“Epinaratic Leadership”: Menjawab Tantangan Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian
Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.
KITA
hidup di zaman yang tidak pernah sepenuhnya tenang. Bukan karena perang fisik, tapi karena pertempuran narasi, opini, dan persepsi.
Di layar kecil gawai kita, derasnya arus informasi setiap detik membanjiri, tanpa pernah menunggu kita siap untuk menyaringnya.
Di sinilah lahir fenomena yang kian mendominasi: era DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian). Tiga kata yang sederhana, tetapi telah mengubah wajah demokrasi, dinamika sosial, bahkan masa depan kepemimpinan.
Belum lama ini, beredar video
deepfake
hasil rekayasa AI yang seolah-olah menampilkan Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani yang mengatakan “guru adalah beban negara”.
Video Sri Mulyani hanyalah satu dari ribuan hoaks yang beredar di jagad digital. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menemukan 1.020 hoaks sepanjang Januari – Agustus 2025.
Hoaks mungkin api yang kecil. Namun apabila dibiarkan, mereka dapat membakar habis kepercayaan dan persaudaraan dalam masyarakat.
Hariqo Wibawa Satria dari Kantor Komunikasi Kepresidenan bahkan mengingatkan bahwa “satu video DFK (disinformasi, fitnah, kebencian) bisa melahirkan sejuta kebencian” terhadap figur publik atau pemimpin.
Benarlah pepatah lama: “sebuah kebohongan bisa berkeliling setengah dunia saat kebenaran masih memakai sepatunya”. Di era media sosial, pepatah ini kian terasa nyata.
Di era digital, informasi tidak hanya mengalir deras, tetapi juga sering kali disusupi oleh disinformasi, fitnah, dan kebencian. Disinformasi bukanlah sekadar kesalahan informasi, melainkan konten yang sengaja diproduksi untuk menyesatkan.
Fallis (2015) menjelaskan bahwa disinformasi berbahaya karena sumbernya bermaksud menipu dan memperoleh keuntungan dari kesesatan yang ditimbulkan.
Kini, praktiknya semakin canggih karena digerakkan oleh bot, buzzer, hingga algoritma platform digital.
Aïmeur et al. (2023) bahkan menunjukkan bagaimana teknik
machine learning
dan
deep learning
membuat konten palsu kian sulit dideteksi, bahkan oleh sistem pendeteksi otomatis berbasis AI.
Dampak dari disinformasi tidak main-main. Keputusan publik kerap salah arah karena mendasarkan diri pada “fakta palsu”.
Selain itu, debat publik berubah menjadi gaduh, sebab data yang seharusnya menjadi pijakan bersama dipelintir sesuai agenda tertentu.
Bahkan, kebijakan negara pun bisa terdistorsi, karena pemimpin didesak merespons opini publik yang telah lebih dulu dibentuk oleh arus disinformasi.
World Economic Forum dalam Laporan Risiko Global 2025 menempatkan misinformasi dan disinformasi sebagai ancaman terbesar ke-4 di dunia, dengan proyeksi naik menjadi ancaman nomor satu pada 2027.
Laporan Geopolitical Outlook 2025 dari Rud Pedersen Public Affairs juga menegaskan bahwa kurangnya tata kelola kecerdasan buatan memperbesar risiko penyalahgunaan teknologi untuk menyebarkan informasi palsu.
Selain disinformasi, fitnah juga semakin berbahaya di era digital. Jika dahulu fitnah hanya menyebar lewat bisik-bisik, kini ia dapat viral dalam hitungan menit dan sulit dihapus dari jejak digital.
Satu narasi palsu yang diproduksi dengan cerdas mampu meruntuhkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun, sekaligus menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi.
Ketika pemimpin terus-menerus dihantam fitnah, energi yang seharusnya dipakai untuk memimpin dan melayani publik, justru habis untuk klarifikasi tanpa akhir.
Sementara itu, kebencian memperparah situasi dengan menggerogoti emosi kolektif. Aktor politik kerap memanfaatkannya karena ia sederhana, emosional, dan efektif menggerakkan massa.
Algoritma media sosial memperkuat polarisasi ini, sebab konten penuh amarah terbukti lebih cepat menyebar dibanding narasi yang menekankan persatuan, terlebih jika preferensi pengguna media sosial adalah konten-konten yang penuh amarah.
Konten-konten seperti itu membuat masyarakat terbelah, komunitas hancur, dan fondasi bangsa melemah akibat spiral kebencian yang terus dipelihara.
Oleh karena itu, di era ini, kepemimpinan tidak lagi hanya bicara soal visi pembangunan, kecerdasan manajerial, atau kebijakan publik yang rasional.
Kepemimpinan menjadi soal bagaimana pemimpin bisa menjaga kepercayaan publik di tengah badai manipulasi informasi. Ia menjadi seni mengikat kebersamaan di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah.
Ia juga menjadi ujian apakah pemimpin mampu menyalakan harapan di tengah atmosfer kebencian yang terus dipupuk oleh algoritma.
Saya menyebutnya ‘Epinaratic Leadership’, gaya kepemimpinan yang memadukan kekuatan pengetahuan yang benar (epistemik) dengan kekuatan narasi yang menggerakkan (naratik).
Dalam konteks era penuh disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK), kepemimpinan ini menempatkan kebenaran bukan sekadar sebagai data, melainkan sebagai cerita kolektif yang hidup, dipercaya, dan mampu menyentuh hati publik.
Kepemimpinan ini menggabungkan dimensi epistemik (berakar pada kebenaran, pengetahuan, dan validitas) dengan dimensi naratik (mengarahkan narasi, identitas, dan makna kolektif).
Artinya, ‘epinaratic leadership’ tidak berhenti pada sekadar mengetahui yang benar, melainkan juga mampu meramu kebenaran itu menjadi narasi yang hidup, mengakar, dan tahan terhadap distorsi.
Dengan kata lain, menurut Foroughi et al. (2019), kepemimpinan adalah tindakan yang melakukan sesuatu yang fundamental bagi situasi saat ini, sesuatu yang mengubah realitas faktual, dan yang memberikan arahan untuk masa depan yang ‘lebih baik’.
Seorang pemimpin dengan gaya ‘epinaratic leadership’ tidak cukup hanya “menyampaikan fakta”, karena fakta saja sering kalah oleh opini dan emosi.
Ia harus mampu mengubah fakta menjadi narasi kuat, yang bukan hanya meyakinkan secara logis, tetapi juga menginspirasi secara emosional dan bermakna secara sosial.
Di tengah era
post-truth
(ketika kebenaran kehilangan pijakannya), mengubah fakta menjadi narasi yang kuat dan emosional menjadi tuntutan.
Orang kini mempercayai narasi yang mengggugah emosi dan mencari validasi dari apa yang mereka percayai.
Algoritma media sosial mengakselerasi hal tersebut dengan menciptakan filter buble yang menyaring konten (yang bahkan bisa diedit sesuai keinginan) berdasarkan preferensi user. Akibatnya, orang pun terjebak dalam
echo chamber
-nya sendiri.
Kondisi tersebut memungkinkan munculnya fenomena DFK (disinformasi, fitnah, kebencian). Fenomena tersebut menjelma sebagai praktik
character assassination
digital yang merajalela.
Reputasi tokoh publik mudah diserang fitnah, legitimasi dan otoritas terkikis, dan penegakan hukum dibingkai ulang sebagai penindasan atau keberpihakan politik.
Ironisnya, situasi ini memberi ruang bagi kelompok tertentu untuk bermain api, yang tujuannya mendiskreditkan figur kepemimpinan.
Lebih ironis lagi, meski klarifikasi resmi telah disampaikan dengan bukti dan data, publik yang terlanjur terbelah sering menolak mendengarnya.
Menurut studi MIT 2018 lalu terhadap
fake news
di Twitter, berita benar membutuhkan waktu sekitar enam kali lebih lama untuk menjangkau 1.500 orang dibandingkan berita palsu untuk menjangkau jumlah orang yang sama. Karena persebarannya yang sangat cepat, orang sudah terlanjur percaya dengan berita bohong.
Oleh karena itu,
Epinaratic Leadership
adalah praktik kepemimpinan yang bertujuan menjaga identitas naratif pemimpin, menghadirkan narasi tandingan terhadap fitnah dan kebencian, sekaligus mengarahkan masyarakat pada cerita besar tentang harapan, kolaborasi, dan masa depan bersama.
Kepemimpinan ini dijalankan oleh generasi baru pemimpin yang hidup sepenuhnya dalam ekosistem digital dituntut untuk tidak hanya adaptif, melainkan juga transformatif.
Kepemimpinan epinaratik tidak bisa memimpin dengan kacamata lama. Mereka harus mengakui realitas bahwa politik dan kepemimpinan kini sama pentingnya di layar ponsel seperti halnya di meja rapat kabinet.
Kepemimpinan epinaratik menjadi kebutuhan mendesak. Pemimpin dituntut memiliki
information literacy
untuk memverifikasi fakta, menjaga integritas di tengah gempuran fitnah, dan mengembangkan narasi ketangguhan sebagai jawaban atas kebencian.
Lebih jauh, mereka harus berani membangun ekosistem komunikasi yang sehat, di mana kebenaran dilindungi, reputasi dijaga, dan persatuan ditempatkan di atas polarisasi.
Dengan demikian, disinformasi tidak lagi menyesatkan arah, fitnah tidak lagi menghancurkan kepercayaan, dan kebencian tidak lagi merobek masyarakat, melainkan justru menjadi ujian yang memperlihatkan kualitas kepemimpinan sejati.
Istilah ‘epinaratic leadership’ bukan lagi sekadar label generasi. Ia mencerminkan lahirnya gaya kepemimpinan baru, yaitu pemimpin yang sejak awal kariernya sudah berinteraksi dengan dunia digital, terbiasa dengan
multichannel communication
, dan sadar bahwa opini publik dibentuk dalam ekosistem media yang kompleks.
Kepemimpinan epinaratik tidak bisa hanya mengandalkan model tradisional, rapat tertutup, konferensi pers, atau sekadar pidato formal.
Mereka harus piawai mengelola ruang digital, aktif berdialog dengan publik, dan mampu menjaga konsistensi identitas di berbagai platform.
Tipikal pemimpin seperti ini disebut Pemimpin Opini Termediatisasi, di mana menurut Schäfer and Taddicken (2015), mereka menggunakan berbagai media secara signifikan lebih sering untuk pertukaran informasi dan komunikasi dan juga untuk interaksi interpersonal mereka.
Namun demikian, kepemimpinan ini juga menghadapi risiko: terlalu sibuk di permukaan digital, hingga lupa pada substansi kepemimpinan.
Di sinilah keseimbangan harus dijaga. Pemimpin epinaratik ideal adalah mereka yang bisa menjembatani dunia digital dengan realitas lapangan, antara
hashtags
dengan
hard works
, antara
likes
dengan
legacies.
Untuk menjawab tantangan DFK, ada sejumlah strategi implementatif yang bisa diterapkan pemimpin epinaratik.
Pertama, perlunya membangun literasi digital internal. Pemimpin tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh tim yang juga cerdas digital, mampu mendeteksi hoaks, membaca tren percakapan, dan memberikan masukan berbasis data.
Literasi digital bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tetapi juga kewajiban internal organisasi kepemimpinan.
Saat ini, literasi digital Indonesia tahun 2025 berada di angka 3,65 dari skala 5. Indeks Masyarakat Digital Indonesia juga mengalami peningkatan dari 37.80 (2022) menjadi 43.34 (2024).
Artinya, ada harapan besar bahwa pemimpin epinaratik beserta timnya nanti mampu beradaptasi dengan baik di dunia digital seiring meningkatkanya indeks literasi digital.
Kedua, mengadopsi model komunikasi transparan. Transparansi adalah senjata ampuh melawan disinformasi. Pemimpin epinaratik perlu rutin membuka data, menjelaskan proses, dan menghadirkan ruang partisipasi publik.
Menurut Hadziahmetovic and Salihovic (2022), komunikasi yang transparan mendorong keterlibatan dengan mempromosikan kepercayaan dan keyakinan.
Dengan kata lain, apabila kita transparan dalam komunikasi dan data, narasi palsu tidak punya ruang subur untuk berkembang.
Ketiga, mengelola krisis dengan narasi positif. Ketika fitnah menyerang, jangan hanya reaktif dengan klarifikasi.
Erickson (2021) menegaskan bahwa komunikasi yang jelas, tenang, dan teratur diperlukan untuk meyakinkan staf bahwa perahu akan tetap mengapung di tengah badai.
Oleh karena itu, gunakan krisis sebagai momentum untuk mempertegas nilai kepemimpinan, sehingga kita mampu mengubah krisis reputasi menjadi panggung integritas.
Keempat, mengaktifkan kolaborasi multi-pihak. Tantangan DFK terlalu besar untuk dihadapi sendiri. Pemimpin epinaratik perlu membangun aliansi dengan akademisi, media,
civil society
, dan platform digital.
Misalnya, seperti yang disarankan oleh Hartono et al. (2021), pemimpin epinaratik dapat berkolaborasi dengan Dewan Pers Nasional untuk meningkatkan profesionalisme media dan mengurangi berita yang tendensius.
Selain itu, pemimpin epinaratik juga dapat menjalin kolaborasi dengan Meta dan Bytedance dalam mencegah penyebaran disinformasi.
Terakhir, menghidupkan empati dalam setiap narasi. Di era kebencian, empati adalah kekuatan. Pemimpin epinaratik perlu berani menunjukkan sisi manusiawi: mendengarkan, merasakan, dan merespons dengan hati.
Selain itu, empati juga dapat kita tunjukkan dalam praktik kepemimpinan. Dalam penelitian Jian (2021), pemimpin yang empatik ditandai dengan sikap terbuka terhadap orang lain yang melampaui ego sendiri, sikap peduli untuk memotivasi seseorang untuk berempati, serta tanggung jawab terhadap orang lain.
Publik mungkin lupa detail kebijakan, tetapi mereka tidak pernah lupa rasa dan kenangan yang mereka dapatkan saat berinteraksi.
Mari kita bayangkan skenario nyata. Seorang pemimpin daerah diserang fitnah bahwa programnya hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Alih-alih marah dan membalas, ia justru mengundang pihak-pihak kritis untuk berdialog terbuka, menyiarkan langsung pertemuan tersebut, dan membuktikan dengan data.
Publik yang menyaksikan tidak hanya melihat klarifikasi, tetapi juga menyaksikan gaya kepemimpinan yang berani, terbuka, dan empatik.
Contoh lain, seorang CEO perusahaan besar menghadapi disinformasi bahwa perusahaannya merusak lingkungan. Ia tidak berhenti pada rilis pers, melainkan membuat program
open factory
di mana masyarakat, media, dan akademisi bisa langsung melihat proses produksi yang ramah lingkungan. Narasi palsu pun kalah oleh bukti nyata.
Praktik-praktik inilah yang menunjukkan bagaimana kepemimpinan epinaratik bisa menjawab tantangan DFK dengan cara yang implementatif sekaligus inspiratif.
Era DFK mungkin terlihat menakutkan, tetapi ia juga menghadirkan peluang. Pemimpin yang mampu melewati badai ini dengan integritas dan inovasi akan muncul sebagai pemimpin yang jauh lebih kuat.
Mereka akan dikenal bukan karena tidak pernah diserang, tetapi karena selalu mampu bangkit dan menyalakan harapan.
Sejarah selalu mencatat bahwa setiap era memiliki tantangannya sendiri. Jika dulu tantangan terbesar adalah kolonialisme, perang, atau krisis ekonomi, maka tantangan hari ini adalah DFK.
Namun sama seperti generasi-generasi sebelumnya, generasi ini pun bisa melewatinya dengan kepemimpinan yang tepat.
Pemimpin epinaratik harus berani menjadikan dirinya
guardian of truth
, penjaga integritas, dan penyalur harapan.
Mereka harus menyadari bahwa di era digital, setiap kata, setiap gestur, setiap keputusan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal bagaimana ia diterjemahkan di ruang publik yang tak pernah tidur.
Pada akhirnya, kepemimpinan di era DFK adalah tentang keberanian untuk tetap berpegang pada nilai, meski arus kebencian begitu deras.
Ia adalah tentang kesanggupan untuk terus merangkul, meski tangan terus diserang. Ia adalah tentang kemampuan menyalakan cahaya, ketika kegelapan disinformasi mencoba menutupi segalanya.
Dan itulah panggilan ‘epinaratic leadership’ hari ini, memimpin dengan akal sehat, dengan hati yang luas, dan dengan tekad bahwa bangsa ini terlalu berharga untuk dibiarkan hancur oleh disinformasi, fitnah, dan kebencian.
Kini, bola ada di tangan kita bersama. Masing-masing dari kita bisa ikut menentukan arah dengan cara memilih, mendukung, dan menjadi pemimpin yang berpegang pada kebenaran di atas kepentingan sempit.
Apakah kita akan mengizinkan era DFK terus mencabik-cabik tenun kebangsaan, atau kita bangkit memupuk kepemimpinan pascakebenaran yang memulihkan kepercayaan dan persatuan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan wajah masa depan Indonesia kita.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.