Tag: Benjamin Netanyahu

  • Gencatan Senjata, Israel Masih Tutup Akses Gaza di Perbatasan Rafah

    Gencatan Senjata, Israel Masih Tutup Akses Gaza di Perbatasan Rafah

    Jakarta

    Irsael masih menutup akses Gaza di perbatasan Rafah dengan Mesir. Kantor Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa perbatasan Rafah akan dibuka kembali hanya setelah Hamas menyerahkan jenazah semua sandera yang masih ditawan di Gaza.

    “Perdana Menteri Netanyahu telah memerintahkan agar perlintasan Rafah tetap ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut,” bunyi pernyataan tersebut dilansir AFP, Minggu (19/10/2025).

    “Pembukaan kembali perlintasan ini akan dipertimbangkan berdasarkan bagaimana Hamas memenuhi kewajibannya untuk memulangkan para sandera dan jenazah korban, serta untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang disepakati (dari gencatan senjata)”, tambah kantor tersebut.

    Sebelumnya pada Sabtu (18/10), Kedutaan Besar Palestina di Kairo mengumumkan bahwa perlintasan Rafah antara Gaza dan Mesir akan dibuka kembali pada Senin (20/10), untuk memungkinkan warga Palestina yang tinggal di Mesir kembali ke Gaza.

    Pada Kamis (16/10), otoritas Israel mengatakan bahwa ketika perlintasan dibuka kembali, hanya akan mengizinkan pergerakan orang, bukan pengiriman bantuan kemanusiaan.

    Tentara Israel mengambil alih sisi Palestina dari penyeberangan Rafah pada 7 Mei tahun lalu, mengklaim fasilitas tersebut telah “digunakan untuk tujuan teroris” dan mengungkapkan kecurigaan kuat bahwa fasilitas tersebut juga digunakan untuk menyelundupkan senjata.

    Setelah pengambilalihan tersebut, semua akses melalui penyeberangan tersebut ditangguhkan, termasuk akses bagi personel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Penyeberangan tersebut sempat dibuka kembali selama gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang berlaku efektif pada 19 Januari 2025.

    Halaman 2 dari 2

    (rfs/rfs)

  • Menanti Janji Trump dan Nasib Palestina

    Menanti Janji Trump dan Nasib Palestina

    Jakarta

    Awal Oktober 2025, kabar gembira ketika dunia menyaksikan pengumuman gencatan senjata pasca ketegangan antara Israel dan Hamas sejak dua tahun yang lalu, diumumkan di Sharm el-Sheikh, difasilitasi oleh Mesir. Pengumuman inisiasi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memuat rencana 20 poin menandai fase pertama penghentian permusuhan, pembebasan sandera, dan pergeseran pasukan.

    Namun, keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada niat politik yang jelas dan tindakan nyata dari negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, serta komunitas internasional yang dapat membantu membangun kembali Gaza, yang telah hancur akibat serangan militer Israel.

    Pihaknya bersama mitranya dari Eropa dan negara-negara Arab bertemu di Paris pada Kamis (9/10/2025) membahas masa depan Gaza. Pertemuan digelar atas dasar kesepakatan kedua pihak berseteru untuk gencatan senjata, pertukaran tawanan dan sandera, serta penarikan pasukan dari sebagian wilayah di Gaza yang diusulkan Trump.

    Pertemuan di Paris dihadiri oleh para menteri luar negeri dan dipandang penting untuk membahas perihal pembentukan pasukan stabilisasi internasional, tata kelola pascaperang, dan rekonstruksi Gaza.

    Paling penting untuk menegaskan bahwa gencatan senjata dipimpin AS; sejumlah laporan menjelaskan bahwa Gedung Putih memainkan peran sentral mendesak pihak-pihak terkait persetujuan fase awal perjanjian.

    Ada dua perasaan yang bebarengan muncul. Lega karena kekerasan yang mengoyak kehidupan rakyat Palestina tersendat dan/atau skeptisisme. Pengumuman tersebut dihadapkan pada dualisme cara pandang menyoal komitmen, mengarah pada perdamaian permanen atau hanya jeda sementara sebelum spiral kekerasan berulang.

    Pasalnya, beberapa jam setelah kesepakatan damai, pesawat tempur Israel melancarkan serangan di kawasan Zeitoun dan Khan Younis.

    Suara ledakan menggema, asap tebal menjulang dari rumah yang baru saja merdeka, memupus harapan untuk merdeka menjadi perasaan hancur berkeping-keping. Harapannya, setelah diwawancarai oleh media Israel, otoritas Palestina Mahmoud Abbas akan mereformasi berbagai sektor di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan-untuk menentukan nasib sendiri bersungguh-sungguh dan membentuk struktur kenegaraan yang kredibel sesuai cita-cita rakyat Palestina.

    Gencatan Senjata: Sementara atau Selamanya?

    Perjanjian di atas mengubah lanskap politik Israel, melalui pemerintahannya mengumumkan kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, membuka peluang untuk penghentian serangan di Gaza. Pasca pengumuman, pasukan Israel mulai menarik diri di Gaza secara bertahap pada Jumat (10/10/2025).

    Reuters menyebutkan bahwa warga Israel dan Palestina menyambut kabar tersebut dengan suka cita, setelah perang dua tahun yang menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina.

    Meskipun Khalil al-Hayya, pemimpin Hamas, mengklaim telah menerima jaminan dari AS dan mediator lain bahwa perang akan berakhir. Serangan udara oleh Israel di Gaza menurun drastis. Suara “Allahu Akbar” menggema setelah mendengar kabar tersebut, setelah warga Gaza diselimuti dengan kesedihan, wajah lelah, dan tubuh yang luka.

    Meskipun ada pengumuman tersebut, Netanyahu menghadapi tekanan dari internal koalisi setelah bersepakat untuk gencatan senjata dengan Hamas.

    Namun perjanjian fase awal ini masih belum menyentuh persoalan struktural-mengenai status politik Gaza, proses demiliterisasi yang kredibel, pengaturan keamanan jangka panjang, hingga mekanisme pemerintahan yang menjamin hak-hak sipil dan politik rakyat Palestina.

    Tanpa rencana politis yang komprehensif, jeda operasi militer berisiko menjadi jeda sementara dalam kengerian yang dapat kembali menyala.

    Trump menuju kawasan Timur Tengah, Minggu (12/10/2025) untuk menghadiri penandatanganan perjanjian di Mesir. Lawatan ke Timur Tengah disertai undangan dari Ketua Parlemen Israel Amir Ohana untuk berpidato di Knesset, Parlemen Israel.

    Trump berharap agar tujuannya dapat menciptakan perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah.

    Harapnya, kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Tom Fletcher, gencatan senjata jangan sampai menjadi harapan palsu bagi masyarakat lokal Palestina dan sejumlah komunitas internasional, yang menginginkan konflik dapat berakhir dan mewujudkan perdamaian abadi.

    Rekonstruksi Gaza

    Setelah gencatan senjata yang disepakati oleh Hamas, pasukan Israel menarik diri dari sejumlah wilayah di Gaza pada Jumat (10/10/2025). Hal ini memberikan kesempatan bagi warga Gaza untuk kembali ke rumahnya, meskipun hampir keseluruhan hancur akibat perang dua tahun terakhir.

    Namun, yang lebih penting, skala kerusakan di Gaza bukan hanya membangun kembali rumah yang telah hancur, melainkan menghidupkan ekosistem tatanan sosial-ekonomi secara keseluruhan.

    Ismail Zayda (40), sebagai warga Gaza, dihadapkan situasi yang berkecamuk dan bangunan rata dengan tanah, seluruh distrik lenyap, rasa takut dan ketidakpastian masih menyelimuti. Bantuan sosial sudah masuk ke Gaza untuk membantu ratusan ribu warga sipil yang hidup di tenda-tenda.

    Penilaian kolektif Bank Dunia bersama Uni Eropa dan PBB, pada Februari 2025 melalui Interim Rapid Damage and Needs Assessment (IRDNA), memperkirakan kebutuhan rekonstruksi mencapai sekitar US$53,2 miliar untuk dekade mendatang, dengan kebutuhan mendesak sekitar US$20 miliar pada tiga tahun pertama.

    Angka tersebut memberikan gambaran bahwa kekayaan finansial dan teknologi perlu diperkuat dengan koordinasi politik dan mekanisme yang menjamin akses, transparansi, dan perlindungan hak-hak penduduk selama fase rekonstruksi.

    Komitmen finansial tanpa pengaturan politik yang aman berisiko menimbulkan masalah baru-seperti korupsi, penguatan rekonstruksi oleh aktor yang memperkuat ketidaksetaraan, atau rekonstruksi yang mengabaikan kebutuhan korban yang paling rentan. Hal Ini perlu peran komunitas internasional melalui donor negara, lembaga internasional, NGO, dan aktor regional (seperti Mesir, Qatar, dan Turki) menjadi krusial.

    Rekonstruksi idealnya harus berbasis prinsip do no harm, inklusif, dan dipimpin oleh kebutuhan lokal. Penentuan bentuk rekonstruksi, seperti perumahan, layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi, listrik, serta pemulihan mata pencaharian, harus melibatkan perwakilan organisasi sipil Palestina agar kebijakan tidak menjadi alat politik untuk meraih legitimasi jangka pendek.

    Berdasarkan laporan IRDNA, menempatkan prioritas secara jelas bahwa prakarsa donor tanpa mekanisme partisipasi lokal justru berbahaya.

    Komitmen Kemanusiaan

    Hal yang lebih penting menyoal gencatan senjata atau rekonstruksi Gaza, yang tidak boleh diabaikan adalah dimensi kemanusiaan. Banyaknya korban jiwa dan luka-luka yang meluas, trauma kolektif, serta kehancuran infrastruktur publik (sekolah, rumah sakit, jaringan air dan listrik) menggores generasi mendatang.

    Data resmi yang dirilis organisasi kemanusiaan dan otoritas kesehatan di Gaza, korban jiwa mencapai puluhan ribu, dengan jumlah terus bertambah seiring verifikasi data secara statistik, menjadi alasan moral mengapa rekonstruksi harus didahului oleh jaminan keamanan dan akses kemanusiaan yang tidak dapat diintervensi secara politis.

    Komitmen Trump dan administrasi AS dalam penyelesaian konflik, apakah bersifat temporer atau permanen? Meskipun AS dalam konteks geopolitik dinilai mampu memimpin proses perdamaian besar-baik lewat tekanan diplomatik, insentif politik, maupun bantuan ekonomi-sering kali bergantung pada agenda domestik dan pergantian kepemimpinan.

    Yang berbeda kali ini adalah klaim Trump berhasil menggalang koalisi regional dan internasional untuk mendorong Israel dan Hamas menerima fase awal perjanjian. Tetapi komitmen jangka panjang membutuhkan konsistensi kebijakan, dukungan anggaran berkelanjutan, serta mekanisme pengawasan dan akuntabilitas internasional yang kuat, bukan hanya deklarasi sesaat yang kemudian terpinggirkan oleh perubahan prioritas politik domestik.

    Indonesia dan Pesan Perdamaian

    Mengenai perdamaian yang dimotori oleh AS. Terdapat nilai penting yang dapat ditawarkan Indonesia maupun jaringan masyarakat sipil: pengalaman membangun koeksistensi lintas agama, advokasi untuk solusi berbasis hak asasi manusia, dan penekanan pada keadilan transisional inklusif.

    Indonesia dapat berperan sebagai jembatan moral dan diplomatik-memfasilitasi suara masyarakat sipil Palestina di forum internasional, mendorong donor untuk menerapkan prinsip transparansi, dan menegaskan bahwa rekonstruksi harus melindungi warisan sipil serta pluralitas sosial.

    Pengalaman historis Indonesia menjadi modal untuk berperan dalam rekonsiliasi pasca-konflik menjadi referensi relevan, tanpa menyederhanakan kompleksitas lokal Palestina.

    Namun peran moral tidak cukup; harus disertai komitmen praksis dari negara-negara donatur (termasuk AS) yang harus meliputi tiga hal konkret: (1) paket pendanaan multiyear yang terikat pada hasil konkret (recovery milestones); (2) jaminan akses aman untuk bantuan dan pekerja rekonstruksi melalui mekanisme internasional yang disepakati; serta (3) dukungan untuk rekonstruksi yang dipimpin lokal-melalui dana yang dikelola kolektif oleh lembaga internasional dan otoritas sipil Palestina untuk memastikan partisipasi dan akuntabilitas.

    Selain solusi dua negara, seringkali disebut konsep normatif dalam diplomasi internasional, dihadapkan tantangan besar: berkurangnya kepercayaan, ekspansi pemukiman di Tepi Barat, serta bahaya fragmentasi politik internal Palestina.

    Tanpa momentum politik yang jelas yang menghubungkan gencatan senjata di Gaza dan perundingan politik yang lebih luas yang menghormati hak kewarganegaraan, batas-batas yang diterima, dan jaminan keamanan-upaya perdamaian berisiko terbatas pada manajemen konflik daripada penyelesaian konflik.

    Oleh karenanya penting peranan dari non-Atlantik (negara-negara Asia, Liga Arab, dan organisasi internasional) dalam menyeimbangkan pengaruh dan menawarkan jalur diplomasi yang inklusif. Publik Indonesia dan komunitas global harus menuntut transparansi.

    Trump atau siapa pun yang mengklaim keberhasilan broker perdamaian, klaim tersebut harus diikuti dengan akses terbuka untuk pengamat independen, laporan berkala tentang implementasi, serta keterlibatan aktor kemanusiaan untuk memantau kondisi lapangan.

    Komitmen politik tanpa mekanisme evaluasi dan akuntabilitas rentan. Indonesia, bagian dari komunitas global peduli kemanusiaan dan keadilan, dapat menekan agar bantuan dan proses rekonstruksi diarahkan pada pemulihan prestasi publik-melalui pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Bukan hanya pencitraan politik.

    Aji Cahyono. Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

    (rdp/imk)

  • Gencatan Senjata Gaza Terancam, Israel Tiba-Tiba Ngamuk & Ancam Hamas

    Gencatan Senjata Gaza Terancam, Israel Tiba-Tiba Ngamuk & Ancam Hamas

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kesepakatan gencatan senjata di Gaza yang ditengahi AS berada di bawah tekanan besar. Ini terjadi setelah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tekadnya untuk “mengamankan pembebasan semua sandera.

    Mengutip AFP, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz memperingatkan militer akan “melanjutkan pertempuran” jika Hamas gagal memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang tewas. “Hamas melanggar ketentuan perjanjian. Kami bisa saja kembali berperang di Gaza,” ujarnya dikutip Times of Israel, dikutip Jumat (17/10/2025).

    Ancaman Israel ini muncul setelah Hamas, meskipun menyatakan komitmennya pada perjanjian, kesulitan untuk menyerahkan semua jasad sandera yang tersisa. Hamas mengatakan proses penyerahan jasad “mungkin membutuhkan waktu”.

    Kelompok itu menjelaskan bahwa beberapa jenazah korban tewas terkubur di terowongan yang hancur akibat pendudukan. Sementara yang lain berada di bawah puing-puing bangunan yang dibom dan dihancurkan.

    Di bawah perjanjian gencatan senjata yang dipelopori oleh Presiden AS Donald Trump, Hamas telah membebaskan 20 sandera yang selamat dan mengembalikan jasad sembilan sandera yang diketahui meninggal. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dari penjara dan menghentikan kampanye militer di Gaza yang dilancarkan setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

    Sejauh ini, masih ada 19 jasad sandera yang belum ditemukan, terkubur di bawah reruntuhan di samping sejumlah besar warga Palestina. Turki telah mengerahkan puluhan spesialis bantuan bencana untuk membantu pencarian jasad, sebagai respons terhadap permintaan bantuan dari Hamas untuk menemukan jenazah sandera yang terkubur.

    Di sisi lain, keluarga sandera Israel yang tewas marah atas ketidakmampuan Hamas menyerahkan sisa-sisa jasad orang yang mereka cintai.”Kami menuntut agar Israel segera menghentikan implementasi setiap tahap perjanjian lebih lanjut selama Hamas terus secara terang-terangan melanggar kewajibannya,” ujar salah satu asosiasi keluarga sandera kepada AFP.

    Presiden Trump sendiri, yang semula menyerukan kesabaran, menyatakan frustrasinya dengan perilaku kelompok itu sejak pertempuran dihentikan. Trump sebelumnya bersikeras Hamas “benar-benar sedang menggali” untuk menemukan jasad sandera.

    Namun, ia kemudian mengeluarkan ancaman di Truth Social, merujuk pada penembakan warga sipil Palestina baru-baru ini. Ia menuding Hamas dibalik aksi itu.

    “Jika Hamas terus membunuh orang di Gaza, yang bukan merupakan Kesepakatan, kami tidak punya pilihan selain masuk dan membunuh mereka,” klaimnya. 

    Perang telah menciptakan bencana kemanusiaan di Gaza, dengan PBB mendeklarasikan kelaparan pada Agustus. Serangan Israel menyebabkan 67.000 warga Gaza tewas.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa penyakit menular “lepas kendali” (spiralling out of control) mewabah di sana. Hanya 13 dari 36 rumah sakit di wilayah itu yang berfungsi sebagian.

    “Baik meningitis, diare, penyakit pernapasan, kita berbicara tentang pekerjaan yang sangat besar,” kata Direktur Regional WHO untuk Kesehatan PBB, Hanan Balkhy, kepada AFP di Kairo.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Akankah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan Perang Israel di Gaza?

    Akankah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan Perang Israel di Gaza?

    Jakarta

    Dalam rencana berisi 20 poin yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS)Donald Trump, Jalur Gaza nantinya dikelola oleh pemerintahan teknokrat. Itu salah satu isi kesepakatan gencatan senjata yang didukung AS, yang berhasil menghentikan konflik bersenjata selama dua tahun di wilayah pesisir itu.

    Rencana itu juga menyebutkan bahwa Otoritas Palestina, yang saat ini menguasai Tepi Barat, tidak akan dilibatkan dalam pemerintahan baru di Gaza hingga mereka melakukan reformasi.

    Dalam rencana tahun 2020 tersebut, AS menyatakan hanya akan mengakui negara Palestina jika pihaknya menghentikan “perang hukum terhadap negara Israel.”

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menyinggung hal ini saat berkunjung ke Washington bulan lalu.

    Reformasi “sejati” terhadap Otoritas Palestina, kata Netanyahu, berarti “mengakhiri perang hukum terhadap Israel di ICC (Mahkamah Pidana Internasional) dan ICJ (Mahkamah Internasional),” dua lembaga hukum internasional tempat berbagai kasus terhadap Israel sedang berjalan.

    Kasus apa saja yang ada di pengadilan Internasional?

    Kedua pengadilan itu berbasis di Belanda. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menuntut individu yang diduga melakukan kejahatan perang, sedangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) menangani perkara antarnegara, biasanya terkait pelanggaran perjanjian atau konvensi.

    Pada akhir 2023, Afrika Selatan menggugat Israel di ICJ dengan tuduhan melanggar Konvensi Genosida 1948 yang disahkan PBB setelah Perang Dunia II. Keputusan kasus itu kemungkinan baru keluar paling cepat akhir 2027.

    Sementara itu, pada 2024 ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, meski tidak atas tuduhan genosida. ICC juga sempat mengeluarkan surat perintah untuk tiga pimpinan senior Hamas, tetapi dibatalkan setelah mereka tewas.

    Kemungkinan ICC juga telah menyiapkan surat perintah penangkapan untuk politisi Israel lain yang belum diumumkan secara publik. Bahkan sebelum perang terakhir, Otoritas Palestina telah meminta ICC menyelidiki situasi di wilayah Palestina yang diduduki. Permintaan seperti ini dikenal sebagai pengajuan perkara.

    Apa gencatan senjata bisa mengubah situasi?

    Jika Otoritas Palestina menarik diri dari kasus ICC, seperti yang diinginkan Netanyahu, apakah itu berarti proses hukum berakhir?

    Tidak. Otoritas Palestina menyerahkan pengajuan perkara ke ICC sejak 2018. Kasus ini telah diselidiki sejak 2021 dan mencakup dugaan pelanggaran sejak 2014, sebelum serangan Hamas pada Oktober 2023. Fokus awalnya adalah pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat.

    Pada November 2023, sejumlah negara lain seperti Afrika Selatan, Bangladesh, Bolivia, Chili, dan Meksiko ikut bergabung dalam kasus ICC tersebut, menilai situasi yang dilaporkan Otoritas Palestina memang perlu diselidiki.

    Selain itu, sejumlah organisasi HAM juga terlibat. Misalnya, hingga akhir September 2025, Reporters Without Borders telah mengajukan lima pengaduan terhadap Israel ke ICC, menuduh militer Israel sengaja menargetkan jurnalis Palestina.

    Awal bulan ini, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mengungkapkan bahwa ia dan beberapa menteri lainnya juga dilaporkan ke ICC oleh kelompok advokasi Palestina atas tuduhan “terlibat dalam genosida,” karena Italia memasok senjata ke Israel.

    Artinya, terlepas dari sikap Otoritas Palestina, berbagai proses hukum internasional tetap akan berjalan karena banyak pihak lain juga menjadi penggugat.

    Apa gencatan senjata menyulitkan pembuktian genosida?

    Menurut para ahli hukum, gencatan senjata tidak akan mengubah jalannya kasus di ICC maupun ICJ. Fakta bahwa Israel kini menghentikan serangan udara di Gaza tidak membatalkan dugaan pelanggaran sebelumnya.

    “Semua proses hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional, tidak akan terpengaruh oleh perkembangan terkini,” kata Kai Ambos, profesor hukum pidana internasional di Universitas Gttingen, Jerman.

    Rencana 20 poin itu juga menawarkan amnesti bagi militan Hamas yang menyerahkan senjata. Namun, menurut Ambos, amnesti seperti itu “tidak mengikat sistem peradilan nasional seperti di Jerman, maupun ICC.” Kesepakatan itu hanya mengikat pihak-pihak yang berkonflik.

    “Gencatan senjata tidak akan berpengaruh terhadap penuntutan atau akuntabilitas atas kejahatan masa lalu di kedua sisi,” ujar Susan Akram, Direktur Klinik HAM Internasional di Fakultas Hukum Universitas Boston.

    Dia menambahkan masalah justru mungkin muncul dari sisi pembuktian karena banyak bukti kemungkinan hilang di bawah reruntuhan di Gaza, sementara ribuan saksi, termasuk ratusan jurnalis, telah tewas.

    Namun, Akram menambahkan, banyak bukti sudah terkumpul. Komisi Penyelidikan PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina yang pada September lalu menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, memiliki basis data sendiri yang kemungkinan akan digunakan di pengadilan.

    Dampak pada kasus di pengadilan Jerman

    Hal ini juga berlaku untuk kasus yang diajukan di Jerman. Dalam waktu dekat, gugatan yang diajukan oleh Pusat Eropa untuk Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia (European Center for Constitutional and Human Rights/ECCHR) terhadap pemerintah Jerman akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi Federal. ECCHR berpendapat Jerman seharusnya tidak mengekspor senjata atau komponen senjata ke Israel.

    “Secara non-hukum, wajar bila ada yang bertanya apakah situasi terbaru bisa berdampak pada kasus ini,” kata Alexander Schwarz, salah satu direktur program kejahatan internasional di ECCHR. “Namun secara hukum, gencatan senjata, berapa pun lamanya, tidak mengubah dasar hukum klaim kami.”

    Menurutnya, kasus ECCHR hanya menilai situasi hingga Januari 2025. Selain itu, aturan perdagangan senjata internasional mewajibkan Jerman untuk menilai apakah senjata ekspor mereka berpotensi digunakan dalam kejahatan perang.

    Pada Agustus lalu, Jerman sempat menangguhkan sebagian izin ekspor senjata ke Israel. Namun setelah gencatan senjata diumumkan, sejumlah politisi Jerman menyerukan agar pembatasan itu dicabut.

    “Setelah dua tahun pelanggaran sistematis terhadap hukum kemanusiaan oleh Israel, risiko bahwa senjata Jerman akan digunakan dalam kejahatan perang masih sangat nyata. Butuh waktu sebelum Jerman bisa kembali mengekspor senjata ke Israel secara sah,” ujar Schwarz.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Prita Kusumaputri

    Editor: Yuniman Farid

    (haf/haf)

  • Lampu Hijau Trump ke Israel Jika Hamas Tak Manut Gencatan Senjata

    Lampu Hijau Trump ke Israel Jika Hamas Tak Manut Gencatan Senjata

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta Hamas memenuhi kesepakatan gencatan senjata di Gaza, Pelestina. AS menyerukan Hamas untuk melucuti senjata.

    Dilansir Anadolu Agency dan Al Arabiya, Kamis (16/10/2025), seruan itu disampaikan Trump dalam wawancara via telepon dengan media terkemuka AS, CNN, pada Rabu (15/10) waktu setempat.

    Ketika ditanya oleh CNN soal apa yang akan terjadi jika Hamas menolak untuk melucuti senjata, Trump menjawab: “Saya akan memikirkannya.”

    Trump kemudian menambahkan: “Israel akan kembali ke jalan-jalan itu segera setelah saya mengatakan demikian. Jika Israel bisa masuk dan menghajar mereka habis-habisan, mereka akan melakukannya.”

    Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa dirinya “harus menahan mereka”, merujuk pada militer Israel dan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.

    “Saya sudah bersitegang dengan Bibi,” ucapnya, menggunakan nama panggilan akrab untuk Netanyahu.

    Dalam apa yang digambarkan oleh CNN sebagai wawancara singkat via telepon, Trump dikutip mengatakan: “Apa yang terjadi dengan Hamas — itu akan segera diselesaikan.”

    Trump menegaskan bahwa pembebasan 20 sandera Israel yang masih hidup merupakan hal “yang paling penting”, namun Hamas sekarang harus memenuhi komitmennya untuk menyerahkan jenazah-jenazah para sandera yang tewas di Jalur Gaza dan melucuti persenjataan mereka.

    Jika Hamas menolak untuk melucuti senjata, Trump sebelumnya menegaskan: “Kita yang akan melucuti senjata mereka.”

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata Gaza yang berlaku sejak Jumat (10/10) lalu, Hamas harus menyerahkan total 48 sandera yang diyakini masih berada di Jalur Gaza. Jumlah itu terdiri atas 20 sandera yang masih hidup dan 28 sandera yang sudah tewas.

    Hamas telah menyerahkan semua 20 sandera yang masih hidup kepada Israel, melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC), pada Senin (13/10) waktu setempat. Sebagai imbalan, Israel membebaskan sebanyak 1.968 tahanan Palestina dari penjara-penjara mereka pada hari yang sama.

    Namun dari 28 jenazah sandera yang masih ada di Jalur Gaza, Hamas sejauh ini baru menyerahkan sembilan jenazah sandera kepada Israel, melalui ICRC. Satu jenazah di antaranya yang diserahkan Hamas telah dipastikan oleh Tel Aviv, bukanlah jenazah sandera.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengancam akan melanjutkan pertempuran jika Hamas tidak menghormati ketentuan gencatan senjata untuk menghentikan perang di Gaza.

    “Jika Hamas menolak mematuhi perjanjian tersebut, Israel, berkoordinasi dengan Amerika Serikat, akan melanjutkan pertempuran dan bertindak untuk mencapai kekalahan total Hamas, mengubah realitas di Gaza, dan mencapai semua tujuan perang,” demikian pernyataan dari kantor Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dilansir AFP, Kamis (16/10).

    Sementara itu, Hamas mengatakan bahwa kedua jenazah yang dikembalikan akan menjadi yang terakhir untuk saat ini. Sebab Hamas menyebut proses evakuasi jenazah dari reruntuhan membutuhkan peralatan khusus.

    “Perlawanan telah memenuhi komitmennya terhadap perjanjian tersebut dengan menyerahkan semua tahanan Israel yang masih hidup yang berada dalam tahanannya, serta jenazah yang dapat diaksesnya,” kata Brigade Ezzedine Al-Qassam dalam sebuah pernyataan di media sosial.

    “Mengenai jenazah yang tersisa, dibutuhkan upaya ekstensif dan peralatan khusus untuk pengambilan dan ekstraksinya. Kami mengerahkan upaya besar untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.

    Israel Lepas Tembakan saat Gencatan Senjata

    Pada saat gencatan senjata ini berlangsung, Israel masih melepas tembakan pada Selasa (14/10). Militer Israel berdalih bahwa pasukannya melepas tembakan terhadap sejumlah orang di Jalur Gaza bagian utara, karena bergerak mendekati pasukannya. Militer Israel menyebut orang-orang itu sebagai “tersangka” yang memberikan ancaman.

    Otoritas kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya enam warga Palestina tewas akibat tembakan pasukan Israel tersebut.

    Dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters, Rabu (15/10), militer Israel mengatakan bahwa orang-orang itu telah melanggar batas wilayah untuk penarikan awal pasukan Israel, berdasarkan kesepakatan gencatan senjata Gaza yang disetujui pekan lalu.

    Menurut militer Israel, aksi yang dilakukan sejumlah orang itu merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut.

    Otoritas kesehatan lokal Gaza melaporkan bahwa militer Israel telah menewaskan sedikitnya enam warga Palestina dalam dua insiden terpisah di wilayah Jalur Gaza pada Selasa (14/10) waktu setempat.

    Lebih lanjut disebutkan otoritas kesehatan Gaza bahwa pasukan Israel, dengan menggunakan sejumlah drone, menewaskan sedikitnya lima orang saat mereka memeriksa rumah-rumah di pinggiran timur Kota Gaza, kota terbesar di Jalur Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • Netanyahu Tegaskan Israel Akan Capai Tujuan Perang di Gaza

    Netanyahu Tegaskan Israel Akan Capai Tujuan Perang di Gaza

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa negaranya akan mencapai semua tujuan perang Gaza. Netanyahu mengatakan bahwa Tel Aviv “bertekad” untuk mengamankan pemulangan jenazah semua sandera yang masih ada di Jalur Gaza.

    Hal tersebut ia sampaikan dalam upacara kenegaraan untuk mengenang tentara yang gugur selama konflik dua tahun dengan Hamas.

  • Temui Pejabat PBB, PM Palestina Jelaskan Rencana Rekonstruksi Gaza

    Temui Pejabat PBB, PM Palestina Jelaskan Rencana Rekonstruksi Gaza

    Ramallah

    Perdana Menteri (PM) Palestina, Mohammad Mustafa, bertemu dengan para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjelaskan rencana rekonstruksi Gaza. Rencana itu dipaparkan meski ada ketidakpastian terkait peran pemerintahnya di Gaza.

    “Saya yakin bahwa 12 bulan dari sekarang, Otoritas Palestina akan beroperasi penuh di Gaza,” kata Mustafa beberapa hari setelah gencatan senjata mulai berlaku di Gaza, dilansir AFP, Kamis (16/10/2025).

    Untuk diketahui, Otoritas Palestina (PA) tidak lagi berperan dalam pemerintahan Gaza sejak rivalnya, Hamas, merebut kendali wilayah tersebut pada tahun 2007. Meski demikian, Otoritas Palestina masih menyediakan beberapa layanan di wilayah tersebut.

    Rencana perdamaian Gaza yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak mengesampingkan kemungkinan pembentukan negara Palestina. Dia juga menyarankan untuk mengizinkan peran Otoritas Palestina setelah menyelesaikan serangkaian reformasi.

    Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berjanji untuk menentang pembentukan negara Palestina dan hampir menolak opsi keputusan Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah atas Gaza pascaperang.

    Mustafa mengatakan Otoritas Palestina telah menyusun rencana 5 tahun untuk Gaza yang akan berlangsung dalam tiga tahap. Rencana itu membutuhkan USD 65 miliar untuk 18 sektor berbeda seperti perumahan, pendidikan, pemerintahan, dan banyak lagi.

    “Visi kami jelas. Gaza akan dibangun kembali sebagai bagian dari Negara Palestina yang terbuka, terhubung, dan berkembang,” ujar Mustafa kepada para menteri Palestina, kepala badan PBB, dan kepala misi diplomatik dari kantornya di Ramallah, di Tepi Barat yang diduduki Israel.

    Dia juga mengatakan diskusi teknis sedang berlangsung dengan Uni Eropa mengenai operasi penyeberangan yang aman, sistem bea cukai, dan unit kepolisian terpadu. Uni Eropa adalah salah satu donor terbesar bagi Otoritas Palestina.

    (fas/haf)

  • Netanyahu Tegaskan Israel Akan Capai Semua Tujuan Perang Gaza

    Netanyahu Tegaskan Israel Akan Capai Semua Tujuan Perang Gaza

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa negaranya akan mencapai semua tujuan perang Gaza yang telah ditetapkan. Netanyahu mengatakan bahwa Tel Aviv “bertekad” untuk mengamankan pemulangan jenazah semua sandera yang masih ada di Jalur Gaza.

    Saat berbicara dalam seremoni kenegaraan untuk mengenang tentara yang gugur dalam perang melawan Hamas, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Kamis (16/10/2025), Netanyahu mengatakan bahwa “perjuangan belum berakhir”.

    “Kita bertekad untuk menjamin pemulangan semua sandera,” kata Netanyahu saat berbicara dalam seremoni kenegaraan yang digelar di pemakaman militer Gunung Herzl di Yerusalem pada Kamis (16/10).

    Dalam pernyataannya, Netanyahu juga mengatakan bahwa musuh-musuh Israel telah menyadari bahwa siapa pun yang melawannya akan membayar harga yang sangat mahal.

    “Perjuangan belum berakhir, tetapi satu hal yang jelas — siapa pun yang menyentuh kita mengetahui bahwa mereka akan membayar harga yang sangat mahal,” tegasnya.

    “Kita bertekad untuk meraih kemenangan yang akan membentuk lingkungan sekitar kita selama bertahun-tahun,” sebut Netanyahu.

    Pernyataan itu disampaikan setelah sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine Al-Qassam, mengatakan kelompoknya telah menyerahkan semua jenazah sandera yang dapat ditemukan sejauh ini dan membutuhkan peralatan khusus untuk mengevakuasi jenazah-jenazah sandera lainnya dari reruntuhan Gaza.

    “Perlawanan telah memenuhi komitmennya terhadap perjanjian dengan menyerahkan semua perlawanan Israel yang masih hidup dalam tersingkir, serta pemakaman-jenazah yang dapat diakses,” kata pernyataan Brigade Ezzedine Al-Qassam dalam via media sosial.

    “Mengenai jenazah-jenazah yang tersisa, diperlukan upaya ekstensif dan peralatan khusus untuk pengambilan dan ekstraksi mereka. Kami mengerahkan upaya besar untuk menyelesaikan persoalan ini,” imbuh pernyataan tersebut.

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata Gaza yang berlaku sejak 10 Oktober, Hamas harus menyerahkan total 48 sandera yang masih berada di Jalur Gaza. Jumlahnya terdiri atas 20 sandera yang masih hidup dan 28 sandera yang sudah mati.

    Hamas telah menyerahkan semua 20 sandera yang masih hidup kepada Israel, melalui ICRC, pada Senin (13/10) waktu setempat. Sebagai imbalan, Israel membebaskan sebanyak 1.968 tahanan dan narapidana Palestina pada hari yang sama.

    Namun dari 28 jenazah sandera yang masih ada di Jalur Gaza, Hamas sejauh ini baru menyerahkan sembilan jenazah sandera kepada Israel, melalui ICRC. Satu jenazah di antaranya yang diserahkan Hamas telah dipastikan oleh Tel Aviv, bukanlah jenazah sandera.

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, mengancam akan melanjutkan pertempuran di Jalur Gaza, jika Hamas tidak menghormati kesepakatan gencatan senjata — yang merujuk pada penyerahan jenazah sandera yang tidak sesuai kesepakatan.

    “Jika Hamas menolak untuk mematuhi perjanjian tersebut, Israel, berkoordinasi dengan Amerika Serikat, akan melanjutkan pertempuran dan bertindak untuk mewujudkan kekalahan total Hamas, mengubah kenyataan di Gaza, dan mencapai semua tujuan perang,” tegas Katz dalam pernyataannya.

    Tonton juga video “Netanyahu Jelang Pertukaran Sandera: Peristiwa Bersejarah” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Trump Bilang Israel Bisa Lanjutkan Serangan Jika Hamas Tak Patuhi Gencatan

    Trump Bilang Israel Bisa Lanjutkan Serangan Jika Hamas Tak Patuhi Gencatan

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan dirinya akan mempertimbangkan untuk mengizinkan Israel melanjutkan kembali operasi militer di Jalur Gaza, jika kelompok Hamas gagal menerapkan ketentuan yang diatur dalam kesepakatan gencatan senjata.

    Hal tersebut, seperti dilansir Anadolu Agency dan Al Arabiya, Kamis (16/10/2025), disampaikan Trump dalam wawancara via telepon dengan media terkemuka AS, CNN, pada Rabu (15/10) waktu setempat.

    Ketika ditanya oleh CNN soal apa yang akan terjadi jika Hamas menolak untuk melucuti senjata, Trump menjawab: “Saya akan memikirkannya.”

    Kemudian dia menambahkan: “Israel akan kembali ke jalan-jalan itu segera setelah saya mengatakan demikian. Jika Israel bisa masuk dan menghajar mereka habis-habisan, mereka akan melakukannya.”

    Trump melanjutkan dengan mengatakan bahwa dirinya “harus menahan mereka”, merujuk pada militer Israel dan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.

    “Saya sudah bersitegang dengan Bibi,” ucapnya, menggunakan nama panggilan akrab untuk Netanyahu.

    Dalam apa yang digambarkan oleh CNN sebagai wawancara singkat via telepon, Trump dikutip mengatakan: “Apa yang terjadi dengan Hamas — itu akan segera diselesaikan.”

    Lebih lanjut, Trump menegaskan bahwa pembebasan 20 sandera Israel yang masih hidup merupakan hal “yang paling penting”, namun Hamas sekarang harus memenuhi komitmennya untuk menyerahkan jenazah-jenazah para sandera yang tewas di Jalur Gaza dan melucuti persenjataan mereka.

    Jika Hamas menolak untuk melucuti senjata, Trump sebelumnya menegaskan: “Kita yang akan melucuti senjata mereka.”

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata Gaza yang berlaku sejak Jumat (10/10) lalu, Hamas harus menyerahkan total 48 sandera yang diyakini masih berada di Jalur Gaza. Jumlah itu terdiri atas 20 sandera yang masih hidup dan 28 sandera yang sudah tewas.

    Hamas telah menyerahkan semua 20 sandera yang masih hidup kepada Israel, melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC), pada Senin (13/10) waktu setempat. Sebagai imbalan, Israel membebaskan sebanyak 1.968 tahanan Palestina dari penjara-penjara mereka pada hari yang sama.

    Namun dari 28 jenazah sandera yang masih ada di Jalur Gaza, Hamas sejauh ini baru menyerahkan sembilan jenazah sandera kepada Israel, melalui ICRC. Satu jenazah di antaranya yang diserahkan Hamas telah dipastikan oleh Tel Aviv, bukanlah jenazah sandera.

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, mengancam akan melanjutkan pertempuran di Jalur Gaza, jika Hamas tidak menghormati kesepakatan gencatan senjata. Ancaman ini dilontarkan setelah Hamas menyerahkan dua jenazah sandera lainnya pada Rabu (15/10) tengah malam.

    “Jika Hamas menolak untuk mematuhi perjanjian tersebut, Israel, berkoordinasi dengan Amerika Serikat, akan melanjutkan pertempuran dan bertindak untuk mewujudkan kekalahan total Hamas, mengubah realitas di Gaza, dan mencapai semua tujuan perang,” tegas Katz dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Israel Ancam Lanjutkan Pertempuran Jika Hamas Tak Hormati Gencatan senjata

    Israel Ancam Lanjutkan Pertempuran Jika Hamas Tak Hormati Gencatan senjata

    Jakarta

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengancam akan melanjutkan pertempuran jika Hamas tidak menghormati ketentuan gencatan senjata untuk menghentikan perang di Gaza.

    Pernyataan itu muncul usai Hamas menyerahkan jenazah dua sandera lainnya yang telah meninggal, dan mengatakan bahwa mereka tidak akan dapat mengambil jenazah lagi dari reruntuhan Gaza tanpa peralatan khusus.

    Sebelum kedua jenazah tersebut diserahkan pada Rabu malam, Hamas telah mengembalikan tujuh jenazah dari 28 sandera yang diketahui telah meninggal — beserta jenazah kedelapan yang menurut Israel bukan jenazah mantan sandera.

    “Jika Hamas menolak mematuhi perjanjian tersebut, Israel, berkoordinasi dengan Amerika Serikat, akan melanjutkan pertempuran dan bertindak untuk mencapai kekalahan total Hamas, mengubah realitas di Gaza, dan mencapai semua tujuan perang,” demikian pernyataan dari kantor Katz, dilansir AFP, Kamis (16/10/2025).

    Sementara itu, Hamas mengatakan bahwa kedua jenazah yang dikembalikan akan menjadi yang terakhir untuk saat ini. Sebab Hamas menyebut proses evakuasi jenazah dari reruntuhan membutuhkan peralatan khusus.

    “Perlawanan telah memenuhi komitmennya terhadap perjanjian tersebut dengan menyerahkan semua tahanan Israel yang masih hidup yang berada dalam tahanannya, serta jenazah yang dapat diaksesnya,” kata Brigade Ezzedine Al-Qassam dalam sebuah pernyataan di media sosial.

    “Mengenai jenazah yang tersisa, dibutuhkan upaya ekstensif dan peralatan khusus untuk pengambilan dan ekstraksinya. Kami mengerahkan upaya besar untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.

    Namun, para penasihat senior AS mengatakan, setelah ancaman Israel untuk melanjutkan pertempuran, bahwa Hamas masih berniat untuk memenuhi janjinya.

    “Kami terus mendengar dari mereka bahwa mereka berniat untuk menghormati kesepakatan tersebut. Mereka ingin melihat kesepakatan tersebut tuntas dalam hal itu,” ujar seorang penasihat kepada wartawan yang tidak ingin disebutkan namanya.

    Akan tetapi, penundaan pengembalian jenazah yang tersisa kemungkinan akan menambah tekanan domestik terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan nasib jenazah tersebut.

    Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, telah mengancam akan menghentikan pasokan bantuan ke Gaza jika Hamas gagal mengembalikan jenazah tentara yang masih ditahan di wilayah Palestina tersebut.

    Diketahui, sejak Senin kemarin, berdasarkan perjanjian gencatan senjata yang diusulkan Presiden AS Donald Trump, Hamas telah menyerahkan kembali 20 sandera yang masih hidup kepada Israel dengan imbalan hampir 2.000 tahanan Palestina yang dibebaskan dari penjara-penjara Israel.

    Simak Video ‘Trump Tidak Akan Pakai Militer AS untuk Melucuti Senjata Hamas’:

    (yld/dek)