Tag: Benjamin Netanyahu

  • Amerika Serikat Mulai Campuri Urusan di Tepi Barat

    Amerika Serikat Mulai Campuri Urusan di Tepi Barat

    WASHINGTON – Amerika menyatakan dukungan kepada Israel yang ingin membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Padahal, kawasan itu adalah wilayah Palestina yang diduduki Israel. Dukungan ini bertentangan dengan komitmen mereka selama 40 tahun, yakni pembangunan permukiman Yahudi di sana, ‘tidak sesuai dengan hukum internasional’.

    Pernyataan dukungan pembangunan permukiman itu diumumkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan AS soal pemukiman di Tepi Barat –yang dicaplok oleh Israel pada 1967– selama ini tidak selaras.

    Pompeo mengutip, Presiden AS Jimmy Carter (1977-1981) yang menganggap bahwa pendirian AS dulu itu tidak sejalan dengan hukum internasional. Lalu, Presiden AS Ronald Reagan (1981-1989) yang mengatakan tidak menganggap pemukiman tersebut sebagai tindakan yang ilegal.

    Pernyataan Pompeo tentang pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat ini mendapat pujian dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu mengimbau negara-negara lain mengambil sikap yang sama dengan Amerika dalam mendukung hak Israel membangun permukiman di Tepi Barat.

    Sementara itu, Palestina tidak suka Amerika Serikat untuk masalah ini. Bagi mereka, AS tak punya hak untuk menentukan permukiman Israel dan Palestina.

    “Amerika Serikat tidak punya keahlian ataupun wewenang untuk menihilkan resolusi-resolusi internasional yang sah. Amerika Serikat juga tidak punya hak untuk memberikan pembenaran apa pun bagi pemukiman oleh Israel,” kata juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh, dalam pernyataan.

    Sedangkan Kepala perunding Palestina Saeb Erekat mengatakan, AS di bawah kepemipinan Amerika Serikat Donald Trump sedang mengancam untuk mengganti hukum internasional dengan ‘hukum rimba’.

    Negara tetangga Israel dan Palestina, Yordania memperingatkan kebijakan AS ini. Kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kebijakan ini akan menimbulkan “dampak berbahaya” terhadap masa depan perundingan perdamaian.

    Safadi juga mengatakan bahwa pemukiman oleh Israel “jelas-jelas adalah pelanggaran terhadap hukum internasional dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

    Pernyataan Pompeo yang mendapat kritikan ini dikatakan tak bermaksud menghakimi status Tepi Barat. Pompeo mengatakan, masalah Tepi Barat ini akan dituntaskan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.

    Pernyataan ini, sambung Pompeo, tidak dimaksudkan untuk memaksa agar penundingan ini cepat selesai meski menimbulkan pertentangan hukum. 

    “Itu adalah soal yang harus dirundingkan oleh Israel dan Palestina,” katanya.

  • Akal-akalan Israel Tak Ada Kelaparan di Gaza Tak Masuk Akal

    Akal-akalan Israel Tak Ada Kelaparan di Gaza Tak Masuk Akal

    Gaza City

    Kelaparan hebat terjadi di Jalur Gaza, Palestina yang terus dibombardir oleh Israel. Namun, Israel membuat klaim tak masuk akal soal tak ada kelaparan di Gaza.

    Dilansir AFP, situasi krisis di Jalur Gaza semakin memprihatinkan, dengan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam beberapa pekan terakhir memperingatkan akan terjadinya kelaparan yang mengancam jiwa seiring menipisnya pasokan bantuan.

    Tekanan internasional juga semakin meningkat untuk gencatan senjata guna memungkinkan operasi penyaluran bantuan secara besar-besaran.

    Namun pemerintah Israel, di bawah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, dengan tegas membantah tuduhan bahwa mereka menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.

    Sementara itu, dilansir BBC pada Senin (28/7), menyebut kondisi saat ini sebagai “masa paling berat yang pernah saya alami sejak lahir. Ini adalah krisis dahsyat yang penuh penderitaan dan kondisi penuh kekurangan.”

    Pakar ketahanan pangan global belum mengklasifikasikan situasi di Gaza sebagai bencana kelaparan, tapi badan-badan di bawah PBB telah memperingatkan bahwa situasi kelaparan massal akibat perbuatan manusia tengah berlangsung di wilayah tersebut. Israel membantah atas kesalahan kontrol pangan berlebihan terhadap wilayah Palestina.

    Mereka–identitas para jurnalis disenyumbinyakan atas alasan keselamatan–menuturkan, kondisi paling menyakitkan saat ini adalah ketidakmampuan mereka memberi makan orang-orang terdekat, terutama anak kecil dan kelompok rentan.

    “Anak saya yang mengidap autisme tidak menyadari situasi yang tengah terjadi. Dia tidak bisa bicara dan tidak paham bahwa kami sedang terjebak di tengah peperangan,” ujar salah seorang juru kamera di Gaza yang memiliki empat anak.

    “Hari-hari belakangan dia sangat kelaparan, bahkan sampai memukul-mukul perutnya untuk mengisyaratkan bahwa dia ingin makan.”

    Jurnalis muda yang bertugas di Gaza selatan mengisahkan bahwa dia merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi orang tua dan saudaranya. “Saya terus memikirkan cara mendapatkan makanan untuk keluarga,” ujarnya.

    Israel Klaim Kirim Bantuan

    Israel mengatakan pihaknya telah mengirimkan bantuan melalui udara ke Jalur Gaza usai menghadapi kecaman internasional atas krisis kelaparan yang semakin dalam di wilayah Palestina. Israel juga akan membuka koridor kemanusiaan buntut kecaman tersebut.

    Dilansir AFP, Minggu (27/7/2025), sebelumnya Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza pada 2 Maret setelah perundingan gencatan senjata gagal. Pada akhir Mei, Israel mulai mengizinkan sedikit bantuan untuk dilanjutkan.

    Sebelum Israel mengumumkan pengiriman tujuh paket bantuan, Uni Emirat Arab telah mengatakan akan memulai kembali pengiriman bantuan dan Inggris mengatakan akan bekerja sama dengan mitra termasuk Yordania untuk membantu mereka.

    Keputusan untuk melonggarkan aliran bantuan muncul ketika badan pertahanan sipil Palestina mengatakan lebih dari 50 warga Palestina tewas dalam serangan dan penembakan Israel, beberapa di antaranya saat mereka menunggu di dekat pusat distribusi bantuan.

    “Ini akan memperbaiki situasi kemanusiaan, dan membantah “klaim palsu tentang kelaparan yang disengaja di Jalur Gaza”, tambahnya.

    PM Australia Heran dengan Klaim Israel

    Dilansir ABC Australia, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyatakan heran atas klaim Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang mengatakan “tidak ada kelaparan di Gaza.”

    Kepada anggota parlemen Partai Buruh yang dipimimpinnya, PM Albanese mengatakan pernyataan tersebut “tidak masuk akal.”

    Albanese melontarkan komentar tersebut menanggapi pertanyaan dari seorang anggota parlemen dari Partai Buruh tentang kapan Australia akan mengakui kenegaraan Palestina.

    PM Albanese sepertinya secara langsung mengkritik PM Netanyahu, yang mengunggah sebuah video ke X dengan mengatakan “tidak ada kelaparan di Gaza, tidak ada kebijakan kelaparan di Gaza.”

    PM Australia Heran dengan Pernyataan Israel yang Menyangkal Tidak Ada Kelaparan di Gaza (Foto: ABC Australia)

    Pernyataan tersebut juga pernah diucapkan oleh Wakil Duta Besar Israel untuk Australia, Amir Meron.

    “Klaim bahwa tidak ada kelaparan di Gaza tidak masuk akal,” kata PM Albanese kepada anggota Partai Buruh, menurut seorang juru bicara.

    Ia kemudian menjelaskan prasyarat Australia untuk mengakui Palestina, salah satunya “reformasi demokratis” di wilayah tersebut.

    Tapi ia mengindikasikan adanya hambatan yang bukannya tidak dapat diatasi, merujuk pada kutipan terkenal dari Nelson Mandela yang mengatakan “segalanya selalu tampak mustahil sampai terwujud.”

    Pemimpin Oposisi di Australia, Sussan Ley dari Partai Liberal, mengatakan ia “sangat terpukul melihat gambar-gambar” yang muncul dari Gaza, tetapi menolak mengatakan apakah menurutnya kelaparan sedang terjadi.

    “Ini adalah situasi yang kompleks di lapangan … saya senang melihat bantuan mengalir lebih jauh dan lebih baik,” ujarnya kepada para wartawan di Canberra.

    Belanda Bakal Panggil Dubes Israel

    Pemerintah Belanda mengatakan pihaknya akan memanggil Duta Besar (Dubes) Israel yang bertugas di wilayahnya. Pemanggilan itu dimaksudkan untuk menyampaikan kecaman terhadap situasi yang “tak tertahankan” di wilayah Jalur Gaza, yang terus dilanda perang.

    Rencana pemanggilan itu, seperti dilansir Reuters, Selasa (29/7/2025), diumumkan melalui sebuah surat pernyataan yang dirilis oleh pemerintah Belanda pada Senin (28/7) tengah malam waktu setempat.

    Disebutkan pemerintah Belanda dalam pernyataannya bahwa Duta Besar Israel akan dipanggil untuk mendengarkan kecaman terhadap situasi yang “tak tertahankan dan tak dapat dimaafkan” di wilayah Jalur Gaza, yang diselimuti perang antara Israel dan Hamas selama 21 bulan terakhir.

    Pemerintah Belanda, dalam pengumumannya, juga mengatakan akan memberlakukan larangan perjalanan terhadap dua menteri kontroversial Israel, yakni Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich.

    Kedua menteri dalam kabinet pemerintah Israel, yang beraliran sayap kanan itu, tidak akan lagi diizinkan memasuki wilayah Belanda.

    Otoritas Belanda menuduh Ben-Gvir dan Smotrich telah berulang kali memicu kekerasan terhadap warga Palestina dan menyerukan “pembersihan etnis” di wilayah Jalur Gaza.

    Keputusan Belanda ini menyusul langkah serupa yang diambil terlebih dahulu oleh beberapa negara lainnya, seperti Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Norwegia, bulan lalu.

    Halaman 2 dari 4

    (rdp/rdp)

  • Kanselir Jerman Sambut Raja Yordania, Bahas Jembatan Udara ke Gaza

    Kanselir Jerman Sambut Raja Yordania, Bahas Jembatan Udara ke Gaza

    Jakarta

    Menurut Kementerian Luar Negeri Yordania, pertemuan di Jerman akan difokuskan pada penguatan hubungan bilateral kedua negara serta pembahasan “perkembangan paling mendesak di kawasan.”

    Pertemuan ini berlangsung sehari setelah kanselir Friedrich Merz menyampaikan bahwa pemerintah Jerman ingin membentuk jembatan udara guna mempercepat pengiriman bantuan ke Gaza.

    “Kami tahu bahwa ini hanya akan menjadi bantuan yang sangat kecil bagi rakyat di Gaza,” kata Merz pada Senin, seraya menambahkan, ini adalah “kontribusi yang dengan senang hati kami berikan.”

    Yordania sendiri telah berperan sebagai pusat distribusi bantuan dan pasokan, termasuk menjatuhkan makanan melalui udara ke Gaza dalam dua hari terakhir, menyusul pengumuman Israel tentang “jeda taktis” dalam pertempuran melawan kelompok militan Palestina, Hamas, yang juga diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Israel, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

    Desakan dari komunitas internasional agar Israel bertindak lebih jauh dalam menangani krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza, terus meningkat. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kesehatan Dunia, dan berbagai lembaga bantuan memperingatkan, banyak warga sipil di Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pada Minggu, “tidak ada kelaparan di Gaza,” namun sehari kemudian, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyanggah pernyataan tersebut. Trump menegaskan, ada “kelaparan nyata” di wilayah yang terkepung itu, dan bahwa “kita harus memberi makan anak-anak.”

    Tiga dari empat warga Jerman ingin Berlin tekan Israel

    Sementara itu, sekitar tiga perempat warga Jerman menginginkan pemerintah federal memberikan tekanan lebih kepada Israel, untuk menangani situasi kemanusiaan yang memprihatinkan di Gaza.

    Hasil survei menunjukkan adanya perbedaan sikap yang signifikan berdasarkan afiliasi politik: sekitar 94% pemilih Partai Kiri (Die Linke) dan 88% pemilih Partai Hijau mendukung penekanan lebih terhadap Israel.

    Adapun di kalangan pendukung partai-partai besar pemerintahan seperti CDU/CSU (kanan tengah) dan SPD (Sosial Demokrat, kiri tengah), sebanyak 77% ingin pemerintah Jerman melakukan upaya lebih serius, agar Israel meringankan krisis kemanusiaan yang sedang terjadi dan mengakhiri perang.

    Penolakan terkuat terhadap peningkatan tekanan diplomatik terhadap Israel, datang dari pendukung partai sayap kanan ekstrem AfD (Alternative für Deutschland), di mana 37% menentang gagasan tersebut. Meskipun begitu, mayoritas—yakni 61% pemilih AfD—masih mendukung sikap yang lebih tegas dari pemerintah Jerman terhadap Israel.

    Sebagai salah satu pendukung terkuat Israel di kancah internasional, Jerman menegaskan bahwa perlindungan terhadap keamanan dan eksistensi negara Israel adalah bagian dari raison d’etat atau “dasar pendirian negara” Jerman.

    Jerman bantah keretakan koalisi

    Kepala Kantor Kekanseliran Jerman, Thorsten Frei, membantah kekhawatiran soal adanya perpecahan dalam pemerintahan koalisi Jerman, terkait posisi negara itu terhadap Israel.

    Pernyataan tersebut muncul setelah Jerman memutuskan untuk tidak bergabung dengan puluhan negara Barat lainnya, dalam menandatangani pernyataan yang mengecam “pembunuhan tidak manusiawi” terhadap warga sipil Palestina di Gaza pada Senin lalu.

    Frei, yang merupakan tangan kanan Kanselir Friedrich Merz, menegaskan mitra-mitra dalam koalisi tetap bersatu dalam tujuan mereka terkait situasi di Gaza, meski terdapat perbedaan pandangan mengenai cara mencapainya.

    “Tidak ada selembar kertas pun yang memisahkan para mitra koalisi,” kata Frei kepada penyiar publik Jerman, ZDF. “Tentu saja, Anda bisa memiliki pandangan berbeda soal bentuk dan jalan menuju tujuan bersama.”

    Tokoh-tokoh terkemuka dari Partai Sosial Demokrat (SPD), mitra koalisi junior dari partai Merz, Uni Kristen Demokrat (CDU), Selasa (29/7) mendesak pemerintah agar bergabung dalam deklarasi bersama yang telah ditandatangani oleh 28 negara, termasuk Prancis, Italia, dan Inggris, serta oleh Komisi Eropa, lembaga eksekutif Uni Eropa.

    Deklarasi itu menyerukan penghentian segera perang di Gaza, dan mengutuk tindakan militer Israel. Namun, sejauh ini Jerman menolak untuk turut menandatanganinya.

    Frei membela posisi pemerintah, dengan alasan bahwa deklarasi tersebut tidak memberikan kejelasan dalam mengurutkan kronologi peristiwa. “Harus ditegaskan bahwa titik awal perang ini adalah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, dan bahwa Hamas masih menyandera orang-orang,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa Jerman tetap memiliki “banyak saluran komunikasi” dengan pemerintah Israel.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan


    (ita/ita)

  • Trump Anggap Hamas Sulit Diajak Negosiasi

    Trump Anggap Hamas Sulit Diajak Negosiasi

    JAKARTA – Presiden AS Donald Trump menyebut kelompok militan Hamas menjadi sulit dihadapi dalam beberapa hari terakhir. Trump tengah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengenai berbagai rencana untuk membebaskan para sandera yang masih ditawan di wilayah tersebut.

    Di luar persoalan sandera, Trump mengatakan AS akan bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menyediakan lebih banyak bantuan kemanusiaan kepada rakyat Gaza, termasuk makanan dan sanitasi.

    “Kami akan mendirikan pusat-pusat makanan tanpa pagar atau batas untuk memudahkan akses,” kata Trump kepada wartawan setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di resor golf miliknya di Turnberry, Skotlandia, dilansir Reuters, Senin, 28 Juli.

    Sementara PM Starmer menyebut situasi kemanusiaan di Gaza sebagai benar-benar amat berat dan mengatakan bantuan pangan perlu segera disalurkan ke wilayah tersebut.

    “Kita perlu menggalang dukungan dari negara-negara lain untuk menyalurkan bantuan tersebut, dan ya, itu memang termasuk menekan Israel, karena ini benar-benar bencana kemanusiaan,” ujarnya.

  • Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja

    Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja

    JAKARTA – Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan kelaparan massal di Jalur Gaza “dibuat dan disengaja.”

    Mereka mengatakan mekanisme distribusi bantuan yang didukung Israel dan AS, yang dikenal sebagai “Yayasan Kemanusiaan Gaza,” atau GHF, dibentuk untuk memuluskan “tujuan militer dan politik.”

    “Kelaparan massal yang disengaja dan terencana. Hari ini, lebih banyak anak meninggal, tubuh mereka kurus kering karena kelaparan,” demikian pernyataan tersebut dilansir ANTARA dari Anadolu, Sabtu, 26 Juli.

    Mereka menekankan “sistem distribusi (GHF) yang cacat tersebut tidak dirancang untuk mengatasi krisis kemanusiaan.”

    UNRWA menekankan sistem itu “melayani tujuan militer dan politik. Sistem ini kejam karena lebih banyak merenggut nyawa daripada menyelamatkan nyawa.”

    Badan tersebut menjelaskan di bawah sistem tersebut, Israel mengendalikan “semua aspek akses kemanusiaan, baik di luar maupun di dalam Gaza.”

    Sejak 27 Mei, Tel Aviv mulai melaksanakan rencana penyaluran bantuan melalui “Yayasan Kemanusiaan Gaza,” mekanisme yang didukung oleh Israel dan AS tetapi ditolak oleh PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan besar.

    UNRWA mencatat selama gencatan senjata sebelumnya pada 2025, yang dimulai pada Januari dan kemudian tidak diimplementasikan oleh Israel pada Maret, mereka “membalikkan kelaparan yang semakin dalam.”

    Badan tersebut menambahkan “saat ini, UNRWA sendiri memiliki 6.000 truk bantuan makanan dan medis yang tertahan di Mesir dan Yordania.”

    UNRWA telah berulang kali menyerukan pengaktifan kembali mekanisme distribusi bantuan yang diawasi PBB untuk membantu meringankan krisis kelaparan di Gaza.

    Sejak 2 Maret, Israel sudah tidak melaksanakan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas serta menutup perlintasan Gaza, sehingga ratusan truk bantuan terdampar di perbatasan.

    Israel menolak seruan internasional untuk melaksanakan gencatan senjata dan terus melancarkan serangan brutal di Gaza sejak akhir 2023, sehingga menewaskan lebih dari 59.600 warga Palestina.

    Kematian akibat kelaparan melonjak dalam beberapa hari terakhir akibat blokade yang telah berlangsung selama berbulan-bulan dan buruknya distribusi bantuan yang dilakukan oleh lembaga bantuan GHF yang kontroversial.

    Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk PM Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

  • Rencana Prancis Akui Palestina Bikin Geram Timur Tengah, Eropa dan AS

    Rencana Prancis Akui Palestina Bikin Geram Timur Tengah, Eropa dan AS

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengumuman Presiden Emmanuel Macron bahwa Prancis akan mengakui negara Palestina pada bulan September mendatang, telah memicu pertikaian diplomatik dari Timur Tengah, Eropa, hingga Washington. Keputusan itu akan membuat Prancis menjadi anggota Barat pertama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui Palestina.

    Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja. Mengutip Reuters, ketika Macron mengunjungi kota Al-Arish di Mesir yang berbatasan dengan Gaza pada bulan April, ia dikejutkan oleh krisis kemanusiaan yang semakin meningkat. Sekembalinya ke Prancis, ia menegaskan bahwa Paris akan segera memilih pengakuan terhadap Palestina.

    Bekerja sama dengan Arab Saudi, Macron mengajukan rencana agar Prancis beserta sekutu G7, Inggris dan Kanada, mengakui kenegaraan Palestina, sekaligus mendorong negara-negara Arab untuk mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Israel melalui konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, meskipun telah berminggu-minggu berunding, ia gagal mengajak negara lain untuk bergabung.

    Tiga diplomat mengatakan London tidak ingin menghadapi kemarahan Amerika Serikat, dan Ottawa mengambil sikap serupa, sehingga Macron harus bertindak sendiri.

    “Semakin jelas bahwa kami tidak sabar untuk mendapatkan mitra,” kata seorang diplomat Prancis kepada Reuters, dikutip Sabtu (26/7/2025).

    Ia menambahkan bahwa Prancis akan berupaya untuk menggandeng lebih banyak negara sebelum konferensi mengenai solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina pada bulan September.

    Di dalam negeri, Macron berada di bawah tekanan yang meningkat untuk bertindak di tengah kemarahan yang meluas atas gambar-gambar mengerikan yang muncul dari Gaza. Meskipun Prancis adalah negara dengan komunitas Muslim dan Yahudi terbesar di Eropa dan lanskap politik yang terpolarisasi, tidak ada tindakan yang jelas yang akan memuaskan semua pihak.

    Sementara itu, Israel dan pendukung setianya, Amerika Serikat (AS), mengecam langkah Prancis, menyebutnya sebagai hadiah bagi kelompok militan Palestina, Hamas, yang menguasai Gaza dan yang serangannya terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang saat ini.

    Macron telah membahas masalah ini secara ekstensif dengan Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya.

    Trump mengatakan pada hari Jumat bahwa keputusan Prancis tidak “berpengaruh” tetapi menambahkan Macron adalah “orang baik”.

    Rencana Konferensi

    Para pejabat Prancis sebelumnya mempertimbangkan pengumuman pada konferensi yang dijadwalkan pada bulan Juni di PBB, yang diselenggarakan bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, untuk menyusun peta jalan menuju negara Palestina yang layak sekaligus memastikan keamanan Israel.

    Namun, konferensi tersebut ditunda di tengah tekanan diplomatik AS yang intens dan setelah serangan udara Israel terhadap Iran.

    Pengumuman Macron pada hari Kamis terkait dengan versi konferensi PBB yang dijadwal ulang dan diubah, yang sekarang direncanakan berlangsung pada hari Senin dan Selasa.

    Pertemuan tersebut akan berada di tingkat menteri, tetapi Paris memutuskan untuk mengadakan acara kedua dengan para kepala negara dan pemerintahan di sela-sela Sidang Umum PBB pada bulan September, di mana Macron akan mengumumkan pengakuan resmi.

    Beberapa analis mengatakan Macron telah menggunakan iming-iming pengakuan untuk mendapatkan konsesi dari Mahmoud Abbas, presiden Otoritas Palestina yang merupakan pesaing moderat Hamas, dan para pemain regional lainnya.

    “Macron di sini bertindak sebagai katalisator untuk mendorong Palestina mewujudkan reformasi yang dibutuhkan, untuk mendorong negara-negara Arab mewujudkan pasukan stabilisasi dan pelucutan senjata Hamas,” kata Rym Momtaz, pemimpin redaksi blog Strategic Europe yang dikelola oleh lembaga kajian Carnegie Europe.

    Yang lain mengatakan meskipun pengakuan memiliki nilai simbolis, tetap tidak akan ada negara Palestina yang berfungsi ketika perang di Gaza berakhir.

    “Pengakuan oleh negara adidaya Eropa seperti Prancis menunjukkan meningkatnya rasa frustrasi terhadap kebijakan Israel yang keras kepala,” kata Amjad Iraqi, analis senior di International Crisis Group.

    “Apa gunanya mengakui sebuah negara jika mereka tidak berbuat banyak untuk mencegahnya berubah menjadi reruntuhan?”

    Para pejabat Prancis menunjukkan lobi Israel yang intens selama berbulan-bulan untuk mencoba mencegah langkah Macron-dan kritik keras Netanyahu terhadapnya-sebagai bukti bahwa hal itu sangat berarti bagi para pemimpin Israel. Sumber-sumber yang memahami masalah ini mengatakan peringatan Israel kepada Prancis berkisar dari pengurangan pembagian intelijen hingga mempersulit inisiatif regional Paris-bahkan mengisyaratkan kemungkinan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat.

    Namun, para pejabat Prancis menyimpulkan bahwa Netanyahu akan tetap melakukan apa pun yang menurutnya sesuai kepentingannya di Tepi Barat, terlepas dari apa pun yang dilakukan Prancis terkait pengakuan tersebut.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Serangan Israel Tewaskan 25 Orang di Gaza, Mayoritas Saat Tunggu Bantuan

    Serangan Israel Tewaskan 25 Orang di Gaza, Mayoritas Saat Tunggu Bantuan

    Gaza City

    Sedikitnya 25 orang tewas akibat rentetan serangan udara dan tembakan pasukan Israel di Jalur Gaza pada Sabtu (26/7) dini hari. Sebagian besar korban kehilangan nyawa saat menunggu truk bantuan kemanusiaan.

    Staf rumah sakit Shifa, yang menjadi tempat jenazah korban dibawa, seperti dilansir Associated Press dan AFP, Sabtu (26/7/2025), melaporkan sebagian besar korban tewas akibat tembakan yang mengarah ke mereka saat menunggu truk bantuan kemanusiaan di dekat perlintasan perbatasan Zikim.

    Badan pertahanan sipil Gaza juga melaporkan bahwa “pasukan Israel menembaki orang-orang yang menunggu bantuan kemanusiaan” di barat laut Gaza City. Para saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa ribuan orang telah berkumpul di area tersebut untuk menunggu bantuan.

    Salah satu saksi mata, Abu Hamir Hamoudeh, mengatakan bahwa militer Israel melepaskan tembakan “ketika orang-orang sedang menunggu untuk mendekati titik distribusi”, yang terletak di dekat pos militer Israel area Zikim, barat laut Sudaniyah.

    Juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal, mengatakan kepada AFP bahwa empat warga Palestina tewas akibat serangan udara di area Al-Rimal, Gaza City, di bagian utara Jalur Gaza.

    Satu orang lainnya tewas akibat serangan drone di dekat Khan Younis, Jalur Gaza bagian selatan. Sedangkan tembakan artileri di kamp Al-Bureij di Jalur Gaza bagian tengah, menurut badan pertahanan sipil Gaza, menewaskan satu orang lainnya.

    Militer Israel belum memberikan tanggapan langsung atas laporan tersebut.

    Serangan-serangan itu terjadi saat perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas terhenti, setelah Amerika Serikat (AS) selaku mediator dan Tel Aviv menarik tim negosiator mereka pada Kamis (24/7) waktu setempat. Langkah itu membuat masa depan perundingan semakin tidak pasti.

    Israel Pertimbangkan Opsi Alternatif Usai Perundingan Terhenti

    Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengatakan pada Jumat (25/7) bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan “opsi alternatif” untuk perundingan gencatan senjata dengan Hamas. Netanyahu tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “opsi alternatif” tersebut.

    Pernyataan itu disampaikan saat pejabat Hamas mengatakan perundingan diperkirakan akan dilanjutkan pekan depan. Pejabat Hamas itu juga menggambarkan penarikan delegasi perunding AS dan Israel sebagai taktik tekanan belaka.

    Mesir dan Qatar, yang juga menjadi mediator bersama AS, mengatakan jeda itu hanya sementara dan perundingan akan dilanjutkan, meskipun tidak disebutkan kapan tepatnya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Prancis Akan Akui Negara Palestina, Kanada Menyusul?

    Prancis Akan Akui Negara Palestina, Kanada Menyusul?

    Ottawa

    Perdana Menteri (PM) Kanada, Mark Carney, terang-terangan mengkritik Israel setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan rencana mengakui negara Palestina. Carney juga menegaskan dukungan untuk “solusi dua negara” bagi konflik Israel-Palestina. Apakah ini pertanda Kanada akan mengikuti langkah Prancis?

    Kritikan Carney terhadap Israel itu disampaikan hanya beberapa jam setelah Macron mengumumkan rencana Prancis untuk secara resmi mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang.

    Dalam pernyataan via media sosial X, seperti dilansir CBC, Sabtu (26/7/2025), Carney secara terang-terangan mengkritik Israel terkait “penolakan bantuan kemanusiaan” untuk warga sipil Gaza, yang disebutnya sebagai “pelanggaran hukum internasional”.

    Dia mencetuskan agar “kendali Israel atas distribusi bantuan harus digantikan dengan penyediaan bantuan kemanusiaan yang komprehensif yang dipimpin oleh organisasi-organisasi internasional”.

    Carney juga menegaskan dukungan Kanada untuk solusi dua negara yang menjamin perdamaian dan keamanan bagi warga Israel dan Palestina.

    “Kanada mendukung solusi dua negara yang menjamin perdamaian dan keamanan bagi warga Israel dan Palestina,” tegas Carney dalam pernyataannya.

    Carney tidak secara eksplisit menyinggung pengumuman Macron dalam pernyataannya itu.

    Namun, dia menekankan bahwa Menteri Luar Negeri (Menlu) Kanada, Anita Anand, akan berpartisipasi dalam konferensi tingkat tinggi PBB pekan depan, yang diselenggarakan bersama oleh Prancis, untuk membahas penerapan solusi dua negara.

    “Kanada akan bekerja secara intensif di semua forum untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk melalui partisipasi Menteri Luar Negeri pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Solusi Dua Negara di New York pekan depan,” ucap Carney.

    Sementara itu, laporan media Middle East Monitor, yang mengutip pernyataan Carney tersebut, menyebut Kanada berencana untuk mengakui negara Palestina di forum PBB. Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi pemerintah Kanada soal rencana pengakuan resmi untuk negara Palestina di PBB.

    Pemerintah Kanada, menurut laporan CBC, sebelumnya pernah mengatakan akan mengakui negara Palestina hanya setelah tercapainya perjanjian damai yang dinegosiasikan antara pimpinan Israel dan Palestina.

    Macron Umumkan Prancis Akan Akui Negara Palestina di PBB

    Macron, pada Kamis (24/7) waktu setempat, mengumumkan bahwa Prancis akan secara resmi mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum PBB pada September mendatang.

    “Sesuai dengan komitmen historisnya untuk perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah, saya telah memutuskan bahwa Prancis akan mengakui Negara Palestina. Saya akan membuat pengumuman resmi di Majelis Umum PBB pada bulan September,” kata Macron dalam pernyataan via media sosial X dan Instagram.

    Termasuk Prancis, status kenegaraan Palestina kini telah diakui oleh 142 negara, meskipun Israel dan AS sangat menentang pengakuan tersebut. Prancis akan menjadi kekuatan Eropa paling signifikan yang mengakui negara Palestina.

    Hamas menyambut baik pengumuman Macron tersebut, dengan menyebutnya sebagai “langkah positif ke arah yang benar untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Palestina kami yang tertindas”.

    Sementara Israel memberikan reaksi dan kecaman keras, dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menyebut keputusan Prancis itu sama saja “memberikan imbalan kepada teror” dan menimbulkan ancaman eksistensial, serta menyediakan “landasan peluncuran untuk memusnahkan” Israel.

    Reaksi keras juga disampaikan oleh Amerika Serikat (AS) yang menolak keras rencana Macron untuk mengakui negara Palestina. Menlu AS, Marco Rubio, mengkritik rencana Macron itu sebagai “keputusan sembrono” dan akan menguntungkan Hamas.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Trump Ejek Macron yang Mau Akui Negara Palestina

    Trump Ejek Macron yang Mau Akui Negara Palestina

    Washington DC

    Presiden Emmanuel Macron menyatakan Prancis akan mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menilai pernyataan Macron itu tidak berbobot.

    “Dia orang yang sangat baik, saya menyukainya, tetapi pernyataan itu tidak berbobot,” kata Trump kepada wartawan, menanggapi pengumuman presiden Prancis sehari sebelumnya untuk secara resmi mengakui Negara Palestina, seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025).

    Trump juga menyalahkan Hamas terkait gagalnya perundingan gencatan senjata di Gaza yang dilakukan mediator di Doha, Qatar. Trump menuduh Hamas tidak menginginkan kesepakatan gencatan senjata.

    “Sayang sekali. Hamas sebenarnya tidak ingin membuat kesepakatan. Saya pikir mereka ingin mati,” kata Trump.

    Diketahui, para mediator antara delegasi Israel dan Hamas selama lebih dari dua minggu melakukan mediasi sebelum akhirnya pihak AS mundur dari perundingan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pemerintahnya masih mengupayakan kesepakatan meskipun telah menarik negosiatornya dari Doha.

    Pada Kamis (24/7) kemarin, Presiden Emmanuel Macron mengatakan Prancis akan mengakui negara Palestina di Sidang Umum PBB pada September.

    “Sejalan dengan komitmen bersejarah untuk perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah, saya memutuskan Prancis akan mengakui Negara Palestina. Pengumuman resmi akan saya sampaikan di Sidang Umum PBB pada September,” tulis Macron di media sosial.

    “Saat ini, yang mendesak adalah mengakhiri perang di Gaza dan memberikan bantuan kepada warga sipil. Perdamaian itu mungkin terjadi.”

    Lihat juga video: Video: Prancis Akan Akui Negara Palestina

    (lir/dhn)

  • Saya Pikir Mereka Ingin Mati

    Saya Pikir Mereka Ingin Mati

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuduh Hamas tidak menginginkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Hal itu disampaikan Trump setelah Israel dan Amerika Serikat menghentikan negosiasi tidak langsung dengan kelompok militan Palestina tersebut.

    “Sayang sekali. Hamas sebenarnya tidak ingin membuat kesepakatan. Saya pikir mereka ingin mati,” kata Trump seperti dilansir AFP, Jumat (25/7/2025).

    Mediasi yang dilakukan antara mediator delegasi Israel dan Hamas selama lebih dari dua minggu telah berlangsung maju mundur, dalam upaya untuk mengamankan gencatan senjata dan pembebasan sandera Israel setelah hampir dua tahun pertempuran.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pemerintahnya masih mengupayakan kesepakatan meskipun telah menarik negosiatornya dari Doha.

    Trump menyalahkan Hamas, dengan mengatakan, “Sekarang kita hanya punya sandera terakhir, dan mereka tahu apa yang terjadi setelah kita mendapatkan sandera terakhir,” kata Trump.

    Presiden AS itu juga menolak keputusan Presiden Prancis untuk mengakui negara Palestina. Dia menilai pernyataan Macron itu tidak berbobot.

    Tonton juga video “Duka Donald Trump-Jd Vance Atas Meninggalnya Hulk Hogan” di sini:

    (lir/idn)