Tag: Sri Mulyani Indrawati

  • Sri Mulyani Bakal Tarik Utang Baru untuk Bayar Jatuh Tempo 2025

    Sri Mulyani Bakal Tarik Utang Baru untuk Bayar Jatuh Tempo 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pihaknya akan mengambil langkah penerbitan utang baru alias refinancing untuk membayar utang jatuh tempo 2025. 

    Tercatat dalam profil utang pemerintah, terdapat jatuh tempo senilai Rp800,33 triliun. Termasuk di dalamnya jatuh tempo kepada Bank Indonesia dalam rangka burden sharing senilai Rp100 triliun. 

    Sri Mulyani optimistis pemerintah akan melunaskan utang yang ada dengan refinancing. Meski demikian, terkait waktu penerbitan, denominasi, maupun jenis Surat Berharga Negara (SBN), masih pemerintah ramu. 

    “Kami menyusun strategi untuk pembiayannya. Untuk itu kami juga duduk dengan BI, kalau jumlah yang tadi jatuh tempo plus adanya tambahan defisit, kami akan melihat berapa yang akan kita issue [terbitkan] di dalam negeri dan berapa di luar negeri,” ujarnya, dikutip pada Jumat (15/11/2024). 

    Pemerintah mengambil langkah tersebut karena sepanjang APBN dianggap stabil dan kredibel oleh investor, tidak sedikit yang menunggu penerbitan surat utang milik pemerintah Indonesia. 

    Sepanjang ini pun, Sri Mulyani menyampaikan investor yang memiliki SBN dan akan jatuh tempo, lebih memilih melakukan revolve atau pembelian kembali SBN ketimbang mencairkannya. 

    “Mereka [investor] biasanya menunggu apakah kami akan meng-issue yang baru kemudian mereka revolve aja. Itu kalau mereka percaya terhadap APBN dan pengelolaan keuangan negara,” jelasnya. 

    Aksi berbagi beban alias burden sharing antara pemerintah dan bank sentral, di mana Bank Indonesia membeli surat utang negara di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan dan membiayai APBN selama pandemi Covid-19, tercatat senilai Rp836,56 triliun. 

    Sejatinya, Bank Indonesia (BI) dilarang untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer. Namun melalui kebijakan burden sharing–istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Gubernur BI Perry Warjiyo–BI diperkenankan membeli langsung surat utang untuk membantu pemerintah menangani pandemi Covid-19.

    Pembiayaan yang masuk ke APBN tersebut saat itu digunakan sebagai sumber dana program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Skema burden sharing sebagaimana SKB II yang hanya berlaku pada 2020 telah diterbitkan sebesar Rp397,56 triliun untuk Public Goods.

    Penerbitan SBN dalam rangka SKB III yang diperuntukkan untuk kontribusi di bidang kesehatan dan kemanusiaan mencapai Rp215 triliun pada tahun 2021 dan Rp224 triliun pada 2022. 

    Total jatuh tempo utang tersebut mulai pada 2025 (Rp100 triliun), 2026 (Rp154,5 triliun), 2027 (Rp210,5 triliun), 2028 (Rp208,06 triliun), 2029 (Rp107,5 triliun), dan 2030 (Rp56 triliun). 

    Pilihan Terbaik

    Ekonom United Overseas Bank Limited (UOB) Enrico Tanuwidjaja menyampaikan langkah refinancing menjadi pilihan terbaik saat ini dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan global, regional, maupun domestik. 

    “Peran serta investor dalam revolving is the best. Saya percaya pilihan yang akan ditempuh Kemenkeu telah mempertimbangkan banyak hal termasuk dalam hal BI,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Jumat (15/11/2024). 

    Melalui penerbitan utang baru, surat utang tersebut akan berpindah tangan dari sebelumnya oleh Bank Indonesia, ke berbagai pihak termasuk investor asing. 

    Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede meyampaikan dengan skema tersebut, dapat memperpanjang profil jatuh tempo utang, memberikan pemerintah lebih banyak ruang untuk membayar di masa depan. 

    Meskipun demikian, Josua mewanti-wanti pilihan refinancing dapat meningkatkan beban pembayaran bunga, terutama jika penerbitan dilakukan pada suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan beban bunga utang yang jatuh tempo.

    Untuk itu, pemerintah perlu memastikan penetapan suku bunga yang menarik bagi investor tetapi tetap dalam batas fiskal yang sehat. 

    Meski terdapat pilihan lainnya seperti debt switching, mengerek penerimaan pajak untuk bayar utang, maupun penggunaan cadangan dari APBN, pemerintah harus mempertimbangkan kestabilan fiskal. 

    “Pada akhirnya, strategi terbaik harus mempertimbangkan stabilitas fiskal, keberlanjutan utang, serta efek terhadap pasar modal, termasuk dampaknya terhadap rating kredit pemerintah dan kepercayaan investor,” ujarnya. 

  • Menkes dan Menkeu Segera Bahas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

    Menkes dan Menkeu Segera Bahas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pemerintah mempertimbangkan opsi kenaikan iuran BPJS Kesehatan guna mengatasi defisit yang mengancam kelancaran layanan. Sejak 2023, BPJS mengalami ketimpangan antara biaya pengeluaran dan pemasukan iuran peserta.

    Budi mengungkapkan, keputusan mengenai iuran akan dibahas bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti.

    “Saya sudah ngobrol sama Ibu Sri Mulyani, nanti kita panggil Pak Ghufron. Karena sebenarnya kita sudah melakukan simulasi itu sejak 2022, pada saat kita naikkan tarif rumah sakit. Angka itu sudah ada,” jelas Budi kepada awak media saat ditemui di RS Harapan Kita, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (15/11/2024).

    Budi menambahkan, pemerintah berupaya memastikan anggaran BPJS Kesehatan tetap cukup dengan berbagai strategi, termasuk meminta BPJS memonitor rumah sakit yang melakukan over-claim dan transaksi palsu.

    “Ada juga yang rumah sakit-rumah sakit ternyata over-claim atau melakukan fraudulent transaction. Kita juga minta BPJS tolong lebih teliti lagi dengan melihat pembayaran-pembayaran itu sudah dilakukan benar apa enggak,” katanya.

    Menurut Budi, kenaikan iuran ini telah melalui pertimbangan matang sejak lama, dengan berbagai aspek yang sudah dihitung dan dipelajari. Ia juga menyebut akan ada penambahan beberapa fasilitas, seperti laboratorium, fasilitas kemoterapi, dan lainnya.

    “Hal itu pasti akan menaikkan cost-nya BPJS dan semua itu ada perhitungannya. Sekarang tinggal kita lihat apakah angka perencanaan kita dan realisasinya itu dekat atau enggak. Kalau misalnya ada selisih jauh, itu seperti apa,” ucap Budi.

    Sebelumnya, Budi juga membantah terkait  rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang disebut-sebut sebagai langkah untuk menutup defisit senilai Rp 20 triliun.

    Budi menjelaskan, defisit tersebut adalah defisit berjalan, yang muncul dari selisih penerimaan iuran dan pengeluaran saat ini.

    “Jadi itu mungkin defisit berjalan sekarang dari iuran yang masuk dan keluar,” ujarnya.

    Ia menegaskan, BPJS Kesehatan masih memiliki cadangan kas di atas Rp 50 triliun, sehingga kenaikan iuran BPJS bukan untuk menambal defisit.

  • Kenaikan PPN 12 Persen Akan Ancam Pertumbuhan Ekonomi

    Kenaikan PPN 12 Persen Akan Ancam Pertumbuhan Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Ekonom dan Head of Research Group Celios Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% karena dapat mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini karena sebagian pertumbuhan ekonomi Tanah Air disumbang dari konsumsi rumah tangga.

    “Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12% karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga. Jelas kenaikan tarif PPN bukan solusi menaikkan pendapatan negara,” ucap Bhima kepada Beritasatu.com, Jumat (15/11/2024).

    Ia melanjutkan, jika konsumsi melambat, maka pendapatan negara dari berbagai pajak, termasuk PPN akan berdampak. Ia pun memberikan saran untuk rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan.

    “Kalau bisa dibatalkan, karena menaikkan tarif pajak itu sama saja dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif,” ucap Bhima.

    Selain masyarakat, kenaikan PPN ini juga akan berimbas kepada masyarakat, khususnya para pengusaha. Menurut Bhima, kenaikan PPN 12% ini dapat menghambat produktivitas dunia usaha.

    “Imbas lain tentu ke pelaku usaha karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN dan kana berimbas ke omzet. Pada akhirnya, akan ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. Khawatir tarif PPN naik, bisa jadi PHK di berbagai sektor,” tambah Bhima.

    Ia pun menyarankan agar pemerintah bisa mempertimbangkan pajak kekayaan (wealth tax) yang berpotensi menghasilkan Rp 86 triliun per tahun.

    Kemudian, pajak keuntungan komoditas tak terduga (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon juga bisa menjadi opsi dibandingkan kebijakan PPN 12%.

    “Untuk mendorong rasio pajak, lebih baik memperluas objek pajak, bukan mengutak-atik tarif,” ucap Bhima.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai mandat Undang-Undang. Ia menegaskan, pihaknya akan berhati-hati dan memastikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.

    “UU sudah ada. Kami perlu mempersiapkan agar kebijakan PPN 12% dapat diterapkan dengan baik,” pungkasnya.

  • Perluasan Objek Pajak Lebih Efektif Dongkrang Pendapatan Negara daripada Menaikkan PPN 12 Persen

    Perluasan Objek Pajak Lebih Efektif Dongkrang Pendapatan Negara daripada Menaikkan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perluasan objek pajak lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara daripada menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

    Ia menilai, pemerintah bisa mempertimbangkan pajak kekayaan (wealth tax) yang berpotensi menghasilkan Rp 86 triliun per tahun. Kemudian, pajak keuntungan komoditas tak terduga (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon juga bisa menjadi opsi dibandingkan kebijakan PPN 12 persen.

    “Untuk mendorong rasio pajak, lebih baik memperluas objek pajak, bukan mengutak-atik tarif,” papar Bhima kepada Beritasatu.com, Jumat (15/11/2024).

    Bhima berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN di tengah kondisi ekonomi saat ini bukan solusi optimal untuk meningkatkan pendapatan negara.

    Jika tarif PPN naik menjadi 12 persen, hal ini berarti terjadi kenaikan total sebesar 20% dalam empat tahun terakhir, yakni dari 10 persen ke 11 persen lalu ke 12 persen, yang lebih tinggi dari rata-rata kenaikan inflasi tahunan.

    Kenaikan PPN sebesar 12 persen juga dapat berdampak langsung pada inflasi dan menyebabkan kenaikan harga barang, yang dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah yang sudah menghadapi berbagai tekanan, seperti naiknya harga pangan dan sulitnya lapangan kerja.

    Selain itu, Bhima memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menurunkan penjualan produk sekunder, seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan kosmetik, karena kelompok konsumen utama dari produk ini adalah kelas menengah.

    Dampaknya juga bisa terasa pada pelaku usaha, yang mungkin harus menyesuaikan harga, yang pada akhirnya memengaruhi omzet dan kapasitas produksi, hingga mengurangi kebutuhan tenaga kerja, yang dapat berujung pada risiko PHK di berbagai sektor.

    “Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen karena bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang didukung konsumsi rumah tangga,” ungkap Bhima.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai mandat Undang-Undang.

    Kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi pertimbangan utama dalam hal ini, agar APBN dapat tetap responsif terhadap krisis.

    Namun, Sri Mulyani menegaskan, pihaknya akan berhati-hati dan memastikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.

    “UU sudah ada. Kami perlu mempersiapkan agar kebijakan PPN 12 persen dapat diterapkan dengan baik,” pungkasnya.

  • Sri Mulyani Ungkap Modus Tekstil Ilegal Banjiri Indonesia Rp4,6 Triliun

    Sri Mulyani Ungkap Modus Tekstil Ilegal Banjiri Indonesia Rp4,6 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkap modus operandi impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal senilai Rp4,6 triliun yang membanjiri pasar Indonesia. Hal ini seiring dengan penindakan penyelundupan impor TPT ilegal yang bernilai jumbo.

    Menkeu menyampaikan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah melakukan penindakan penyelundupan di bidang kepabeanan dan cukai sebanyak 31.275 kali sepanjang Januari—November 2024. Adapun, total nilainya mencapai Rp6,1 triliun dan potensi kerugian negara Rp3,9 triliun.

    Dari penindakan itu, salah satu barang yang paling banyak diseludupkan adalah impor komoditas dalam bentuk tekstil dan barang-barang produk tekstil sebanyak 12.495 dengan nilai Rp4,6 triliun.

    “Ini [penyelundupan tekstil dan produk tekstil] yang meresahkan banyak masyarakat. Namun juga pada saat yang sama kita lihat banyak yang dijual di masyarakat luas,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers Pengungkapan Hasil Penindakan Kepabeanan dan Cukai 2024, Kamis (14/11/2024).

    Jika dilihat dalam sepekan, sejak 4–11 November 2024, pihaknya telah melakukan penindakan penyelundupan barang di bidang kepabeanan dan cukai sebanyak 283 kali dengan nilai mencapai Rp49 miliar, mulai dari komoditas garmen, tekstil, elektronik, rokok, minuman keras (miras), dan narkotika.

    Sepanjang periode tersebut, potensi kerugian negara mencapai Rp10,3 miliar. Namun, Sri Mulyani menyebut penindakan ini masih dalam proses penyelidikan.

    Lebih jauh, dia menjelaskan, impor tekstil dan produk tekstil ilegal yang bernilai jumbo itu lantaran masukanya barang produksi yang berlebih di negara lain. Namun, dia menegaskan Kemenkeu terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

    “Modusnya adalah ada barang produksi yang berkelebihan di negara lain dan beberapa negara destinasi yang biasanya menjadi pemasaran melakukan tarif yang sangat tinggi, sehingga barang yang berlebihan itu juga salah satunya muntah dalam bentuk illegal activity di Indonesia,” ujarnya.

    Sri Mulyani menambahkan, Kemenkeu bersama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menyelaraskan kebijakan proteksi impor. Sebab, TPT membutuhkan proteksi baik di hulu (tekstil) maupun hilir (garmen atau produk tekstil).

    Menurutnya, jika pemerintah memberlakukan kebijakan proteksi yang tinggi di hulu, maka akan memicu kenaikan biaya bahan baku pada industri garmen di dalam negeri.

    “Kalau kita lepaskan di hulunya, hilirnya senang, hulunya tidak senang,” imbuhnya.

  • PPN 12 Persen: Pedagang Online Berat, Harga Barang Bisa Naik

    PPN 12 Persen: Pedagang Online Berat, Harga Barang Bisa Naik

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mulai tahun depan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Indonesian E-Commerce Associaton (Idea) ikut mengomentari kebijakan tersebut.

    Ketua Umum Idea, Hilmi Adrianto menjelaskan keputusan itu akan berdampak pada ekosistem e-commerce di Indonesia. Kenaikan itu akan berdampak pada daya beli masyarakat dan harga barang serta biaya operasional.

    “Terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kami di Asosiasi E-Commerce Indonesia [idEA] memandang ini sebagai hal penting yang pastinya akan memengaruhi ekosistem e-commerce atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik [PMSE] di Indonesia,” kata Hilmi kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (15/11/2024).

    “Kenaikan PPN ini berpotensi berdampak langsung pada daya beli [baik kemauan maupun kemampuan membeli] konsumen serta harga barang dan biaya operasional bagi pedagang yang berjualan di platform lokapasar [marketplace],” imbuh dia.

    Dia memastikan pihaknya akan mendukung dan mematuhi peraturan yang berlaku. Mereka juga akan berkoordinasi dengan pemerintah dan pihak terkait, memastikan kebijakan itu diimplementasikan dengan baik.

    Termasuk untuk tidak memberikan beban berlebih baik pada konsumen maupun pelaku usaha.

    “Kami berharap dapat berperan sebagai penghubung antara industri dan pemerintah agar dampak kebijakan ini dapat diminimalkan, serta tetap mendukung pertumbuhan PMSE yang aman, nyaman dan inklusif,” jelasnya.

    Pemerintah memastikan tarif PPN 12% akan dilaksanakan pada Januari 2025 mendatang. Tarif baru itu diamanatkan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi soal hal tersebut. Kebijakan itu, dia menjelaskan karena harus menjaga kesehatan APBN.

    “Sudah ada UU-nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. Tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa… bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” ucap Sri Mulyani, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Sri Mulyani juga mengatakan pemerintah akan melakukan penjelasan gamblang soal alasan kebijakan itu. Termasuk dampaknya pada keuangan negara dengan kenaikan PPN menjadi 12%.

    “Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat. Artinya walaupun kita buat policy tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, bahkan makanan pokok waktu itu debatnya panjang di sini,” tegasnya.

    (dem/dem)

  • Menkeu Sri Mulyani Pastikan PPN 12 Persen Tetap Diberlakukan Mulai 1 Januari 2025

    Menkeu Sri Mulyani Pastikan PPN 12 Persen Tetap Diberlakukan Mulai 1 Januari 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan kebutuhan anggaran, kesehatan fiskal negara, serta dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor-sektor kunci.

    Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpajakan, termasuk kenaikan PPN, dibuat dengan memperhatikan sektor-sektor yang sensitif, seperti kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat. 

    “Kebijakan perpajakan, termasuk PPN ini, tidak dibuat dengan membabi buta. Kami mempertimbangkan berbagai sektor, seperti kesehatan dan makanan pokok,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (14/11/2024) dilansir Antara.

    Menkeu juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar siap menghadapi berbagai krisis ekonomi, seperti krisis keuangan global dan pandemi, yang membutuhkan respons fiskal cepat dan efektif.

    Meskipun begitu, Sri Mulyani menyadari kenaikan PPN ini dapat menimbulkan kekhawatiran terkait daya beli masyarakat. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan akan memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat agar kebijakan ini dapat dimengerti dengan baik.

    Peningkatan PPN ini merupakan bagian dari tahapan yang telah dimulai dengan kenaikan menjadi 11%  pada April 2022. UU HPP, yang dirancang di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengamanatkan kenaikan bertahap hingga mencapai 12% pada 2025. Namun, dengan indikasi melemahnya daya beli, sejumlah pihak meminta evaluasi kebijakan ini, menyerahkan keputusan akhir kepada pemerintahan baru untuk menilai keberlanjutannya.

  • DPR Tunggu Penjelasan Sri Mulyani soal Janji Kampanye Prabowo Tax Ratio 23%

    DPR Tunggu Penjelasan Sri Mulyani soal Janji Kampanye Prabowo Tax Ratio 23%

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR menunggu roadmap atau peta jalan peningkatan rasio pajak untuk lima tahun ke depan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengingatkan, salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto merupakan peningkatan rasio pajak hingga 23% terhadap produk domestik bruto (PDB).

    Masalahnya, sambung Dolfie, peningkatan penerimaan pajak sangat tergantung kepada nilai tambah ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan perorangan maupun usaha.

    “Apabila pertumbuhan ekonomi stagnan di 5%, maka tax ratio [rasio pajak] paling hanya berkisar di 10%—11,5% saja. Oleh karena itu, kami ingin tahu strategi pemerintah,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (14/11/2024).

    Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR ini ingin memastikan, apakah pemerintah masih berkomitmen mewujudkan janji kampanye Prabowo terkait peningkatan rasio pajak hingga 23%.

    Sebagai catatan, dalam dokumen visi misi Asta Cita, salah satu dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat Prabowo-Gibran peningkatan rasio penerimaan negara terhadap hingga 23%. Sementara itu, Prabowo sempat menyatakan ingin mengerek rasio pajak menjadi 16% terhadap PDB dengan memperluas wajib pajak.

    Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi XI pada Rabu (13/11/2024), Sri Mulyani sudah berjanji akan menyampaikan program terukur pencapaian tax ratio 2024—2029 kepada parlemen. Hanya saja, dia meminta waktu karena baru bisa memberikan peta jalan tersebut pada kuartal I/2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti memastikan strategi peningkatan rasio pajak selama pemerintahan Prabowo-Gibran sedang dalam pengerjaan.

    “Saat ini roadmap peningkatan tax ratio dalam lima tahun sedang dalam proses penyusunan,” ujar Dwi kepada Bisnis, Kamis (14/11/2024).

    Hanya saja, dia belum bisa memastikan apa saja yang akan termuat dalam roadmap peningkatan tax ratio tersebut.

  • Strategi Oportunistis ala Sri Mulyani untuk Lunasi Utang Jatuh Tempo, Ini Penjelasannya

    Strategi Oportunistis ala Sri Mulyani untuk Lunasi Utang Jatuh Tempo, Ini Penjelasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa pemerintah melakukan strategi oportunistis dalam menerbitkan utang baru untuk melunasi utang jatuh tempo pemerintah.

    Tahun depan, pemerintah harus menghadapi utang jatuh tempo senilai Rp800,33 triliun. Untuk melunasinya, Sri Mulyani telah menyusun strategi pembiayaan.

    Pihaknya akan menentukan jumlah penerbitan utang baru untuk membayar utang jatuh tempo dan ditambah dengan rencana defisit APBN, serta menentukan jumlah yang akan diterbitkan di dalam negeri dan luar negeri. 

    “Strateginya kita sebut opportunistic, kadang kalau kita lihat ‘eh, minggu ini kelihatan bagus’ [kita terbitkan] kita dapat datanya negara ini akan masuk ke market,” ujarnya di DPR, Rabu (13/11/2024). 

    Sri Mulyani menjelaskan, nantinya juga akan ditentukan utang yang akan diterbitkan dalam nilai tukar apa, serta dalam bentuk sukuk ataupun Surat Berharga Negara (SBN).

    Untuk di dalam negeri sendiri, pada dasarnya pemerintah melakukan lelang Surat Berharga Negara setiap dua pekan, bergantian antara Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

    Bendahara negara tersebut menyampaikan bila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap stabil dan kredibel, investor tidak akan mencairkan surat utangnya.

    Sepanjang pantauan Sri Mulyani, banyak investor yang percaya terhadap keuangan Tanah Air dan memilih untuk membeli kembali surat utang yang pemerintah terbitkan. 

    Dalam hal ini, kebanyakan investor yang bersiap mendapatkan pembayaran dari pemerintah, memilih untuk melakukan revolve atau pembelian kembali surat utang baru yang pemerintah terbitkan. 

    “Makanya mereka biasanya menunggu apakah kami akan meng-issue yang baru kemudian mereka revolve saja. Kalau mereka percaya terhadap APBN dan pengelolaan keuangan negara,” tuturnya.

    Kecuali, lanjut Sri Mulyani, terdapat instrumen investasi lain yang menarik dari SUN. Para investor asing tersebut akan mencairkan utang jatuh tempo dan membeli instrumen investasi lainnya.

    Untuk tahun ini saja terdapat utang jatuh tempo sebanyak Rp434,29 triliun, yang terdiri dari Rp371,8 triliun SBN dan Rp62,49 triliun sisanya berasal dari pinjaman.

    Menjelang akhir tahun, Sri Mulyani mengumumkan bahwa pihaknya telah melakukan pembayaran utang jatuh tempo melalui penerbitan utang baru dan banyak investor yang melakukan revolving.

    “Jadi semuanya di-revolving sebenernya. Kita ada erevolve, jadi ada yang baru. Makanya growth issuance kita lebih besar dari deficit financing,” ujarnya. 

  • Sri Mulyani Blak-blakan! Warga RI Punya Uang Tapi Dipakai Judi Online

    Sri Mulyani Blak-blakan! Warga RI Punya Uang Tapi Dipakai Judi Online

    Jakarta, CNBC Indonesia – Transaksi judi online atau judol yang terus meningkat di tanah air beberapa tahun terakhir semakin membuat resah pemerintah. Sebab, menjadi salah satu pemicu tergerusnya daya beli masyarakat untuk melakukan kegiatan konsumsi produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08%, hanya mampu tumbuh 4,91% pada kuartal III-2024, lebih rendah dari laju pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 4,93%.

    Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya mampu tumbuh 4,95%, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 yang sebesar 5,11% maupun kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05%, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).

    “Saya tidak memungkiri ada indikasi-indikasi yang kita harus waspada makanya saya sampaikan kita tetap waspada. Belum lagi faktor munculnya judol yang timbulkan mungkin punya daya beli tapi kesedot untuk aktivitas yang tidak timbulkan konsumsi tapi hilang di judol,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, dikutip Kamis (14/11/2024).

    Meski begitu, pemerintah sebetulnya perlu memahami juga bahwa maraknya aktivitas judi online di Indonesia disinyalir turut dipicu keinginan masyarakat untuk memperoleh pendapatan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup di Indonesia mengingat inflasi bahan pokok sangat tinggi beberapa bulan terakhir melampaui kenaikan gajinya. Hal ini diungkapkan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda.

    “Motif mereka bermain judi online adalah pendapatan mereka terbatas, berkurang, jikapun meningkat, peningkatannya sangat rendah. Sedangkan di sisi lain, kebutuhan hidup tetap tinggi, bahkan meningkat sehingga mereka ini butuh pendanaan guna mencukup kebutuhan hidup mereka,” tegas Huda.

    Salah satu yang juga terus menekan pendapatan masyarakat ia katakan sebetulnya dipicu pula oleh beberapa kebijakan masyarakat. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang telah naik dari 10% ke 11%, dan menjadi 12% pada 2025, lalu harga BBM Pertalite juga telah meningkat harganya 30% pada 2022 sila.

    “Hidup mereka terhimpit oleh kebijakan-kebijakan fiskal kontraktif pemerintah. Mereka akan mencari sumber pendapatan lainnya yang termudah, masuklah mereka ke judi online. Maka kita lihat grafik, ketika pandemi, pemain judi online meningkat tajam, pencarian kata zeus slot meningkat drastis. Saat itu, mereka kekurangan pendapatan,” ucap Nailul Huda.

    Tak heran Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) telah mencatat selama Semester I-2024, angka perputaran transaksi judi online mencapai Rp 174 triliun. Kini, memasuki Semester II-2024 angkanya sudah mencapai Rp 283 triliun.

    Sementara itu, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, judol memang bisa menjadi salah satu pemicu penghambat konsumsi produktif masyarakat sebagaimana yang dikatakan Sri Mulyani. Apalagi, bila melihat transaksi judol yang terus meningkat hingga menjadi ratusan triliun pada 2024.

    “Uang tersebut seharusnya jika tidak digunakan untuk judol bisa digunakan untuk konsumsi produktif atau mungkin ditabung yang nantinya bisa digunakan untuk aktivitas yang sifatnya lebih penting,” ungkap Manilet.

    Tapi, ia juga mengingatkan, menjadi keliru bila melihat aktivitas judi online semata-mata sebagai penyebab berkurangnya daya beli masyarakat, sebab tertekannya daya beli masyarakat di Indonesia saat ini dipicu banyak faktor.

    “Penurunan daya beli sesungguhnya merupakan fenomena multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,” ucapnya.

    Manilet menjelaskan, bila dikaitkan dengan merosotnya daya beli masyarakat, sebetulnya faktor yang berkontribusi di antaranya masih adanya ketimpangan pendapatan di Indonesia, kemudian juga peningkatan upah yang relatif lebih kecil dibandingkan peningkatan inflasi.

    “Dan relatif terbatasnya mereka yang bekerja di sektor-sektor formal sehingga sangat rentan terkena gejolak perekonomian yang mungkin terjadi secara tiba-tiba,” ucap Manilet.

    Hal ini juga didukung dengan data yang menunjukkan pelemahan pendapatan masyarakat, misalnya fenomena banjirnya pemutusan hubungan kerja atau PHK yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

    Kemudian peranan sektor industri terhadap produk domestik bruto atau PDB yang terus mengalami penurunan dan menjadi tanda di industrialisasi dini terjadi di Indonesia. Adapula data masih tingginya angka ketimpangan antara kelompok pendapatan.

    “Jadi saya kira penyebab penurunan daya beli tidak semata-mata hanya karena jodoh online saja,” tegasnya.

    (arj/mij)