus kuliah yang diatur untuk maju pilkada dan menggantikan ayahnya.
    Anak-anak ‘
    fresh graduate
    ’ ini kebanyakan tidak memahami birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
    Akhirnya, ayahnya yang sudah menjabat dua periode ikut campur lagi dan menggerakkan roda kemudi di balik nama anaknya.
    Djo mengatakan, politik dinasti ini menjadi ladang subur untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    Sebab, ketika tidak ada pergantian kekuasaan, pihak-pihak penyokong dan yang dekat dengan pemerintah juga tidak berubah.
    “Semua pejabat itu yang diangkat bapaknya tetap bertahan, hubungan kontraktor bapaknya tetap bertahan. Jadi, anaknya itu hanya namanya saja sebagai kepala daerah, tapi yang menjalankan pemerintahan tetap bapaknya,” kata Djo.
    Atas temuan yang ada, Djo dan sejumlah tokoh berusaha untuk menyusun pembatasan politik dinasti saat merancang undang-undang Pilkada.
    RUU Pilkada ini melarang anggota keluarga aktif untuk estafet tongkat kepemimpinan.
    Mereka boleh kembali mencalonkan diri, tetapi perlu ada jeda satu periode setelah kerabatnya aktif di pemerintahan.
    “Larangan bahwa kalau mau maju pilkada, (kandidat) dari kerabat kepala daerah yang sedang menjabat itu harus dijeda dulu satu periode. Jadi, ketika bapaknya tidak lagi menjadi kepala daerah, boleh silakan maju,” kata Djo.
    Ia menegaskan, jika ada kerabat yang maju Pilkada ketika saudaranya masih memerintah, dapat dipastikan akan terjadi keberpihakan.
    “(Kalau) anaknya maju, bapaknya (yang masih menjabat) kan tolongin anaknya. Mana ada bapak yang enggak nolong anak sama istri di dunia, kecuali hari kiamat,” kata Djo.
    Larangan ini sempat masuk dalam tatanan hukum Indonesia lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
    Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
    Aturan yang sudah dirancang sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden, akhirnya diteken oleh Joko Widodo (Jokowi) di periode pertamanya menduduki kursi RI 1, tepatnya tanggal 18 Maret 2015.
     
    Di hari pengesahannya, pasal ini langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Adnan Purictha Ishan, anak kandung dari Ichsan Yasin Limpo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Gowa, Sulawesi Selatan.
    Ketika mengajukan gugatan ke MK, Adnan tengah menjabat sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan.
    Adnan berdalih, Pasal 7 huruf r ini melanggar hak asasi manusia (HAM).
    Pandangan ini pun diperkuat hakim MK yang mengabulkan permohonan Adnan.
    Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    Tak hanya itu, Arief juga menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
    “Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujar dia, dikutip dari laman resmi MK.
    Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar, berpendapat, pembatasan terhadap anggota keluarga untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri merupakan bentuk nyata untuk membatasi kelompok orang tertentu.
    MK menyadari, dengan dilegalkannya calon kepala daerah maju dalam Pilkada tanpa adanya larangan memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, berpotensi melahirkan dinasti politik.
    Namun, hal ini dinilai tidak dapat digunakan sebagai alasan karena UUD mengatur agar tidak terjadi diskriminasi dan menjadi inkonstitusional bila dipaksakan.
    Usai dikabulkannya gugatan Adnan, aturan larangan politik dinasti resmi tidak bisa digunakan.
    Adnan selaku penggugat berhasil memenangkan Pilkada 2016 dan menggantikan ayahnya untuk menjadi Bupati Gowa.
     
    Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, politik dinasti marak terjadi karena lahir dari fenomena yang ada.
    Ia menilai, orang yang mau maju dan eksis di dunia politik di Indonesia perlu dua modal, yaitu modal politik dan modal ekonomi.
    “Kalau kita bicara dinasti, dia itu punya dua modalitas itu, modalitas politik dan juga modalitas ekonomi,” ujar Armand, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Modal politik adalah relasi atau jaringan yang dimiliki seseorang agar bisa mulus masuk ke dunia politik.
    Sementara, modal ekonomi merujuk pada kemampuan untuk membayar biaya politik.
    “Yang maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah kalau dia enggak punya relasi politik, pasti dia juga punya modal ekonomi yang cukup,” kata Armand.
    Masih maraknya politik dinasti, menurut Armand, akan membatasi akses bagi orang di luar dinasti untuk masuk dan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
    Armand mengatakan, politik dinasti itu seperti membangun sebuah tembok dan hanya sebagian kalangan yang bisa masuk ke dalam.
    “Dinasti politik kan sebetulnya itu dia membangun tembok ya. Membangun tembok terhadap partisipasi non-dinasti terhadap proses perencanaan, proses penganggaran, bahkan dalam proses penyusunan kebijakan di daerah gitu,” ujar dia.
    Armand menegaskan, meski secara aturan politik dinasti sudah tidak dilarang, keberadaannya kontraproduktif dengan apa yang hendak dicapai Indonesia.
    Terutama, dalam upaya penguatan demokrasi lokal dan upaya peningkatan efektivitas serta efisiensi pelayanan publik.
    Keberadaan politik dinasti juga dinilai dapat menghilangkan fungsi pengawasan atau
    check and balance
    antar lembaga.
    “(Misalnya), salah satu pasangan di (lembaga) eksekutif, pasangannya yang lainnya di DPRD. Itu akan menghambat
    check and balance
    di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu,” kata dia.
    Armand menilai, akan lebih efektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat demi meminimalkan dampak politik dinasti.
    “Sekarang, dengan diberi peluangnya dinasti itu, sebetulnya yang jadi alat kontrol kita sekarang itu adalah literasi ke publik,” kata Armand.
    Semakin masyarakat lebih mengenal calon pemimpinnya, peluang untuk memperbaiki kualitas politik juga akan meningkat.
    Di sisi lain, Armand mendorong adanya reformasi di internal partai politik, yaitu melalui perbaikan sistem kaderisasi.
    “Bagaimanapun, kalau misalnya sistem kaderisasi atau rekrutmen di politik itu juga berbasis pada kepentingan keluarga tertentu, itu juga kan menyuburkan politik dinasti,” ujar dia.
    Armand menegaskan, jika orientasi partai masih sebatas mendorong sanak keluarga atau kerabatnya untuk terpilih, sebatas untuk melanjutkan kekuasaan, politik dinasti tak ayal akan terus ada.
    Namun, jika yang diprioritaskan adalah kualitas individu, mau berasal dari dinasti atau tidak, semisal ia terpilih, tentu tidak dipersoalkan.
    “Kemudian, yang ketiga (yang perlu diperbaiki) ya terkait dengan pembiayaan politik,” kata Armand.
     
    Ia menilai, salah satu alasan politik dinasti muncul karena mahalnya biaya politik di Indonesia.
    Jika politik dinasti ingin dikurangi, biaya politik ini juga harus turun.
    Mahalanya biaya politik di Indonesia juga menjadi sorotan dari Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
    Neni menilai, tingginya biaya politik membuat aksesibilitas politik menjadi sangat terbatas.
    “Politik mahal hanya dapat diakses oleh mereka yang sedang berkuasa. Ini sangat bertentangan dengan nilai demokrasi yang sejatinya mendorong aspek inklusivitas,” ujar Neni, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Selain memperkuat literasi publik hingga menurunkan biaya politik, Neni berharap aturan untuk membatasi politik dinasti bisa dibahas lagi oleh pemerintah.
    “Sebetulnya, saya punya harapan besar RUU Partai Politik masuk juga di prolegnas 2026 bersama dengan RUU Pemilu dan Pilkada,” kata dia.
    Ia menilai, politik dinasti bisa dikurangi jika ada syarat dan ketentuan pencalonan yang diperketat.
    Misalnya, seseorang baru bisa maju setelah tiga tahun menjalani kaderisasi dalam sebuah partai politik.
    Menurut dia, butuh pembekalan yang cukup agar kepala daerah memiliki kapasitas yang baik agar tidak dipertanyakan di muka publik.
    Lebih lanjut, pembatasan masa jabatan di lembaga legislatif juga perlu diatur.
    Terlebih, karena jabatan di lembaga eksekutif juga telah dibatasi hanya bisa dua periode.
    Pembatasan masa jabatan ini dinilai dapat mendorong regenerasi di tubuh partai.
    Sebab, selama ini, tokoh yang masuk ke DPR atau DPRD bisa menjabat hingga 20-30 tahun.
    “Selama ini, batasan periodisasi itu tidak ada sehingga partai menjadi institusi bisnis yang menumbuhsuburkan lahirnya politisi, tapi defisit negarawan,” tegas Neni.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPD PKS Gresik dan Demokrat Jalin Komunikasi Persiapan Pemilu 2029

    DPD PKS Gresik dan Demokrat Jalin Komunikasi Persiapan Pemilu 2029

    Gresik (beritajatim.com) – Meskipun Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan digelar empat tahun lagi, dua partai politik di Gresik mulai melakukan langkah awal. DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Gresik dan DPC Partai Demokrat Gresik menjalin komunikasi politik sebagai persiapan menuju Pemilu 2029.

    Sebagai bentuk keseriusan, jajaran PKS Gresik melakukan silaturahmi ke kantor Partai Demokrat. Tujuan pertemuan ini tidak hanya untuk mempererat hubungan, tetapi juga sebagai upaya belajar dari pengalaman politik Demokrat, terutama dari kepemimpinan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    “Kami ingin belajar banyak dengan DPC Demokrat Gresik seperti yang dicontohkan oleh Presiden SBY,” ujar Ketua DPD PKS Gresik, Muchlisin, Rabu (1/10/2025).

    Muchlisin menegaskan, komunikasi politik ini tidak berhenti pada satu kali pertemuan. Ke depan, tidak menutup kemungkinan akan ada silaturahmi lanjutan dan komunikasi yang lebih intens antarpartai. “Pengalaman DPD Demokrat tidak diragukan lagi memwarnai panggung politik agar Gresik lebih baik lagi,” imbuhnya.

    Sementara itu, Plt Ketua DPC Demokrat Gresik, Samwil, menyambut baik kunjungan PKS. Ia menilai, PKS memiliki sistem kaderisasi yang solid sehingga menjadi nilai lebih dalam membangun kerja sama politik.

    “Kami sangat terkesan dengan PKS, terutama dengan sistem kaderisasinya yang kuat. Bahkan, kami menilai silaturahmi ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah dilaksanakan partai lain ke Demokrat Gresik,” kata Samwil.

    Sebagai catatan, pada Pileg 2024, PKS belum berhasil menempatkan kadernya di legislatif Gresik. Sementara itu, Demokrat meraih tiga kursi, meski jumlah tersebut menurun dibanding Pileg 2019 yang mencapai empat kursi. [dny/but]

  • Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

    Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

    Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?
    Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)
    INSIDEN
    pencabutan ID Pers Istana jurnalis
    CNN Indonesia,
    Diana Valencia (28/9) perlu diwaspadai. Setelah diprotes oleh Dewan Pers, AJI, IJTI dan organisasi masyarakat sipil lain, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Setpres, selang sehari mengembalikan kartu itu (29/9).
    BPMI Setpres berdalih karena pertanyaan Diana kepada Presiden Prabowo Subianto, soal keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG), di luar konteks liputan.
    Peristiwa itu bukan sekadar kesalahpahaman kecil. Namun, peluang tergelincirnya kembali Indonesia ke masa pembatasan kebebasan pers.
    Tanpa pers bebas,
    blind spots
    bisa terjadi. Kasus seperti keracunan massal MBG bisa tak tersampaikan kepada pemimpin negara.
    Di tengah budaya Asal Bapak Senang (ABS), pers yang bebas bisa beri informasi lapangan yang berharga bagi Presiden.
    Dengan cara itu, Presiden dapat ambil langkah perbaikan cepat. Pembangunan, semisal program MBG, bisa secepatnya dievaluasi. Alhasil program pembangunan Pemerintah menjadi lebih baik.
    Bayangkan rumah tanpa jendela. Gelap, tak tahu apa di luar. Pemerintah menjadi buta, krisis tak terdeteksi.
    “The J Curve, A New Way to Understand Why Nations Rise and Fall” (2006) karya Ian Bremmer masih relevan dibaca. Dalam bukunya itu, ia gambarkan hubungan antara tingkat keterbukaan sebuah negara, termasuk kebebasan pers dan akses informasi, dengan stabilitas politiknya.
    Mari bayangkan kurva berbentuk huruf J miring pada sumbu X dan Y. Keterbukaan negara di sumbu X dan stabilitas politik di sumbu Y.
    Di sisi kiri kurva, ada negara tertutup seperti Korea Utara, di mana stabilitas tampak tinggi karena kontrol ketat.
    Lalu naik ke sisi kanan, ada negara seperti Amerika dan Jepang, di mana keterbukaan justru jadi “lem” yang menahan guncangan.
    Di antara sisi kiri dan kanan, ada lembah di huruf J, itulah negara-negara dalam masa transisi. Ketika mereka melewati “lembah”, ketidakstabilan seperti konflik, protes, dan kekacauan muncul karena institusi belum matang.
    Namun, jika berhasil, maka mereka akan berada di sisi kanan seperti negara demokratis lainnya. China masih berada di situ.
    Dalam bukunya, Bremmer tegaskan pers dan informasi bebas akan dorong akuntabilitas. Laporan suatu krisis akan picu evaluasi dan perbaikan. Pemerintah menjadi responsif dan program pembangunan yang sempat tergelincir, bisa secepatnya dikembalikan ke rel.
    Ada dua kasus menarik yang dibedah Bremmer, Korea Utara dan China. Korea Utara adalah contoh paling ekstrem, sangat tertutup, dengan kontrol ketat atas informasi, media, dan interaksi dengan dunia luar.
    Bremmer jelaskan rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-il, pertahankan stabilitas melalui isolasi total. Namun, itu justru membuat negara rapuh terhadap krisis internal.
    Dalam bukunya, ia gambarkan bagaimana pembatasan pers dan informasi sebabkan malapetaka kelaparan, yang tewaskan antara 240.000 hingga 3,5 juta orang atau 15,9 persen dari total populasi 22 juta jiwa saat itu.
    Mereka meninggal karena kelaparan atau penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. Itu terjadi pada 1994-1998 yang dikenal sebagai
    Arduous March.
    Penyebab utamanya adalah pertanian gagal karena banjir, kekeringan, dan kebijakan ekonomi yang buruk.
    Rezim Kim sembunyikan peristiwa kelaparan massal itu dari dunia internasional dan bahkan dari rakyatnya sendiri.
    Rezim menolak bantuan luar karena takut kontaminasi ide asing, yang ancam kontrol mereka. Saat akhirnya menerima bantuan dari PBB, kondisinya sudah terlambat.
    Tanpa pers bebas dan informasi dibatasi, Pemerintah terlambat menyadari kegentingan dan eskalasi suatu masalah. Di Korea Utara isolasi total untuk pertahankan stabilitas rezim, dibayar dengan jutaan korban jiwa.
    Kasus kedua, China. Bremmer menilainya sebagai negara yang sedang bergeser dari sisi kiri kurva J menuju tengah, tapi tetap dengan kontrol politik ketat.
    Dulu di bawah Mao Zedong, China adalah negara tertutup. Mao luncurkan kebijakan industrialisasi paksa dan gagal total. Dampaknya kelaparan terburuk dalam sejarah manusia yang sebabkan 15 juta-55 juta kematian.
    Bencana itu dikenal sebagai
    Great Leap Forward Famine
    yang terjadi pada 1959-1961. Bremmer menyoroti bagaimana pembatasan pers memperburuk keadaan.
    Laporan resmi dipalsukan untuk menyenangkan partai. Kritik dilarang, dan wartawan atau pejabat yang melaporkan kegagalan dihukum dan dicap sebagai “kontra-revolusioner”.
    Padahal, tanpa informasi yang bebas, Pemerintah tidak tahu skala masalah di daerah pedesaan. Di bawah bayangan gelap ABS, mereka merasa kondisi baik-baik saja. Mereka tak sempat mobilisasi bantuan dunia internasional untuk tangani masalah itu.
    Meski China modern lebih terbuka secara ekonomi, sensor pers dan internet masih berlangsung. Bremmer melihat hal itu bisa sebabkan instabilitas jika “lembah” kurva J tidak dikelola dengan baik.
    Sebab suara masyarakat dikontrol oleh rezim panopticon yang memungkinkan benih krisis tersembunyi dan terlambat ditangani.
    Bagaimana dengan kita? Indonesia pasca-Reformasi sudah berada di puncak sisi kanan kurva ini.
    Dari rezim otoriter Orde Baru yang sensor pers dan lakukan pembatasan informasi, bergeser ke demokrasi terbuka. Media bebas, informasi terbuka dan pemilu multipartai adalah penanda.
    Meski kita punya PR. Satu dekade terakhir demokrasi kita tak baik-baik saja. Peneliti ANU seperti Jaffrey dan Warburton dalam “The Jokowi Presidency” (2025), nyatakan sebagai “Indonesia’s Decade of Authoritarian Revival”. Pilar-pilar kelembagaan demokrasi dirusak dengan berbagai manuver otokratis legalisme.
    Patut bagi Presiden Prabowo Subianto lebih berhati-hati dan tidak menambah kerusakan dengan pembatasan pers.
     
    Sebaliknya, perlu baginya sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, merestorasi bangunan demokrasi kita yang cacat ini (
    flawed democracy
    ). Penguatan peran pers salah satunya.
    Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, Indonesia di peringkat 127, turun 16 peringkat dari tahun sebelumnya.
    Lalu The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025 mencatat skor demokrasi Indonesia tahun 2024 pada 6,44 dari skala tertinggi 10.
    Padahal satu dekade lalu, skor kita pernah mencapai 7,03 (2015). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meski berlatar belakang militer, nampaknya justru mafhum ihwal demokrasi dan supremasi sipil.
    Kasus Korea Utara dan China perlu jadi
    lesson learned
    bagi kita. Insiden Diana Valencia juga perlu Presiden perhatikan. Jangan sampai orang-orang di sekelilingnya batasi informasi.
    Di ekonomi, informasi yang asimetris bisa ciptakan inefisiensi, biaya tinggi dan pemasok atau konsumen potensial rugi.
    Sedang di pemerintahan, yang kelola anggaran ribuan triliun rupiah, informasi asimetris bisa lebih jauh fatal. Terjadi jarak pemahaman antara Pemerintah dengan masyarakat yang pada ujungnya rugikan masyarakat.
    Masyarakat kehilangan peluang terhadap dampak suatu program pembangunan. Atau Pemerintah kehilangan
    sense of crisis.
    Gejala informasi asimetris atau bahkan misinformasi terlihat ketika Presiden menyatakan keracunan massal yang terjadi hanya 0,00017 persen saja (
    Kompas.com
    , 29/9).
    Padahal, angkanya mencapai 0,000865 persen atau 8,65 insiden per 1 juta penyajian. Di mana

    Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat korban keracunan sebanyak 8.649 jiwa (
    CNN Indonesia
    , 29/9).
    Angka yang dinyatakan Presiden lebih kecil lima kali daripada data terkini. Artinya lembaga terkait seperti Badan Gizi Nasional (BGN) telat melakukan pengkinian data.
    Klaim 0,00017 persen itu sama dengan 1,7 insiden per 1 juta penyajian atau sebanyak 1.700 korban. Apakah kekeliruan itu disengaja atau tidak, Presiden perlu cek bawahannya.
    Contoh informasi timpang di atas hanya mungkin diketahui dan dikoreksi karena informasi yang disediakan media massa.
    Makin bebas pers dan informasi, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Umpan balik demi perbaikan dapat Pemerintah lakukan.
    Sebaliknya, bagaimana bila pers dan informasi dibatasi? Bayangkan kapal tanpa radar. Ombak besar tak terlihat. Pers bebas adalah radar itu. Tanpa itu, kapal bisa karam di tengah badai. Itulah mengapa kebebasan pers penting bagi pembangunan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • SBY: Politisi Demokrat Harus Tangguh, Berwawasan Kebangsaan, dan Andal

    SBY: Politisi Demokrat Harus Tangguh, Berwawasan Kebangsaan, dan Andal

    Pacitan (Beritajatim.com) – Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meminta seluruh kader Demokrat memiliki niat menjadi politisi yang berwawasan kebangsaan, tangguh, dan andal.

    “Ketika Anda mengenakan jaket warna biru dongker bertuliskan Only The Strong, artinya hanya orang yang kuat, yang teguh, yang tidak mudah jatuh, karena yang kuatlah yang memiliki masa depan,” ungkap SBY di hadapan ratusan peserta Bimbingan Teknis Nasional (Bimteknas) Partai Demokrat yang datang dari Papua hingga Sumatera, di Museum SBY*Ani Pacitan, Selasa (30/9/2025).

    Mantan Presiden ke-6 RI selama dua periode itu juga menceritakan perjalanan panjang Partai Demokrat yang hampir 25 tahun berdiri. Menurutnya, Demokrat telah mengalami pasang surut, menghadapi berbagai tantangan, pernah berada di puncak kejayaan, sekaligus merasakan masa-masa sulit.

    “Ini adalah cara Tuhan untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai partai yang kuat,” jelas SBY.

    Ia juga mengungkapkan rasa syukur bisa kembali hadir di Pacitan, tanah kelahirannya yang disebut sebagai daerah penuh berkah.

    “Alhamdulillah kita bisa berkumpul lagi di tanah Pacitan. Semoga kebersamaan saya di panggung ini membawa berkah bagi saudara semua, bagi Partai Demokrat, dan bagi bangsa Indonesia di masa depan,” tuturnya.

    Bimteknas Partai Demokrat gelombang V ini berlangsung pada 29 September hingga 2 Oktober 2025. Peserta adalah anggota DPRD kabupaten Kota dan Provinsi asal Papua dan Sumatera sebanyak 342 peserta. (tri/but)

  • Jokowi Ingin Prabowo-Gibran 2 Periode, Kader PPP Bandingkan dengan Megawati dan SBY

    Jokowi Ingin Prabowo-Gibran 2 Periode, Kader PPP Bandingkan dengan Megawati dan SBY

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Habil Marati membandingkan Presiden ke-7 Jokowi. Dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

    “Kita memiliki presiden sebelumnya itu, ada Megawati, ada SBY,” kata Habil dikutip dari YouTube Refly Harun, Selasa (30/9/2025).

    Bahkan, kata dia, anak SBY, Agus Harimurti Yudhoyono ada di dalam kabinet. Yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

    “SBY, yang sekarang menjadi partnernya Prabowo di kabinet. Pemerintahan. Bahkan Agus Harimurti, anaknya jadi menteri,” ujarnya.

    SBY, kata dia, tak pernah mengusulkan anaknya sebagai pendamping Prabowo di periode kedua. Tapi Jokowi malah melakukannya.

    “Itu tidak pernah mengusulkan Prabowo dua periode. Tapi Jokowi mengusulkan. Ada apa seorang mantan presiden, tidak ada angin, tidak ada hujan,” ucapnya.

    “Tiba-tiba memerintahkan relawannya mendukung Prabowo-Gibran dua periode,” sambungnya.

    Dia pun menanyakan alasannya. Apakah karena anak Jokowi, Gibran Rakabuming, atau karena Prabowo.

    “Apa faktor anaknya, apa faktor Prabowo. Kalau menurut saya adalah pematangan putranya,” ujarnya.

    Jokowi, kata dia, bisa saja mengusulkan Prabowo saja di periode selanjutnya. Tanpa menyebut nama Gibran.

    “Kenapa tidak menyebut bahwa kami akan mendukung Prabowo? Enggak usah menyebut nama Gibran,” imbuhnya.

    “Kan sebenarnya 2029 itu tergantung Prabowo kan siapa pasangannya. Jangan dipaksakan,” tambahnya.

    Bagi Habil, tindakan Jokowi itu memojokan Prabowo.

    “Sekarang Jokowi memojokkan Prabowo bahwa harus Gibran kan. Ini kan seorang mantan presiden seperti ini, kelakuan apa ini,” ucapnya.

  • Vonis Tipikor RPHU Lamongan: Vonis Davis Lebih Ringan, Kerugian Negara Sudah Dikembalikan

    Vonis Tipikor RPHU Lamongan: Vonis Davis Lebih Ringan, Kerugian Negara Sudah Dikembalikan

    Surabaya (beritajatim.com) – Setelah melalui proses panjang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya akhirnya menjatuhkan putusan terhadap perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan.

    Dalam sidang putusan yang digelar Senin (29/9/2025), terdakwa Davis Maherul Abbasiya divonis pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan.

    Kasus ini bermula dari proyek pembangunan RPHU yang diduga merugikan keuangan negara. Nama Moch. Wahyudi, mantan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan, ikut terseret karena saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) Widodo Hadi Pratama, SH dari Kejaksaan Negeri Lamongan menilai telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam proyek yang semestinya untuk meningkatkan sektor peternakan.

    Majelis hakim yang diketuai Ni Putu Sri Indayani, SH dalam perkara nomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby membacakan amar putusan sebagai berikut:

    * Membebaskan terdakwa dari dakwaan Pasal 2 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
    * Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
    * Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan.
    * Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp7.500.

    Majelis hakim menilai kerugian negara dalam proyek pembangunan RPHU tidak sebesar Rp242 juta seperti dalam dakwaan. Perinciannya: Rp92 juta merupakan kelebihan bayar hasil audit BPK yang telah dikembalikan ke kas negara, uji instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebesar Rp99 juta tidak dapat dijadikan dasar karena hanya berdasar diskusi, dan pekerjaan taman senilai Rp10 juta memang terealisasi. Dengan demikian, kerugian negara sesungguhnya hanya sekitar Rp41 juta.

    Kuasa hukum terdakwa, Nundang Rusmawan, SH dari kantor hukum Rus & Co, Jakarta Pusat, menyambut putusan ini dengan lega dan menghormati proses hukum.

    Ia menilai majelis hakim telah objektif mempertimbangkan fakta persidangan, termasuk sikap kooperatif kliennya dan pengembalian kerugian negara.

    “Putusan ini sesuai dengan apa yang kami sampaikan dalam pledoi. Hal-hal yang meringankan sudah dipertimbangkan, termasuk pengembalian kerugian negara sebagaimana diminta BPK maupun pihak lain. Itu semua sudah dikembalikan,” ujarnya usai sidang.

    Nundang menambahkan, pengembalian dana tersebut menjadi bukti bahwa kliennya beritikad baik.
    “Proses hukum ini sudah memberi keringanan hukuman bagi klien kami,” pungkasnya.

    Dengan vonis ini, perkara korupsi proyek RPHU Kabupaten Lamongan yang sempat menyita perhatian publik akhirnya mencapai titik akhir di meja hijau. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengelolaan program pembangunan daerah secara transparan dan akuntabel agar tidak kembali berujung pada jeratan hukum. [kun]

  • Internet RI Dilaporkan Paling Lelet, Bos Telko Buka-bukaan Penyebabnya

    Internet RI Dilaporkan Paling Lelet, Bos Telko Buka-bukaan Penyebabnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam sejumlah laporan, kecepatan internet di Indonesia selalu berada di urutan terbawah dibandingkan banyak negara di Asia Tenggara. Begitu juga saat perbandingannya dilakukan antar kota-kota di Indonesia dan negara lain.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengungkap harapan adanya standar pengukuran dengan klasifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia.

    “Kita berharap ada standar pengukuran dengan klasifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia. Saya kasih contoh. Banyak pengguna internet pemula, speed-nya di rumah 5, 10, 15. Apakah itu kita kaitkan ke broadband?” kata Marwan ditemui di Bandung, Sabtu (27/9/2025).

    “Perpres 96/2014 itu masih menerjemahkan broadband itu 10 Mb. Itu ditandatangan Presiden SBY. Nah setelah itu kita belum punya perpres apa-apa lagi nih. Standar broadband kita berapa? Kalau memang mau dimasukkan ke 100. Kita menyarankan ada klasifikasi broadband,” tambahnya.

    Jadi dia mengatakan pengguna internet tidak bisa dibandingkan jika klasifikasi berbeda. Misalnya pengguna baru dengan mereka yang telah menggunakan internet lebih cepat atau pengguna luar negeri.

    Sebaiknya memang harus ada klasifikasi masing-masing kelompok dan tidak bisa disamaratakan. Dengan membuat klasifikasi, diharapkan bisa membuat Indonesia naik kelas.

    “Jadi kita berharap misalnya broadband pemula, broadband mobile, broadband, fixed broadband. Nah ini jangan diukur yang ini, dimasukkan ke sini, [karena dampaknya] kita akan [dilaporkan] rendah terus,” ucapnya.

    Bekasi Jadi Internet Tercepat di Indonesia

    Dalam laporan Speedtest Global Index edisi Agustus 2025, Bekasi menjadi kota dengan internet seluler tercepat. Tercatat kecepatan unduh (download) median 54,59 Mbps.

    Secara global, Bekasi duduk di peringkat 118. Kemudian ada Jakarta Selatan yang berada di posisi 122 dengan kecepatan 52,29 Mbps.

    Namun, kecepatan itu masih jauh dengan beberapa kota di negara lain. Misalnya Abu Dhabi mencatat 625,24 Mbps, diikuti Ar-Rayyan 579,39 Mbps, Dubai 546,83 Mbps, dan Doha 514,59 Mbps.

    Untuk fixed broadband, Jakarta Selatan berada di posisi 142 dengan kecepatan unduh 46,62 Mbps. Bekasi tercatat 43,66 Mbps dan posisi 146.

    Sementara itu, Indonesia menempati posisi ke-83 dunia atau naik tiga peringkat dari bulan sebelumnya untuk kecepatan internet (mobile). Dilaporkan kecepatan download median 45,01 Mbps, upload 16,01 Mbps, dan latensi 22 ms.

    Posisi fixed broadband Indonesia adalah 116 di dunia atau naik dua peringkat dibandingkan bulan sebelumnya. Kecepatan downloadnya tercatat 39,88 Mbps, upload 26,61 Mbps dan latensi 7 ms.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 1
                    
                        Prabowo Sapa AHY sebagai Penerus SBY: Kok Saya Enggak Disingkat PSD Ya?
                        Nasional

    1 Prabowo Sapa AHY sebagai Penerus SBY: Kok Saya Enggak Disingkat PSD Ya? Nasional

    Prabowo Sapa AHY sebagai Penerus SBY: Kok Saya Enggak Disingkat PSD Ya?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI Prabowo Subianto menyapa Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat menghadiri puncak Musyawarah Nasional (Munas) VI PKS di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (29/9/2025).
    Prabowo menyebut AHY sebagai penerus dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
    “Saudara Agus Harimurti Yudhoyono, lebih dikenal AHY. Penerus SBY,” kata Prabowo, disambut tepuk tangan, Senin.
    Prabowo lantas berkelakar mengapa namanya juga tidak disingkat saja menjadi PSD.
    PSD merupakan singkatan dari Prabowo Subianto Djojohadikusumo.
    “Kok saya enggak disingkat ya, PSD,” ucap Prabowo, sembari tertawa.
    Prabowo pun meminta dirinya diidentikkan dengan angka 08 saja.
    “08 saja. 8. Tapi, angka 8 itu selalu hadir di hidup saya. Contoh saya pidato di PBB itu majelis itu sidang umum,
    general assembly
    -nya ke-80. Hari ini adalah munas ke-6. Benar? 6 ya. Tanggalnya 29. Benar? 2+9 adalah 11. Iya kan? 11 itu 2. September 9 kan. 2 tambah 9, 11. 2 kan. 2025, 9. Benar? Tambah 2, 11. 2 kan? 2 tambah 6? 8,” jelas Prabowo, disambut tawa dan tepuk tangan lagi.
    “Jadi, memang hari baik. Seharusnya saya diundang kemarin, benar ya? Tapi, kalau kemarin jumlahnya enggak 8. Jadi terima kasih PKS berkenan menerima saya sehari setelah itu. Kan enggak bisa saya ngarang ini. Ini kalau orang Jawa bilang,
    tondo-tondo
    ,” tambah dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.