Tag: Benjamin Netanyahu

  • Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Jakarta

    Gencatan senjata di Suweida telah diberlakukan. Hal ini diumumkan oleh Menteri Pertahanan Suriah Marhaf Abu Kasra pada hari Selasa (15/07). Pasukan kementerian Suriah telah memasuki kota yang terletak sekitar 100 kilometer di sebelah selatan Damaskus tersebut untuk mengakhiri bentrokan yang terjadi sejak hari Minggu antara suku Drusen dan suku Badui Sunni.

    Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang berbasis di London, bentrokan yang terjadi sejak Minggu (13/07) telah menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan banyak lainnya terluka.

    Menurut SOHR, seorang pemuda Drusen dipukuli dan dirampok oleh anggota komunitas Badui Sunni di jalan raya antara Damaskus dan Suweida beberapa hari yang lalu. Sebagai balasannya, anggota milisi komunitas Drusen kemudian menculik orang suku Badui. Kekerasan pun terus meningkat.

    Aymenn Jawad al-Tamimi, seorang jurnalis yang mendalami kasus Suriah dan Irak, melaporkan bahwa suku Drusen awalnya melawan pasukan pemerintah Suriah, namun kemudian menyerahkan senjata mereka.

    Pada Selasa sore, SOHR kemudian melaporkan bahwa pasukan dari kementerian pertahanan dan kementerian dalam negeri serta pejuang yang bersekutu dengan mereka telah mengeksekusi 19 warga sipil dari kelompok minoritas Drusen di Suweida.

    Dalam beberapa hari terakhir, tentara Israel telah beberapa kali menyerang pasukan pemerintah Suriah. Dalam pernyataan bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz menyebut bahwa Israel ingin mencegah pemerintah Suriah menyakiti kaum minoritas Drusen.

    Antara konflik kepentingan dan kriminalitas

    Bentrokan Suweida tampaknya disebabkan oleh konflik kepentingan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda, menurut Bente Scheller, pakar Suriah di Heinrich Bll Foundation. “Di Suriah, banyak kelompok yang merasa kepentingan atau hak-hak mereka tidak cukup diperhatikan. Mereka sering merasa dibandingkan dengan kelompok lain dan dimanfaatkan, hal berujung pada kekerasan.” Di Suweida, masalah utama adalah soal kedudukan mereka di wilayah serta akses terhadap sumber daya, serta kejahatan dengan kekerasan yang terkait dengan penyelundupan obat-obatan terlarang yang berkembang di sana.

    Apakah pasukan keamanan Suriah disusupi kaum ekstrimis?

    Bentrokan yang diwarnai kekerasan antara kelompok Alawit dan pejuang jihadis terjadi pada bulan Maret 2025, tampaknya juga didukung oleh pasukan keamanan pemerintah. Lebih dari 1.300 orang terbunuh dalam konflik tersebut. Keluarga Assad berasal dari suku Alawit. Banyak orang Suriah melihat suku Alawit sebagai kelompok pendukung rezim yang digulingkan.

    Konflik ini dipicu militan pendukung Assad yang menyerang pasukan pemerintah. Bentrokan meningkat dan kekejaman dilakukan terhadap warga sipil Alawit yang tidak terlibat.

    Dalam sebuah investigasi yang diterbitkan pada akhir Juni, kantor berita Reuters menelusuri rantai komando yang tampaknya sampai ke Kementerian Pertahanan di Damaskus. “Para penyerang pro-pemerintah sering menjarah dan merusak rumah-rumah para korban atau membakarnya,” demikian hasil penelitian tersebut.

    Namun tidak semua anggota kabinet pemerintahan baru di Damaskus bersimpati kepada para jihadis. “Pemerintahan terdiri dari beragam faksi, kelompok,dan kepentingan yang berbeda-beda,” kata Andre Bank, pakar Suriah dari Institut GIGA untuk Studi Timur Tengah yang berbasis di Hamburg, dalam wawancara dengan DW.

    “Tapi yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana kelanjutannya jika pemerintah tidak bisa mengendalikan pelaku kekerasan di ranah lokal, bahkan termasuk sebagian tentaranya sendiri?” Apa artinya bagi Suriah jika sebagian pejabat pemerintah justru membenarkan kekerasan, atau bahkan mendorongnya. “Jika itu yang terjadi, kemungkinan besar akan terus terjadi bentrokan besar antar kelompok agama di Suriah,” jelas Bank.

    Al-Sharaa di bawah tekanan

    Menjadi perhatian adalah bagaimana pemimpin negara tersebut, Ahmed al-Sharaa mencegah kekerasan besar-besaran di antara rekan-rekan senegaranya di masa depan. Setelah Presiden AS Donald Trump mencabut sanksi negaranya terhadap Suriah pada awal Juli, al-Sharaa kemungkinan akan memiliki minat yang lebih besar untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan negara-negara barat. Negara-negara barat memiliki harapan yang tinggi terkait perlindungan minoritas di negara tersebut.

    Sebuah serangan bunuh diri pada kebaktian di sebuah gereja Kristen di Damaskus pada akhir Juni lalu menunjukkan bahwa al-Sharaa hampir tidak dapat memenuhi tuntutan untuk mencegah kekerasan ini. Serangan tersebut menewaskan 25 orang. Sejak saat itu, umat Kristen Suriah menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan upaya yang lebih besar untuk melindungi mereka. Jika tidak, beberapa dari mereka mengatakan kepada DW dalam sebuah wawancara, akan mempertimbangkan untuk meninggalkan Suriah.

    Saling tuduh, tidak serius menyelidiki

    Kementerian Dalam Negeri Suriah menyalahkan kelompok teroris Negara Islam (IS) atas serangan tersebut. Namun, tidak ada yang terbukti, kata Bente Scheller. “Nama-nama lain juga telah muncul dalam perdebatan publik,” salah satunya kelompok bersenjata yang juga melibatkan mantan anggota Hajat Tahrir al-Sham (HTS). Namun karena Al-Sharaa adalah pemimpin HTS sebelum kejatuhan Assad, “Tentu saja akan lebih mudah untuk mengalihkan tanggung jawab atas serangan tersebut kepada ISIS,” kata Scheller.

    Perilaku pemerintah Suriah setelah kekejaman yang dilakukan terhadap suku Alawit juga membuat banyak warga Suriah curiga. Meskipun pemerintah telah berjanji untuk membentuk komisi penyelidikan, namun hingga kini belum membuahkan hasil. “Banyak yang memiliki kesan bahwa pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk menyelidiki kasus tersebut,” kata Bente Scheller.

    Pemerintah kekurangan dana

    Pada saat yang sama, kata Scheller dan Bank, Suriah kekurangan dana. Kabinet memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan, mulai dari menyusun undang-undang pemilihan umum yang baru hingga membangun kembali aparatur negara dan membangun birokrasi federal.

    Selain ini ada masalah dari kaum minoritas lain: suku Kurdi di utara Suriah yang ingin tetap menjadi bagian dari negara Suriah tetapi menuntut otonomi yang luas.

    Pada saat yang sama Kurdi berperang melawan pasukan Turki, yang telah menduduki wilayah utara Suriah selama bertahun-tahun.

    Pemerintah Al-Sharaa nampaknya harus terlibat dalam pusaran konflik ini dalam waktu yang lama.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suriah ‘Terjepit’ Konflik Internal dan Serangan Israel

    Suriah ‘Terjepit’ Konflik Internal dan Serangan Israel

    Jakarta

    Pemerintah Suriah mengumumkan gencatan senjata, untuk meredakan bentrokan antara milisi Druze dan Sunni di sekitar Suweida. Bente Scheller, pakar Suriah di Heinrich Bll Foundation mengatakan, bentrokan Suweida tampaknya disebabkan oleh konflik kepentingan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda.

    Menurut organisasi Pengamat Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), lebih dari 300 orang tewas hingga Rabu (16/07). Konflik dipicu oleh pemukulan terhadap seorang pemuda Druze oleh warga Badui Sunni, yang memicu aksi balasan dan kekerasan lanjutan.

    Pemerintah Suriah mengerahkan pasukan ke Suweida, sekitar 100 km dari selatan Damaskus, untuk meredakan kekerasan.

    Menurut jurnalis Aymenn Jawad al-Tamimi, kelompok miisi Druze awalnya melawan, tetapi kemudian menyerahkan senjata mereka. SOHR melaporkan pada Selasa (15/07), pasukan pemerintah dan milisi sekutu mereka mengeksekusi 19 warga sipil Druze.

    Sebagai respons, Israel melancarkan serangan terhadap markas militer di Damaskus dan Suweida Rabu (16/7), dengan alasan melindungi komunitas Druze.

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan, serangan itu bertujuan mencegah kekerasan terhadap warga Druze, yang di Israel dianggap sebagai kelompok minoritas loyal dan banyak bertugas di militer.

    Konflik berkepanjangan

    “Bentrokan di Suweida mencerminkan konflik jangka panjang antar berbagai kelompok masyarakat di Suriah,” kata Bente Scheller, kepala divisi Timur Tengah dan Afrika Utara di Yayasan Heinrich Bll, kepada DW.

    Pada bulan Maret hingga Mei, kekerasan sektarian meningkat di Suriah. Bentrokan terjadi antara kelompok Druze dan milisi pro-pemerintah di Jaramana, serta antara kelompok Alawi dan pasukan pemerintah di wilayah lain. Serangan balasan berlangsung selama berhari-hari, menewaskan lebih dari 1.300 orang. Banyak warga menilai kelompok Alawi sebagai pendukung rezim Assad yang telah tumbang.

    Meski tidak secara terbuka memihak, pemerintah Suriah saat ini dinilai terlalu pluralistik untuk mengendalikan semua aktor lokal. Menurut Andre Bank dari GIGA Institute, jika kekerasan dibiarkan, konflik antaragama kemungkinan besar akan terus berlanjut.

    Posisi Al-Sharaa terancam?

    Belum jelas apakah Presiden Ahmed al-Sharaa mampu mencegah meluasnya kekerasan di Suriah. Pada Mei dan Juni, AS dan Uni Eropa mencabut sanksi terhadap Suriah, tetapi tetap menuntut perlindungan bagi kelompok minoritas.

    Namun, serangan bunuh diri di gereja Kristen Damaskus pada akhir Juni, yang menewaskan 25 orang, menunjukkan tantangan besar dalam memenuhi harapan tersebut. Komunitas Kristen mendesak perlindungan lebih, dan sebagian mempertimbangkan untuk meninggalkan negara itu.

    Kementerian Dalam Negeri menyalahkan ISIS, tetapi menurut Bente Scheller, kelompok lain seperti mantan anggota Hayat Tahrir al-Sham (HTS) juga disebut-sebut. Al-Sharaa, mantan pemimpin HTS, dinilai mudah mengalihkan tanggung jawab ke ISIS.

    Sementara itu, warga juga meragukan keseriusan pemerintah dalam menyelidiki serangan terhadap komunitas Alawi, meski telah dijanjikan pembentukan komisi penyelidikan.

    Pemerintah baru di Damaskus menghadapi kekurangan dana untuk berbagai tugas penting, mulai dari merancang undang-undang pemilu hingga membangun kembali birokrasi federal.

    Penyelidikan atas bentrokan dan serangan baru-baru ini menambah beban kerja, sementara pemerintah di bawah al-Sharaa juga harus merespons tuntutan otonomi dari komunitas Kurdi di utara, yang tetap ingin menjadi bagian dari Suriah namun dengan hak yang lebih luas.

    Selama bertahun-tahun, kelompok Kurdi telah terlibat konflik dengan pasukan pro-Turki di wilayah tersebut. Penyelesaian konflik-konflik ini diperkirakan akan memakan waktu lama.

    Artikel ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Levie Wardana

    Editor: Prita Kusumaputri dan Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Indonesia Kecam Keras Serangan Israel ke Suriah

    Indonesia Kecam Keras Serangan Israel ke Suriah

    Jakarta

    Militer Israel melakukan serangan ke Suriah untuk mengintervensi konflik perang saudara di negara itu. Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) mengecam intervensi Israel di wilayah kedaulatan Suriah.

    Kemlu menyampaikan keprihatinannya atas apa yang terjadi di Sweida, Suriah. Banyak korban warga sipil dalam konflik ini.

    “Indonesia prihatin atas memburuknya situasi di Sweida, Suriah, yang telah menimbulkan banyak korban sipil,” tulis Kemlu RI lewat akun X @Kemlu_RI, Kamis (17/7/2025).

    Indonesia pun mengecam keras intervensi Israel. Israel tidak menghormati kedaulatan Suriah.

    “Indonesia juga mengecam intervensi militer Israel yang tidak menghormati kedaulatan Suriah,” katanya.

    Indonesia juga mendorong terjadinya gencatan senjata antara kelompok yang berkonflik. Indonesia selalu mendukung upaya perdamaian yang dilakukan pemerintah Suriah.

    Dalam hal ini, Indonesia pun menekankan pentingnya penyelesaian konflik lewat dialog damai. Indonesia berharap persatuan tetap tercipta di Suriah.

    “Indonesia menekankan pentingnya penyelesaian konflik melalui dialog damai dan inklusif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Suriah, dengan tetap menjunjung tinggi persatuan nasional serta keutuhan wilayah Suriah,” ujarnya.

    Sebelumnya, militer Israel menghancurkan gedung kantor pusat Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dan pasukan pemerintah di Suriah selatan pada Rabu (16/7).

    Serangan Israel juga diarahkan ke area sekitar Istana Presiden Suriah di Damaskus, kendaraan-kendaraan lapis baja yang sarat dengan persenjataan, serta fasilitas penyimpanan senjata di Suriah selatan.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan pasukannya “berusaha menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan melenyapkan geng-geng rezim”. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh Israel melakukan “agresi berbahaya”.

    Netanyahu mengatakan ia berkomitmen untuk mencegah bahaya bagi komunitas Druze mengingat banyak komunitas Druze juga tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.

    Tercatat lebih dari 350 orang tewas sejak akhir pekan dalam bentrokan berdarah di provinsi Sweida, Suriah selatan.

    Dilansir dari kantor berita AFP, Kamis (17/7/2025), kelompok pemantau perang Suriah, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan bahwa sejak bentrokan meletus pada hari Minggu lalu, 79 petempur Druze tewas bersama 55 warga sipil, 27 orang di antaranya dalam “eksekusi singkat oleh anggota Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri”, sementara 189 personel Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri serta 18 petempur Badui juga tewas.

    Sebelumnya, SOHR mengatakan jumlah korban tewas mencapai 300 orang.

    (rdp/dhn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suriah Berdarah, 350 Orang Tewas dalam Bentrokan di Sweida

    Suriah Berdarah, 350 Orang Tewas dalam Bentrokan di Sweida

    Jakarta

    Lebih dari 350 orang tewas sejak akhir pekan dalam bentrokan berdarah di provinsi Sweida, Suriah selatan.

    Dilansir dari kantor berita AFP, Kamis (17/7/2025), kelompok pemantau perang Suriah, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan bahwa sejak bentrokan meletus pada hari Minggu lalu, 79 petempur Druze tewas bersama 55 warga sipil, 27 orang di antaranya dalam “eksekusi singkat oleh anggota Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri”, sementara 189 personel Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri serta 18 petempur Badui juga tewas.

    Sebelumnya, SOHR mengatakan jumlah korban tewas mencapai 300 orang.

    SOHR mengatakan para korban di Sweida termasuk seorang pekerja media, yang diidentifikasi sebagai Hassan al-Zaabi. Serikat jurnalis Suriah dalam sebuah pernyataan mengatakan Zaabi ditembak mati oleh “geng-geng penjahat” di Provinsi Sweida “saat menjalankan tugas profesionalnya”, tanpa menyebutkan di mana ia bekerja.

    Organisasi pemantau yang berbasis di Inggris yang mengandalkan jaringan sumber di Suriah tersebut, juga melaporkan 15 personel Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri tewas dalam serangan Israel di Suriah selatan.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan pasukannya “berusaha menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan melenyapkan geng-geng rezim”. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh Israel melakukan “agresi berbahaya”.

    Netanyahu mengatakan ia berkomitmen untuk mencegah bahaya bagi komunitas Druze mengingat banyak komunitas Druze juga tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.

    Apa pemicu bentrokan berdarah ini?

    Dilansir dari BBC, kelompok minoritas, termasuk Druze — yang agamanya merupakan cabang Syiah — merasa curiga terhadap Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya, meskipun ia berjanji untuk melindungi mereka.

    Video Bentrokan Horor di Suriah Tewaskan 89 Orang

    Kekhawatiran mereka semakin meningkat akibat kekerasan sektarian meletup selama delapan bulan terakhir. Salah satu peristiwa bentrokan antara Druze, pasukan keamanan, dan milisi kelompok Islam pada Mei lalu, dilaporkan menewaskan puluhan orang di Damaskus dan Sweida.

    Pada Minggu (13/07), milisi Druze dilaporkan mengepung dan kemudian merebut sebuah wilayah di Kota Sweida yang dihuni oleh suku Badui. Lebih dari 300 orang dilaporkan tewas.

    Bentrokan segera menyebar ke wilayah lain di Provinsi Sweida. Suku Badui dilaporkan melancarkan serangan ke kota-kota dan desa-desa Druze di dekatnya.

    Pertempuran tersebut konon dipicu oleh penculikan seorang pedagang Druze di jalan raya menuju Damaskus, pada Jumat (11/07) lalu.

    Lihat juga Video Bentrokan Horor di Suriah Tewaskan 89 Orang

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Memanas! Israel Gempur Kementerian Pertahanan Suriah

    Memanas! Israel Gempur Kementerian Pertahanan Suriah

    Jakarta

    Militer Israel menghancurkan gedung kantor pusat Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dan pasukan pemerintah di Suriah selatan pada Rabu (16/07).

    Serangan Israel juga diarahkan ke area sekitar Istana Presiden Suriah di Damaskus, kendaraan-kendaraan lapis baja yang sarat dengan persenjataan, serta fasilitas penyimpanan senjata di Suriah selatan.

    Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan serangan Israel menargetkan lembaga-lembaga pemerintah dan fasilitas sipil di Damaskus dan Suweida.

    Akibatnya, menurut Kementerian Luar Negeri Suriah, “beberapa warga sipil tak berdosa” tewas dalam serangan tersebut.

    “Serangan terang-terangan ini, yang merupakan bagian dari kebijakan yang disengaja oleh entitas Israel untuk mengobarkan ketegangan, menyebarkan kekacauan, dan merusak keamanan dan stabilitas di Suriah, merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum humaniter internasional,” tambahnya.

    Mengapa Israel menyerang Suriah?

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan pasukannya “berusaha menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan melenyapkan geng-geng rezim”. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh Israel melakukan “agresi berbahaya”.

    Netanyahu mengatakan ia berkomitmen untuk mencegah bahaya bagi komunitas Druze mengingat banyak komunitas Druze juga tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menulis di X pada Rabu (16/07) sore bahwa “peringatan di Damaskus” telah berakhir dan bahwa militer Israel akan “terus beroperasi secara gencar di Suweida untuk menghancurkan pasukan yang menyerang Druze hingga mereka mundur sepenuhnya”.

    Ia kemudian menyertakan tulisan “pukulan menyakitkan telah dimulai” pada unggahan klip video yang memperlihatkan seorang presenter TV menunduk di bawah meja saat serangan udara Israel menghantam Kementerian Pertahanan Suriah di Lapangan Umayyah, di pusat kota Damaskus.

    Apakah serangan telah berakhir?

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan ia “sangat khawatir” tentang kekerasan di selatan, tetapi yakin kekerasan itu akan berakhir dalam beberapa jam.

    “Kami telah menyepakati langkah-langkah spesifik yang akan mengakhiri situasi yang meresahkan dan mengerikan ini malam ini,” tulisnya di X pada Rabu (16/07) malam.

    Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan negara itu “menyambut baik upaya yang dilakukan oleh AS dan pihak Arab” untuk “menyelesaikan krisis saat ini” secara damai.

    Israel belum mengomentari tawaran gencatan senjata tersebut.

    Peristiwa apa yang melatari serangan ini?

    Kelompok minoritas, termasuk Druzeyang agamanya merupakan cabang Syiahmerasa curiga terhadap Presiden sementara Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya, meskipun ia berjanji untuk melindungi mereka.

    Kekhawatiran mereka semakin meningkat akibat kekerasan sektarian meletup selama delapan bulan terakhir. Salah satu peristiwa bentrokan antara Druze, pasukan keamanan, dan milisi kelompok Islam pada Mei lalu, dilaporkan menewaskan puluhan orang di Damaskus dan Suweida.

    ReutersPasukan keamanan Suriah mengangkat senjata dalam bentrokan dengan milisi Druze di Kota Suweida, Suriah selatan, pada 16 Juli 2025.

    Pada Minggu (13/07), milisi Druze dilaporkan mengepung dan kemudian merebut sebuah wilayah di Kota Suweida yang dihuni oleh suku Badui. Lebih dari 300 orang dilaporkan tewas.

    Bentrokan segera menyebar ke wilayah lain di Provinsi Suweida. Suku Badui dilaporkan melancarkan serangan ke kota-kota dan desa-desa Druze di dekatnya.

    Pertempuran tersebut konon dipicu oleh penculikan seorang pedagang Druze di jalan raya menuju Damaskus, pada Jumat (11/07) lalu.

    Kementerian Dalam Negeri Suriah kemudian mengumumkan bahwa pasukannya dan pasukan Kementerian Pertahanan akan turun tangan guna menegakkan ketertiban, dengan mengatakan bahwa “eskalasi berbahaya ini terjadi karena ketidakhadiran lembaga resmi terkait”.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Netanyahu Kelewatan, 2 Eks PM Israel Tolak Kota Kemanusiaan Gaza

    Netanyahu Kelewatan, 2 Eks PM Israel Tolak Kota Kemanusiaan Gaza

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dua politisi terkemuka Israel mengkritik rencana pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk membangun apa yang disebutnya “kota kemanusiaan” di Gaza selatan. Mereka menyebut hal ini sama saja dengan menahan warga Palestina di “kamp konsentrasi”.

    Mengutip Al Jazeera, Senin (14/7/2025), Mantan PM Yair Lapid dan Ehud Olmert merupakan pihak yang vokal dalam menolak hal ini. Lapid, pemimpin partai oposisi terbesar Israel, mengatakan kepada Radio Angkatan Darat Israel bahwa “tidak ada hal baik” yang akan dihasilkan dari rencana pembangunan “kota kemanusiaan” di atas reruntuhan kota Rafah.

    “Itu ide yang buruk dari segala perspektif – keamanan, politik, ekonomi, logistik,” ujarnya. “Saya tidak suka menyebut kota kemanusiaan sebagai kamp konsentrasi, tetapi jika keluar darinya dilarang, maka itu adalah kamp konsentrasi,” tambahnya.

    Olmert, yang menjabat sebagai perdana menteri Israel dari tahun 2006 hingga 2009, juga mengecam rencana Israel tersebut. Ia bahkan terang-terangan menyebut kota itu sebagai kamp konsentrasi.

    “Jika mereka (warga Palestina) akan dideportasi ke ‘kota kemanusiaan’ yang baru, maka bisa dibilang ini bagian dari pembersihan etnis,” ujarnya.

    “Ketika mereka membangun kamp di mana mereka (berencana) untuk ‘membersihkan’ lebih dari separuh Gaza, maka pemahaman yang tak terelakkan dari strategi ini [adalah] bukan untuk menyelamatkan (warga Palestina). Melainkan untuk mendeportasi mereka, mendorong mereka, dan membuang mereka. Setidaknya, tidak ada pemahaman lain yang saya miliki.”

    Menurut pemerintah Israel, kota kemanusiaan ini awalnya akan menampung 600.000 warga Palestina terlantar yang saat ini tinggal di tenda-tenda di daerah Al Mawasi yang padat penduduk di sepanjang pantai selatan Gaza. Namun, pada akhirnya, seluruh penduduk enklave yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa akan dipindahkan ke sana.

    Citra satelit menunjukkan pasukan Israel telah meningkatkan operasi pembongkaran di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Pada 4 April, jumlah bangunan yang hancur mencapai sekitar 15.800. Pada 4 Juli, jumlahnya telah meningkat menjadi 28.600.

    Pembersihan Etnis

    Para pejabat kemanusiaan juga mengatakan bahwa rencana kamp interniran di Rafah akan menjadi dasar bagi pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza.

    Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina, atau UNRWA, yang telah dilarang oleh Israel, pekan lalu bertanya apakah rencana tersebut akan mengakibatkan “Nakba kedua”. Istilah ini merujuk pada pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka selama berdirinya negara Israel pada tahun 1948.

    “Ini secara de facto akan menciptakan kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan dengan Mesir bagi warga Palestina, yang terus-menerus mengungsi lintas generasi,” kata Lazzarini, seraya menambahkan bahwa hal itu akan “menghilangkan prospek masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina di tanah air mereka”.

    Pemerintah Israel bersikeras bahwa pemindahan warga Palestina ke kamp interniran di Rafah akan bersifat “sukarela”, sementara Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus menggembar-gemborkan usulan mereka untuk memindahkan secara paksa semua warga Palestina di Gaza dari daerah kantong tersebut.

    Netanyahu mengatakan dalam jamuan makan malam dengan Trump pekan lalu bahwa Israel bekerja sama dengan AS “sangat erat untuk menemukan negara-negara yang akan berupaya mewujudkan apa yang selalu mereka katakan, bahwa mereka ingin memberikan masa depan yang lebih baik bagi Palestina”.

    Sementara itu, Trump mengatakan bahwa pihaknya telah mendapatkan kerja sama yang sangat baik dari negara-negara di sekitar Israel. Menurutnya, “sesuatu yang baik akan segera terjadi”.

    Namun, negara-negara tetangga Israel dan negara-negara Arab lainnya telah dengan tegas menolak rencana penggusuran warga Palestina dari Gaza, begitu pula warga Palestina yang lelah perang di daerah kantong pesisir tersebut.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Israel Tembaki Alat Vital Bocah-Bocah Palestina di Gaza

    Israel Tembaki Alat Vital Bocah-Bocah Palestina di Gaza

    GELORA.CO –  Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dilaporkan menembaki bocah-bocah Palestina di Jalur Gaza.

    Yang memprihatinkan ialah banyak di antara bocah Gaza itu yang ditembak alat vitalnya.

    Hal itu terungkap setelah seorang dokter asing dan rekannya mengaku menemukan kesamaan luka pada remaja-remaja yang ditembak Israel. Ada bagian tubuh yang diduga memang ditargetkan dalam tembakan itu.

    Dia mengatakan baru-baru ini sejumlah remaja laki-laki dilarikan ke rumah sakit. Mereka semua memiliki kesamaan, yakni ditembak alat vitalnya.

    Dikutip dari Middle East Eye, bocah-bocah itu ditembak di dekat area yang dijadikan tempat penyaluran bantuan.

    Tempat yang seharusnya menjadi zona aman itu malah disebut sebagai “jebakan maut” untuk warga Palestina.

    Belasan tewas karena serangan terbaru Israel

    Pada Senin, (14/7/2025), dilaporkan ada setidaknya ada 19 warga Palestina yang tewas karena serangan udara Israel di seluruh Jalur Gaza.

    Pejabat kesehatan di Rumah Sakit Al-Shifa menyebut ada tiga orang tewas karena serbuan Israel di dekat kampus di selatan Kota Gaza.

    Sementara itu, tenaga kesehatan di Kota Gaza melaporkan ada sembilan orang yang tewas di kota itu, termasuk lima orang di area Al-Saftawi.

    Adapun Rumah Sakit Baptis menyampaikan ada dua orang yang tewas karena serangan di kawasan Shujaiyya.

    Selain itu, Rumah Sakit Al-Awda di Gaza tengah melaporkan satu orang tewas dan beberapa terluka ketika tangki air di kamp pengungsian Nuseirat diserang Israel.

    700 warga Gaza tewas saat mengambil air

    Kantor Informasi Pemerintah Gaza mengatakan pasukan Israel menyerang warga Palestina yang sedang mengisikan air ke tempat penyimpanan air.

    Israel diklaim sudah melakukan 112 pembunuhan dengan total korban mencapai lebih dari 700 orang. Kebanyakan dari mereka masih anak-anak.

    Kantor itu menjuluki serangan itu sebagai bagian dari “perang untuk mengobarkan rasa haus”.

    Lalu, kantor itu meminta masyarakat internasional dan organisasi kemanusiaan untuk segera ikut campur demi menjamin keamanan pendistribusian air untuk warga Gaza.

    Sementara itu, delapan badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa tindakan Israel memblokade bantuan bahan bakar bisa membuat rumah sakit, sistem manajemen air, operasional bantuan berhenti.

    “Tanpa bahan bakar yang mencukui, kami mungkin harus menghentikan seluruh operasional kami,” kata badan PBB.

    Milter Israel ingin membuat kota kemanusiaan

    Militer Israel dilaporkan ingin membangun “kota kemanusiaan” di Rafah, Gaza. Menurut Yedioth Ahronoth, pembangunan kota itu diperkirakan bisa memakan biaya hingga sekitar $4 miliar atau sekitar Rp650 miliar.

    Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan keberatan dengan rencana itu.

    Dalam rapat hari Senin kemarin, dia dan beberapa menteri menyebut rencana itu tidak realistis dan bisa memakan waktu hingga setahun.

    Kota kemanusiaan tersebut ditujukan untuk menampung 500.000 pengungsi Palestina. Namun, organisasi kemanusiaan mengkitik pedas dan menyebutnya sebagai kamp konsentrasi.

    Kamp itu dituding digunakan untuk memfasilitasi pengusiran warga Palestina dan pembersihan etnis.

  • Israel Disebut Pakai Ilmu Hitam Hancurkan Palestina, Ada Buktinya

    Israel Disebut Pakai Ilmu Hitam Hancurkan Palestina, Ada Buktinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tudingan mengejutkan datang dari seorang pejabat senior Iran yang menyebut Israel memakai ilmu hitam dalam konflik Timur Tengah. Klaim tersebut disampaikan Abdollah Ganji, mantan editor media milik Garda Revolusi Iran (IRGC), lewat unggahan di media sosial X.

    Ganji menyebut telah ditemukan jimat bertuliskan simbol Yahudi di jalanan Teheran usai perang 12 hari yang belum lama terjadi.

    “Setelah perang baru-baru ini, ditemukan beberapa lembar kertas di jalanan Teheran berisi jimat dengan simbol-simbol Yahudi,” tulisnya seperti dilaporkan Iran International, dikutip Senin (14/7/2025)

    Ia juga merujuk laporan-laporan sebelumnya soal dugaan pertemuan PM Israel Benjamin Netanyahu dengan pakar ilmu gaib saat awal serangan di Gaza.

    Beberapa tahun lalu, Pemimpin Tertinggi juga pernah menyatakan bahwa negara-negara musuh serta dinas intelijen Barat dan Ibrani menggunakan ilmu gaib dan makhluk jin untuk tujuan mata-mata.

    Pernyataan itu segera mendapat tanggapan sinis dari Mossad, badan intelijen Israel, yang menyindir Ganji melalui akun resmi berbahasa Farsi yang mengatakan: “Gunakan narkoba dan bicara dengan jin bukan karakter yang pantas untuk pemimpin negara.”

    Pernyataan itu juga diunggah ulang oleh penasihat politik Israel di PBB, Waleed Gadban, dengan caption singkat “Jin, jin ada di mana-mana,” disertai emoji hantu.

    Sebagai informasi, dalam Islam, jin merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk berubah bentuk dan kekuatan luar biasa.

    Mereka pertama kali disebutkan dalam Al-Qur’an dan dalam Islam dipahami sebagai “makhluk paralel dengan manusia yang mampu memilih antara kebaikan dan kejahatan, dan karena itu akan mengalami keselamatan atau kebinasaan,” menurut Britannica.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pejabat Iran Tuding Israel Pakai Bantuan Jin dan Klenik dalam Perang 12 Hari

    Pejabat Iran Tuding Israel Pakai Bantuan Jin dan Klenik dalam Perang 12 Hari

    GELORA.CO –  Seorang pejabat senior Iran mengklaim bahwa Israel mengerahkan “roh-roh gaib dan supernatural” selama perangnya dengan Iran, demikian dilaporkan Iran International. Roh gaib dalam bentuk jin itu dituding bertanggung jawab atas fenomena aneh yang terjadi selama perang.

    Dalam sebuah unggahan di media sosial X pada Rabu, (9/7/2025) Abdollah Ganji, mantan editor surat kabar Javan yang berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC), mengatakan bahwa sebuah fenomena aneh telah terjadi selama perang 12 hari Iran dengan Israel. Dia mengklaim bahwa itu terjadi akibat roh gaib yang dikerahkan Israel melalui jimat-jimat dari jalanan Teheran.

    “Setelah perang baru-baru ini, beberapa lembar kertas ditemukan di jalan-jalan Teheran berisi jimat-jimat dengan simbol-simbol Yahudi,” tulis Ganji, sebagaimana dilansir Jerusalem Post. “Pada tahun pertama perang Gaza, berita juga bocor tentang pertemuan Netanyahu dengan para ahli ilmu gaib.”

    “Beberapa tahun yang lalu, Pemimpin Tertinggi telah menyatakan bahwa negara-negara musuh dan badan intelijen Barat serta Yahudi menggunakan ilmu gaib dan entitas jin untuk spionase,” tambahnya, merujuk pada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

    Akun resmi Mossad, X, dalam bahasa Persia, menanggapi unggahan Ganji pada Kamis, (10/7/2025).

    “Menggunakan narkoba dan berbicara dengan jin bukanlah sifat yang diinginkan bagi seseorang yang memimpin suatu negara,” tulis akun zionis tersebut.

    Jin adalah makhluk gaib yang disebutkan dalam Al-Quran memiliki kemampuan mengambil berbagai bentuk dan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam Islam, jin disebut mampu memilih antara baik dan buruk, seperti halnya manusia.

  • 67 Anak di Gaza Mati Kelaparan Akibat Ulah Israel Blokade Bantuan

    67 Anak di Gaza Mati Kelaparan Akibat Ulah Israel Blokade Bantuan

    Jakarta – Angka kelaparan di Gaza berada di tingkat mengkhawatirkan. Puluhan anak di Gaza dilaporkan meninggal dunia akibat Israel memblokade kiriman bantuan.

    “Setidaknya 67 anak telah meninggal dunia akibat kelaparan di Gaza sejak Oktober 2023, seiring blokade total Israel terhadap wilayah tersebut memasuki hari ke-103 berturut-turut,” bunyi pernyataan Kantor Media Pemerintah di Gaza, dilansir Anadolu Agency, Minggu (13/7/2025).

    Jumlah itu diprediksi bisa meningkat drastis. Pasalnya, saat ini ada lebih dari 650.000 anak di bawah usia 5 tahun di Gaza menghadapi malnustrisi parah akibat pembatasan akses makanan dan obat-obatan yang dilakukan tentara Israel.

    “Kelaparan kini membunuh apa yang tidak dibunuh oleh bom,” catat kantor tersebut.

    Kantor media tersebut mengatakan “puluhan kematian tambahan telah tercatat hanya dalam tiga hari terakhir saja, karena pasukan Israel terus memblokir masuknya tepung, susu formula bayi, serta pasokan nutrisi dan medis penting.”

    Saat ini, sekitar 1,25 juta orang di Gaza menderita kelaparan parah, sementara 96% populasi, termasuk lebih dari 1 juta anak-anak, menderita kerawanan pangan akut.

    Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas “kampanye kelaparan yang sistematis dan terorganisir” dan menyalahkan para pendukung internasionalnya secara hukum dan moral atas dukungan atau diamnya mereka.

    “Kami membunyikan alarm: ini adalah vonis mati massal yang terbentang di depan mata dunia,” kata kantor tersebut. “Intervensi internasional segera bukanlah pilihan, ini masalah hidup atau mati.”

    “Tidak ada sabun, tidak ada air bersih. Anak-anak di Gaza tidak dapat dimandikan dengan benar karena pengepungan yang masih berlangsung,” kata UNRWA dalam sebuah pernyataan.

    “Hal ini, ditambah dengan tempat penampungan yang penuh sesak dan panasnya musim panas, dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan yang mengerikan,” tambahnya.

    Menolak seruan internasional untuk gencatan senjata, tentara Israel telah melancarkan serangan brutal di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, menewaskan hampir 57.900 warga Palestina sejauh ini, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

    Pengeboman tanpa henti telah menghancurkan daerah kantong tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan serta penyebaran penyakit.

    November 2024 lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Tonton juga video “PMI Distribusikan Air Bersih Untuk Gaza” di sini:

    (ygs/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini