Tag: Sri Mulyani Indrawati

  • PPN 12% Berlaku 2025, Ini Dampak Menakutkan yang Terjadi di Mal-Ritel

    PPN 12% Berlaku 2025, Ini Dampak Menakutkan yang Terjadi di Mal-Ritel

    Tangerang, CNBC Indonesia – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan pengusaha, khususnya di sektor ritel dan pusat perbelanjaan. Mereka memproyeksikan kenaikan tersebut tidak hanya memicu lonjakan harga barang, tetapi juga semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

    Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengungkapkan, daya beli masyarakat sudah menunjukkan pelemahan sejak awal tahun 2024. Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN 12% hanya akan memperburuk situasi, di mana dampaknya akan terjadi kenaikan harga produk dan barang dan pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat untuk berbelanja.

    “Dari awal kami meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN ini dari 11% menjadi 12%, karena berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Karena kenaikan PPN ini akan mempengaruhi harga produk, harga barang akan naik,” kata Alphonzus saat ditemui di Hotel Santika ICE BSD Tangerang, Jumat lalu ditulis Minggu (17/11/2024).

    Alphonzus mengingatkan bahwa daya beli masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 57% dari total produk domestik bruto (PDB). Ia mengkhawatirkan penurunan daya beli ini akan menghambat target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

    “Struktur masyarakat Indonesia kan didominasi oleh kelas menengah bawah. Artinya kalau ini terganggu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdampak. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir 57% didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Jadi ini akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal pemerintah punya target 8%,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah juga menyatakan keprihatinannya. Menurut dia, kenaikan PPN akan menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha, terutama dalam hal likuiditas.

    Foto: Pengunjung memilih pakaian yang dijual pada salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (16/7/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
    Pengunjung memilih pakaian yang dijual pada salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (16/7/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

    Budihardjo menilai kenaikan PPN menjadi 12% akan mempengaruhi cash flow pelaku usaha, terutama karena mereka harus membayar pajak di awal meski pembayaran dari konsumen belum diterima sepenuhnya.

    “Artinya, kadang-kadang kita harus setor pajak, sedangkan kita belum terima pembayaran. PPN 12% itu cukup besar. Jadi likuiditasnya terserap ke pajak sih,” kata Budi.

    Selain itu, Budihardjo menyoroti daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih sejak pandemi Covid-19, sehingga kebijakan kenaikan PPN 12% ini dianggap tidak tepat waktu.

    Oleh sebab itu, para pengusaha secara kompak meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini. Jika pemerintah tetap menaikkan PPN jadi 12%, mereka berharap ada insentif atau stimulus yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah, agar dampak negatif dapat diminimalisir.

    “Kalau memang ini harus dilakukan (kenaikan) PPN 12%, penerimaan negara itu dibalikin ke bawah. Diberikan program-program yang menyentuh bawah, sehingga daya belinya naik ke atas,” ucapnya.

    Sejalan untuk meminta penundaan implementasi PPN 12%, Budi berencana menyurati Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk melakukan audiensi.

    “Ya kami kan dari awal mengimbau untuk ditunda PPN 12% karena situasinya sedang tidak tepat dan kami sedang merencanakan untuk PPN ini untuk mengirim surat ke Ibu Menteri (Sri Mulyani) melakukan audiensi,” kata Budi.

    Dia tak menampik ihwal kenaikan PPN 12% telah tercantum dalam Undang-Undang. Namun, menurutnya itu bisa diganti dengan peraturan pengganti undang-undang untuk sementara waktu dari Presiden.

    “Memang ini adalah undang-undang, tapi kan mungkin bisa dibantu dengan PERPU, mungkin peraturan Presiden pengganti undang-undang. Poinnya kami minta ditunda 1-2 tahun atau gimana, sambil lihat situasi itu. Jangan dilakukan dulu di Januari 2025, karena waktu sangat pepet,” pungkasnya.

    (wur)

  • Sri Mulyani Kerek PPN Jadi 12 Persen, Ekonom Cemaskan Nasib Pekerja Gaji UMR

    Sri Mulyani Kerek PPN Jadi 12 Persen, Ekonom Cemaskan Nasib Pekerja Gaji UMR

    Jakarta, Beritasatu.com– Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik  Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% membebani kelas menengah hingga pekerja dengan pendapatan setara upah minimum regional (UMR).

    “Meski bertujuan memperbaiki penerimaan negara, kebijakan ini justru berpotensi menciptakan dampak negatif luas bagi perekonomian. Kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR adalah kelompok paling terdampak,” ungkap Achmad, dikutip dari keterangan resmi, Minggu (17/11/2024).

    Achmad menilai, kenaikan PPN sebesar 1% dari 11% mengerek hampir semua harga barang dan jasa di semua sektor, termasuk harga kebutuhan pokok. Dalam situasi ini, daya beli pekerja dengan gaji UMR akan tergerus. Mereka terpaksa menahan belanja dan mengurangi konsumsi untuk berhemat.

    “Peningkatan biaya hidup akan semakin terasa berat karena pendapatan kelas menengah tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Dalam banyak kasus, gaji UMR bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar,” tulisnya.

    Menurut Achmad, beban kenaikan PPN ini akan menciptakan tekanan psikologis dan ekonomi besar bagi masyarakat.

  • Pasar Mobil Menantang, Harga Mobil Makin Mahal

    Pasar Mobil Menantang, Harga Mobil Makin Mahal

    Jakarta

    Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini bakal berdampak ke pasar otomotif Indonesia, harga jual kendaraan bermotor bakal naik.

    “Ya, pasti menaikkan harga, ya. Tapi kalo soal market mungkin problem-nya musti di Gaikindo ya. Tapi paling tidak (imbas kenaikan PPN) menambah pricing, menambah harga jual ya, pasti dari 11 persen ke 12 persen pasti nambah ya,” kata Chief Marketing dan Sales Officer Astra Credit Companies (ACC) Tan Chian Hok (Ahok) di Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2024).

    Sebagai informasi, pasar mobil Indonesia pada tahun 2024 mengalami penurunan. Gaikindo sudah merevisi target penjualan mereka di tahun 2024 ini, dari awalnya 1,1 juta unit, menjadi sekitar 850 ribu unit.

    Penjualan mobil di Indonesia tengah lesu. Penurunannya pun cukup signifikan. Dalam data penjualan wholesales yang dirilis Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sepanjang Januari hingga September 2024 baru terjual 633.218 unit atau turun 16,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023.

    “Kalau daya beli, kita bicara ekonomi mikro dan makro ya, itu kan tergantung kucuran dari dana pemerintah ya. Mestinya sih ya kita optimis lah daya beli akan meningkat, karena tahun politiknya kan udah lewat,” kata Ahok.

    “Memang market-nya lebih challenge ya, pilihan mobil dan sebagainya lebih challenge. Kemudian, kita tahu sepanjang tahun dari awal tahun kan ada banyak kegiatan-kegiatan pemilu lah, pilkada, dan sebagainya. Tapi mungkin mestinya kita sih optimis aja, tahun 2025 akan comeback lah,” tambahnya lagi.

    Diberitakan detikcom sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut aturan itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    “Jadi kami di sini sudah membahas bersama bapak ibu sekalian (DPR), sudah ada UU-nya, kami perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kami tetap bisa,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (13/11/2024)

    Sri Mulyani menyebut penerapan PPN 12 persen mulai 2025 itu sudah melalui pembahasan yang panjang dengan DPR RI. Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, salah satunya terkait kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatan-nya, Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons seperti saat episode global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (COVID-19) itu kami gunakan APBN,” ucapnya.

    Di tengah perdebatan terkait kenaikan PPN 12 persen, Sri Mulyani mengingatkan bahwa banyak keringanan atau pembebasan pajak yang diberikan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak tertekan.

    “Sebetulnya ada loh dan memang banyak, kalau kita hitung, nanti teman-teman pajak yang hitung, banyak sekali bisa sampaikan detail tentang fasilitas untuk dinolkan atau dibebaskan, atau mendapatkan tarif lebih rendah 5 persen, 7 persen itu ada dalam aturan tersebut,” jelasnya.

    (riar/lua)

  • Boikot Tarif PPN 12%, Warganet Usul Kurangi Belanja di Minimarket

    Boikot Tarif PPN 12%, Warganet Usul Kurangi Belanja di Minimarket

    Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat ramai-ramai mengajak untuk memboikot kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% tahun depan dengan mengurangi belanja.

    Seruan boikot ini setidaknya ramai di media sosial X (dulu Twitter). Salah satu netizen pun mengajak netizen lainnya untuk hemat belanja minimal untuk satu tahun saja.

    Netizen lain pun mengamini saran itu. Netizen mengajak untuk cermat dalam belanja dan mengajak berbelanja di warung tetangga saja alih-alih di minimarket demi menghindari PPN.

    Menanggapi protes netizen tersebut, Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengaku tak heran. Namun, dia berpendapat boikot PPN 12% dengan tidak berbelanja malah merugikan banyak pihak, bukan pemerintah saja.

    Fajry mengatakan jika masyarakat memboikot kebijakan PPN dengan tidak berbelanja bisa menjadi senjata makan tuan. Sebab, hal itu bisa merugikan pelaku usaha.

    Di sisi lain, pelaku usaha tersebut mempekerjakan banyak orang. Alhasil, jika pendapatan usaha berkurang, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan pun tak terhindarkan.

    “Kalau menahan konsumsi, yang kena pelaku usaha juga. Padahal, pelaku usaha ini mempekerjakan pegawai,” jelas Fajry kepada Bisnis dikutip Minggu (17/11/2024).

    Fajry pun mengatakan masyarakat memang berhak untuk protes terhadap kebijakan pemerintah. Namun, dia mengingatkan agar protes dengan cara yang benar dan tak merugikan masyarakat itu sendiri.

    Menurutnya, salah satu protes yang bisa dilakukan dengan kampanye di media sosial atau turun ke jalan.

    “Jangan merugikan kita juga, bisa cara lain, bisa protes di sosial media atau bahkan turun ke jalan,” katanya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai boikot kebijakan PPN 12% dengan mengurangi belanja tak akan berpengaruh banyak untuk pemerintah.

    Dia menjelaskan objek PPN itu tidak sekadar dari konsumsi dalam negeri. Transaksi impor juga merupakan objek PPN.

    Adapun pada pos penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dua jenis objek PPN di atas berkontribusi cukup signifikan. Prianto mencapat kontribusi PPN dalam negeri sepanjang 2024 mencapai 24,6%. Sementara, kontribusi PPN impor untuk periode yang sama mencapai 14,7%.

    Prianto mengatakan jika masyarakat mengurangi konsumsi tidak terlalu berpengaruh. Sebab, tidak semua konsumsi masyarakat merupakan objek PPN yang harus dipungut PPN-nya. 

    Dia mengingatkan sebagian konsumsi masyarakat merupakan objek bebas PPN.

    “Dengan demikian, dampak masyarakat mengurangi konsumsi sehari-hari sepertinya kurang berdampak,” kata Prianto.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah berencana merealisasikan kenaikan PPN sebagai amanat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Sebagai pengingat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 7/2021 menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% atau dari 11% menjadi 12% pada 2025. Aturan ini sebelumnya juga menjadi dasar kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu. 

    “Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan [kenaikan PPN pada 2025 jadi 12%], tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujar Sri Mulyani dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

  • Pasien Mengeluh Tak Dibolehkan Pakai Ambulans Puskesmas, Akhirnya Masih di Ranjang Didorong Keluar

    Pasien Mengeluh Tak Dibolehkan Pakai Ambulans Puskesmas, Akhirnya Masih di Ranjang Didorong Keluar

    TRIBUNJATIM.COM – Sebuah video tersebar di sosial media dan grup perpesanan Whatsapp (WA) pada Kamis (14/11/2024).

    Dalam video viral tersebut dinarasikan pasien tak diperbolehkan memakai mobil ambulans Puskesmas.

    Terlihat pasien yang tergolek di ranjang didorong oleh keluarga keluar dari Puskesmas. 

    Video yang tersebar ini berdurasi 23 detik.

    Saat diperhatikan, diketahui lokasi tersebut berada di Puskesmas Kemalang.

    Setelah pasien dibawa keluar, terdapat satu mobil bak terbuka Colt L300.

    Mobil tersebut sudah terparkir tepat di depan pintu masuk.

    “Iki nang Puskesmas Kemalang. Rujukan ra oleh, nyilih fasilitas ambulans yo ra oleh. Akhire digowo L sapek.

    (Ini di Puskesmas Kemalang. Rujukan tidak dapat, meminjam fasilitas ambulans juga tidak boleh. Akhirnya dibawa menggunakan pikap),” ujar perekam video.

    Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Klaten, Anggit Budiarto, membenarkan adanya video tersebut.

    “Saya mendapat kabar, hari Kamis jam 16.00 sore,” ujar Anggit.

    Informasi yang ia dapat dari Kepala Puskesmas, hal itu lantaran tidak adanya rujukan yang dikeluarkan oleh Puskesmas.

    “Jadi itu pasien yang periksa di sana. Menurut medis dan paramedis di IGD, itu bisa dirawat di Puskesmas,” jelasnya.

    “Namun keluarga minta dirujuk ke rumah sakit,” tambahnya.

    Video viral keluarga pasien keluhkan tak dapat pakai ambulans Puskesmas di Klaten (Istimewa)

    Kendati begitu, pihak Puskesmas tak mengeluarkan rujukan.

    Lantaran sakit si pasien masih bisa dirawat di sana.

    “Intinya, kalau Puskesmas tidak merujukkan tidak (bisa) memakai ambulans (Puskesmas).”

    “Kalau secara aturan tidak bisa, karena bukan proses rujukan,” ujar Anggit, melansir Tribun Solo.

    Informasi yang ia terima bahwa pihak Puskesmas Kemalang mengatakan, kasus tersebut sebenarnya bisa ditangani di Puskesmas.

    “Menurut dokter periksa itu bisa ditangani di Puskesmas, dan kalau mau rawat jalan atau rawat inap di Puskesmas bisa,” paparnya.

    Kendati demikian, keluarga pasien meminta agar pasien dirawat di rumah sakit.

    Hal ini membuat status pasien tersebut menjadi pulang dari Puskesmas.

    Anggit juga mengatakan, pihaknya telah melakukan klarifikasi oleh pihak Puskesmas dan pasien tersebut.

    “Ini hanya miss komunikasi, setelah Kepala Puskesmas mendatangi keluarga pasien di rumah sakit. Semua baik-baik saja,” ujar Anggit.

    Sang pasien sendiri saat ini sudah dirawat di rumah sakit Soeradji Tirtonegoro.

    Kondisi pasien juga sudah membaik.

    Anggit mengatakan, pihak Puskesmas lalu menghubungi dokter periksa dan membuat rujukan manual untuk disusulkan.

    “Apa yang dikehendaki keluarga akhirnya terjadi di situ, walaupun menurut pemeriksaan, masih sanggup di Puskesmas,” kata Anggit.

    Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Klaten, Anggit Budiarto (TRIBUNSOLO.COM/IBNU DWI TAMTOMO)

    Bupati Klaten, Sri Mulyani, turut memberikan respons terkait beredarnya video pasien yang ditolak Puskesmas untuk memakai ambulans.

    “Saya belum ada laporan secara teknis (detail) dari OPD terkait, akan saya cek,” ujar Sri Mulyani pada Jumat (15/11/2024).

    Namun demikian, ia memberikan respons terkait hal tersebut.

    “Kalau ambulans (Puskesmas) dipinjam oleh masyarakat apa ya boleh? Ambulans tugas kami pemerintah kita yang membawa, bukan dipinjam,” ucapnya.

    “Kecuali ambulans, yang tentunya punya relawan,” tambahnya.

    Sri Mulyani memaparkan, bila ambulans Puskesmas yang ia ketahui untuk operasional dilakukan oleh petugas terkait.

    “Kalau setahu saya SOP nya pasti dari Puskesmas, SOP nya itu setiap ambulans jalan mengambil kedaruratan.”

    “Itu harus ada driver dan tenaga medisnya,” kata Sri Mulyani.

    Lantas bagaimana aturan dalam menggunakan ambulans Puskesmas?

    Ambulans adalah layanan transportasi yang disediakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan Puskesmas.

    Mengutip Kompas.com, Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah mengatakan, layanan ambulans menjadi salah satu manfaat yang bisa diakses oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.

    Adapun manfaat pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan di antaranya pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, pelayanan gawat darurat, serta pelayanan ambulans darat dan air.

    Dengan demikian, layanan ambulans masuk ke dalam daftar manfaat yang didapatkan peserta BPJS Kesehatan.

    “Pelayanan ambulans diberikan untuk pasien rujukan dengan kondisi tertentu dari fasilitas kesehatan (faskes) ke faskes,” kata Rizzky, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/7/2024).

    Keluarga pasien keluhkan tak dapat pakai ambulans Puskesmas di Klaten (Istimewa)

    Namun layanan ambulans yang ditanggung BPJS Kesehatan tidak bisa diakses sembarangan.

    Terdapat beberapa ketentuan agar layanan ambulans bisa ditanggung BPJS Kesehatan.

    Lebih lanjut, Rizzky menjelaskan, layanan ambulans diberikan untuk menjaga kestabilan kondisi pasien dan kepentingan keselamatan pasien.

    Pelayanan ambulans yang ditanggung BPJS Kesehatan meliputi pelayanan ambulans darat dan ambulans air untuk rujukan pada:

    Dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) satu ke FKTP lain
    Dari FKTP ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
    Dari FKRTL satu ke FKRTL lain

    Di luar itu, layanan ambulans tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

  • PPN Naik jadi 12% Tahun Depan, Siapa Paling Dirugikan?

    PPN Naik jadi 12% Tahun Depan, Siapa Paling Dirugikan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan dampak kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 2025 terhadap pengeluaran belanja masyarakat.

    Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook 2025’, LPEM FEB UI menyebut kenaikan PPN berpotensi menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin.

    Laporan itu menyatakan, antara 2013 hingga 2019, dengan tarif PPN sebesar 10%, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga termiskin adalah sekitar 3,93%. Sedangkan, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga kaya mencapai 5,04%.

    Adapun setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, terjadi progresivitas beban PPN di seluruh rumah tangga.

    “Dari tahun 2022 hingga 2023, rata-rata beban PPN untuk 20% kelompok termiskin adalah 4,79%, sedangkan untuk 20% kelompok terkaya adalah 5,64%,” demikian bunyi laporan LPEM FEB UI dikutip pada Sabtu (16/11/2024).

    LPEM FEB UI menyebut, kenaikan tarif PPN pada 2022 dari 10% menjadi 11% memberikan dampak yang cukup regresif.

    Lihat saja, kenaikan tarif PPN menyebabkan peningkatan beban belanja sekitar 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sedangkan 20% rumah tangga terkaya naik yang lebih kecil, yaitu 0,71 poin persentase.

    Berdasarkan laporan LPEM FEB UI di atas kenaikan PPN pun berpotensi menambah beban belanja rumah tangga miskin.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah berencana merealisasikan kenaikan PPN sebagai amanat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    Sebagai pengingat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 7/2021 menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% atau dari 11% menjadi 12% pada 2025. Aturan ini sebelumnya juga menjadi dasar kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu.

    “Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan [kenaikan PPN pada 2025 jadi 12%], tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujar Sri Mulyani dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

  • 20 Barang dan Jasa yang Tidak Terdampak Kenaikan PPN 12 Persen Tahun 2025, Sembako Termasuk

    20 Barang dan Jasa yang Tidak Terdampak Kenaikan PPN 12 Persen Tahun 2025, Sembako Termasuk

    TRIBUNJAKARTA.COM – Berikut adalah 20 daftar barang dan jasa yang tidak akan terdampak kenaikan PPN 12 persen pada tahun 2025. Apa saja?

    Pemerintah berencana menaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025.  Hal ini tentu akan berdampak pada harga sejumlah barang dan jasa.

    Namun, sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terdapat sejumlah barang dan jasa yang tidak terkena PPN, di antaranya yang berada di sektor barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi.

    “Jadi banyak masyarakat yang menganggap semua barang jasa kena PPN, tapi sebenarnya UU HPP sangat menjelaskan, barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, transportasi, itu tidak kena PPN,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    Lantas, barang dan jasa yang tidak kena PPN?

    Barang dan Jasa yang Tidak Terdampak Kenaikan PPN 12 Persen

    Berikut rincian barang dan jasa yang tidak kena PPN berdasarkan PMK No.116/PMK.010/2017

    Ilustrasi sembako – (SHUTTERSTOCK/YOGASITAMAS via Kompas.com)

    Rincian barang kebutuhan pokok yang tidak kena PPN:

    1. Beras dan Gabah. Kategori yang masuk ialah yang berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling seluruhnya, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai.

    2. Kategori yang masuk ialah yang telah dikupas ataupun belum, termasuk pecah, menir, pipilan, tidak termasuk bibit.

    Kategori sagu tidak kena PPN ialah empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk dan tepung kasar.

    3. Kriteria kedelai yang utuh dan pecah, selain benih serta berkulit.

    4. Garam konsumsi. Dengan kriteria garam beryodium ataupun tidak, termasuk juga garam meja dan garam didenaturasi untuk konsumsi/kebutuhan pokok.

    5. Dapat berupa daging segar dari hewan ternak dengan atau tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.

    6. Dengan kategori telur tidak diolah, telur diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit.

    7. Kriteria susu sebagai barang tidak kena PPN ialah susu perah yang telah melalui proses dipanaskan atau didinginkan serta tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya.

    8. Buah-buahan. Buah-buahan segar yang dipetik dan melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, dipotong, diiris, degrading, selain dikeringkan.

    9. Sayur-sayuran. Kategori ini adalah sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dibekukan, atau dicacah.

    10. Ubi-ubian. Kategori ubi segar, baik melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, diiris, dipotong, ataupun degrading.

    11. Bumbu-bumbuan. Kategori bumbu-bumbuan segar, dikeringkan dan tidak dihancurkan atau ditumbuk.

    12. Gula konsumsi. Tidak dikenakan PPN dengan kriteria gula kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan pewarna atau perasa.

    Lebih lanjut, mengenai barang dan jasa yang tidak terkena PPN disebutkan dalam Pasal 4A dan 16B UU HPP, dijabarkan sebagai berikut:

    1. Makanan dan minuman yang tersaji di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat atau tidak, makanan dan minuman yang diserahkan pada usaha catering atau jasa boga, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    2. Uang, emas Batangan yang digunakan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga.

    Kemudian dalam Pasal 4A ayat 3, turut dijelaskan jenis jasa yang tak terkena Pajak Pertambahan Nilai. Kelompok jasa tersebut ialah sebagai berikut:

    1. Jasa keagamaan

    2. Jasa perhotelan, yaitu jasa penyewaan kamar atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    3. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi jenis jasa yang dilakukan pekerja seni dan hiburan yang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    4. Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    5. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    6. Jasa boga atau katering, yaitu semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Video: Pajak Underground Economy, Real Atau Gimmick?

    Video: Pajak Underground Economy, Real Atau Gimmick?

    Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengejar pajak dari ekonomi bawah tanah atau underground economy untuk menaikkan pemasukan negara.

    Namun, sejumlah anggota Komisi XI DPR RI mencecar Sri Mulyani dan jajarannya mengenai potensi pajak dari ekonomi bawah tanah ini, lantas seperti apa pajak underground economy untuk pendapatan di Indonesia ke depannya? Simak paparan Savira Wardoyo, selengkapnya dalam program Power Lunch CNBC Indonesia (Jumat, 15/11/2024) berikut ini.

  • Kenaikan PPN 12% Bisa Picu Naiknya Harga Barang, Daya Beli Akan Lesu

    Kenaikan PPN 12% Bisa Picu Naiknya Harga Barang, Daya Beli Akan Lesu

    Jakarta, Beritasatu.com – Kenaikan PPN 12% Bisa Picu Naiknya Harga Barang, Daya Beli Akan Lesu – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meminta pemerintah menunda menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, karena bisa berdampak pada naiknya harga barang dan memengaruhi daya beli masyarakat. Efeknya pertumbuhan ekonomi bakal terhambat. 

    “Karena kenaikan PPN ini akan memengaruhi harga produk, harga barang akan naik, dan tentunya ini akan memengaruhi daya beli masyarakat khususnya kelas menengah bawah,” kata Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja dalam konferensi pers di ICE BSD, Tangerang, Jumat (15/11/2024).

    Menurutnya jika kenaikan PPN 12 persen tetap dipaksakan, maka dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan pemerintah sebesar 8%. 

    Pasalnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga masyarakat yang mencapai 50% lebih. “Kalau konsumsi terganggu, terganggu juga pertumbuhan ekonomi,” ujar Alphonzus. 

    Dia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum maksimal, sehingga apabila PPN tetap dipaksa naik 12%, maka target pertumbuhannya semakin tertekan. 

    Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Menurutnya ini sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021. 

    Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan kebutuhan anggaran, kesehatan fiskal negara, serta dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor-sektor kunci.

    Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpajakan, termasuk kenaikan PPN, dibuat dengan memperhatikan sektor-sektor yang sensitif, seperti kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat.

    “Kebijakan perpajakan, termasuk PPN ini, tidak dibuat dengan membabi buta. Kami mempertimbangkan berbagai sektor, seperti kesehatan dan makanan pokok,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (14/11/2024) dilansir dari Antara.

    Sri Mulyani mengatakan kenaikan PPN 12 persen harus dilakukan untuk menjaga kesehatan APBN dan mengantisipasi ancaman krisis. 

     

  • Penerapan PPN 12 Persen Bisa Tekan Daya Beli Masyarakat

    Penerapan PPN 12 Persen Bisa Tekan Daya Beli Masyarakat

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih mendukung daya beli masyarakat. Hal itu disampaikan untuk merespons rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 yang dinilai bisa melemahkan daya beli.

    “Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat, bukan malah menekan daya beli,” kata Nailul Huda, dilansir dari Antara, Jumat (15/11/2024).

    Ia menilai rencana menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan langkah yang kurang tepat, mengingat daya beli masyarakat masih berada dalam kondisi rentan.

    Menurutnya, penerapan tarif PPN 12 persen berpotensi menekan pendapatan masyarakat yang dapat digunakan untuk konsumsi (disposable income). Hal ini dianggap bertentangan dengan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi.

    Huda berharap pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan menaikkan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan. Ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi untuk kelas menengah sebagai solusi.

    Apabila kebijakan ini diterapkan, menurutnya konsumsi rumah tangga akan rentan terganggu. Dalam jangka pendek juga dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi makro.

    Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai amanat Undang-Undang (UU).

    Salah satu alasan utama kenaikan ini adalah untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tetap mampu merespons berbagai krisis.