Tag: Sri Mulyani Indrawati

  • PPN Naik 12% Tahun Depan, Menteri PU Sebut Bangun Infrastruktur Tambah Mahal

    PPN Naik 12% Tahun Depan, Menteri PU Sebut Bangun Infrastruktur Tambah Mahal

    Jakarta

    Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyatakan wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 2025 bakal berpengaruh kepada biaya konstruksi pembangunan proyek infrastruktur. Penggunaan anggaran infrastruktur terindikasi bakal membengkak.

    “Ya pasti akan berefek, pasti akan ada eskalasi harga dan seterusnya, tapi itu nanti lah, belum itu belum. Kan kita harus bicara dengan para stakeholder terkait ya,” kata Dody kepada wartawan di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Senin (18/11/2024).

    Meski begitu, Dody menilai kenaikan masih dalam taraf wajar. Oleh karena itu, kalaupun ada pembengkakan anggaran akan disiasati dengan melakukan sejumlah relokasi anggaran.

    “Tinggal merelokasi anggaran kanan kiri saja. Oh iya pasti ada (relokasi anggaran), kan itu anggaran 2025 kan sudah diketok 2024, tapi kan fokusnya mungkin sedikit berubah karena kan sekarang lebih kepada bagaimana anggaran 2025 ini bisa menjadi cikal bakal mensukseskan Asta Cita pak Presiden Prabowo yang fokus utamanya adalah ketahanan pangan dan energi, itu saja,” ujarnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 sudah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    “Jadi kami di sini sudah membahas bersama bapak ibu sekalian (DPR), sudah ada UU-nya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (13/11).

    Sri Mulyani menyebut penerapan PPN 12% mulai 2025 sudah melalui pembahasan yang panjang dengan DPR RI. Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, salah satunya terkait kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya, namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons seperti saat episode global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (COVID-19) itu kita gunakan APBN,” ucap Sri Mulyani.

    Tonton Video: Apakah PPN 12% Akan Berpengaruh Besar Pada Ekonomi Indonesia?

    (acd/acd)

  • Berlaku Mulai 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena Kenaikan PPN 12 Persen

    Berlaku Mulai 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena Kenaikan PPN 12 Persen

    TRIBUNJAKARTA.COM – Berlaku mulai 1 Januari 2025, ketahui daftar barang dan jasa yang terdampak dan tidak terdampak kenaikan PPN 12 persen.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani mengumumkan akan menerapkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Informasi ini disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Menkeu mengatakan, kenikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)

    “Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” tutur Sri Mulyani.

    Dia menambahkan, kenaikan tarif PPN diperlukan salah satunya untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Sebagai informasi, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. 

    Namun, ada barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan tarif PPN.

    Lalu, apa saja barang dan jasa yang terdampak serta bebas dari PPN 12 persen?

    Barang dan Jasa yang Tidak Kena PPN 12 Persen

    Pemerintah telah menetapkan sejumlah barang dan jasa yang tidak kena PPN dalam beberapa peraturan perundang-undangan, berikut rinciannya:

    Barang yang tidak kena PPN 12 persen

    Ilustrasi Pajak (WartaKota)

    Dalam UU HPP Pasal 4A dan 16B, disebutkan barang yang tidak kena PPN, antara lain:

    Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
    -Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

    Selain itu, barang yang tidak kena PPN juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK/010/2017, berikut rinciannya:

    Beras dan gabah berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling semua, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai
    Jagung dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit
    Sagu berupa empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk dan tepung kasar
    Kedelai berkulit, utuh dan pecah, selain benih
    Garam konsumsi beryodium atau tidak, termasuk garam meja dan garam didenaturasi untuk konsumsi atau kebutuhan pokok
    Daging segar dari hewan ternak dan unggas dengan/tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain
    Telur tidak diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit
    Susu perah yang melalui proses dipanaskan atau didinginkan serta tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya
    Buah-buahan segar yang dipetik dan melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, dipotong, diiris, digrading, selain dikeringkan
    Sayur-sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dibekukan, disimpan dalam suhu rendah, atau dicacah
    Ubi-ubian segar, melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, diiris, dipotong, atau digrading
    Bumbu-bumbuan segar, dikeringkan, dan tidak dihancurkan atau ditumbuk
    -Gula konsumsi kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan pewarna atau perasa.

    Jasa yang tidak kena PPN 12 persen

    Kemudian, daftar jasa yang tidak kena PPN 12 persen diatur dalam UU HPP Pasal 4A ayat 3 dan Pasal 16B ayat 1a huruf j, berikut rinciannya:

    Jasa keagamaan
    Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
    Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
    Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain
    Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
    Jasa boga atau katering, meliputi semua aktivitas pelayanan penyediaan makanan dan minuman, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
    Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
    Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN)
    Jasa pelayanan sosial
    Jasa keuangan
    Jasa asuransi
    Jasa pendidikan
    Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri
    -Jasa tenaga kerja.

    Barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen

    Objek yang dikenakan pajak PPN diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, berikut daftarnya:

    Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
    Impor BKP
    Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
    Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
    Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
    Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
    Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP
    Ekspor JKP oleh PKP.

    Masih mengacu pada UU PPN, BKP dikategorikan menjadi dua, yaitu BKP berwujud dan BKP tidak berwujud.

    Barang kena pajak berwujud

    Barang berwujud adalah jenis barang yang memiliki bentuk fisik, seperti barang elektronik, pakaian dan barang fashion lainnya, tanah, bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan kemasan, dan kendaraan.

    Barang kena pajak tidak berwujud

    Barang kena pajak tidak berwujud mengacu pada barang yang memiliki hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana perusahaan, formula rahasia atau merek dagang.

    Selain itu, juga meliputi pengunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah. Kemudian, pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Sri Mulyani Tahan Anggaran Infrastruktur dan Stop Sementara Semua Proyek Baru

    Sri Mulyani Tahan Anggaran Infrastruktur dan Stop Sementara Semua Proyek Baru

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menahan seluruh anggaran infrastruktur untuk proyek pembangunan pemerintah. Hal itu dilakukan berdasarkan arahan Presiden Prabowo Subianto.  

    Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan hal tersebut seusai rapat bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Rachmat Pambudy.

    “Semua dana infrastruktur sementara ditahan dahulu oleh menteri keuangan sesuai dengan arahan Pak Presiden Prabowo,” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian PPN/Bappenas, Senin (18/11/2024).

    Dampak dari penahanan anggaran tersebut, menurut Dody, pemerintah terpaksa memberhentikan sementara berbagai proyek pembangunan fisik berskala besar.

    “Dalam beberapa kali kesempatan saya sampaikan, pembangunan pembangunan fisik yang besar seperti pembangunan bendungan dan lain-lain itu kita stop dahulu sementara waktu,” katanya.

    Langkah ini ditempuh demi mewujudkan program unggulan pemerintahan Prabowo, yakni swasembada pangan, energi, dan air, di tengah keterbatasan anggaran negara.

    “Jadi dengan keterbatasan anggaran hari ini, ya itu saja yang lebih kita optimalkan untuk bisa menyukseskan asta cita Pak Prabowo di bidang ketahanan pangan, energi, dan air,” ujarnya.

    Anggaran untuk berbagai proyek infrastruktur ini akan ditahan sampai anggaran kembali tersedia untuk mendanai pembangunan. Menteri-menteri Kabinet Merah Putih akan menggelar rapat membahas hal ini.

    “Antarmenteri duduk bersama-sama dikepalai oleh kepala Bappenas. Kalau tanpa kepala Bappenas kita enggak bisa ngapa-ngapain. Nanti yang merencanakan beliau. Setelah itu keputusannya bulat dan utuh mau ke mana arahnya,” pungkasnya.

  • PPN 12% Berlaku 2025, Harga Barang di Mal Bakal Makin Mahal!

    PPN 12% Berlaku 2025, Harga Barang di Mal Bakal Makin Mahal!

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) ungkap dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% terhadap harga produk di pusat perbelanjaan. Pemerintah diharapkan dapat menunda kebijakan tersebut.

    Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menyampaikan, naiknya tarif PPN menjadi 12% tahun depan akan mengakibatkan harga produk di pusat-pusat perbelanjaan ikut terkerek.

    “Ini akan memberatkan masyarakat terutama untuk kelas menengah bawah yang saat ini masih mengalami kesulitan dalam hal daya beli,” kata Alphonzus kepada Bisnis, Senin (18/11/2024).

    Menurutnya, tarif PPN yang berlaku saat ini termasuk dalam kategori yang tidak rendah, jika dibanding dengan tarif yang berlaku di beberapa negara tetangga. Oleh karena itu, dia melihat tidak ada alasan mendesak untuk mengerek tarif PPN tahun depan.

    Di sisi lain, jika pemerintah perlu mengerek penerimaan negara, Alphonzus mengusulkan agar pemerintah sebaiknya meningkatkan pertumbuhan usaha secara maksimal terlebih dahulu. Pasalnya, saat ini masih banyak potensi pertumbuhan yang belum diupayakan secara maksimal.

    “Kenaikan tarif bisa dilakukan setelah pertumbuhan usaha mencapai tingkat yang optimal,” ujarnya.

    Meskipun pemerintah tetap bersikeras untuk memberlakukan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, dia meminta agar dibarengi dengan berbagai stimulus untuk masyarakat. Tujuannya, agar daya beli masyarakat kelas menengah bawah tidak semakin terpuruk.

    Dia khawatir, pertumbuhan sektor ritel tahun depan hanya single digit saja, jika penerapan PPN 12% tidak diiringi dengan adanya stimulus bagi masyarakat kelas menengah bawah.

    “Tanpa adanya stimulus maka pertumbuhan sektor ritel pada tahun depan diperkirakan hanya single digit saja atau dengan kata lain tidak akan lebih dari 10%,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal bahwa penerapan PPN 12% tahun depan tidak akan ditunda. Pasalnya, Undang-undang (UU) No.7/2021 telah mengamanatkan bahwa PPN harus naik sebesar 1%, dari 11% menjadi 12%, pada 1 Januari 2025.

    “Kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (13/11/2024).

    Kendati begitu, Bendahara Negara memastikan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% tidak terjadi pada semua barang dan jasa. Kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi merupakan barang/jasa yang termasuk ke daftar PPN dibebaskan.

  • Pemerintah Diminta Berikan Kredit, Beasiswa, hingga Insentif untuk Kurangi Dampak Kenaikan PPN 12 Persen

    Pemerintah Diminta Berikan Kredit, Beasiswa, hingga Insentif untuk Kurangi Dampak Kenaikan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyarankan, pemberian subsidi bunga kredit perbankan, beasiswa pendidikan, serta insentif usaha untuk mengurangi dampak kebijakan PPN 12% terhadap masyarakat.

    Menurutnya, insentif ini penting untuk mendorong pertumbuhan usaha sangat penting guna menghindari risiko kontraksi ekonomi.

    “Agar perekonomian tetap tumbuh dan tidak mengalami kontraksi, diperlukan insentif untuk mendorong pembukaan usaha baru,” kata Esther dikutip dari Antara, Senin (18/11/2024).

    Ia menjelaskan, ada tiga langkah yang dapat diambil pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan tarif PPN. Pertama, memberikan subsidi bunga kredit di perbankan. Kedua, menyediakan subsidi atau beasiswa pendidikan. Ketiga, meningkatkan peluang bagi masyarakat untuk memulai usaha.

    “Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif yang mendukung pendirian usaha baru,” tambahnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengonfirmasi bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 sesuai amanat undang-undang.

    Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sekaligus memastikan APBN mampu merespons situasi krisis.

    Namun, Kementerian Keuangan berkomitmen untuk menerapkan kebijakan tersebut secara hati-hati dan menyampaikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat.

    “UU-nya sudah ada, jadi kami harus mempersiapkan agar kebijakan ini dapat dijalankan dengan baik, termasuk memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat,” pungkas Sri Mulyani.

  • Pemerintah Harus Jamin Penerimaan Negara dari Kenaikan PPN 12 Persen Kembali ke Rakyat

    Pemerintah Harus Jamin Penerimaan Negara dari Kenaikan PPN 12 Persen Kembali ke Rakyat

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan, pemerintah perlu memastikan tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN menjadi 12% digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

    “Kenaikan tarif PPN menjadi 12% dipastikan akan memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa penerimaan tambahan ini dialokasikan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, baik dalam bentuk layanan publik maupun program jaminan sosial,” ujar Fajry dikutip dari Antara, Senin (18/11/2024).

    Ia menekankan pentingnya memberikan manfaat lebih kepada masyarakat menengah ke bawah setelah penerapan tarif PPN baru ini.

    Sebagai ilustrasi, jika masyarakat kelas menengah ke bawah menyumbang pajak sebesar Rp 200, pemerintah sebaiknya mengembalikan manfaat senilai Rp 250 kepada kelompok ini.

    “Dengan begitu, masyarakat kelas menengah ke bawah bisa merasakan kondisi yang lebih baik,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengonfirmasi bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 sesuai amanat undang-undang.

    Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sekaligus memastikan APBN mampu merespons situasi krisis.

    Namun, Kementerian Keuangan berkomitmen untuk menerapkan kebijakan tersebut secara hati-hati dan menyampaikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat.

    “UU-nya sudah ada, jadi kami harus mempersiapkan agar kebijakan  PPN 12% ini dapat dijalankan dengan baik, termasuk memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat,” pungkas Sri Mulyani.
     

  • Pengusaha Ritel Respons Langkah Pemerintah Naikkan Tarif PPN 12 Persen

    Pengusaha Ritel Respons Langkah Pemerintah Naikkan Tarif PPN 12 Persen

    Tangerang, Beritasatu.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menanggapi rencana pemerintah terkait kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 mendatang.

    Menurut Solihin, Aprindo mendukung kebijakan pemerintah. Namun, diharapkan ada kajian kembali soal tarif kenaikan PPN yang menjadi 12%.

    “Kita mendukung, tetapi yang saya bilang tadi, jangan hanya melihat 1% ya, karena dari 11% menjadi 12% (artinya) persentasenya 1/11%,” ujar Solihin di Tangerang, Minggu (17/11/2024).

    Solihin tidak menyampaikan secara tegas apakah Aprindo sendiri keberatan atau tidak soal kenaikan PPN. Namun, Aprindo memohon dikaji kembali. 

    “Memohon sih boleh saja,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai dengan mandat Undang-Undang.

    Namun, ia menegaskan bahwa Kementerian Keuangan akan melaksanakan kebijakan ini dengan hati-hati dan memberikan sosialisasi yang jelas kepada masyarakat.

    “Undang-Undangnya sudah ada. Kami perlu mempersiapkan agar kebijakan kenaikan tarif PPN 12% ini dapat dijalankan dengan baik, disertai penjelasan yang memadai,” tandas Sri Mulyani.

  • Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto bisa membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

    Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1%—dari 11% menjadi 12%—sendiri sudah diamanatkan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Dengan alasan amanat UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut meski banyak pihak yang mentangnya.

    “Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Kendati demikian, notabenenya UU HPP juga menambahkan klausul yang memungkinkan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif PPN 12% pada awal 2025 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

    Caranya dijelaskan dalam Pasal 4 UU HPP:

    Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Artinya, PPN 12% bisa dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Prabowo sesudah disampaikan ke DPR agar disepakati dalam penyusunan RAPBN.

    Lagi pula, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa penyusunan target penerimaan pajak tahun depan seperti yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025 masih berdasarkan PPN 11%.

    “Rp2.490 triliun pendapatan negara [pajak + kepabeanan dan cukai], di antaranya itu tidak termasuk PPN 12%,” ucap Said usai Rapat Paripurna DPR, Kamis (19/9/2024).

    Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo tidak menampik bahwa pemerintah belum menggunakan PPN 12% dalam menghitung APBN 2025.

    Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan berbagai kondisi perekonomian sebelum menerapkan suatu kebijakan.

    “Penyesuaian tarif PPN ke 12% itu sudah masuk UU HPP, namun dalam implementasi tetap mempertimbangkan suasana masyarakat, termasuk daya beli, kondisi ekonomi, dan mungkin momentum yang tepat,” ungkapnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).

    Kritik Kenaikan PPN

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan kenaikan PPN berpotensi menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin.

    Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook 2025’, LPEM UI menunjukkan antara 201—2019 dengan tarif PPN sebesar 10%, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga termiskin adalah sekitar 3,93%.

    Sedangkan, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga kaya mencapai 5,04%.

    Adapun setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, terjadi progresivitas beban PPN di seluruh rumah tangga.

    “Dari tahun 2022 hingga 2023, rata-rata beban PPN untuk 20% kelompok termiskin adalah 4,79%, sedangkan untuk 20% kelompok terkaya adalah 5,64%,” demikian bunyi laporan LPEM FEB UI dikutip pada Sabtu (16/11/2024).

    Hanya saja, LPEM FEB UI menyebu  kenaikan tarif PPN pada 2022 dari 10% menjadi 11% memberikan dampak yang lebih regresif ke masyarakat miskin.

    Kenaikan tarif PPN menyebabkan peningkatan beban belanja sekitar 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sedangkan 20% rumah tangga terkaya naik yang lebih kecil, yaitu 0,71 poin persentase.

    Kalangan pengusaha juga sudah mengkritisi wacana kenaikan tarif PPN tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan tersebut karena kondisi perekonomian sedang mengkhawatirkan.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan bahwa sedang terjadi tren penurunan daya beli masyarakat dan jutaan kelas menengah turun kasta. Oleh sebab itu, Ajib menyarankan agar pemerintah mengambil jalan lain apabila ingin mendapatkan tambahan penerimaan negara.

    Menurutnya, ada dua kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat.

    Sesuai dengan PMK No. 101/2016, besaran PTKP yaitu Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.

    “Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” ungkap Ajib dalam keterangannya, Senin (12/8/2024).

    Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost alias biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi.

    Dia mencontoh sektor properti hingga sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

    “Namun, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector [sektor swasta] tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent,” ujar Ajib.

  • Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Harus Diiringi Peningkatan Bansos dan Insentif

    Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Harus Diiringi Peningkatan Bansos dan Insentif

    Jakarta, Beritasatu.com – Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang harus diiringi dengan memperbanyak kebijakan bantuan sosial (bansos) dan insentif bagi masyarakat. Hal ini berguna untuk membantu kelas menengah hingga miskin di Tanah Air.

    Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan bansos dan insentif dapat membantu mengimbangi penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa.

    Selain itu, pemberian bantuan tunai bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah dapat membantu mengurangi dampak inflasi yang disebabkan oleh kenaikan tarif PPN jadi 12%.

    “Melalui program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, masyarakat berpenghasilan rendah dapat menerima dukungan tambahan untuk menjaga konsumsi kebutuhan dasar, meskipun harga barang meningkat akibat kenaikan PPN,” ujar Josua dikutip dari Antara, Minggu (17/11/2024).

    Selain bantuan sosial, pemberian subsidi di sektor tertentu juga dapat meringankan beban masyarakat akibat kebijakan ini. Ia memberikan contoh subsidi pada sektor energi atau bantuan untuk usaha kecil dapat membantu menekan biaya hidup serta biaya operasional usaha kecil dan menengah yang berpotensi terdampak lebih besar oleh kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

    Di sisi lain, pemberian insentif pajak atau pengurangan tarif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat membantu pelaku usaha untuk beradaptasi dengan peningkatan beban pajak.

    “Insentif seperti ini bisa memperkuat daya saing UMKM dan mencegah penurunan produktivitas akibat beban biaya tambahan,” tambahnya.

    Menurut Josua, langkah-langkah tersebut dapat mendukung stabilitas ekonomi dan menjaga kesejahteraan masyarakat di tengah penerapan kebijakan kenaikan PPN yang direncanakan berlaku mulai 2025.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai dengan mandat Undang-Undang.

    Namun, ia menegaskan bahwa Kementerian Keuangan akan melaksanakan kebijakan ini dengan hati-hati dan memberikan sosialisasi yang jelas kepada masyarakat.

    “Undang-Undangnya sudah ada. Kami perlu mempersiapkan agar kebijakan kenaikan tarif PPN 12% ini dapat dijalankan dengan baik, disertai penjelasan yang memadai,” pungkas Sri Mulyani.

  • PPN Naik Jadi 12%, Berikut Daftar Barang/Jasa yang Bebas Pajak

    PPN Naik Jadi 12%, Berikut Daftar Barang/Jasa yang Bebas Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal bahwa tidak akan ada penundaan implementasi kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Kendati demikian, dia juga menegaskan barang/jasa kebutuhan pokok tidak akan dikenai PPN.

    Pernyataan itu sendiri disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024). Dia menegaskan Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021 sudah mengamanatkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus naik sebesar 1%—dari 11% menjadi 12%—pada 1 Januari 2025.

    “Kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujarnya.

    Bendahara Negara tersebut pun menegaskan pihaknya tidak akan memungut PPN secara ‘membabi-buta’. Untuk itu, pihaknya akan memberikan penjelasan kepada masyarakat dan memastikan kenaikan PPN menjadi 12% tidak terjadi pada semua barang dan jasa.  

    Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi merupakan barang/jasa yang termasuk ke daftar PPN Dibebaskan.

    Secara terperinci, barang/jasa yang dibebaskan dari tarif PPN diatur dalam UU No. 7/2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2022.

    Dalam Pasal 4A ayat (2) UU No. 7/2021 dinyatakan dua kelompok barang yang tidak dikenai PPN. Pertama, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya yang merupakan objek pajak dan retribusi daerah.

    Kedua, uang hingga emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara serta surat berharga.

    Dalam Pasal 4A ayat (3) UU No.7/2021 kemudian dijelaskan enam kelompok jasa yang tidak dikenai PPN. Pertama, jasa keagamaan meliputi pelayanan rumah ibadah, pemberian khotbah atau dakwah, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan sejenisnya.

    Kedua, jasa kesenian dan hiburan yang meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan yang merupakan objek pajak dan retribusi.

    Ketiga, jasa perhotelan yang meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak dan retribusi daerah.

    Keempat, jasa yang disediakan oleh pemerintah sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.

    Kelima, jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir yang merupakan objek pajak dan retribusi daerah.

    Keenam, jasa boga atau katering yang meliputi semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak dan retribusi daerah.

    Tak sampai situ, Pasal 6 PP No. 49/2022 mendetailkan barang impor yang dibebaskan dari pengenaan PPN meliputi:

    mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan
    barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan
    jangat dan kulit mentah yang tidak disamak
    ternak yang kriteria dan/atau perinciannya diatur dengan Peraturan Menteri
    bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan
    pakan ternak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan, tidak termasuk pakan hewan kesayangan
    pakan ikan yang memenuhi persyaratan umum dan khusus/teknis dalam Impor pakan ikan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan
    bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan bahan baku utama pakan ikan, tidak termasuk imbuhan pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau perinciannya diatur dengan Peraturan Menteri
    bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak batangan
    senjata, amunisi, helm antipeluru dan jaket atau rompi antipeluru, kendaraan darat khusus, radar, dan suku cadangnya yang diimpor atau ditujukan oleh kementerian/lembaga pemerintah
    komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh badan usaha milik negara yang bergerak dalam industri pertahanan nasional yang ditunjuk oleh kementerian/lembaga pemerintah
    senjata, amunisi, peralatan militer, dan perlengkapan militer milik negara lain yang diimpor oleh Tentara Nasional Indonesia
    peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas, peta hasil topografi, peta hasil hidrografi, dan foto udara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan nasional
    kendaraan dinas khusus kepresidenan yang diimpor oleh lembaga kepresidenan atau pihak yang ditunjuk oleh lembaga kepresidenan
    barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, serta barang untuk konservasi alam
    barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
    gula konsumsi dalam bentuk gula kristal putih yang berasal dari tebu tanpa tambahan bahan perasa atau pewarna
    barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara
    liquified nafiral gos dan compressed natural gas
    barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum
    obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk kepentingan masyarakat
    bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk kepentingan masyarakat
    satuan rumah susun umum milik yang perolehannya dibiayai melalui kredit/ pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi
    rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta rtrmah pekerja yang batasannya diatur oleh Menteri
    bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak batangan
    listrik, termasuk biaya penyambungan listrik dan biaya beban listrik, kecuali untuk rumah dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) voltase ampere;
    air bersih

    Kemudian, Pasal 10 PP No. 49/2022 mendetailkan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN meliputi:

    jasa pelayanan kesehatan medis
    jasa pelayanan sosial
    jasa pengiriman surat dengan prangko
    jasa keuangan
    jasa asuransi
    jasa pendidikan
    jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
    jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri
    jasa tenaga kerja
    jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
    jasa pengiriman uang dengan wesel pos
    jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum
    jasa yang diterima oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas, peta hasil topografi, peta hasil hidrograli, dan foto udara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.