Tag: Purbaya Yudhi Sadewa

  • LPS sebut indeks menabung masyarakat mengalami penurunan

    LPS sebut indeks menabung masyarakat mengalami penurunan

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat adanya penurunan tren menabung di masyarakat berdasarkan hasil Survei Konsumen Perekonomian (SKP) pada November 2024.

    Penurunan tersebut tercermin dari Indeks Menabung Konsumen (IMK) yang turun sebesar 0,06 poin menjadi 77,0 dibandingkan bulan sebelumnya.

    “Memang (IMK) ini menurun ya, tapi yang terakhir itu Indeks Intensitas Menabung (IIM) naik dari bulan Oktober, naik ke 72,4. Nah penurunan (IMK) ini jangan disalah-artikan 100 persen karena makan tabungan, karena kalau menurut kami melihatnya adalah menabung itu sendiri kan adalah interaksi antara penghasilan konsumen dengan konsumsinya, atau dengan belanjanya. Nah belanja itu ada yang untuk konsumsi, ada juga untuk membayar cicilan, ada juga untuk investasi,” kata Direktur Group Riset LPS Seto Wardono, dikutip di Jakarta, Kamis.

    Berdasarkan survei yang melibatkan lebih dari 1.700 responden di berbagai wilayah Indonesia itu, hasil survei menunjukkan bahwa penurunan juga terjadi pada Indeks Waktu Menabung (IWM), yang turun 1,9 poin menjadi 81,5. Meski demikian, mayoritas responden masih menganggap saat ini dan tiga bulan mendatang merupakan waktu yang tepat untuk menabung.

    Sementara itu, Indeks Intensitas Menabung (IIM) justru meningkat sebesar 0,6 poin menjadi 72,4. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah responden yang menyatakan sering menabung, meskipun jumlah uang yang ditabung lebih kecil dari yang direncanakan.

    Selanjutnya, dari survei yang dilakukan oleh LPS dapat dihasilkan juga output lain, yaitu IKK atau keputusan dan kemampuan menabung konsumen. IKK sejatinya mengukur tingkat optimisme atau pesimisme rumah tangga terhadap kondisi ekonomi saat ini dan pandangan mereka mengenai prospeknya di masa yang akan datang.

    “Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat menangkap gambaran nyata tentang persepsi dan perilaku konsumen dari berbagai lapisan masyarakat di berbagai wilayah. Pelaksanaan survei tersebut memperluas kapabilitas LPS dalam mendapatkan gambaran terkini mengenai persepsi konsumen atas kegiatan menabung dan kondisi ekonomi saat ini,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa.

    Lebih lanjut dia menjelaskan, output utama SKP adalah Indeks Menabung Konsumen (IMK) yang mengukur kecenderungan serta kemampuan konsumen dalam mengalokasikan pendapatannya untuk ditabung.

    IMK ini akan memberikan gambaran tentang kemampuan dan kesehatan ekonomi rumah tangga, yang tercermin dari intensitas serta niat konsumen untuk menabung.

    “Dengan IMK ini, kita akan lebih bisa memahami daya tahan ekonomi rumah tangga terhadap situasi ekonomi saat ini, termasuk dinamika simpanan perbankan ke depan,” jelasnya.

    Kemudian, output SKP lainnya adalah IKK atau keputusan dan kemampuan menabung konsumen, yang tentu saja tidak lepas dari persepsi konsumen atas kondisi ekonomi dan pendapatannya.

    “Informasi ini penting untuk memahami arah perkembangan ekonomi ke depan, mengingat persepsi konsumen dapat mempengaruhi keputusannya melakukan konsumsi, menabung, dan investasi,” terangnya.

    Dia menambahkan, konsumen yang lebih optimis terhadap prospek ekonomi, stabilitas pekerjaan dan pendapatan rumah tangganya di masa mendatang, berpotensi memperkuat konsumsinya terutama barang-barang tahan lama.

    “Hal ini selanjutnya berdampak positif bagi laju pertumbuhan ekonomi, karena konsumsi masyarakat merupakan kontributor terbesar perekonomian nasional,” tambahnya.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • Meski 19 Tumbang, Bisnis BPR Diproyeksi Masih Tumbuh 5%

    Meski 19 Tumbang, Bisnis BPR Diproyeksi Masih Tumbuh 5%

    Jakarta, FORTUNE – Sejak awal 2024 hingga 17 Desember 2024, tercatat ada 19 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang izin usahanya dicabut. Meski demikian, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memandang bisnis bank daerah ini masih dapat tumbuh pada 2025. 

    Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam acara diskusi dengan pers di Jakarta (17/12). Ia menyadari bahwa gencarnya penutupan BPR merupakan bagian dari program konsolidasi bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meski demikian, secara industri, bisnis bank ini masih positif.

    “Kalau kita lihat tahun ini sudah 19 BPR yang jatuh. Ini jauh di atas tren yang biasanya hanya 8 hingga 9 BPR ini rata-rata dalam 17 tahun sebelumnya BPR yang jatuh per tahun. Tapi ini juga mungkin berkaitan dengan program dari OJK untuk mengkonsolidasikan BPR,” kata Purbaya.
     

    Kredit industri BPR masih tumbuh 7,07 persen

    Konferensi Pers Penetapan Tingkat Bunga Penjaminan LPS/Dok LPS

    Meski berada dalam kondisi kurang baik, bisnis BPR masih dapat tumbuh 5 persen pada 2025, kata Purbaya. Dia meyakini sejumlah paket kebijakan ekonomi dari pemerintahan Prabowo Subianto akan menyentuh ke level perekonomian masyarakat kelas bawah, sehingga dapat mendorong kinerja BPR.

    “Outlook-nya sih akan bagus. Kita prediksi masih tumbuh sekitar 5 persen, tapi pakai doa ya. Kalau stimulus kebijakan terjadi, harusnya tidak masalah. Ini OJK sedang melakukan konsolidasi,  mudah-mudahan ke depan konsolidasinya sudah semakin sedikit,” ujar Purbaya.

    Di sisi lain, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan penyaluran kredit dan pembiayaan BPR/BPRS mencapai Rp163,33 triliun pada Juli 2024 atau tumbuh 7,07 persen (yoy). Sementara itu, dari segi aset, terjadi pertumbuhan 6,12 persen menjadi Rp211,13 triliun.

  • LPS tunggu izin DPR guna terapkan sistem IT untuk BPR

    LPS tunggu izin DPR guna terapkan sistem IT untuk BPR

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah menunggu izin dari DPR RI guna penerapan sistem teknologi informasi (IT) untuk 100 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) pada 2025.

    Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah menjalin komunikasi dengan Komisi XI DPR terkait kewenangan LPS dalam pengembangan sistem ini.

    “Tahun ini, kita feasibility study-nya. 2025 harusnya kita sudah menjalankan semacam pilot project dengan 100 BPR. Tapi kemarin DPR kan saya ditanya, apakah itu wewenang LPS? Kalau kita tarik sih ke hukumnya, ini kan termasuk menjaga stabilisasi sistem keuangan. Boleh juga harusnya sih. Tapi saya sedang menanyakan ke Komisi XI, apakah LPS boleh masuk ke sana. Kalau boleh masuk, awal tahun sudah mulai jalan, 2025. Kalau enggak boleh ya kita mundur,” ujar Purbaya saat ditemui usai LPS Morning Talk di Jakarta, Selasa.

    Ia menilai, dengan adanya sistem IT yang lebih mumpuni, BPR dapat bersaing dengan bank-bank online serta pinjaman daring (online) yang semakin berkembang. Sistem ini diharapkan dapat mengurangi risiko kegagalan operasional di BPR dalam jangka panjang, karena manajemen yang lebih baik akan memungkinkan identifikasi masalah lebih dini.

    “Sehingga manajemen mereka akan lebih bagus lagi ke depan. Mungkin kalau itu dijalankan dua sampai tiga tahun ke depan lagi, kita enggak akan dengar BPR jatuh karena mismanagment atau fraud,” terang Purbaya.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2024

  • LPS sebut PPN 12 persen berpotensi pengaruhi tabungan masyarakat

    LPS sebut PPN 12 persen berpotensi pengaruhi tabungan masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyampaikan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 dapat memengaruhi tren tabungan masyarakat.

    “Sepertinya ketika sinyalnya daya beli, dicurigai menurun, kebijakan kenaikan pajak tidak terlalu akurat. Tapi saya enggak tahu, mungkin memang pemerintah lagi butuh uang untuk menambal anggarannya, mungkin juga bagus kalau uangnya langsung dipakai untuk program yang berguna untuk masyarakat,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui usai LPS Morning Talk di Jakarta, Selasa.

    Purbaya mengatakan tren tabungan masyarakat tidak akan langsung turun pasca penerapan tarif PPN 12 persen, namun cenderung mengalami kesulitan untuk terus meningkat.

    “(Tabungan) enggak anjlok, tapi saya melihat sulit untuk naik kencang,” jelasnya.

    Lebih lanjut ia menjelaskan, saat pemerintah menerima dana masyarakat, maka dibutuhkan waktu untuk kembali ke sistem ekonomi yakni melalui mekanisme pembelanjaan.

    Sehingga jika dana baru dibelanjakan empat bulan kemudian, dampaknya terhadap ekonomi bakal tertunda.

    “Yang jelas itu kan kalau uang masuk ke pemerintah, kan enggak langsung masuk ke sistem. Nah, let’s say empat bulan di pemerintah sebelum dibelanjakan, dampaknya kan terlambat empat bulan atau lebih kan? Ya itu paling enggak dalam jangka panjang akan memengaruhi tren tabungan,” terangnya.

    Ia pun mengakui saat ini tren tabungan masyarakat sudah cenderung menurun jika mengacu pada berdasarkan survei LPS.

    “Jadi kelihatannya akan sulit untuk naik,” jelasnya.

    Sementara, Purbaya memprediksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan masih berada di angka 6 persen hingga 7 persen.

    “DPK kita prediksi kita 6-7 persen, sampai sekarang belum kita ubah. Tapi tentunya kan itu akan adaptif tergantung perkembangan dari waktu ke waktu,” tuturnya.

    Purbaya menyatakan bahwa dampak negatif kebijakan pajak terhadap tabungan kemungkinan tidak akan terasa dalam jangka pendek.

    Hal Ini disebabkan karena dana pemerintah dibelanjakan dengan tepat guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Adapun pemerintah resmi menetapkan kenaikkan tarif PPN 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Kenaikkan tarif PPN 12 persen ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2024

  • 362 Ribu Orang Indonesia Punya Tabungan di Atas Rp 2 Miliar

    362 Ribu Orang Indonesia Punya Tabungan di Atas Rp 2 Miliar

    Jakarta

    Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan ada sebanyak 362.733 nasabah bank umum yang punya saldo simpanan lebih dari Rp 2 miliar. Angka ini terbilang besar dibandingkan dengan jumlah rekening yang mencapai 593.307.911 atau nyaris 600 juta rekening.

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, sesuai dengan amanat undang-undang, LPS menjamin setiap rekening simpanan nasabah perbankan di Indonesia hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank.

    “Berdasarkan data September 2024, jumlah rekening nasabah bank umum yang dijamin seluruh simpanannya sebesar Rp 2 miliar itu mencapai 99,94% dari total rekening,” kata Purbaya, dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI, Rabu (20/11/2024).

    Dari jumlah rekening yang ada, rekening yang dijamin penuh dengan saldo di bawah Rp 2 miliar mencapai 592.944.178. Sedangkan untuk jumlah rekening yang dijamin sebagian dengan saldo di atas Rp 2 miliar ada sebanyak 363.733 rekening.

    Kondisi ini pun mendapat sorotan dari pimpinan rapat kali itu yakni Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit. Menurutnya, angka tersebut terbilang besar.

    “Karena itu spektakuler itu kalau kita cermati itu. Jadi rekening, jumlah rekening itu hampir 600 juta. Yang rekeningnya di atas Rp 2 miliar ternyata 363 ribu. 300 ribuan orang Indonesia yang punya rekening di atas Rp 2 miliar. Nah di antara yang tiga ratus ribuan mungkin termasuk di sini nih.

    Sedangkan di jajaran Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS), tercatat ada sebanyak 15.783.681. Dari jumlah tersebut, jumlah rekening yang dijamin seluruh simpanannya mencapai 99,98%.

    “Untuk BPR, jumlah rekening yang dijamin seluruh simpanannya mencapai 99,98%” lanjut Purbaya.

    Dari jumlah rekening yang ada, rekening yang dijamin penuh dengan saldo di bawah Rp 2 miliar mencapai 15.779.822. Sedangkan untuk jumlah rekening yang dijamin sebagian dengan saldo di atas Rp 2 miliar ada sebanyak 3.859 rekening.

    Saksikan juga video: Jumlah Tabungan Ideal Berdasarkan Usia

    (shc/fdl)

  • Pengusaha Blak-blakan soal Jumlah Tabungan di Atas Rp5 M Susut

    Pengusaha Blak-blakan soal Jumlah Tabungan di Atas Rp5 M Susut

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merespons mengenai angka pertumbuhan pemilik tabungan Rp5 miliar melambat pada awal tahun ini, sebagaimana diungkap Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    Berdasarkan data LPS, pertumbuhan tabungan di atas Rp5 miliar sebelumnya tercatat sebesar 14-15 persen di akhir 2023. Namun, saat ini pertumbuhannya hanya 3,51 persen. LPS menduga pemicunya adalah orang kaya memakai tabungannya sendiri untuk mengembangkan bisnis.

    “Dugaan kami, ini sebagian besar korporasi. Kita takut apakah mereka tidak punya duit, cuma kalau kita lihat tren uang pemakaian korporasi, sepertinya sekarang mereka beralih pakai uang sendiri untuk ekspansi usahanya dibandingkan pinjam di bank,” ujar Ketua DK LPS Purbaya Yudhi Sadewa, Selasa (30/1).

    Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sarman Simanjorang membenarkan pengusaha memang lebih memilih menggunakan tabungannya untuk ekspansi usaha dibandingkan meminjam ke perbankan.

    “Fenomenanya bahwa mereka masih punya dana simpanan dan dijadikan modal, itu masih ada kemungkinan sehingga mereka tidak mau untuk meminjam ke bank,” ujar Sarman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/2).

    “Mungkin mereka ada pada posisi bisa menggunakan uang sendiri untuk tambah modal sehingga tidak perlu pinjam ke bank. Otomatis memang saldo mereka di bank menurun, yang tadinya mungkin di Rp5 miliar jadi di bawah Rp5 miliar. Itu yang kami lihat,” imbuhnya.

    Menurutnya, alasan pengusaha ‘ogah’ meminjam ke bank karena suku bunga tinggi dan kondisi ekonomi yang belum menentu. Sehingga, bagi yang masih memiliki kas cukup lebih memilih menggunakan tabungan.

    “Mungkin pertama karena tingkat bunga kita masih tinggi. Kemudian kedua, kemungkinan juga karena kondisi ekonomi nasional yang saat ini juga boleh dikatakan masih terpengaruh kondisi ekonomi global,” jelasnya.

    Dengan kondisi ini, maka ia menekankan bukan karena pengusaha susah meminjam ke perbankan, tetapi lebih kepada takut gagal bayar jika terjadi kondisi yang tak sesuai perkiraan.

    “Karena nanti kalau mereka pinjam ke bank dan ternyata memang kondisi ekonomi kita masih belum memungkinkan atau mungkin ada sesuatu hal yang terjadi seperti covid. Nah, tentu kan ini akan menjadi beban bagi pelaku usaha,” jelasnya.

    Sementara, untuk pengusaha yang tergabung di Kadin sendiri dipastikan kondisinya secara umum stabil. Tidak ada yang kesulitan untuk permodalan maupun mendapatkan pinjaman dari perbankan.

    “Yang jelas di Kadin sampai saat ini posisi teman-teman pelaku usaha masih berjalan baik, normal dan pada posisi produktif. Dalam hal ini ya tentu memang tetap waspada ada karena memang kondisi ekonomi global masih tanda tanya,” pungkasnya.

    (ldy/pta)

  • Tabungan Orang Kaya di Atas Rp5 M Melandai, Alarm Bahaya Ekonomi RI?

    Tabungan Orang Kaya di Atas Rp5 M Melandai, Alarm Bahaya Ekonomi RI?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Dunia usaha diduga sedang tak baik-baik saja lantaran tabungan orang kaya di atas Rp5 miliar di bank umum melandai pada 2023 lalu.

    Kekhawatiran ini diungkap oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mereka membandingkan data tahun lalu dengan 2022 yang hasilnya cukup jomplang.

    Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan tabungan di atas Rp5 miliar itu tumbuh melambat di level 3,51 persen pada 2023. Beda dengan tahun sebelumnya ketika pertumbuhan tabungan orang kaya menyentuh 14 persen-15 persen.

    “Dugaan kami ini sebagian besar adalah korporasi. Jadi kelihatannya, kita juga takut apakah ini pertanda mereka (pengusaha) enggak punya duit,” ucap Purbaya dalam konferensi pers di Kantor LPS, Jakarta Selatan, Selasa (30/1).

    “Kalau kita lihat tren pemakaian uang korporasi, sepertinya sekarang mereka beralih memakai uang sendiri untuk ekspansi usahanya dibandingkan dengan pinjam di bank,” imbuhnya.

    Purbaya menduga pengusaha kini lebih senang ‘membakar’ uangnya sendiri ketimbang harus berhadapan dengan bunga pinjaman bank yang cukup besar, baik di dalam maupun luar negeri.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal sepakat dengan tilikan LPS soal korporasi di balik penurunan tabungan orang kaya tersebut. Namun, Faisal tak mau gegabah menilai fenomena tersebut sebagai alarm bahaya bagi perekonomian Indonesia.

    “Saya tidak ingin buru-buru menyatakan bahwa ada alarm bahaya dalam jangka pendek atau panjang… Apakah indikasinya (dampak penurunan tabungan orang kaya) sampai bahaya? Itu belum, terlalu dini untuk mengatakan begitu,” kata Faisal kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/1).

    Faisal punya rasionalisasi di balik pelemahan tabungan di atas Rp5 miliar tersebut. Menurutnya, biang kerok ini semua adalah kegiatan ekspor dan impor.

    Ia menilai ada keterkaitan aktivitas jual beli dengan negara lain tersebut terhadap kondisi dana pihak ketiga. Dengan kata lain, kondisi perekonomian global yang mempengaruhi ekspor impor Indonesia juga berpengaruh ke tabungan orang kaya di tanah air.

    “Biasanya, ketika ekspor kita meningkat luar biasa, misal karena booming harga komoditas, pertumbuhan dana pihak ketiga di atas Rp5 miliar ini juga naik. Sebaliknya, jika ketika harga komoditas sedang turun atau ekspor kita sedang menurun, ini biasanya juga diikuti pelemahan pertumbuhan dari dana pihak ketiga di atas Rp5 miliar,” tuturnya.

    Faisal mengatakan saat ini harga komoditas memang tengah dalam tren pelemahan dibandingkan 2022 lalu. Kondisi ini sejalan dengan dana pihak ketiga yang disimpan di sejumlah bank umum.

    Meski efeknya belum akan berbahaya pada perekonomian Indonesia, Faisal menyebut fenomena ini perlu dipelototi negara. Terlebih, para orang kaya tersebut menjadi kelompok yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia alias produk domestik bruto (PDB).

    Apa yang harus dilakukan negara?

    Tak jauh beda, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo mengatakan penurunan nilai suatu tabungan tidak bisa dipukul rata sebagai sentimen negatif. Ia pun sangsi dengan kecemasan LPS.

    “Saya belum melihat ada tren perusahaan mengalami kesulitan keuangan di periode ini. Sempat ada sedikit tekanan, tetapi di periode tengah tahun lalu (2023), terutama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM),” klaim Banjaran.

    Ia menyebut realokasi aset lumrah dilakukan. Tujuannya, mengoptimalisasi portofolio yang dimiliki perusahaan, baik untuk keperluan usaha atau investasi di sektor keuangan.

    Banjaran melihat sikap wait and see yang muncul sejak tahun lalu juga sudah mulai bergeser. Ia melihat mobilitas kegiatan usaha kini sudah semakin meningkat.

    Akan tetapi, Banjaran berpesan agar pemerintah tetap menjaga stimulus kepada dunia usaha. Ini penting meski menurutnya tabungan di atas Rp5 miliar yang terjun bebas belum menjadi alarm bahaya.

    “Di 2024, harapan besar belanja pemerintah masih kuat didorong dengan stimulus kepada usaha-usaha yang bisa menjadi driver perekonomian, baik padat karya, kebutuhan dasar, serta mobilitas,” jelasnya.

    “Yang perlu dijaga (oleh pemerintah) lebih kepada imported inflation, terutama dari sektor pangan dan olahan yang bisa meningkatkan biaya produksi maupun melemahkan daya beli,” tandas Banjaran.

    (skt/sfr)

  • Bos LPS soal Penyebab BPR Tumbang: Dimaling Pemiliknya

    Bos LPS soal Penyebab BPR Tumbang: Dimaling Pemiliknya

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa buka-bukaan penyebab banyak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tumbang alias bangkrut. Hal itu bukan dipicu kondisi perekonomian yang sulit, melainkan ‘dimaling’ pemiliknya.

    Menurutnya, penyebab lainnya ada juga kesalahan manajemen. Namun, untuk hal ini masih bisa diperbaiki.

    “Umumnya, saya bilang tadi karena kesalahan manajemen, bukan salah manajemen, fraud. Jadi dimaling sama pemilik banknya, utamanya itu. Kalau salah manajemen, masih bisa diperbaiki,” ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (30/1).

    Kendati demikian, Purbaya mengatakan nasabah tak perlu khawatir dananya hilang, sebab dijamin oleh LPS. Artinya, jika BPR tumbang, maka dana nasabah akan dikembalikan.

    Pada 2023, LPS membayar klaim sebesar Rp329 miliar atau 92,6 persen dari total simpanan BPR gagal, yakni sebesar Rp355,4 miliar.

    “Kalau BPR jatuh, kita jaga. Selalu jaga supaya masyarakat di perbankan tenang, uangnya betul-betul terjamin,” imbuhnya.

    Purbaya mengungkapkan LPS memiliki dana berlimpah untuk mengganti dana nasabah di BPR. Berdasarkan data LPS, total aset hingga Desember 2023 sebesar Rp213,30 triliun.

    “Kita berusaha cegah keresahan di masyarakat jangan sampai mereka bilang, LPS kok uangnya nggak keluar-keluar, padahal kita kaya, duitnya banyak Rp211 triliun (aset per Oktober 2023),” jelasnya.

    Hanya saja, ia menjelaskan proses pencairan dana klaim nasabah tidak bisa langsung dilakukan. Ada beberapa tahap atau proses yang diperlukan, seperti pengecekan data.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), maksimum pencairan dana nasabah akibat BPR gagal adalah 90 hari kerja. Namun, bisa lebih cepat sesuai dengan kondisi.

    “Jadi kami tau kalau kami terlambat sedikit saja mereka (nasabah) sudah ribut, jangan-jangan penjaminannya tipu-tipu. Kami pastikan tidak seperti itu,” pungkasnya.

    (ldy/pta)

  • Tabungan di Atas Rp5 M Anjlok, Bos LPS Duga Pengusaha Lagi Tercekik

    Tabungan di Atas Rp5 M Anjlok, Bos LPS Duga Pengusaha Lagi Tercekik

    Jakarta, CNN Indonesia

    Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan tabungan masyarakat dengan nilai di atas Rp5 miliar di bank umum anjlok dibandingkan tahun lalu.

    Mereka mensinyalir hal itu terjadi karena dunia usaha sedang sakit.

    Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan tabungan di atas Rp5 miliar kebanyakan milik perusahaan atau korporasi. Karena itulah,  penurunan ini diduga akibat lagi sulitnya dunia usaha saat ini.

    “Dugaan kami ini sebagian besar adalah korporasi. Jadi kelihatannya, kita juga takut apakah ini pertanda mereka nggak punya duit,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (30/1).

    Ia menduga banyak korporasi yang menggunakan modal sendiri untuk mengembangkan usahanya. Hal ini kemungkinan dikarenakan dunia usaha sulit sehingga tidak berani untuk mengajukan pinjaman ke bank.

    Berdasarkan data LPS, pada akhir tahun lalu pertumbuhan tabungan di atas Rp5 miliar tercatat sebesar 14-15 persen. Sedangkan saat ini hanya tinggal 3,51 persen saja.

    “Kalau kita lihat tren pemakaian uang korporasi, sepertinya sekarang mereka beralih memakai uang sendiri untuk ekspansi usahanya dibandingkan dengan pinjam di bank,” jelasnya.

    Selain itu, ia juga menduga banyak korporasi memakai tabungan sendiri untuk ekspansi karena bunga pinjaman yang cukup besar, baik bank dalam negeri maupun luar negeri.

    “Karena bunga di luar negeri mahal dan di sini juga cenderung naik sehingga mereka cenderung memakai uangnya dulu sampai habis kali. Jadi pertumbuhannya sampai habis banget baru ke bank,” pungkasnya.

    (ldy/agt)

  • Bos LPS soal Penyebab BPR Tumbang: Dimaling Pemiliknya

    Bunga Penjaminan LPS Dipertahankan di Level 4,25 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mempertahankan tingkat bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum sebesar 4,25 persen.

    Begitu juga dengan simpanan dalam bentuk valuta asing (valas) sebesar 2,25 persen dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar 6,75 persen.

    “Rapat Dewan Komisioner LPS menetapkan untuk mempertahankan tingkat bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum dan BPR,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers virtual, Selasa (30/1).

    Purbaya mengatakan keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan perkembangan suku bunga pasar, kondisi likuiditas perbankan dan stabilitas sistem keuangan. Sekaligus untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.

    “Tingkat bunga penjaminan tersebut akan berlaku untuk periode 1 Februari 2024 sampai dengan 31 Mei 2024,” katanya.

    Menurutnya, sesuai dengan aturan perundangan, LPS harus meninjau bunga penjaminan minimal tiga kali dalam satu tahun, yakni pada Januari, Mei dan September, kecuali terjadi perubahan dalam kondisi perekonomian dan perkembangan yang signifikan.

    Selain itu, ia mengungkapkan tingkat bunga pinjaman ini akan digunakan oleh perbankan sebagai batas maksimal bunga simpanan layak bayar. Jika terjadi masalah dan bunga simpanan di atas batas LPS, maka tidak akan diganti.

    “Tingkat bunga penjaminan ini adalah batas maksimum tingkat bunga wajar simpanan perbankan yang digunakan sebagai salah satu kriteria penetapan simpanan layak bayar milik nasabah menyimpan di perbankan,” pungkasnya.

    (ldy/pta)