Magetan (beritajatim.com) – Udara di lereng Pacalan, Plaosan, Magetan, terasa sejuk di pagi itu. Bersih, jernih, dan menyegarkan. Kabut tipis menghiasi pepohonan. Cahaya matahari mulai muncul. Perlahan mengusir gelap.
Sebagian orang mungkin masih sibuk dengan urusan domestik mereka. Tetapi, para petani sudah tak lagi di rumah. Sibuk dengan aktivitas harian mereka di ladang sayuran: Menyiangi, memotong, mengumpulkan, dan menimbang panen yang siap berangkat. Kebetulan, momen panen sayuran sedang berlangsung.
Ya, lereng Pacalan memang terkenal akan komoditas pertanian berupa sayuran. Beragam jenis sayuran tumbuh subur di lereng Gunung Lawu itu. Bahkan, sayuran dari tempat ini sampai dipesan daerah lain di luar Magetan.
“Sekarang permintaan sayur lebih sering datang dari luar Magetan,” ujar Jurianto, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimbun Lestari, membuka percakapan dengan senyum bangga.
Menariknya, pesanan sayur dari Pacalan yang cukup besar berasal dari Ngawi dan Surabaya. Benar. Surabaya. Kota yang jaraknya ratusan kilometer dari Magetan.
“Ngawi dan Surabaya itu langganan. Seminggu bisa dua kali kirim. Kalau ramai, nilai transaksinya bisa sampai Rp10 juta sekali jalan,” terang dia.
Kondisi ini mulai dirasakan para petani Pacalan sejak adanya. Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program andalan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Begitu MBG dimulai, sayur dari Pacalan rutin dikirim ke Surabaya dan Ngawi.
Sayur-sayur tersebut dikirim dengan tujuan langsung yaitu sejumlah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Tidak ke pasar induk lebih dulu. Jadi, langsung memenuhi permintaan SPPG dalam menyediakan 3.000 porsi lima hari dalam sepekan.
Bagi Jurianto, pesanan dari dua daerah tersebut, terutama Surabaya, menjadi penenang di tengah rutinitas bisnis pertanian nasibnya tak mudah ditebak. Permintaan yang stabil seperti itu terasa seperti angin segar. Harga naik-turun, cuaca berubah ekstrem, hingga biaya pupuk dan obat tanaman yang terus meroket seolah terbayar ketika truk yang membawa hasil panen melaju ke tujuan.
Sementara untuk Magetan, Jurianto mengaku ada yang aneh. Justru di “rumah” sendiri, tak ada satupun permintaan sayuran muncul. “Untuk Magetan sendiri justru belum ada yang jalan. Padahal petaninya di sini siap,” kata dia tegas.
Berharap Pada yang Dekat
Program MBG) sebenarnya membuka harapan besar bagi para petani. Dengan penerima manfaat yang luas — siswa sekolah, ibu hamil, hingga kelompok rentan — kebutuhan bahan pangan sehat diyakini meningkat.
Sedangkan Magetan dikenal sebagai salah satu sentra hortikultura di Jawa Timur. Terutama sayur mayur dataran tinggi. Secara logis, MBG menjadi ruang besar bagi produk lokal: kubis Pacalan, wortel Sarangan, kentang dan sawi dari Desa Dadi. Namun dalam praktiknya, serapan lokal belum benar-benar dirasakan — setidaknya oleh Pacalan.
Agus Suharto, Kepala Desa Pacalan, bangga dengan program MBG karena selaras dengan upaya desa meningkatkan kesejahteraan petani. Tetapi menghadapi kenyataan sedikitnya permintaan sayuran dari Magetan, Agus juga merasa heran.
Dalam pandangan Agus, MBG seharusnya berpihak dulu pada petani daerah asalnya. Seharusnya, semua kebutuhan dapur SPPG di Magetan dipenuhi dari petani setempat. Barulah ketika kebutuhan dapur tidak bisa lagi mengandalkan pasokan dari Magetan, bisa mengandalkan stok dari daerah lain.
“Telur lokal ya beli di peternak lokal, daging lokal dari peternak lokal juga. Sayur ya dari Pacalan, Poncol, Sidomukti, se-Kabupaten Magetan dulu,” kata Agus.
Nyatanya, banyak SPPG di Magetan justru memenuhi kebutuhannya dengan mengambil pasokan dari daerah lain. Data Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Magetan mencatat dari total 23 SPPG seluruh Magetan, 3 di antaranya berlokasi di Kecamatan Plaosan. Namun sayangnya, 3 SPPG itu tidak menyerap hasil tani dari Pacalan.
“Ya selama ada tawaran dan harga masuk akal, petani kami akan kami arahkan dengan baik. Namun, arahan ini jadi sia-sia kalau tidak ada yang beli,” katanya.
300 Petani dan Mimpi Besar Membalik Nasib
KTH Rimbun Lestari menaungi sekitar 300 petani. Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah keluarga kecil yang menggantungkan hidup pada panen tiap 30–60 hari, tergantung komoditas.
“Sejak kerja sama dengan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Ngawi dan Surabaya, pendapatan petani bisa naik sekitar 50 sampai 60 persen,” ucap Jurianto.
Peningkatan penghasilan itu membuat ekonomi desa berputar agak kencang. Petani bisa beli pupuk tanpa berutang, peralatan panen mulai diperbarui, anak-anak petani bisa sekolah tanpa tunggakan, dan UMKM pendukung pertanian ikut hidup.
Namun peningkatan itu rapuh. Ketika harga lokal mulai naik, pasokan dari luar langsung membanjir. Alhasil, harga kembali jatuh.
“Baru naik sedikit kubis Pacalan, langsung masuk kubis Wonosobo, Probolinggo, Bandung,” keluh Agus. “Petani ya ndlosor (melandao) lagi harganya.”
Inilah alasan mengapa KTH mengatur strategi tanam berbasis permintaan pasar. Hari ini buncis dicari, besok semua menanam buncis. Minggu depan sawi putih naik, petani langsung beralih. Tapi tanpa proteksi harga, strategi ini seperti berjudi dengan waktu dan cuaca.
Sistem “Kontan” Menjaga Kepercayaan
Ada prinsip yang dipegang Jurianto dan kelompoknya: petani tidak boleh menunggu uang hasil panen. Sebelum sayur dikirim, uang harus sudah dipegang petani.
“Kalau nimbang langsung dibayar. Itu yang dibutuhkan petani,” tekan Jurianto.
Pernah ada tawaran dari pihak luar yang ingin sistem pembayaran mundur. Namun, sistem itu justru menambah beban petani.
“Ada dapur dari Madiun. Sistem kontrak harga, bayarnya seminggu sekali. Kami tolak. Kalau petani harus menunggu, mereka bisa tidak makan,” terang Jurianto.
Cara sederhana namun kritis: menghapus kecemasan petani, menjaga ritme produksi, serta meningkatkan kepercayaan dan kontinuitas suplai. Dalam jangka panjang, sistem semacam ini mampu memperkuat ekonomi berbasis produksi, bukan tengkulak.
Krisis Harga yang Lama Tak Teratasi
Harga sayuran masih fluktuatif setiap saat. Kondisi ini terjadi akibat tidak ada batas bawah seperti yang diberlakukan pada padi dan jagung.
“Petani itu kalau pupuk naik nggak pernah demo. Padahal yang mereka perlu cuma satu: harga panen jangan dibanting,” kata Agus.
Sebagai pemimpin desa, ia mencoba memberi solusi nyata: membina pasar khusus bagi petani Pacalan, mengatur arus pasokan agar tengkulak luar tidak mendominasi, dan membentuk jejaring penjualan yang lebih mandiri
MBG: Kunci Ekonomi Hijau Magetan
Jika dikelola secara visioner, program MBG mampu menjadi game changer bagi pertanian Magetan. Sebab dengan MBG, petani mendapat jaminan pasar tetap ada, juga produksi lokal bisa diserap secara langsung. Selain itu, MBG juga mendorong petani meningkatkan kualitas. Serta menghidupkan UMKM logistik dan dapur olahan
Bayangkan jika seluruh sekolah dan kelompok penerima manfaat di Magetan berkomitmen membeli minimal 50–70 persen dari petani lokal. Dampak yang timbul antara lain: miliaran rupiah berputar di Magetan, memperkuat etahanan pangan lokal, petani berani investasi alat dan lahan, serta kaum muda kembali mau bertani. Inilah sejatinya ekonomi hijau yang menyejahterakan akar rumput.
Dari Lereng Gunung ke Meja Makan
Bagi Jurianto, menjadi petani bukan hanya soal panen dan uang. Ia ingin generasi muda melihat bahwa pertanian punya masa depan.
“Kita ingin anak-anak petani bangga pada kerja orang tuanya.”
Mereka percaya, makan bergizi untuk siswa melalui MBG dihasilkan dari pangan lokal yang segar dan sehat, dibudidayakan oleh tangan-tangan petani yang merawat bumi, adalah rantai keberlanjutan yang harus dijaga bersama.
Agus menutup perbincangan dengan harapan,“Tolong bantu suarakan bahwa MBG juga harus menyejahterakan petani kecil. Kalau petani hidup sejahtera, Magetan juga ikut maju.”
Di balik seiris wortel dalam ompreng MBG yang tiba di sekolah, tersimpan cerita panjang perjuangan petani Pacalan menjaga ekonomi tetap berdenyut. Setiap truk yang meluncur dari desa menjadi bukti bahwa Magetan memiliki kekuatan pangan yang bisa menopang Generasi Emas Indonesia — tinggal memastikan pintu-pintu pasarnya tidak terkunci dari dalam. [fiq/beq]