Tag: Fuji

  • 8
                    
                        Hakim Singgung Gaya Hidup Panitera PN Jakut, Hobi Main Golf hingga Sewa Rumah Mewah
                        Nasional

    8 Hakim Singgung Gaya Hidup Panitera PN Jakut, Hobi Main Golf hingga Sewa Rumah Mewah Nasional

    Hakim Singgung Gaya Hidup Panitera PN Jakut, Hobi Main Golf hingga Sewa Rumah Mewah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Majelis hakim mencecar gaya hidup Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, yang diketahui memiliki banyak aset dan hobi bermain golf.
    Hal ini terjadi saat istri Wahyu, Deilla Dovianti, menjadi saksi dalam sidang penanganan perkara kasus korupsi suap hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas kepada korporasi
    crude palm oil
    (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor).
    “Suami hobi main golf. (Deilla selaku istri) dibelikan mobil Innova Zenix,” ujar Hakim Anggota Adek Nurhadi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2025).
    Awalnya, Deilla enggan mengakui bahwa Wahyu pernah membelikannya mobil.
    Namun, dalam salah satu berita acara pemeriksaan (BAP) terungkap bahwa pada tahun 2024, Wahyu pernah membeli satu mobil Innova Zenix dan atas nama Deilla.
    Wahyu dan Deilla diketahui menikah pada Maret 2023.
    Deilla menyebutkan bahwa sebelum menikah, Wahyu memang sudah memiliki beberapa aset, salah satunya motor merek Harley Davidson.
    Namun, ia mengaku tidak tahu berapa harga motor gede tersebut.
    Setelah menikah, Deilla mengaku tinggal bersama Wahyu di sebuah rumah di perumahan di Cilincing, Jakarta Utara.
    Deilla mengaku bahwa mereka masih mengontrak di rumah ini.
    Namun, per tahunnya, uang sewa mereka menyentuh Rp 100 juta.
    Hakim Anggota Andi Saputra juga sempat mencecar Deilla terkait gaya hidup mereka berdua.
    “Tahu gaji suami berapa sebulan?” tanya Hakim Andi.
    Deilla mengaku tidak tahu pasti gaji suaminya.
    Namun, ia mengaku diberikan nafkah senilai Rp 5 juta per bulan oleh Wahyu.
    Uang ini digunakannya untuk memenuhi kebutuhan rumah, termasuk membiayai hidup dua anak mereka.
    Ketika dicecar hakim, Deilla menjelaskan bahwa sehari-harinya, Wahyu beraktivitas menggunakan mobil Innova Zenix.
    “Suami punya Harley, saudara dikasih (per bulan) Rp 5 juta, enggak masalah?” tanya hakim lagi.
    Deilla mengaku tidak pernah mempermasalahkan ketimpangan ini.
    “Suami kan PNS, ada aset, harta kekayaan, anda enggak pernah nanya?” tanya Hakim Andi lagi.
    “Saya enggak pernah menanyakan,” jawab istri Wahyu ini.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Hakim Singgung Gaya Hidup Panitera PN Jakut, Hobi Main Golf hingga Sewa Rumah Mewah
                        Nasional

    Akui Terima Tas dan Sepatu dari Marcella Santoso, Istri Panitera PN Jakut Bantah Gratifikasi Nasional 4 September 2025

    Akui Terima Tas dan Sepatu dari Marcella Santoso, Istri Panitera PN Jakut Bantah Gratifikasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Istri dari Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, Deilla Dovianti mengaku pernah menerima sejumlah pemberian dari pengacara Ariyanto dan Marcella Santoso.
    Hal ini terungkap saat Hakim Anggota Adek Nurhadi mencecar Deilla yang menjadi saksi dalam sidang penanganan perkara kasus korupsi suap hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas kepada korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor).
    “Ada terima pemberian hadiah (dari Marcella dan Ariyanto) yang diterima saudara?” tanya hakim dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2025).
    “(Ada hadiah) berupa tas dan sepatu,” jawab Deilla.
    Dalam persidangan, Deilla tidak menyebutkan berapa jumlah atau harga barang yang diterimanya dari pihak pengacara korporasi CPO ini.
    Tapi, ia menyebutkan, beberapa tas dan sepatu terbuat dari kulit ular.
    Hakim mencecar Deilla soal kedekatan suaminya, Wahyu dengan para pengacara ini.
    “Tadi beberapa chat (sebut) om botak, itu seolah-olah familiar sekali. Bahasa yang digunakan itu familiar. Saudara itu berarti dekat ya dengan Ariyanto dan Marcella?” cecar hakim.
    Kepada hakim, Deilla mengaku dirinya secara pribadi tidak dekat dengan dua pengacara yang kini sudah berstatus sebagai tersangka ini.
    Hakim kembali mempertanyakan maksud dan tujuan pemberian hadiah dari para pengacara.
    Pasalnya, suaminya Wahyu berstatus sebagai pejabat negara karena bekerja sebagai pegawai di pengadilan negeri.
    “Itu enggak termasuk gratifikasi?” tanya hakim.
    Deilla membantah pemberian hadiah oleh Marcella adalah gratifikasi.
    “Tidak, karena tidak ada sangkut paut dengan kerjaannya (Wahyu selaku pejabat PN),” jawab Deilla.
    Deilla yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta ini mengeklaim, pemberian tas dan sepatu oleh Marcella adalah sebatas oleh-oleh.
    “Menurut keterangan suami saya, hal tersebut, tas sepatu adalah oleh-oleh dari mereka,” kata Deilla lagi.
    Kedekatan antara Wahyu Gunawan dan Ariyanto sempat disinggung dalam sidang lalu.
    Saat itu, Ariyanto yang dihadirkan dalam persidangan mengaku kalau ia dan Wahyu saling kenal melalui media sosial.
    Saat itu, Ariyanto yang sering membuat konten dan menjadi influencer juga menarik perhatian Wahyu.
    “Sebelum Covid, mungkin 2-3 tahun, saudara Wahyu sering sounding sama saya di medsos,” cerita Ariyanto saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
    Sejak sebelum Covid-19 melanda dunia pada tahun 2019, Wahyu sudah pernah menghubungi Ariyanto dan memperkenalkan diri sebagai Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
    Awalnya berkomunikasi melalui medsos, Ariyanto dan Wahyu bertemu dalam satu acara motor. Keduanya diketahui sama-sama penyuka motor Harley Davidson.
    “Kemudian pada pagi Minggu, itu berapa tahun lalu, saya lupa, ya kita ketemu di perkumpulan motor, sebatas obrolan motor,” kata Ariyanto.
    Saat itu, kasus perkara CPO belum terjadi. Tapi, keduanya masih saling menjaga komunikasi.
    Kemudian, ketika ada perkara korporasi CPO, komunikasi antara Ariyanto dan Wahyu menjadi lebih intens.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jepang Terpanggang! Suhu Mendidih Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah

    Jepang Terpanggang! Suhu Mendidih Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tokyo, ibu kota Jepang, menghadapi gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan suhu mencapai 35 derajat Celsius atau lebih selama 10 hari berturut-turut. Badan Meteorologi Jepang (JMA) pada Rabu (27/8/2027) menegaskan bahwa catatan ini merupakan yang pertama sejak pencatatan dimulai pada 1875.

    “Ini adalah pertama kalinya sejak survei dimulai pada 1875 terjadi rentetan panas seperti ini,” kata JMA kepada AFP, menyebut Rabu sebagai hari ke-10 berturut-turut dengan suhu ekstrem.

    Fenomena ini terjadi setelah Jepang mengalami Juni dan Juli terpanas sepanjang sejarah pencatatan sejak 1898, dan Agustus ini negara itu juga mencatat suhu tertinggi sepanjang masa, yakni 41,8°C di Kota Isesaki, Prefektur Gunma.

    Adapun gelombang panas membawa dampak serius terhadap kesehatan. Badan Manajemen Kebakaran dan Bencana Jepang melaporkan lebih dari 8.400 orang dirawat di rumah sakit akibat heatstroke pekan lalu, dan 12 orang dilaporkan meninggal dunia.

    Pejabat kesehatan mendesak masyarakat, terutama kelompok lanjut usia yang menjadi populasi terbesar kedua di dunia setelah Monako, agar berlindung di ruangan ber-AC selama musim panas untuk mencegah dehidrasi dan serangan panas.

    Para ahli menegaskan bahwa gelombang panas dan cuaca ekstrem ini merupakan bukti nyata meningkatnya dampak perubahan iklim. Musim panas tahun lalu tercatat sebagai yang terpanas sepanjang sejarah bersama tahun 2023, disusul musim gugur terhangat sejak pencatatan 126 tahun lalu.

    Pemanasan global juga memengaruhi ikon alam Jepang. Pohon sakura yang terkenal kini mulai berbunga lebih awal atau bahkan tidak mekar sempurna karena musim gugur dan dingin yang terlalu hangat. Salju abadi di puncak Gunung Fuji pun semakin jarang terlihat; tahun lalu salju baru muncul pada awal November, padahal biasanya muncul di awal Oktober.

    Data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menunjukkan bahwa Asia termasuk wilayah dengan percepatan pemanasan tercepat sejak 1990, hanya sedikit di belakang Eropa.

    Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan peringatan bahwa kenaikan suhu global membawa dampak semakin buruk terhadap kesehatan dan produktivitas pekerja. Dalam laporan bersama badan kesehatan dan iklim PBB disebutkan bahwa produktivitas pekerja menurun 2-3 persen untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat di atas 20°C.

    Risiko kesehatan yang ditimbulkan meliputi heatstroke, dehidrasi, gangguan fungsi ginjal, hingga masalah neurologis. Kelompok pekerja manual seperti petani, buruh konstruksi, dan nelayan termasuk yang paling rentan terhadap dampak kenaikan suhu ekstrem ini.

    Di sisi lain, sebagian wilayah Jepang justru dilanda hujan lebat yang juga mencetak rekor. NHK melaporkan bahwa sebuah kota di pulau utara Hokkaido, Toyotomi, diguyur curah hujan setara rata-rata satu bulan penuh dalam hanya 12 jam pada Selasa (26/8/2025).

    Di Prefektur Yamaguchi bagian barat, sekitar 400 rumah tangga di Kota Hagi diminta untuk segera mengungsi karena risiko tanah longsor yang meningkat akibat curah hujan ekstrem.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ary Bakri Ungkap Wahyu Gunawan Pernah Minta Kerjaan Sebelum Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Agustus 2025

    Ary Bakri Ungkap Wahyu Gunawan Pernah Minta Kerjaan Sebelum Kasus CPO Nasional 27 Agustus 2025

    Ary Bakri Ungkap Wahyu Gunawan Pernah Minta Kerjaan Sebelum Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara Ariyanto Bakri mengungkapkan bahwa Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, pernah menyinggung tentang permintaan kerjaan sebelum kasus korupsi terkait perusahaan crude palm oil (CPO) bergulir.
    Hal ini terungkap saat Ary Bakri, sapaan Ariyanto Bakri, dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang penanganan perkara kasus korupsi suap hakim yang memberikan vonis ontslag atau vonis lepas kepada korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor).
    “Dan, beliau (Wahyu) sering katakan, ‘Kalau ada kerjaan kasih saya’. Dia bilang gitu,” ujar Ariyanto saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
    Ary Bakri mengatakan bahwa dirinya pertama kali mengenal Wahyu melalui media sosial.
    Saat itu, Ary Bakri yang sering membuat konten dan menjadi influencer juga menarik perhatian Wahyu.
    “Sebelum Covid, mungkin 2-3 tahun, saudara Wahyu sering
    sounding
    sama saya di medsos,” cerita Ariyanto.
    Sejak sebelum Covid-19 melanda dunia pada tahun 2019, Wahyu sudah pernah menghubungi Ariyanto dan memperkenalkan diri sebagai Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
    Awalnya berkomunikasi melalui medsos, Ariyanto dan Wahyu bertemu dalam satu acara motor.
    Keduanya diketahui sama-sama penyuka motor Harley Davidson.
    “Kemudian pada pagi Minggu, itu berapa tahun lalu, saya lupa, ya kita ketemu di perkumpulan motor, sebatas obrolan motor,” kata Ariyanto.

    Saat itu, kasus perkara CPO belum terjadi. Namun, keduanya masih saling menjaga komunikasi.
    Kemudian, ketika ada perkara korporasi CPO, komunikasi antara Ary Bakri dan Wahyu menjadi lebih intens.
    Dalam kasus ini, Ary Bakri menjadi pihak yang mewakili tiga korporasi CPO.
    Melalui Ary Bakri, tiga korporasi ini menyuap para hakim agar mendapatkan vonis ontslag.
    Kelima terdakwa diduga menerima uang suap senilai Rp 40 miliar.
    Rinciannya, Eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, menerima Rp 15,7 miliar; satu orang menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar.
    Lalu, para hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Primair Pasal 12 huruf c subsider Pasal 12 huruf a, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPRD soroti kebijakan Gubernur Jabar terkait penghapusan tunggakan PBB

    DPRD soroti kebijakan Gubernur Jabar terkait penghapusan tunggakan PBB

    Jadi jangan serta merta imbauan tersebut diadopsi. Lihat dulu siapa yang menunggak PBB dan siapa penerima manfaatnya jika tunggakan dihapuskan

    Kabupaten Bekasi (ANTARA) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menyoroti kebijakan penghapusan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dikeluarkan Gubernur Dedi Mulyadi kepada seluruh kabupaten dan kota se-Jawa Barat, termasuk Kabupaten Bekasi.

    Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi Jiovanno Nahampun mengaku khawatir kebijakan itu tidak tepat sasaran apabila diterapkan tanpa skema jelas, mengingat piutang PBB-P2 di daerah itu mencapai Rp1 triliun dengan mayoritas penunggak berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas.

    “Sedangkan masyarakat biasa yang hanya memiliki satu rumah, justru lebih patuh membayar pajak. Jadi jangan serta merta imbauan tersebut diadopsi. Lihat dulu siapa yang menunggak PBB dan siapa penerima manfaatnya jika tunggakan dihapuskan,” katanya di Cikarang, Senin.

    Berdasarkan monitoring dan evaluasi Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, banyak tunggakan PBB berasal dari masyarakat yang tergolong mapan secara ekonomi. Mereka memiliki banyak aset berupa rumah dan tanah tetapi tidak patuh membayar pajak.

    “Bahkan beberapa kasus menunjukkan nilai tunggakan mencapai ratusan juta rupiah. Salah satu contoh adalah tunggakan sebesar Rp400 juta akibat pajak yang tidak dibayar selama bertahun-tahun. Kasus seperti ini banyak ditemukan di wilayah perkotaan seperti Cikarang, Tambun hingga Cibitung,” katanya.

    Politisi PDI Perjuangan itu menilai penghapusan tunggakan PBB memang dapat meringankan beban masyarakat namun harus dilakukan secara selektif agar tidak merugikan pemerintah daerah.

    Jika penghapusan dilakukan terhadap wajib pajak yang mampu membayar tetapi sengaja lalai, maka potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan terganggu. Padahal, PAD dari sektor PBB sangat penting untuk mendukung pembangunan infrastruktur.

    “Kalau tunggakan mau dihapuskan, jangan diberlakukan bagi semua wajib pajak. Penghapusan hanya berlaku bagi warga menengah ke bawah yang memang membutuhkan bantuan. Sebaliknya, bagi kalangan menengah atas yang mampu tetapi tidak patuh, upaya penagihan harus ditingkatkan,” katanya.

    PAD Kabupaten Bekasi senilai triliunan rupiah berpotensi melayang jika pemerintah daerah mengikuti imbauan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait penghapusan tunggakan PBB-P2 terhitung sejak tahun 2024 ke belakang.

    Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bekasi mencatat piutang PBB-P2 hingga akhir 2024 mencapai lebih dari Rp1 triliun. Saat ini, piutang tersebut masih dalam proses penagihan dan belum memasuki jatuh tempo pada September 2025.

    “Untuk sektor PBB-P2, piutang mencapai Rp1 triliun lebih dan sebagian besar dimiliki oleh wajib pajak kategori ekonomi menengah atas,” kata Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Pendapatan Daerah pada Bapenda Kabupaten Bekasi Fuji Nugraha.

    Fuji menambahkan kepatuhan pembayaran pajak cenderung lebih tinggi di kalangan masyarakat biasa dibanding menengah atas. Pihaknya juga akan meninjau siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan penghapusan PBB-P2.

    “Masyarakat biasa justru lebih taat membayar pajak sementara pemilik lahan besar memiliki nilai PBB yang jauh lebih tinggi. Bahkan, satu orang bisa menunggak PBB hingga Rp1 miliar karena luas lahan,” ucap dia.

    Dirinya mengaku kebijakan penghapusan tunggakan PBB-P2 masih akan dibahas bersama pimpinan. “Kami masih akan membahas persoalan ini bersama pimpinan,” kata dia.(KR-PRA).

    Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Djuyamto Disebut Pernah Ditawari Rp20 M untuk Kabulkan Eksepsi Korporasi CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 Agustus 2025

    Djuyamto Disebut Pernah Ditawari Rp20 M untuk Kabulkan Eksepsi Korporasi CPO Nasional 21 Agustus 2025

    Djuyamto Disebut Pernah Ditawari Rp20 M untuk Kabulkan Eksepsi Korporasi CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim nonaktif Djuyamto sempat ditawari Rp20 miliar untuk mengabulkan eksepsi korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) sebelum kasus berujung onslag alias vonis lepas.
    Hal ini diungkap oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan terhadap majelis hakim yang mengadili perkara kasus minyak goreng ini, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
    “Saat itu, Wahyu Gunawan (terdakwa kasus terpisah) menyampaikan permintaan Ariyanto yang menawarkan uang sebesar Rp20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng,” ujar JPU saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
    Ariyanto merupakan salah satu pengacara yang ditunjuk oleh pihak korporasi.
    Sementara itu, Wahyu Gunawan adalah panitera muda nonaktif PN Jakut yang menjembatani pihak korporasi dengan hakim.
    Wahyu dan Djuyamto pernah bertemu di Lippo Mall Kemang pada Februari 2024.
    Saat itu, berkas perkara korporasi belum dilimpahkan ke PN Jakpus.
    Namun, dalam pertemuan itu, pihak korporasi telah meminta Djuyamto agar bisa mengabulkan permohonan eksepsi.
    Pertemuan Wahyu dan Djuyamto ini terjadi karena Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus, telah menyebutkan bahwa Djuyamto akan ditunjukkan sebagai salah satu hakim yang mengadili perkara korporasi CPO.
    Kepada Wahyu yang menyampaikan permintaan Ariyanto, Djuyamto belum dapat menjanjikan dapat mengabulkan eksepsi dari pihak korporasi.
    Djuyamto mengaku perlu membaca berkas terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban.

    Masih di bulan Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto untuk menyerahkan berkas konsep eksepsi yang bakal diajukan pihak korporasi.
    Lalu, sekitar satu pekan kemudian, Wahyu dan Djuyamto kembali bertemu.
    Dalam pertemuan di Lobby Apartemen Pakubuwono View, Djuyamto mengatakan bahwa permohonan eksepsi dari korporasi ini tidak dapat dikabulkan.
    Saat itu, Djuyamto mengarahkan Wahyu agar ia berkoordinasi dengan Arif Nuryanta.
    “M Arif Nuryanta yang menunjuk Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui terdakwa M Arif Nuryanta,” kata JPU membacakan pernyataan Djuyamto saat itu.
    Pesan ini diteruskan Wahyu kepada Ariyanto dan sejumlah negosiasi pun terjadi.
    Dalam kasus ini, hakim hingga panitera PN menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.
    Pemberian dilakukan sebanyak dua kali. Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024.
    Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai USD 500.000 atau setara Rp 8 miliar.
    Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda.
    Arif mengambil bagian senilai Rp 3,3 miliar. Kemudian, Djuyamto selaku hakim ketua mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar. Sementara itu, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar. Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta.
    Uang total Rp 8 miliar ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024.
    Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara saksama.
    “Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu Jaksa meniru omongan Arif.
    Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim.
    Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai USD 2 juta atau setara Rp 32 miliar.
    Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis onslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara.
    Tidak lama setelah diterima oleh Wahyu, uang ini juga dibagikan kepada yang lain.
    Arif menerima Rp 12,4 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar. Sementara itu, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar. Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar.
    Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini, hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.
    Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar; Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Dalam kasus ini, para terdakwa didakwa dengan Primair Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat 2, atau Pasal 12B, subsider Pasal 5 angka 4 dan 6 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN jo Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hari Ini, Djuyamto dkk Bakal Hadapi Dakwaan Kasus Suap Vonis Lepas 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 Agustus 2025

    Hari Ini, Djuyamto dkk Bakal Hadapi Dakwaan Kasus Suap Vonis Lepas Nasional 21 Agustus 2025

    Hari Ini, Djuyamto dkk Bakal Hadapi Dakwaan Kasus Suap Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kasus ekspor
    crude palm oil
    (CPO) akan menjalani sidang dakwaan terkait dugaan suap penanganan perkara, Kamis (21/8/2025).
    Duduk sebagai terdakwa adalah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
    “Diinformasikan bila perkara nomor 71, 72, dan 73 (Perkara Djuyamto dkk) rencananya akan disidangkan pukul 10.00 WIB di Ruang Prof Dr Hatta Ali SH MH,” ujar Juru Bicara II Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sunoto, dalam keterangannya, Kamis pagi.
    Persidangan kali ini akan dipimpin oleh Wakil Ketua PN Jakpus, Effendi, yang berlaku sebagai ketua majelis hakim.
    Kemudian, sebagai hakim anggota adalah Adek Nurhadi dan Andi Saputra.
    Sementara itu, dua terdakwa lainnya telah menghadapi dakwaan lebih dahulu.
    Dakwaan untuk eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, telah dibacakan, pada Rabu (20/8/2025).
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag van alle recht vervolging
    terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor
    crude palm oil
    (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Kejaksaan menduga, Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap Rp 60 miliar.
    Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom, sebagai majelis hakim, diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar.
    Suap tersebut diberikan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO divonis lepas atau
    ontslag van alle recht vervolging
    .
    Vonis lepas merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Agustus 2025

    Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas Nasional 20 Agustus 2025

    Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkapkan, pihak korporasi kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) awalnya meminta agar eksepsi mereka dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani perkara mereka, bukan vonis
    ontslag
    atau vonis lepas.
    Hal ini JPU ungkapkan saat membacakan dakwaan terhadap eks Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
    “Saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan permintaan Ariyanto yang menawarkan uang sebesar Rp 20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng,” ujar JPU saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
    Ariyanto merupakan salah satu pengacara yang ditunjuk oleh pihak korporasi. Sementara, Djuyamto merupakan salah satu hakim yang disebutkan bakal menangani perkara kasus korporasi minyak goreng.
    Pada pertemuan di Lippo Mal Kemang, Februari 2024, Djuyamto belum memastikan bakal mengabulkan eksepsi dari pihak korporasi. Ia mengaku perlu membaca berkas terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban.
    Masih di bulan Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto untuk menyerahkan berkas konsep eksepsi yang bakal diajukan pihak korporasi.
    Lalu, sekitar satu minggu kemudian, Wahyu dan Djuyamto kembali bertemu.
    Dalam pertemuan di Lobby Apartemen Pakubuwono View, Djuyamto mengatakan kalau permohonan eksepsi dari korporasi ini tidak dapat dikabulkan.
    Djuyamto mengatakan kepada Wahyu agar ia berkoordinasi dengan Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus terkait kasus korporasi ini.
    “M Arif Nuryanta yang menunjuk Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui terdakwa M Arif Nuryanta,” kata JPU membacakan pernyataan Djuyamto saat itu.
    Pesan ini diteruskan Wahyu kepada Ariyanto dan sejumlah negosiasi pun terjadi.
    Dalam kasus ini, hakim hingga panitera PN menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar. Pemberian dilakukan sebanyak dua kali.
    Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024. Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai USD 500.000 atau setara Rp 8 miliar.
    Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda. Arif mengambil bagian senilai Rp 3,3 miliar.
    Kemudian, Djuyamto selaku hakim ketua mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar. Sementara, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar.
    Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta. Uang total Rp 8 miliar ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024.
    Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara seksama.
    “Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu Jaksa meniru omongan Arif.
    Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim.
    Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai USD 2 Juta atau setara Rp 32 miliar.
    Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis ontslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara.
    Tidak lama setelah diterima oleh Wahyu, uang ini juga dibagikan kepada yang lain.
    Arif menerima Rp 12,4 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar. Sementara, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar.
    Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar. Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.
    Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. Sedangkan, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Dalam kasus ini, para terdakwa didakwa dengan Primair Pasal 12 huruf c subsider Pasal 12 huruf a, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Panitera PN Jakut Wahyu Gunawan Jadi “Jalan Masuk” Korporasi CPO untuk Suap Hakim
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Agustus 2025

    Panitera PN Jakut Wahyu Gunawan Jadi “Jalan Masuk” Korporasi CPO untuk Suap Hakim Nasional 20 Agustus 2025

    Panitera PN Jakut Wahyu Gunawan Jadi “Jalan Masuk” Korporasi CPO untuk Suap Hakim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jaksa menyebut, Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan menjadi “jalan masuk” bagi pengacara korporasi untuk menyuap hakim kasus penanganan perkara ekspor
    crude palm oil
    (CPO).
    Relasi antara Wahyu dengan salah satu pengacara korporasi, Ariyanto, berujung pihak korporasi mendapatkan vonis lepas atau ontslag dan majelis hakim menerima suap hingga Rp 40 miliar.
    “Ariyanto menanyakan kepada Wahyu Gunawan apakah memiliki kenalan pejabat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat? Kemudian Wahyu Gunawan menjawab kenal dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
    Pertemuan itu terjadi pada akhir Januari 2024. Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu yang berada di Cilincing, Jakarta Utara.
    Ketika Wahyu dan Ariyanto bertemu, berkas perkara korupsi dengan tiga terdakwa korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, baru akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Sejak pertemuan ini, Wahyu menjadi penghubung antara Ariyanto yang mewakili korporasi dengan hakim.
    Usai bertemu dengan Ariyanto, Wahyu bertanya kepada Arif Nuryanta soal siapa hakim yang akan menyidangkan kasus korporasi CPO ini.
    Kepada Wahyu, Arif menyebut nama Djuyamto sebagai hakim yang akan memimpin jalannya sidang, yang kemudian disampaikan Wahyu kepada Ariyanto.
    Wahyu sendiri sempat menemui Djuyamto sesuai dengan permintaan Ariyanto. Pertemuan ini terjadi pada Februari 2024 bertempat di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan.
    Saat itu Wahyu menyampaikan soal berkas korporasi CPO yang akan segera dilimpahkan ke sidang. Dan, ia menyampaikan permintaan Ariyanto agar eksepsi perusahaan dikabulkan.
    Wahyu juga menyinggung soal uang senilai Rp 20 miliar yang disiapkan perusahaan untuk menangani kasus ini.
    Tapi, saat itu Djuyamto mengaku belum bisa memberikan jawaban karena perlu membaca berkas dan eksepsi yang disampaikan para pihak.
    Dalam perjalanannya, Wahyu bertugas untuk mengatur pertemuan antara Arif Nuryanta dengan Ariyanto.
    Wahyu juga menjadi penerima uang suap dari Ariyanto dan menyerahkan uang ini kepada Arif.
    Uang suap ini diberikan dalam dua kesempatan. Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024.
    Saat itu, Ariyanto kembali mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai USD 500.000 atau setara Rp 8 miliar.
    Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda.
    Arif mengambil bagian senilai Rp 3,3 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar.
    Sementara, Ali dan Agam yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar. Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta.
    Uang ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024. Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara saksama.
    “Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu jaksa meniru omongan Arif.
    Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim.
    Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai USD 2 juta atau setara Rp 32 miliar.
    Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis ontslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara.
    Tidak lama setelah diterima  Wahyu, uang ini juga segera dibagikan kepada yang lain.
    Arif menerima Rp 12,4 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar.
    Sementara, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar. Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar.
    Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.
    Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. Sementara Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag van alle recht vervolging
    terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Djuyamto dkk Segera Disidang, Perkara Dilimpahkan ke Pengadilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 Agustus 2025

    Hakim Djuyamto dkk Segera Disidang, Perkara Dilimpahkan ke Pengadilan Nasional 11 Agustus 2025

    Hakim Djuyamto dkk Segera Disidang, Perkara Dilimpahkan ke Pengadilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Lima orang hakim terdakwa kasus dugaan suap terkait penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng segera disidang.
    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melimpakan berkas perkara kelima hakim tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (11/8/2025).
    Lima terdakwa itu adalah eks Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, dan hakim nonaktif PN Jakarta Pusat Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto.
    “Ali Muhtarom, Agam Syarief Baharudin, Wahyu Gunawan, Djuyamto, dan Muhammad Arif Nuryanta yang limpah hari ini,” kata Direktur Penuntutan (Dirtut) Kejaksaan Agung, Sutikno, Senin.
    Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Majelis akim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
    Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
    Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan ekspor CPO yang dilakukan para terdakwa bukan permufakatan jahat, melainkan hanya melaksanakan kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI.
    Setelah putusan lepas tersebut, Kejagung menemukan bukti adanya kongkalikong putusan lepas yang menyeret berbagai unsur penegak hukum, mulai dari hakim, panitera, hingga advokat.
    Mereka terdiri dari Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanto serta panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
    Selain itu, Kejagung turut menetapkan tiga hakim aktif yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto, serta dua orang pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto sebagai tersangka.
    “Dan terkait dengan putusan ontslag tersebut, penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS (Marcella Santoso) dan AR (Ariyanto) melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN (Muhammad Arif Nuryanta) sebanyak Rp 60 miliar,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejgung Abdul Qoha, 12 pril 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.