Tag: Purbaya Yudhi Sadewa

  • Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tren penurunan pendapatan negara terjadi hampir pada semua komponen. Kondisi tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa.

    Purbaya menyebutkan, pendapatan negara terkumpul sebesar Rp 1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2025.

    Dia menjelaskan nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun.

    Menurut Purbaya, tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen

    penerimaan negara. “Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi

    Rp 1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook,” kata Purbaya saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin (22/9).

    Adapun perinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai

    realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4

    persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau

    64,3 persen dari outlook, tetapi turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit

    sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31

    Agustus 2025. “Defisit APBN Rp 321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” ungkap Purbaya.

    Di sisi lain, tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen

  • APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31 Agustus 2025.

    “Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” kata Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin.

    Pendapatan negara terkumpul sebesar Rp1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN tahun ini. Nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun. Tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen penerimaan.

    Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi Rp1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook.

    Rinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4 persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau 64,3 persen dari outlook, namun turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen mencatatkan pertumbuhan.

    Belanja negara per 31 Agustus 2025 tercatat sebesar Rp1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari outlook, tumbuh 1,5 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.930,7 triliun.

    Belanja pemerintah pusat (BPP) juga tumbuh 1,5 persen, dengan realisasi Rp1.388,8 triliun atau setara 52,1 persen dari outlook.

    Namun, perlambatan terjadi pada belanja kementerian/lembaga (K/L) yang terkoreksi 2,5 persen dengan realisasi Rp686 triliun yang setara 53,8 persen dari outlook.

    Berbeda dengan belanja K/L, belanja non-K/L terakselerasi sebesar 5,6 persen dengan realisasi Rp702,8 triliun atau 50,6 persen dari outlook.

    Sedangkan realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat sebesar Rp571,5 triliun atau 66,1 persen dari outlook. Realisasi ini tumbuh sebesar 1,7 persen.

    Dengan realisasi itu, keseimbangan primer tercatat surplus Rp22 triliun. Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang.

    Dengan surplus keseimbangan primer maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja dan utang.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tax Amnesty: Pengertian, Subjek dan Objek hingga Alasan Ditolak Menkeu Purbaya – Page 3

    Tax Amnesty: Pengertian, Subjek dan Objek hingga Alasan Ditolak Menkeu Purbaya – Page 3

    Purbaya menegaskan, pemerintah akan berfokus pada upaya memperkuat kepatuhan dan memperluas basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi yang sehat. Melalui cara itu, penerimaan negara dapat meningkat tanpa harus memberi kelonggaran berulang.

    “Jadi, posisi saya adalah kalau untuk itu, kita optimalkan semua peraturan yang ada. Kita minimalkan penggelapan pajak. Kita memajukan ekonomi, supaya dengan tax ratio yang konsen, misalnya tax saya tumbuh saya tax dapat lebih banyak. Kita fokuskan di situ dulu,” kata.

    Purbaya khawatir jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut. Purbaya mengingatkan agar pemerintah menjaga konsistensi kebijakan.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupin duit, tiga tahun lagi gue dapat tax amnesty. Kira-kira begitu. Jadi, message-nya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar dia.

    Seiring hal itu, menarik untuk diketahui mengenai tax amnesty atau pengampunan pajak. Berikut ulasannya.

     

     

     

  • Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Risiko pelebaran shortfall atau selisih realisasi dengan target penerimaan pajak semakin terbuka. Apalagi realisasi penerimaan pajak sampai Juli 2025 hanya sebesar Rp990,01 triliun atau masih kurang Rp1.086,89 triliun dari outlook APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun. 

    Sejauh ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan pajak baru untuk mengejar kekurangan penerimaan pajak. Dia cukup yakin bahwa ketika ekonomi membaik maka penerimaan pajak akan naik.

    Oleh karena itu, Purbaya memilih fokus untuk membenahi perekonomian sebagai upaya menciptakan kinerja penerimaan pajak yang berkesinambungan.

    “Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergaya dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga,” kata Purbaya, Jumat pekan lalu.

    Namun demikian, kalau menurut catatan ke belakang, kinerja penerimaan pajak tidak selalu linier dengan pertumbuhan ekonomi. Ada persoalan tax gap yang tidak melulu dipicu oleh kinerja perekonomian. Celah pajak ini bisa berasal dari kepatuhan wajib pajak hingga kebijakan yang disusun oleh pemerintah.

    Contoh tax gap yang bersumber dari kebijakan pemerintah itu antara lain penerapan baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tax exemption, hingga berbagai insentif yang digelontorkan untuk mendorong kinerja sektor-sektor perekonomian tertentu. Soal yang terakhir ini, mencakup kebijakan ‘pembebasan pajak’ dalam berbagai paket kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah belum lama ini.

    Belum lagi, persoalan klasik tentang cerita-cerita mengenai pengusaha yang menghindari pembayaran pajak dengan memanfaatkan celah regulasi seperti mengakali transfer pricing hingga membentuk perusahaan-perusahaan di negara suaka pajak.

    Sejauh ini pemerintah selalu tidak optimal untuk mengejar pengusaha-pengusaha yang mengemplang pajak. Hal ini dibuktikan dengan realisasi pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilakukan berjilid-jilid namun tidak berdampak secara signifikan terhadap kepatuhan formal wajib pajak (WP). 

    Contoh lain untuk melihat betap besarnya tax gap di Indonesia tampak dari rasio daya pungut Direktorat Jenderal Pajak alias DJP terhadap produk domestik bruto atau dalam terminologi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sering disederhanakan sebagai tax ratio dalam arti kecil. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.612,9 triliun hingga semester I/2025.

    Sementara berdasarkan pembukuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan sebesar Rp831,3 triliun pada semester 1/2024. Itu artinya pemerintah hanya memungut 7,15% dari total PDB semester 1/2025. Rendahnya daya pungut pemerintah itu juga bisa ditelusuri dengan menghitung kinerja jenis-jenis pajak yang menjadi sumber utama penerimaan, salah satunya PPN. 

    Kinerja PPN adalah anomali dalam penerimaan pajak. Sekadar ilustrasi, pemerintah sampai saat ini mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Tidak optimalnya penerimaan PPN itu dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang diterapkan pemerintah untuk menopang konsumsi yang masih menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi.

    Boros Belanja Pajak Konsumsi 

    Bisnis mencatat bahwa, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, proyeksi belanja pajak tercatat sebesar Rp563,6 triliun.

    Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, misalnya, proyeksi belanja pajak hanya ada di kisaran angka Rp530,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 6,27%.

    Adapun dalam RAPBN 2026, PPN dan PPnBM mendominasi proyeksi belanja perpajakan. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan. Pada 2025 pun porsi belanja pajak untuk PPN dan PPnBM terbesar yakni diproyeksikan Rp343,3 triliun atau 64,7%. Artinya ada kenaikan secara persentase.

    Hal itu sebagaimana 2021-2024 yakni belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM selalu memakan porsi terbesar yakni estimasi Rp169,9 triliun atau 57,9% pada 2021, Rp190,4 triliun atau 57,9% pada 2022, Rp208,2 triliun atau 57,8% pada 2023, dan Rp227,8 triliun atau 56,9% pada 2024. 

    Tren Berburu di Kebun Binatang 

    Pemicu tax gap lainnya selain dari kebijakan juga karena rendahnya kepatuhan formal wajib pajak. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Hal ini juga mengonfirmasi bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui serangkaian reformasi pajak juga tidak sepernuhnya optimal. 

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Kondisi Penerimaan 

    Adapun dengan capaian Rp990,01 triliun, realisasi setoran pajak sampai Juli 2025 itu masih di angka 47,2%. Padahal kalau mengacu kepada kinerja penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, lazimnya sampai Juli realisasi setoran pajak sudah melebihi angka 50% dari target tahunan.

    Sekadar contoh, pada tahun Juli 2024 lalu realisasi penerimaan pajak mampu mencapai Rp1.045,3 triliun atau 52,56%. Begitupula pada bulan Juli 2023, penerimaan pajak bahkan sudah menembus angka 64,56% dan pada Juli 2022 tercatat sebesar 69,26% dari target.

    Selain persentase realisasi dengan target, pelemahan penerimaan pajak sejatinya juga dapat dilihat dari sisi pertumbuhannya. Pada juli 2025, penerimaan pajak masih terkontraksi cukup dalam. Angkanya minus 5,29% year on year, meskipun cenderung lebih baik dibandingkan dengan Juli tahun lalu yang terkontraksi sebesar 5,75%.

    Namun demikian, jika dibandingkan dengan Juli 2023 dan 2022 yang masing-masing mampu tumbuh di angka 7,84% dan 58,79%, angka itu jauh lebih buruk. Khusus tahun 2022 terjadi lonjakan signifikan karena pada Juli 2021, penerimaan pajak masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Realisasi penerimannya pun hanya di angka Rp647,7 triliun.

    Adapun saat rapat di DPR pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkap empat pemicu rendahnya penerimaan pajak pada Juli 2025.

    Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu. Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu. Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Apa Kata Pengamat? 

    Sementara itu pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa  semua kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak, tidak terlepas dari rasionalitas yang mendasarinya termasuk kebijakan pajak yang dirumuskan oleh Menkeu saat ini.

    Prianto mencontohkan bahwa jika dPDB = C + I + G + (X – M), maka pertumbuhan PDB disokong oleh C = konsumsi dalam negeri (DN), I atau Investasi, G (pengeluaran pemerintah), dan  X – I atau ekspor – impor. 

    Berdasarkan empat komponen PDB di atas, PPh dan PPN secara matematis akan naik jika keempat komponen tsb tumbuh. Konsumsi naik, PPN naik dan laba diharapkan naik sehingga PPh badan tumbuh. Tenaga kerja juga tumbuh sehingga PPh 21 bisa naik.

    Begitu pula, ketika investasi meningkat, otomatis PPN dan PPh 21 seharusnya meningkat. Belanja pemerintah naik, PPN dan PPh badan juga naik Ekspor meningkat, maka laba diharapkan meningkat. “Makanya, PPh badan juga dapat meningkat,” kata Prianto.

    Kendati demikian, untuk memastikan hal itu optimal, otoritas pajak harus memperhatikan dan menjaga agar paradigma service and trust terus ditingkatkan. Dari sisi pelayanan, otoritas harus meningkatkan mutu pelayanan kepada semua WP. Sementara itu, dari sisi trust, pelayanan yang berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan trust (kepercayaan) WP. 

    “Pada gilirannya, voluntary compliance akan terus meningkat sehingga WP patuh dan membayar pajak secara sukarela,’ lanjutnya. 

    Selain itu, Prianto juga menyarankan supaya pemerintah meminimalkan paradigma cop and rob. Di satu sisi, otoritas pajak jangan berperan sebagai polisi (cop) yang menganggap WP sebagai rob (perampok). 

    “Kondisi cop and rob akan menumbuhkan enforced compliance sehingga WP terpaksa patuh karena dianggap perampok yang mengemplang atau menggelapkan pajak.”

  • Prabowo Berencana Kurangi Subsidi Listrik Tanpa Kerek Tarif, Begini Skemanya

    Prabowo Berencana Kurangi Subsidi Listrik Tanpa Kerek Tarif, Begini Skemanya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah mencari cara untuk menekan subsidi listrik tanpa membebani masyarakat dengan kenaikan tarif.

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan, rencana itu didiskusikan ketika rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada Kamis (18/9/2025).

    Dia menyebut, salah satu cara yang dipertimbangkan adalah dengan mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

    “Waktu di Hambalang kemarin, ada diskusi tentang program pengurangan subsidi listrik utamanya, dengan waktu itu dibicarakan tentang penggunaan PLTS surya ya,” jelasnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Namun, menurutnya, skema tersebut masih memiliki tantangan karena biaya pembangunan PLTS masih tinggi. Untuk itu, pemerintah akan mencari teknologi baru supaya biaya produksi listrik bisa lebih murah. 

    Pemerintah menargetkan pembangunan PLTS itu bisa membuat anggaran untuk subsidi listrik menyusut, bahkan tidak diperlukan lagi. Purbaya mengatakan, pemerintah mencari teknologi PLTS yang bisa mendorong efisiensi subsidi energi listrik yang besar.

    “Saya sudah lihat presentasinya, sudah ada desain PLTS yang cukup baik, yang termasuk pembuatan baterai di sini dan pembuatan solar panel di sini sendiri yang saya lihat sih cuma menjanjikan. Tapi saya melihat hitungannya belum terlalu mantap, belum selesai lah. Masih harus dikerjakan lagi,” ujarnya.

    Selain itu, pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk memakai sumber-sumber energi terbarukan lainnya yang lebih murah.

    Pria yang pernah menjadi Deputi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi itu memastikan upaya pengurangan subsidi itu bukan berarti akan menaikkan tarif listrik di masyarakat. Nantinya, hitung-hitungan pengurangan subsidi energi akan dilakukan oleh Kementerian ESDM.

    Tugas Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kata Purbaya, adalah dengan menyiapkan pembiayaan serta investasi. Dia menyebut, akan menghitung terlebih dahulu berapa pembiayaan dan investasi yang dibutuhkan.

    “Kita akan hitung itu. Kalau investasi besar tapi betul-betul menghasilkan, nanti begitu jadi, listrik yang lebih murah, yang bisa mengurangi subsidi dalam beberapa puluh tahun ke depan, itu saya enggak akan ragu untuk membiayainya,” terangnya.

    Adapun, anggaran subsidi listrik terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2026, anggaran subsidi listrik dipatok senilai Rp104,6 triliun atau naik 17,5% bila dibandingkan dengan outlook tahun anggaran 2025 yang sebesar Rp89 triliun.

    Subsidi listrik tersebut mengambil porsi 49,7% dari total anggaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang mencapai Rp210,1 triliun.

    Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, kenaikan anggaran subsidi listrik terutama dipengaruhi oleh peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik serta peningkatan volume listrik bersubsidi.

    Kenaikan BPP listrik disebabkan, antara lain perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa untuk cofiring PLTU, dan kenaikan bauran energi BBM dalam rangka meningkatkan keandalan pasokan listrik khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). (Dany Saputra)

  • Purbaya Tolak RUU Tax Amnesty, Pilih Tarik Dolar WNI di LN Pakai Insentif

    Purbaya Tolak RUU Tax Amnesty, Pilih Tarik Dolar WNI di LN Pakai Insentif

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak setuju dengan rencana amandemen Undang-undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty. 

    Eks Kepala Lembaga Penjamin Simpanan alias LPS itu menganggap bahwa penerapan kembali pengampunan pajak akan merusuk kredibilitas pemerintah.

    “Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali. Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.

    “Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya. Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.

    Purbaya mengatakan, saat ini pihaknya akan mengoptimalkan peraturan-peraturan yang ada untuk menggenjot penerimaan pajak. Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga akan meminimalkan penggelapan pajak.

    Lebih lanjut, Purbaya mengatakan pihaknya juga akan memperluas basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi yang sehat. Dia mengatakan, ke depannya penerimaan negara dapat tumbuh tanpa harus bergantung pada program yang memberi kelonggaran berulang seperti tax amnesty.

    “Jadi kita optimalkan semua peraturan yang ada. Minimalkan penggelapan pajak, memajukan ekonomi. Supaya dengan tax ratio yang konstan, misalnya penerimaan pajak saya tumbuh lebih banyak. Kita fokuskan di situ dulu,” ujarnya.

    Orang Suka Ngibul

    Purbaya juga mengatakan bahwa sebagai ekonom, dia memandang program itu bukan kebijakan yang tepat untuk memungut kewajiban pajak dan justru tidak memberikan sinyal yang bagus. Namun, dia tidak meyakini bisa menolak usulan tersebut. 

    “Saya lihat perkembangannya seperti apa. Cuma begini, kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul. Karena dia akan pikir, dua tahun lagi ada tax amnesty lagi,” jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Sabtu (20/9/2025). 

    Namun demikian, Purbaya menyebut akan tetap memelajari proposal yang bakal diajukan menjadi rancangan UU. Dia mengatakan bahwa hal yang tepat dilakukan adalah dengan menjalankan program pemungutan pajak yang tepat, dan menerapkan sanksi bagi yang tidak mematuhinya. 

    “Tapi kita jangan meres gitu. Jadi harus perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak. Dan kalau udah punya duit, ya dibelanjain kira-kira gitu,” ujarnya. 

    Mau Bikin Family Office?

    Meski demikian, di tengah gaduh wacana tax amnesty, Purbaya mengungkap pemerintah tengah mengkaji insentif untuk menarik investor domestik agar tidak menempatkan uangnya dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS) di luar negeri.

    Pernyataan Purbaya itu diungkapkan saat ramai pembahasan tentang amandemen UU Tax Amnesty dan riuh rendah rencana pembentukan Family Office. 

    Hal itu disampaikan Purbaya usai menghadiri rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Kendati demikian, Purbaya belum memerinci lebih lanjut terkait dengan rencana tersebut meski optimistis realisasinya bisa dilakukan dalam waktu satu bulan ke depan.

    “Bagaimana menarik uang-uang dolar yang orang suka taruh di luar balik ke sini. Tapi masih belum matang, masih kita matangkan lagi. Tapi kalau saya lihat rencananya cukup bagus sekali, jadi kemungkinan bisa dijalankan dalam waktu mungkin satu bulan ke depan, itu utamanya,” jelas Purbaya kepada wartawan.

    Pria yang lama bekerja di Danareksa itu memastikan hal tersebut bakal ditempuh dengan mekanisme pasar. Dia menegaskan cara yang ditempuh pemerintah untuk menarik investor itu bukan dengan paksaan.

    Purbaya menyebut pemerintah akan memikirkan insentif yang bisa membuat orang Indonesia lebih suka menaruh dolarnya di dalam negeri, dibandingkan di luar. Dia mengaku baru tahu bahwa setiap bulannya banyak investor domestik yang mengirimkan dolarnya ke luar negeri, termasuk ke kawasan Asean. 

    “Uang-uangnya utamanya ke beberapa negara di kawasan sini. Jadi kita akan menjaga itu dengan memberikan insentif yang menarik, sehingga mereka nggak usah capek-capek kirim dolarnya ke luar, itu utamanya,” ungkap Purbaya

  • Polemik MBG: Sikap Prabowo & Wacana Relokasi Anggaran

    Polemik MBG: Sikap Prabowo & Wacana Relokasi Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Wacana relokasi anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat usai terjadinya sejumlah persoalan pada pelaksanaan program tersebut seperti keracunan massal hingga rendahnya serapan anggaran.

    Rendahnya realisasi anggaran program MBG turut mendapatkan perhatian dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Dia mengatakan anggaran MBG berpotensi ditarik jika serapannya tidak maksimal hingga Oktober mendatang.

    Purbaya menuturkan, dirinya akan mengirim tim dari Kementerian Keuangan (Keuangan) untuk membantu percepatan penyerapan anggaran MBG. Meski demikian, jika serapan anggaran tetap tidak maksimal hingga Oktober mendatang, maka pihaknya bakal mengkaji kemungkinan untuk merelokasinya ke program pemerintah yang lain.

    “Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapannya hanya akan sekian, ya kita ambil juga uangnya. Kita sebar ke tempat lain atau untuk mengurangi defisit atau juga untuk mengurangi utang,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Lebih lanjut, Purbaya mengungkapkan sikap Presiden Prabowo terkait dengan masalah penyerapan anggaran MBG. Dia mengaku telah mendiskusikan rencana relokasi anggaran MBG ke program lainnya jika tidak terserap optimal.

    Menurut Purbaya, Presiden Prabowo telah merestui langkah yang disiapkan tersebut. Pasalnya, rencana ini juga merupakan bentuk kebijakan Kemenkeu untuk memotivasi Badan Gizi Nasional (BGN) serta instansi terkait lainnya dalam menggenjot penyerapan anggaran MBG.

    Meski demikian, menurut perhitungannya serapan MBG akan tetap lambat. Dia menambahkan, jika serapan anggaran MBG dapat diakselerasi, pihaknya juga membuka opsi penambahan anggaran.

    “Justru kita mau membantu MBG biar diserap lebih cepat, tapi kalau tidak ada sanksi, ya mereka santai-santai aja nanti. Ini stick and carrot namanya. Kalau bisa dilakukan lebih cepat, ditambah lagi uangnya (anggaran MBG),” jelas Purbaya.

    Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Muhammad Qodari mendukung rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang akan menarik anggaran MBG jika tak terserap dengan optimal.

    Qodari menyebut, rencana tersebut merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan strategi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menyerap anggaran secara efisien. Dia juga menyebut, rencana Menkeu Purbaya secara logika juga sudah tepat.

    “Pak Purbaya ini kan, konsep beliau adalah injak gas pertumbuhan. Kalau sudah dianggarkan lalu nggak turun, apalagi jumlahnya besar, itu kan sama saja dananya dormant juga. Makanya, harus didistribusikan kepada program-program yang lain,” jelas Qodari saat ditemui dalam acara DGVeRS: Celebrating Connectivity, Creativity, & Community di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

    Qodari menjelaskan, anggaran yang nantinya tidak terserap dari program MBG memang sebaiknya direalokasikan pada program-program lain. Hal ini agar perekonomian RI dapat bergerak dengan optimal dan kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi.

    Selain itu, dia juga menekankan pentingnya koordinasi antarinstansi terkait sehingga anggaran yang direalokasikan dapat digunakan dengan maksimal dan tidak tersendat penyerapannya

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi turut merespons terkait dengan rendahnya serapan anggaran MBG hingga adanya usulan agar anggaran dialihkan menjadi bantuan tunai untuk para penerima.

    Prasetyo mengatakan usulan tersebut bukanlah barang baru. Pasalnya, penggunaan uang tunai untuk program MBG sempat dibahas saat perancangan awal.

    “Kalau ide kan dari dulu banyak ya dan bukan berarti ide ini tidak baik, atau ini ide yang satu lebih baik, tidak,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Dia menekankan bahwa skema pemberian MBG saat ini merupakan mekanisme yang terbaik dari ide-ide yang sudah dibahas sebelumnya.

    Namun demikian, kata Hadi, pemerintah tentunya akan terus melakukan evaluasi atau perbaikan agar program prioritas Presiden Prabowo ini bisa maksimal.

    “Tapi kemudian konsep yang sekarang dijalankan BGN itulah yang dianggap oleh pemerintah oleh BGN itulah yang terbaik untuk saat ini dikerjakan. Bahwa masih ada catatan-catatan, ya betul kita akui,” pungkasnya.

    Respons BGN

    Terkait dengan serapan anggaran, Badan Gizi Nasional (BGN) selaku badan yang mendapat mandat untuk melaksanakan program MBG melaporkan bahwa sampai dengan 8 September 2025, realisasi anggaran mencapai Rp13,2 triliun. Realisasi tersebut baru mencapai 18,6% dari total pagu anggaran tahun ini yakni Rp71 triliun. 

    Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan bahwa penyerapan anggaran identik dengan jumlah penerima manfaat MBG. Dia mengakui adanya tantangan penyerapan anggaran pada implementasi awal proyek MBG, utamanya terkait pembangunan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 

    “Mesin penyerapan anggaran di Badan Gizi itu adalah jumlah SPPG. Satu SPPG berdiri dalam satu hari, maka Rp1 miliar akan terserap. Kenapa kita lambat di awal? Karena kan banyak orang yang tidak yakin program ini akan jalan,” kata Dadan

    Dia lantas menjelaskan bahwa pada Januari 2025 lalu, jumlah SPPG yang berdiri hanya sebanyak 190 unit. Alhasil, anggaran yang terserap hanya sebesar Rp190 miliar sepanjang bulan pertama MBG berjalan.

    Seiring berjalannya waktu, Dadan mengungkapkan bahwa 8.344 SPPG telah dibangun sejauh ini atau setara dengan penyerapan anggaran sebesar Rp8,3 triliun. Dia pun menargetkan dapur MBG yang beroperasi dapat menembus 10.000 unit pada pengujung September ini, sehingga penyerapan anggaran setidaknya Rp10 triliun per bulan dapat berjalan mulai bulan berikutnya.

    “Kita targetkan pada bulan Oktober sudah akan ada sekitar 20.000 SPPG, sehingga pada November itu sudah Rp20 triliun sendiri [total penyerapan anggaran MBG]. Seperti itu mekanismenya. Sehingga penyerapan itu di ujung akan sangat besar, bukan diada-adakan, tetapi karena SPPG-nya bertambah,” tutur Dadan.

    Evaluasi Besar-besaran

    Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperingatkan dampak program MBG apabila terus berlanjut tanpa evaluasi menyeluruh.

    Izzudin Al Farras selaku Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Indef menyampaikan bahwa pihaknya telah mencatat sedikitnya 4.000 siswa menjadi korban keracunan makanan MBG hingga akhir Agustus 2025, meskipun belum mendata angka terbaru hingga pertengahan September ini.

    “Dampak pertama, korban keracunan akan terus bertambah dan belum ada tanda-tanda berhenti,” kata Izzudin saat dihubungi Bisnis, Minggu (21/9/2025).

    Dia melanjutkan, dampak berikutnya adalah kemungkinan akan terus munculnya berbagai permasalahan yang bersumber dari tata kelola yang buruk terhadap proyek mercusuar pemerintah ini.

    Indef telah mengidentifikasi sejumlah permasalahan, antara lain dugaan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) fiktif, pemberian bahan mentah makanan, adanya hewan hidup di makanan, hingga dugaan ompreng alias food tray MBG dari minyak babi. 

    Apabila situasi ini terus berlanjut, Izzudin bahkan memperingatkan bahwa implementasi program MBG ini dapat memicu skandal korupsi di masa yang akan datang.

    Sementara itu, dampak ketiga terkait dengan alokasi anggaran MBG pada 2026 sebesar Rp335 triliun yang diniai sangat membebani fiskal Indonesia.

    Menurutnya, program MBG ini telah memakan 29% anggaran pendidikan dan 10% anggaran kesehatan, di tengah masih banyaknya persoalan pendidikan dan kesehatan yang lebih genting untuk diatasi oleh pemerintah.

    Permasalahan itu antara lain mencakup rendahnya pendapatan guru dan tenaga kesehatan di berbagai daerah, serta serapan anggaran MBG yang sangat minim. 

    “Oleh karena itu, program MBG yang terus berlanjut berdampak pada rendahnya kinerja pemerintah, tidak beredarnya uang di masyarakat sehingga MBG tidak memberi efek pengganda terhadap perekonomian dan kesejahteraan, prioritas anggaran lain menjadi tidak dapat terlaksana, serta tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045 tidak dapat tercapai,” tegas Izzudin.

  • Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    GELORA.CO – – Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan Kabinet Merah Putih (KMP). Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mencari formula terbaik demi menyukseskan program pemerintahan periode 2024-2029.

    Pengamat politik Agus Widjajanto, menilai reshuffle kali ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik di awal pemerintahan, ketika Prabowo harus mengakomodir berbagai kepentingan. Namun, sebagian menteri justru gagal menjawab ekspektasi publik dan menimbulkan keresahan.

    “Mungkin Presiden Prabowo sedang mencari formasi kabinet yang tepat, di mana awal dibentuk Presiden harus mengakomodir berbagai pihak yang berkepentingan, yang tentu jauh dari keinginan Prabowo sendiri,” kata Agus dalam keterangannya, Senin (22/9).

    Agus menyinggung soal anggapan perombakan kabinet sebagai upaya ‘bersih-bersih Geng Solo’. Ia menyerahkan sepenuhnya spekulasi itu kepada Presiden Prabowo. 

    “Yang pasti dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan politik yang berkuasa,” ujarnya.

    Namun, ia menekankan para menteri yang baru bergabung lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan publik. Agus secara khusus menyinggung Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa, agar tidak mudah mengeluarkan statemen yang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

    “Sampaikan apapun yang akan dilaksanakan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Jangan gampang membuat statemen ke publik dengan bahasa yang kadang disalahtafsirkan, lebih baik fokus bekerja dan tunjukkan kinerja yang baik demi kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

    Agus mencontohkan, polemik terkait kebijakan menggelontorkan dana Rp 200 triliun ke bank Himbara. Meski bertujuan mendorong ekonomi rakyat, kebijakan itu justru ditafsirkan berbeda oleh sebagian kalangan sehingga menimbulkan kegaduhan.

    Ia juga menyinggung apakah komposisi kabinet baru akan mampu mencapai target menuju Indonesia Emas 2045. Ia menilai hal itu sangat bergantung pada kebijakan yang diambil pemerintah. Apalagi, masyarakat terutama generasi Z semakin kritis terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.

    Lebih lanjut, ia menekankan perlunya perbaikan sistem ketatanegaraan, termasuk mengembalikan fungsi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dengan GBHN yang jelas, serta penegakan hukum yang bersih, adil, dan transparan.

    “Genjot lapangan kerja sebanyak-banyaknya, kurangi belanja APBN yang tidak perlu, arahkan pada program swasembada pangan agar pangan, sandang, papan murah. Kalau itu terwujud maka menuju Indonesia Emas bukan lagi keniscayaan,” pungkasnya

  • Teka-teki Arah Kebijakan Cukai Rokok Menkeu Purbaya, Naik atau Turun?

    Teka-teki Arah Kebijakan Cukai Rokok Menkeu Purbaya, Naik atau Turun?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri dan petani tembakau menunggu kebijakan cukai hasil tembakau alias CHT Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Apalagi Purbaya sempat mengemukakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok yang berlaku saat ini terlampau tinggi.

    Seperti diketahui, Menkeu Purbaya mengatakan pernah menanyakan tren tarif cukai ke jajarannya. Namun, saat menanyakan tren kenaikannya, dia kaget besaran kenaikannya secara akumulasi sudah sangat tinggi.

    Purbaya mengatakan, tarif rata-rata yang dikenakan untuk produk hasil tembakau mencapai sekitar 57%. 

    “Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya, cukai rokok gimana, sekarang berapa rata-rata? 57%. Wah tinggi amat. Fir’aun lu,” kelakarnya saat konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Padahal, dia menyebut, jika tarif cukai diturunkan penerimaan negara justru akan lebih besar. Namun, dia memahami tujuan dari tingginya tarif cukai rokok adalah untuk menekan konsumsi rokok nasional dan mengecilkan industrinya. 

    “Ternyata, kebijakan itu bukan hanya pendapatan saja di belakangnya. Ada kebijakan memang untuk mengecilkan konsumsi rokok. Sehingga otomatis industri-nya kecil dan tenaga kerja di sana juga kecil. Bagus, ada WHO di belakangnya,” ujar Purbaya

    Kendati demikian, Purbaya menilai desain kebijakan CHT selama ini belum dilakukan secara optimal. Dia menuturkan, regulasi tersebut tidak memperhitungkan jumlah tenaga kerja yang berpotensi terdampak pada sektor itu.

    Dampaknya, sejumlah perusahaan rokok nasional pun harus melakukan efisiensi. Ribuan pekerja terdampak pemutus hubungan kerja (PHK) dan serapan tembakau dari petani juga menurun.

    “Saya tanya, apakah kita sudah buat program untuk mitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? dijawab tidak ada. Loh, kok enak?,” katanya.

    Purbaya melanjutkan, mitigasi risiko terhadap pekerja yang berpotensi terdampak harus dilakukan sebelum kebijakan untuk mengecilkan industri rokok dibuat. Dengan demikian, kebijakan yang nantinya dihasilkan akan lebih optimal.

    “Selama kita tidak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang menganggur, industri itu nggak boleh dibunuh, ini hanya akan menimbulkan orang susah saja,” katanya.

    Petani Tembakau Menunggu 

    Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji mengaku, para petani tembakau dan masyarakat yang selama ini berkecimpung sekaligus menggantungkan perekonomian di sektor pertembakauan, memiliki asa besar terhadap pemerintah pusat untuk segera melakukan perbaikan atas regulasi tingginya Tarif CHT yang dinilai memberatkan.

    “Pernyataan ini kami anggap sebagai secercah asa. Kami berharap Menkeu Purbaya bisa mengkaji ulang dan memperbaiki regulasi terkait tingginya Tarif Cukai Hasil Tembakau yang selama ini memberatkan sektor industri, sekaligus berdampak negatif pada situasis ekonomi kalangan petani tembakau,” kata Pamuji dalam siaran resminya.

    Dia menyebut, ketika pihak industri dihantam kebijakan cukai yang mahal, maka secara otomatis akan berdampak langsung terhadap penyerapan bahan bahan baku tembakau di tingkat petani, akibat merosotnya daya beli konsumen terhadap produk rokokdi pasaran.

    Bahkan, lanjutnya, melemahnya perputaran ekonomi di sektor pertembakauan seperti ini, telah dirasakan sejak kurun waktu lima tahun terakhir. Terlebih, bagi mereka yang berada di daerah yang menjadi sentra pertembakauan.

    “Yang kami rasakan, petani tidak untung, tetapi malah buntung. Sehingga, perlu adanya langkah strategis dari pemerintah pusat agar dapat merubah kebijakan yang kami anggap justru melemahkan perekonomian dari sektor pertembakaun,” bebernya.

    Selain membuat kebijakan untuk menurunkan tingginya Tarif Cukai Hasil Tembakau, para petani juga mendorong agar pemerintah pusat menciptakan sebuah kebijakan tertentu, agar rokok ilegal dapat diarahkan menjadi produk rokok yang legal.

    “Tujuannya adalah agar peredaran rokok illegal, tidak menggerus eksistensi rokok yang resmi alias legal. Dampaknya juga buruk bagi petani, karena pada kasuistik rokok illegal, tidak ada kejelasan terkait masalah harga bahan baku tembakaunya sendiri,” jelasnya.

    Industri Menyambut Baik

    Kalangan pengusaha menilai opsi penurunan tarif cukai rokok akan menjadi insentif bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk bertahan dari lemahnya daya beli dan maraknya rokok ilegal.

    Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan mendukung gebrakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang ingin mengkaji opsi penurunan tarif cukai rokok dan pemberantasan rokok ilegal.

    “Penurunan tarif cukai akan memperkecil jarak harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga membuka celah pasar yang lebih luas bagi produk legal,” kata Henry dalam keterangan resmi, Rabu (17/9/2025).

    Menurutnya, langkah Purbaya relevan dengan kondisi terkini IHT legal nasional yang dalam beberapa waktu terakhir, menghadapi tekanan yang cukup berat. Wacana tersebut sudah ditunggu oleh pelaku usaha.

    Henry menuturkan Gappri juga telah berkirim surat ke Kemenkeu, agar diperkenankan beraudiensi. Harapannya, dari audiensi itu Menkeu mendapatkan kondisi obyektif situasi pasar secara riil dari pelaku usaha.

    Selama ini, lanjutnya, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang mencapai 67,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) hingga 89,5% dalam lima tahun terakhir telah membuat harga rokok legal menjadi tak terjangkau. Selisih yang terlalu jauh antara rokok legal dengan ilegal, membuat rokok ilegal masih marak.

    Gappri juga menyampaikan terima kasih kepada jajaran Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang terus menerus gencar memberantas rokok ilegal. Melalui Operasi Gurita, selain menjangkau seluruh rantai distribusi rokok ilegal dari hulu ke hilir.

    “Gappri berharap, Operasi Gurita juga menyasar sampai ke produsen rokok ilegal,” katanya.

    Tergantung Evaluasi 

    Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menyampaikan bahwa pihaknya belum memutuskan terkait tarif nasib cukai hasil tembakau atau cukai rokok pada 2026.

    Anggito menjelaskan naik atau tidaknya cukai rokok pada tahun depan akan tergantung kepada evaluasi kinerja sepanjang tahun ini.

    “Kita kan baru dapatkan angka targetnya ya. Nanti kita lihat evaluasi 2025 dan nanti 2026 seperti apa,” ujar Anggito di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).

    Adapun, target cukai rokok mencapai Rp230,09 triliun pada 2025. Hingga Juli 2025, realisasi penerimaan cukai rokok sebesar Rp121,98 triliun atau setara dengan 53,01% target sepanjang tahun.

  • OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA – Posisi Utang Luar Negeri Indonesia per Juli 2025 di laporkan menurun. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$432,5 miliar, menurun dibandingkan dengan posisi Juni 2025 sebesar US$434,1 miliar.

    Meski jumlah utang luar negeri turun, tetapi bukan berarti kita benar-benar aman dari tekanan utang luar negeri.

    Postur APBN Indonesia diakui atau tidak hingga kini masih terus tertekan karena dibebani utang luar negeri yang jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa di Senayan tanggal 8 September 2025 lalu, sejumlah anggota DPR mengingatkan tentang bahaya resiko gagal bayar (default). Sebagai Menkeu, Purbaya diminta memikirkan skenario pengurangan utang luar negeri, terutama untuk mengurangi rasio utang terhadap PDB. Utang luar negeri yang terlampau besar, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kondisi ekonomi nasional tidak sehat karena beban pembayaran utang dan cicilan utang yang terlampau besar.

    Ketergantungan terhadap utang yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan mendorong Indonesia terjerumus menanggung beban pembiayaan pembangunan yang tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pergantian Menkeu adalah momentum untuk menakar ulang dan merumuskan strategi yang lebih efektif untuk melepaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri. Mungkinkah?

    Menurut Bank Indonesia, secara tahunan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 4,1% (YoY), melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (YoY) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan utang luar negeri sektor publik. Sedangkan untuk utang luar negeri pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$211,7 miliar, atau tumbuh sebesar 9,0% (YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (YoY) pada Juni 2025.

    Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel, pemanfaatan utang luar negeri terus diarahkan pemerintah untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan perekonomian Indonesia.

    Posisi utang luar negeri pemerintah relatif terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total utang luar negeri pemerintah.

    Untuk utang luar negeri swasta per Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (YoY). Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa utang luar negeri swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan & Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total utang luar negeri swasta.

    Pemerintah mengklaim bahwa struktur utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori sehat. Tetapi, bukan berarti utang luar negeri Indonesia benar-benar aman. Saat ini, beban pembayaran utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah sesungguhnya sudah mencapai Rp1.300 triliun. Pada 2025, pemerintah diperkirakan harus membayar bunga utang Rp552,1 triliun atau 16% dari total belanja negara. Padahal angka amannya di kisaran 10%. Selain itu, debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara juga jauh di atas di batas aman 25%.

    Bagi Indonesia, kewajiban membayar utang pokok dan cicilan utang sesungguhnya adalah beban yang berat, terutama ketika sumber-sumber penerimaan APBN tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Untuk membiayai delapan program prioritas pemerintah kita tahu dibutuhkan dana yang sangat besar, yakni sekitar Rp3.000 triliun. Ketika alokasi APBN yang diperuntukkan untuk membayar utang luar negeri besar, maka resikonya alokasi dana untuk program pembangunan menjadi tidak terlampau signifikan.

    Sejumlah risiko yang harus ditanggung Indonesia ketika utang luar negeri terlampau besar, antara lain adalah: Pertama, utang luar negeri yang besar dapat memengaruhi stabilitas moneter, sehingga bukan tidak mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya inflasi dan depresiasi mata uang. Kedua, utang luar negeri yang terlampau besar, niscaya akan membuat posisi Indonesia lemah dan tergantung pada kreditur luar negeri. Pengalaman telah banyak membuktikan ketika kita terlalu tergantung pada utang luar negeri, maka langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kemampuan Indonesia untuk mengambil ke putusan ekonomi yang independen. Ketiga, utang luar negeri yang besar menyebabkan beban pembayaran utang menjadi berat, sehingga mengurangi kemampuan negara untuk membiayai program-program pembangunan lainnya.

    Bagi Indonesia, kebutuhan membiayai pro-gram-program pembangunan yang gigantis, umumnya menyedot alokasi dana yang besar.

    ALTERNATIF

    Untuk memastikan agar beban utang luar negeri tidak makin berat, tentu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola utang dengan bijak sembari mencari jalan keluar dari ketergantungan akan utang. Selain mempertimbangkan kemampuan membayar dan memilih utang dengan suku bunga yang rendah dan jangka waktu yang panjang, yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari alter-natif sumber pembiayaan di luar utang.

    Indonesia agar dapat lepas dari ketergantungan utang, tentu harus dapat meningkatkan pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan alternatif, seperti pajak, ekspor dan sumber daya alam jika dikelola dengan baik niscaya akan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Di samping itu, satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan agar pengelolaan utang dan anggaran pembangunan benar-benar dilakukan secara transparan.

    Tanpa adanya transparansi dan kemampuan untuk mencari sumber pendanaan alternatif, jangan harap Indonesia mampu keluar dari beban utang luar negeri yang terus menghantu